Napas Rani memburu sangat cepat. Semakin lama dada terasa sesak. Menutup telepon lalu menarik napas panjang perlahan. Memukul kepala berulang kali sangat kesal dan emosi."Apa hebatnya perempuan itu hingga kamu bisa memilih dan betah jauh dari aku? Mas, kemarin aku terima dan masih ada keinginan mengalah. Lama-lama melihat kamu lebih memilih wanita itu sangat membuatku naik pitam! Aku tidak terima kamu perlakukan seperti ini!" Rani menutup jendela kamar sangat kencang.Bapak tersentak kaget mendengar suara keras dari kamar sebelah. Meletakkan koran perlahan lalu mengayunkan kaki ke dekat pintu. Kembali duduk di ranjang tidak jadi mengetuk pintu kamar putrinya."Ada apa dengan Rani? Suara apa tadi? Apa masalah rumah tangga mereka berat?" gumam Bapak seraya mengambil ponsel di atas meja kecil sudut.Bapak melihat layar ponsel cukup lama. Jemari tangan meraba ponsel dari depan hingga belakang. Menyalakan ponsel yang berukuran sedang. Kembali diletakkan di atas meja dengan gusar."Aku tid
"Bilang kok, Pak. Kok kaget sih, Pak?" Rani ikut bingung."Kasihan kalau sampai terlambat. Kamu udah perjalanan pulang ke Jakarta dan dia di sini sama siapa nanti?" kekeh Bapak."Ih, Bapak. Pasti selalu godain aku. Ran, Bapak mulai iseng nih."Rani merapikan hijab lalu mengambil tas yang sudah disiapkan di kamar. Hati sangat gelisah menanti kehadiran suami. Entah Adi akan bersikap baik atau sebaliknya."Lintang, ayo masuk ke kamar! Sebentar ya, Pak?" Rani menarik tangan sahabatnya hingga hampir terjatuh.Senyuman mengembang di wajah lintang. Melambaikan tangan ke Bapak sedikit menunduk. Lintang dari dulu juga sangat dekat dengan Bapak Rani. Bahkan, terkadang menginap di rumah Rani tidak hanya sehari atau dua hari.Dari kecil hanya tinggal bersama kakek dan nenek. Bisa bertemu Rani membuat Lintang bahagia bisa mengenal sosok seorang Bapak lagi."Ran, suamimu sampai mana?" tanya Lintang sangat pelan. Tidak enak kalau Bapak sampai dengar."Perkiraan sudah mendarat di bandara. Jarak banda
Lintang gugup melepas tangan Rani sedikit membanting ke bawah. Bapak hanya membatin tidak berani bertanya lebih jauh. Sekali lagi merasa bukan ranahnya."Bukan apa-apa. Ran, aku pamit dulu, ya? Aku bakal kangen banget sama kamu, Ran." Lintang mengecup pipi kanan kiri sahabatnya lalu berlalu begitu saja. "Lintang, gak pamit sama Bapak?" tanya Bapak mengikuti dari belakang."Lihat temanmu itu! Kayak gitu kamu jadikan teman? Heran aku sama kamu." Adi bergidik seraya memasukkan barang ke dalam mobil yang sudah dipesan.Rani cuek dan tidak merespon suami. Melewati sangat acuh mengejar sahabatnya yang sudah mulai menaiki sepeda."Lintang! Tunggu!" "Iya, ada apa?"Bapak ikut bingung menoleh ke belakang. Sementara Adi membuang muka sangat jengkel dan masih belum bisa menerima disindir habis-habisan. "Dasar, perempuan kurang ajar! Pantas saja cerai," batin Adi tidak sadar tangan mengepal."Lin, aku ada bingkisan permen buat anakmu. Tolong kasihkan, ya? Pasti nanti senang sekali." Rani melet
Menoleh kembali ke belakang. Mengingat kembali sosok perempuan yang tidak sengaja ditabrak. Ingatan terlempar pada bekas noda merah di kemeja suami."Rani! Hay, Rani! Aku tanya sama kamu!" Adi mengibaskan tangan depan wajah istri."Iya, aku lihat. Terus ada apa, Mas?" balik tanya sengaja menampakkan muka judes.Adi menggaruk kepala belakang mulai salah tingkah. Menatap Rani cukup lama. Tampak sekali malu dan gugup."Ya Allah, jangan-jangan perempuan tadi...""Oh, itu tadi ada karyawan ku ngeluh ada perempuan yang menabrak gitu jadi telat masuk ke dalam ruangan rapat."Rani sengaja memasang muka percaya semua ucapan Adi. Dalam hati tentu saja tidak. Seorang istri pasti sangat peka dan menyadari ada yang tidak beres."Ya sudah, kita pulang ke rumah sekarang ya, Pak."Selama perjalanan pikiran Rani tambah terbebani dengan sosok perempuan di toilet kantor. Postur badan lebih tinggi daripada Rani. Parfumnya sangat wangi dan sekilas kulitnya putih. "Kenapa tadi aku gak lihat wajahnya? Sekil
"Mas Adi?"Rani panik menaruh kemeja di keranjang baju. berpura-pura melanjutkan kembali mengambil beberapa baju yang kotor. Sedikit melirik ke arah luar kamar."Kamu ngapain? Ayo, makan! Aku sudah lapar sekali.""I-iya, nanti aku menyusul.""Sekarang! Nanti kamu gak makan. Ayo, cepat!" Adi menarik tangan istrinya.Mereka menuruni anak tangga dengan langkah cepat. Rani menoleh belakang masih kepikiran kemeja suaminya. "Ini enak sekali. Padahal cuma daging ayam tetapi kamu bisa mengolah ayam ini jadi enak sekali." Adi lahap menyantap ayam bumbu pedas.Sementara istrinya menyantap makanan perlahan. Acuh dan tidak peduli mendengar pujian yang dilontarkan suami."Ya Allah, aku gak bisa berhenti memikirkan kerah baju itu. Ada noda merah atau tidak, ya?" Rani tidak bisa nyaman duduk di dekat suami. Pikiran Rani negatif bercabang ke arah yang tidak jelas.Piring Rani masih penuh makanan. Adi memerhatikan isi piring istrinya. Masih tersisa banyak. Sekali lagi berusaha menepis perasaan tidak
"Apa? Syarat apa? Lewat pintu ini harus pakai syarat?" Rani mengangkat dua alis ke atas merasa heran dengan tingkah suami.Adi belum juga menurunkan tangan ke bawah. Bibir tersenyum diiringi satu kedipan mata sengaja menggoda istrinya. Sebaliknya, Rani justru merasa sedikit ketakutan dan geli."Tidak berat kok. Oh, iya ngomong-ngomong kita ini udah suami istri 'kan?" tanya Adi sengaja memancing perkara."Iya, terus kenapa?" balik tanya tanpa menatap suami.Adi memegang kedua pundak Rani dengan mata terpejam. Sudah tidak sabar bercinta dengan istri sendiri. Menantikan sejak lama karena Rani sangat jual mahal. Dari dulu sama sekali tidak tertarik dengan paras Adi. "Kalau gitu ayo dong, Sayang." Adi memeluk Rani dari depan. Semakin lama tambah kencang hingga Rani susah bernapas."Lepas! Aku bilang lepas, Mas! Minggir!" Teriak Rani mendorong suami hingga hampir terjatuh.Tidak sengaja punggung membentur pintu. Rani menutup mulut dengan netra melebar. Berlari menghindari Adi sejauh yang i
"Seperti suaranya Mas Adi." Rani mengernyitkan alis berusaha mendengar lagi."Rani! Rani!"Rani beranjak berdiri mendekati sumber suara. Tangan memegang pegangan pintu lalu berhenti sejenak. "Pasti Mas Adi cuma pura-pura. Nanti aku ke sana malah dikasari lagi. Astagfirullah," ucap Rani kembali memilih duduk di ranjang."Rani! Rani! Cepat ke sini! Tolong aku, Ran." Adi kembali berteriak. Kini suara teriakan berubah menjadi ketakutan."Aku ke sana atau tidak, ya? Tapi, kalau Mas Adi nekat lagi, gimana?" Rani sangat bimbang seraya menggigit bibir bawah."Rani! Aku takut!" Teriakan Adi lebih kencang."Astagfirullah, Mas Adi!"Rani bergegas turun ke lantai bawah. Mencari sumber suara sampai ketemu. Berlari ke ruang tamu tidak ada sosok suami. Lalu pergi ke dapur sangat panik."Mas Adi!" "Astagfirullah, kamu kenapa?" Rani panik mendekati suami. Segera mendekap tangan yang terluka hingga darah berhenti menetes."Sakit sekali, Ran! Aduh!" Keringat dingin membasahi wajah.Rani mengambil lap
"Aduh, gawat! Gimana ini?" Citra terus bergeser ke samping. Sudah pasrah dan siap apapun yang akan terjadi."Aku sudah pasrah. Mungkin ini hari terakhir pernikahanku" Adi membatin juga penuh tatapan pasrah.Rani terus mengayunkan kaki mendekati samping rumah yang sekilas terlihat tatanan rumput yang sangat rapi.Adi rasanya ingin sekali menarik tangan Rani. Namun, sama sekali tidak kuasa dan tidak mampu. Rani bukan wanita bodoh. Adi sangat paham sekali soal itu.Citra melirik tas yang melingkar di tangan kirinya. Terus memutar otak agar posisi nya tetap aman dan Adi juga aman menjalin hubungan gelap dengannya."Aku yakin pasti ada cara," batin Citra mengelap keringat dingin di wajah."Ya Allah, semoga aku tidak menemukan siapa-siapa di sana," batin Rani memegang dada dengan kuat."Aku pasrah dan buntu detik ini. Entah apa yang terjadi," batin Adi netra terpejam sangat rapat.Serapat dia melakukan perselingkuhan dengan perempuan lain di belakang istrinya. Tanpa peduli perasaan dan kond
Tidak lama guyuran air hujan turun perlahan. Rani masih betah duduk di tengah terpaan air dingin. Meratapi semua luka dan kepedihan yang tertahan sangat lama.Hanya berharap suami bisa kembali dan rumah tangganya baik-baik saja. Tapi apa? Kenyataannya nihil dan tidak berbuah apapun."Ya Allah, apa tidak bisa rumah tanggaku seperti dulu lagi?" Teriaknya di bawah air hujan yang semakin dingin.Berselang cukup lama memilih masuk ke dalam rumah. Berjalan tertatih merasa sangat hampa dan kosong. "Benar kalau Mas Adi tidak akan pulang lagi. Ini sudah hampir pagi. Sampai kapan aku kuat?"Rani bolak balik dari ruang tamu ke teras depan. Saat galau memikirkan suami yang diharapkan berubah, tapi sia-sia.***Ruangan tidur terlihat sepi dan sunyi. Padahal sinar mentari sudah menembus jendela kamar. Rani masih terlelap di antara bantal dan selimut tebal putih. Nampak wajah letih dan sangat pucat.Namun, tidak ada sosok Adi yang ada di sampingnya. Kosong dan tanpa siapapun di sana. Rani duduk pel
Rani terpaku diam hanya bisa menahan air mata yang sudah mulai memenuhi mata indahnya. Sama sekali tidak membalas pelukan yang detik itu terjadi."Rani?""Ya Allah, apa maksud Mas Adi melakukan semua ini? Apa mungkin suamiku sudah putus dari pacarnya?""Ran, kok diam?" Adi sedikit mengguncang tubuh mungil itu."A-aku gak papa kok, Mas. Kaget aja kamu tiba-tiba meluk aku."Adi tersenyum lalu menurunkan tangan perlahan. Menatap indah wajah istri di depannya. Lalu membalikkan badan melihat penampakan foto pernikahan di dinding kamar. "Kita bahagia ya, Ran?"Rani masih terhanyut dalam kebimbangan dan rasa bingung yang menumpuk di dada saat itu. Kurang memerhatikan omongan suami.Sementara itu Dika masih kaget seraya memegang dada yang berdebar sangat cepat. Berulang kali menyeka keringat dingin yang terus membasahi wajah gantengnya."R-rani, pelukan sama suaminya. Kenapa bisa terjadi?" Dika mencoba mengatur napas dan berpikir lebih jernih lagi. Dahi berkerut dengan irama napas yang memb
"Dika, please! Kamu kenapa sih, Dik? Kenapa kamu lihatin aku terus?" Batin Rani sama sekali tidak berkedip.Dika dan Rani terhanyut dalam suasana yang hening dan dada kompak berdebar sangat kencang. Entah apa yang terjadi di antara mereka berdua. Rani sama sekali tidak menyadari dengan status istri detik itu."Rani, aku...aku..."Rani refleks berdehem lumayan kencang lalu menunduk merasa salah tingkah sekali. Sesekali melirik Dika yang lebih dulu memalingkan muka."Dik, a-aku mau pulang sekarang. Bisa antar sekarang atau kamu masih mau di sini?" Rani menoleh ke Dika lalu kembali menunduk."Oh, i-iya. Aku habiskan minumanku dulu terus baru aku antar pulang."Cukup berselang lama mereka hanya diam tanpa berkata atau mengobrol. Pandangan mereka lurus ke depan dan sangat canggung. Padahal kedua sahabat itu biasa bercanda dan ngobrol hingga lupa waktu."Ya Allah, kenapa jadi canggung kayak gini? Dika, juga dari tadi diam." Rani sedikit melirik lalu lihat ke depan lagi."Ran, kita pulang se
Tatapan Adi semakin tajam melihat tingkah Citra yang aneh dan senyum sendiri. Tidak butuh waktu lama merebut ponsel yang ada di dalam tas."Mas, apa-apaan sih kamu! Lihat ini! Semua jadi jatuh berantakan kayak gini!"Pandangan Adi kaget melihat semua barang di dalam tas jatuh tersebar di atas lantai. Citra jongkok perlahan mengambil satu per satu sedikit kasar.Tangan kanan gesit meraih ponsel lalu dimasukkan ke dalam tas. Lalu berganti dengan barang yang lain. Nampak sekali wajah sangat kesal dengan bibir mengerucut sempurna."Mas, kamu kenapa kasar sekali! Semua sampai jatuh kayak gini!""Kamu pikir aku akan minta maaf?"Citra menoleh kesal ke belakang. Bibir bergetar menahan amarah yang sudah memuncak. Adi masih santai memalingkan wajah."Bos, permisi! Saya besok gak masuk kerja! Malas lihat tampang membosankan Anda!" Citra sengaja membenturkan pundak kiri ke pundak kanan bosnya.Adi menarik tangan Citra hingga tersentak ke belakang. Pandangan sama sekali belum pernah dirasakan Cit
Adi tidak cepat menjawab pertanyaan Citra. Masih diam dengan pikiran yang terlempar ke masa lalu. Dahi berkerut sedikit lelah merasa hampir putus asa."Mas, aku 'kan tanya. Jawab donk!" Citra melipat tangan di depan dada."I-iya, Sayang. Udah ya, semua itu gak penting lagi. Karena mulai sekarang hanya ada kita.""Kamu ini amnesia atau gimana? Istrimu mau ditaruh di mana? Kamu cerai aja gak mau pakai bilang hanya ada kita!" Nada bicara Citra meninggi.Adi mau tidak mau kembali teringat ke masa lalu yang terpaksa harus diingat kembali. Di tengah lamunan Adi ada wanita yang nampak manyun dan sangat kesal.Flashback..."Rani, kamu mau cokelat atau sesuatu yang segar?""Em, gak usah. Aku bisa beli sendiri."Suasana taman sore hari itu cukup ramai. Udara sejuk dan terpaan sinar mentari senja yang menghangatkan badan. Terlihat dua manusia yang sekilas seperti orang yang tidak saling mengenal."Susah sekali mengambil hatimu, Ran. Aku harus gimana lagi?" Batin Adi yang bersandar pada pohon sam
Citra hanya bisa menghindar dengan wajah kesal. Berdiri seolah menantang Adi tanpa ada rasa takut. Adi terdiam bengong melihat sikap acuh yang ditunjukkan wanita yang ia cintai.Suasana menjadi asing dan sedikit mencekam saat Citra perlahan melepas cincin. Tatapan Adi menjadi melebar dan tidak percaya semua yang dilihat siang itu."Citra? Mau apa kamu? A-aku gak mau kehilangan kamu, Sayang. Aku mohon p-pakai lagi cincin itu!" Adi berusaha mendekati wanita seksi di depannya.Perkataan Adi seakan hanya menjadi angin lalu saja. Cincin jatuh perlahan ke atas lantai. Netra menutup perlahan seraya membuang muka."Semua sudah selesai!" Citra mundur selangkah lalu membalikkan badan penuh tatapan kecewa."Enggak! Citra! Tunggu! Kamu gak bisa kayak gini! A-aku gak bisa hidup tanpa kamu!" Adi memeluk tubuh mungil dan berisi itu dari belakang.Hati tidak bisa dibohongi. Rasa tidak bisa dipaksakan. Munafik jika tidak merasakan sakit hati. Pria yang diharapkan bisa menjadi suaminya sudah menanam be
"Yang pasti dan harus kamu tahu kalau anak yang aku kandung ini adalah darah dagingmu, Mas!" Teriakan Rani membuat Dika berlari ke depan ruangan Adi.Adi hanya diam mematung. Tatapan tidak lepas dari istrinya yang terengah-engah meluapkan kemarahan. Rani sengaja membiarkan air mata terus menetes tanpa jeda."Aku tidak sudi terlihat lemah di depanmu! Tapi, aku ingin kamu tahu kalau aku sakit dan hancur!" Batin Rani dengan bibir bergetar hebat."Astaga, masalah mereka sangat rumit. Benar-benar rumit. Kasihan sekali kamu, Ran." Dika mengelus dagu. Telinga masih menempel di pintu."Rani, jangan menuduh orang sembarangan! Kamu gak ada bukti!" Adi mulai naik pitam."Apa? Bukti? Kamu ingin bukti apa? Hah! Bilang sama aku, Mas! Mau bukti apa kamu?" Rani terus berteriak di depan wajah Adi.Adi melipat tangan di depan dada seraya membuang muka. Senyuman sedikit takut dengan gertakan istrinya."Kamu berharap punya anak dari perempuan yang kamu cintai? Iya, 'kan?" Rani senyum kesal.Tangan Adi me
Rani hanya bisa diam seraya mengusap tetesan bulir air mata. Dada terasa sesak seraya meremas pelan perut yang sedikit buncit. Sekilas masih rata, akan tetapi dirinya sendiri yang merasa berbeda."Ran, a-aku menolak permintaanmu karena demi kamu juga. Kamu ngerti, 'kan?" Dika memelankan suara menjadi lebih lembut.Pandangan Rani beralih ke wajah Dika yang tampak sekali cemas. Merasa sangat malu dan memilih mengalihkan muka sejenak."Rani, pikir ulang lagi kalau kamu ingin ke sana. Apapun bisa menimpa kamu. Apalagi di dalam kantor itu juga ada pelakor yang merusak rumah tangga kalian."Rani mencerna setiap kata yang terlontar dari mulut Dika. Menarik napas panjang lalu membuang perlahan. Berulang kali hingga merasa sedikit tenang dan nyaman."Iya, aku minta maaf ya, Dik? Aku emosi sekali tadi." Rani menunduk lemas.Senyuman tipis mengembang terlihat sangat tulus. Dika kembali melajukan mobil dengan hati yang cukup tenang."Ran, kalau boleh tahu alasan apa yang membuat kamu ingin ke kan
Rani menitikkan air mata hingga kepala menjadi pusing dan sakit. Memegang kepala sangat kencang sambil menunduk lemas. Dika masih sangat terkejut dan tidak sanggup mengeluarkan sepatah kata dari bibir."Coba k-kamu ulangi lagi, Ran? Kamu kenapa?" Dika lebih menatap sahabatnya dan seakan melebarkan telinga."Dik, a-aku gak sanggup kalau harus melanjutkan. A-aku merasa sangat hancur, Dik. Tolong aku!" Rani menutup wajah dengan dua tangan.Dika membuang napas perlahan lalu menyandarkan badan ke belakang. Ikut merasa sangat bingung dan tidak tahu harus berbuat apa."Aku jujur sangat bingung. Kamu itu istri sah dari Adi. Dan wajar kalau k-kamu hamil. Bahkan, mungkin Bapak dan yang lainnya juga tidak sabar menimang cucu. Tapi...""Di satu sisi menjadi hal yang sulit kalau kamu ingin lepas dari Adi. Jadi, aku ngerti semua perasaan yang berkecamuk di hatimu, Ran." Dika memijit kening sesekali melirik ke samping."Iya, Dik. Sekarang aku mengandung anaknya Mas Adi. Dan suamiku tidak mau mengaku