19Hari berganti. Pagi itu, Baron baru memasuki ruang kerja, ketika seorang pria berkemeja cokelat mengikuti langkahnya ke dalam. Nohan, asisten Baron, menarik kursi di depan meja putar dan mendudukinya. Dia menunggu sang bos duduk, kemudian Nohan menjelaskan kabar terbaru dari admin PG. "Ditolak?" tanya Baron. "Ya, Pak," jawab Nohan. "Kok, bisa begitu?" "Saya juga kurang paham. Nanti saya coba tanyakan lagi ke Pak Hamid." "Yang ngabarin ke kamu, siapa?" "Staf PG. Kalau nggak salah, dia asistennya Pak Tio." Baron mengerutkan dahi. "Artio Laksamana Pramudya?" "Betul." "Dia komisaris, kan. Apa memang urusan sepele gini, ditentukan sama dia?" "Enggak paham, Pak." Baron mendengkus. "Ya, sudah. Kamu tanyakan jelas-jelas pada Pak Hamid. Alasan kita ditolak itu kenapa." "Ya." Nohan berdiri. "Saya pamit, Pak," ungkapnya. Baron mengangguk mengiakan. Dia memandangi hingga pria muda yang sudah setahun menjadi asistennya, keluar dari ruangan. Baron mengalihkan pandangan ke kanan un
20 Selama beberapa hari berikutnya, Farisyasa nyaris tidak berhenti memikirkan Lilakanti. Dia ingin sekali menemui perempuan itu. Namun, Farisyasa masih dinas di Pontianak dan baru pulang esok hari. Setiap malam Farisyasa akan menelepon Lilakanti untuk mengetahui kondisi perempuan tersebut. Hal itu juga dimanfaatkan Farisyasa untuk berbincang sesaat dengan Azrina.Malam terakhir di Ibu Kota Provinsi Kalimantan Barat, digunakan Farisyasa untuk membeli oleh-oleh buat keluarga dan teman-temannya. Meskipun masih perang dingin dengan ayahnya, Farisyasa tetap menyiapkan bingkisan untuk kedua orang tuanya. Fadli, manajer operasional PG di Pontianak, mengantarkan Farisyasa dan Andi berkeliling. Fadli adalah Kakak Falea, istri Benigno Griffin Janitra, CEO Janitra Grup sekaligus anggota PG tim 3. Selain mereka, beberapa perwakilan dari PC juga ikut berwisata sekaligus perjalanan dinas ke kota yang terkenal dengan Tugu Khatulistiwa. Freddy Hanafi, wakil dari LCGL, Brayden Raffles, wakil dar
21Hari berganti. Pagi itu, Lilakanti tiba di kantornya beberapa menit sebelum pukul 8. Lilakanti menyapa resepsionis dengan ramah, yang membalas dengan menerangkan jika ada tamu di atas. Lilakanti mengerutkan dahi, lalu dia menaiki tangga sambil berpegangan ke tepi. Sesampainya di lantai dua, Lilakanti terkejut melihat orang yang tengah duduk di kursi ruang tunggu. Dia berhenti sesaat, sebelum menyambangi pria tersebut dan menyalaminya dengan takzim. "Bapak nggak ngasih kabar mau ke sini. Kalau tahu, aku mau nyiapin suguhaan," tutur Lilakanti. "Tidak perlu. Saya juga hanya sebentar di sini," jawab Nazeem. "Sehat, Pak?" "Alhamdulillah. Kamu?" "Saya juga sehat." Nazeem mengangguk paham. Dia memajukan badan sambil memerhatikan perempuan di hadapannya dengan saksama. "Saya langsung saja," ujar Nazeem. "Silakan, Pak," balas Lilakanti. "Apa kamu dan Faris benar-benar serius menjalin hubungan?" Lilakanti tertegun sesaat, lalu dia menyahut, "Ya." "Apa kamu sudah tahu, kalau saya
22Siang itu, Lilakanti baru akan keluar dari ruang kerja, ketika seorang pria berkemeja cokelat memasuki ruangan. Lilakanti terpaku sesaat, sebelum mempersilakan tamunya duduk. Perempuan bersetelan blazer biru muda, kembali menempati kursinya. Dia berpura-pura membereskan meja kerja, sembari menunggu lelaki di kursi seberang mengatakan sesuatu. "Kamu sudah makan, La?" tanya Baron. "Belum. Ini, aku baru mau keluar," jawab Lilakanti. "Bareng, yuk? Sudah lama kita nggak makan sama-sama." Lilakanti mengangkat alisnya. "Aku nggak salah dengar, nih?" "Enggak. Aku datang ke sini memang mau ngajak kamu keluar." "Hmm, aku lagi malas jalan jauh." "Lalu, mau cari makan di mana?" "Di sebelah kanan ada warung makan. Aku mau ke sana." "Oke. Aku ikut." "Yakin mau makan di tempat murah?" Baron tertegun sesaat, lalu dia menyahut, "Aku dulu juga makannya di tempat sederhana." Lilakanti menyunggingkan senyuman miring. "Bukannya Mas lebih suka restoran mahal?" "Sekali-sekali makan yang bia
23Selama beberapa saat berikutnya, suasana hening. Lilakanti menunduk sambil memilin jemarinya di pangkuan. Sedangkan Farisyasa mengamati perempuan tersebut sembari berpikir cepat. "Belum selesai, La," ujar Farisyasa yang menyebabkan Lilakanti menengadah. "Perjanjian kita begitu, Mas. Hanya sampai orang tua Mas membatalkan perjodohan," kukuh Lilakanti. "Ayah baru ngomong ke kamu, sedangkan ke aku, belum." "Ya, sudah, datangi beliau dan berbaikan." Farisyasa mengangkat alisnya. "Apa Ayah juga memintamu untuk membujukku, supaya mau berdamai dengan beliau?" "Hu um." Lilakanti memberanikan diri beradu pandang dengan lelaki yang balas menatapnya lekat-lekat. "Nggak ada salahnya melupakan perdebatan dulu, Mas. Apalagi beliau sudah tua. Mengalahlah," bujuknya. Farisyasa tetap diam dan hanya mengamati Lilakanti yang mendadak gelisah. Sekian detik berlalu, Lilakanti terkejut saat Farisyasa berdiri dan berpindah duduk di sebelah kirinya. "Oke, aku akan temui Ayah. Tapi, kamu juga ikut,
24"Ada apa, Di?" tanya Farisyasa sembari duduk di kursi panjang. "Aku lagi nyandar ke mobil sambil baca chat grup utama PBK. Lalu ... ada muka orang nongol dari dalam mobil," terang Andi, sebelum dia mengusap dadanya yang berdebar kencang. "Muka orang?" "Ya, Pak. Kayaknya laki-laki." Farisyasa tertegun. Dia teringat ketika terus-menerus merinding selama di dalam mobil. Lilakanti beradu pandang dengan adiknya. Mereka seolah-olah tengah berbincang dengan bahasa batin, sebelum sama-sama jalan ke depan rumah.Farisyasa berdiri dan menyusul keduanya. Sedangkan Andi masih sibuk menenangkan diri sembari membaca doa yang diingatnya. Lilakanti menyalakan fitur senter pada ponselnya, lalu dia mengarahkan benda itu ke dalam mobil. Gumilang bertindak nekat dengan membuka pintu sisi kiri mobil dan membungkuk. Dia menyalakan lampu kecil di bagian tengah, hingga tempat itu seketika terang. "Teu aya nanaon," tutur Lilakanti. "Kupikir, Andi nggak bohong, La," sela Farisyasa. "Tadi, waktu kita
25Api di dupa yang sempat berkobar sesaat, menyebabkan Ki Darja terkejut. Dia cepat-cepat merapal mantra sambil menambah serbuk wewangian ke dupa. Maman, putra tertua Ki Darja yang juga melihat hal itu, spontan memindai sekitar sembari komat-kamit membaca mantra. Dia membeliakkan mata kala sesosok pria berpakaian serba hitam, tiba-tiba muncul di sisi kanan tempat dupa. Sang makhluk astral merintih kesakitan. Beberapa bagian tubuhnya gosong dan rambutnya juga terbakar. Matanya berkilat merah dan menatap Ki Darja dengan tajam. "Kamu mengirimku pada orang yang punya penjaga!" geram makhluk astral itu sambil mengusap kakinya yang mengeluarkan bau angit bekas terbakar. "Penjaga?" tanya Ki Darja. "Ya. Mereka mengejar dan berhasil melukaiku." Ki Darja mengerjap-ngerjapkan mata. "Aku tidak tahu jika dia punya penjaga." "Aku tidak mau lagi ke sana!" "Tapi kerjaanmu belum selesai." "Suruh yang lain. Aku tidak mau hancur!" "Jangan begitu. Aku akan membantumu menghadapi mereka." "Tida
26Farisyasa mengamati perempuan berambut panjang yang sedang menyantap soto ayam dengan semangat. Farisyasa tertegun menyaksikan isi mangkuk Lilakanti telah berubah memerah, akibat banyaknya sambal yang dituangkan perempuan tersebut. Farisyasa terkesiap kala Lilakanti memesan porsi kedua yang disertai dengan menambah perkedel dan sosis Solo. Farisyasa mengulum senyuman. Dia tahu jika Lilakanti tengah membutuhkan banyak asupan, untuk meredam emosi. Andi yang berada di sebelah kiri bosnya, menggigit bibir bawah untuk menahan tawa. Sejak tadi dia memerhatikan Farisyasa yang terus memandangi Lilakanti. Andi merasa yakin, jika hati sang bos telah terpaut pada perempuan bermata besar yang ayu dan baik hati. Andi juga menyukai Lilakanti, dan dia sangat berharap jika perempuan itulah yang akan menjadi pendamping Farisyasa. Hampir tiga puluh menit terlewati, Lilakanti mendorong mangkuknya yang telah kosong ke tengah meja. Dia menyomot sepotong sosis Solo dan mengunyahnya dengan cepat. "M
60Jalinan masa terus berjalan. Tibalah hari yang ditunggu-tunggu semua umat Islam di seluruh dunia. Farisyasa dan Lilakanti serta yang lainnya berangkat menuju gedung KBRI di pusat kota, dengan menggunakan tiga mobil SUV. Sesampainya di tempat tujuan, mereka turun dan bergabung dengan banyak orang, yang juga hendak menunaikan salat Ied. Azrina mengulaskan senyuman saat bertemu dengan beberapa bocah asal Indonesia, yang ikut bersama orang tua masing-masing. Puluhan menit terlewati, salat Iedul Fitri telah usai. Semua orang beranjak memasuki ruangan luas dan antre di beberapa meja prasmanan. Lilakanti mengambilkan makanan buat anaknya terlebih dahulu, kemudian dia mengambil opor, rendang dan sambal goreng kentang cukup banyak untuknya sendiri. Dia hanya menuangkan sedikit lontong ke piring. Kemudian Lilakanti meraih beberapa tusuk sate dan meletakkannya ke atas lontong. "Ma, yakin habis segitu banyak?" tanya Farisyasa, sesaat setelah Lilakanti menduduki kursi di sebelah kanannya.
59Hari berganti menjadi minggu. Farisyasa telah pulih dan beraktivitas seperti biasa. Namun, dia terpaksa tidak berpuasa, sampai kondisi perutnya benar-benar sembuh. Lilakanti tetap menjadi Ibu rumah tangga sepenuhnya. Dia tidak mau Azrina sendirian jika ditinggal bekerja. Gadis kecil tersebut juga masih cuti sekolah, supaya bisa menjalankan ibadah puasa dengan lancar. Pagi itu, Farisyasa baru selesai mandi ketika Lilakanti menerobos ke toilet. Pria bermata sipit, terkejut melihat istrinya yang tengah mengeluarkan isi perut ke kloset. Dengan sigap, Farisyasa memegangi Lilakanti dengan tangan kiri. Sementara tangan kanannya memyambar selang shower kecil dan menyirami kloset hingga bersih. Setelahnya, Farisyasa menuntun Lilakanti ke kamar. Dia membantu menyelimuti perempuan tersebut yang mengeluh kedinginan. Farisyasa meraba dahi Lilakanti dan kaget karena kening istrinya panas. Pria yang hanya mengenakan handuk, mengambil termoteter dari laci untuk mengukur suhu tubuh Lilakanti.
58Jalinan waktu terus berputar. Tibalah saat membahagiakan bagi seluruh umat Islam di dunia. Bulan Ramadhan menjadi waktu yang paling pas untuk memperbanyak ibadah. Sekaligus melatih kesabaran diri. Bagi Farisyasa dan yang lainnya, berpuasa di tempat di mana Islam adalah agama minoritas, menjadi satu tantangan tersendiri. Sebab mereka harus ekstra keras memperluas kesabaran, bila kebetulan menyaksikan orang-orang yang tengah makan ataupun minum di siang hari. Bila bagi orang dewasa, berpuasa di negeri orang sudah berat. Hal itu menjadi ujian paling sulit yang harus dijalani Azrina. Meskipun di sekolahnya, sang kepala sekolah sudah meminta murid-murid lain untuk tidak bersantap di depan Azrina, tetapi masih ada saja yang melakukannya tanpa sengaja. Seperti hari itu, Azrina menggigit bibir bawah saat menyaksikan seorang temannya tengah meminum susu cokelat. Gadis kecil bersweter biru benar-benar haus, hingga akhirnya Azrina menangis. Sang guru yang bernama Michelle, segera membujuk
57Hari kedua di Quebec, Langdon mengajak rekan-rekannya mengunjungi keluarganya. Perjalanan hampir 30 menit itu usai, saat mereka tiba di pekarangan luas depan rumah besar berarsitektur khas Eropa. Lilakanti terperangah. Dia bahkan memegangi dinding dan pintu model klasik yang sangat disukainya, sembari bergumam sendiri. Kala kedua orang tua Langdon keluar untuk menyalami para tamu, Lilakanti langsung menerangkan kekagumannya akan bangunan itu. Percakapan dilanjutkan di ruang tamu yang terkesan hangat. Sekali lagi Lilakanti terpesona, dan dia sibuk mengamati cerobong asap model lama dengan detail batu bata merah ekspos. "Pa, bisa, nggak? Rumah kita dibikin kayak gini?" tanya Lilakanti setelah kembali duduk di sebelah kiri suaminya. "Bandung sudah panas. Nggak perlu bakaran," jawab Farisyasa. "Iya, nggak usah yang itu. Tapi, dindingnya Mama mau kayak gini." Farisyasa mengangkat alisnya. "Kalau renovasi total, nggak jauh dari 1 miliar, Ma." "Enggak perlu semua. Kamar kita, ruang
56Jumat pagi, seunit mobil SUV biru tua melaju di jalan raya menuju bandara Vancouver. Langdon, supervisor proyek yang berada di kursi samping kiri sopir, menerangkan berbagai hal tentang Quebec pada penumpang lainnya. Quebec adalah provinsi di timur laut Kanada, yang merupakan provinsi terbesar dari 10 provinsi di negara itu. Sebagian besar penduduknya tinggal di bagian selatan provinsi tersebut.Sebagai salah satu provinsi pendiri Kanada dan satu-satunya provinsi dengan mayoritas penduduk berbahasa Prancis, pemerintah provinsi Quebec memiliki kendali yang signifikan atas urusan-urusannya.Langdon yang orang tuanya bermukim di pinggir Kota Quebec, begitu antusias menerangkan kota kelahirannya. Sesampainya di bandara, semua orang turun. Andi, Ibrahim dan Maher bergegas menurunkan semua koper dan tas travel dari bagasi, kemudian mereka ikut menyalami sang sopir yang akan kembali ke tempat proyek. Langdon dan Farisyasa jalan berdampingan sambil menyeret koper masing-masing. Lilakant
55Detik terjalin menjadi menit. Putaran waktu merotasi hari hingga berganti ke minggu dan bulan. Musim dingin telah berakhir di Vancouver. Bunga-bunga bermekaran dengan indah untuk menyambut musim semi nan cerah. Lilakanti sudah memiliki teman-teman baru, yakni para penghuni apartemen tempatnya tinggal. Demikian pula dengan Azrina. Bahkan gadis kecil tersebut ikut bersekolah di kindegarten, yang letaknya tidak jauh dari bangunan apartemen. Selain berteman dengan penghuni, Lilakanti juga makin akrab dengan Thalita Pangestu, anak Tanvir Pangestu, sekaligus keponakan Linggha. Thalita dan Devi, sahabatnya, tengah menempuh pendidikan sarjana di tahun terakhir. Selain kuliah, keduanya juga menyambi kerja untuk mengelola kafe milik Falea, istri Benigno, yang dulu sempat menetap di Vancouver selama dua tahun.Lilakanti juga bekerja di kafe itu sebagai staf keuangan sekaligus kasir freelance. Waktu kerjanya dimulai dari jam 9 pagi hingga 3 sore.Lilakanti juga kian dekat dengan Rosemund al
54Penerbangan lebih dari 20 jam telah tuntas. Kelompok pimpinan Ibrahim keluar dari pintu kedatangan bandara Vancouver. Mereka disambut sopir bus sewaan, dan seorang staf dari Janitra Grup. Farisyasa menggendong Azrina yang masih mengantuk, memasuki bus kecil dan menempati kursi terdekat dengan pintu. Lilakanti menduduki kursi di samping kiri Azrina, sedangkan Farisyasa berpindah ke kursi depan. Setelah memastikan semua penumpang masuk dan barang-barang terangkut, Ibrahim menaiki bus dan menempati kursi di sebelah kiri Farisyasa. Sopir melajukan kendaraan dengan kecepatan sedang. Sang staf membagikan kotak kue, yang segera dinikmati para penumpang. "Mama, aku mau pegang salju," pinta Azrina sambil menunjuk ke luar kaca. "Nanti, nyampe di apartemen baru bisa pegang," jawab Lilakanti sembari merapikan rambut putrinya yang kusut. "Rambutnya dikepang aja, ya? Biar nggak berantakan," lanjutnya sambil memulai mengepang. "Mau minum susu." "Habis, Kak. Teh dulu, mau?" "Hu um." Azrina
53Sesuai janji, Baron tiba di hotel menjelang jam 9 pagi. Dia datang bersama Deandre, Erfinda dan Nohan, serta membawakan titipan buah tangan dari keluarganya di Bogor. Farisyasa menyambut semua tamunya dengan ramah. Dia menjamu mereka di restoran hotel, supaya lebih bebas berbincang. Kala Baron meminta waktu untuk bermain bersama Azrina, Lilakanti terpaksa mengiakan. Perempuan bermata besar terus mengamati mantan suaminya yang sedang menemani Azrina berenang bersama Erfinda. "Kamu temui Wirya di kantornya, Re. Tanya jelas-jelas tentang tawaran dari para komisaris CRYSTAL," tukas Farisyasa. "Aku, Kasyafani dan yang lainnya cuma nanam saham. Lainnya, HWZ-ZUB yang urus," lanjutnya. "HWZ-ZUB?" tanya Deandre. "Hendri, Wirya, Zein, Zulfi, Ubaid dan Bayu," terang Farisyasa yang menjadikan Deandre tersenyum. "Aku harus banyak menghafal singkatan nama para bos." "Yang penting-penting saja." Farisyasa terdiam sejenak, kemudian dia melanjutkan perkataan. "Aku nggak bisa pegang banyak pe
52Ruang rapat di lantai tiga kantor PG, siang itu terlihat ramai orang. Hampir semua anggota PG, PC dan PCD datang. Demikian pula staf ketiga perkumpulan itu, dan para pengawal muda PBK. Tio yang berdiri di podium, menyampaikan pidato yang cukup panjang mengenai berbagai kemajuan bisnis semua anggota perkumpulan tersebut. Selanjutnya, Tio memanggil belasan orang, yang segera maju ke depan. Para lelaki bersetelan jas hitam itu berdiri dan berbaris dengan rapi. Tatapan mereka arahkan pada khalayak yang juga memandangi mereka dengan saksama. "Teman-teman kita ini, adalah kloter pertama yang akan berangkat ke Kanada. Mereka akan menjadi pegawai beberapa proyek yang akan dimulai pengerjaannya bulan depan. Setelah musim dingin berakhir," ujar Tio. "Ethan yang mengantarkan teman-teman PG dan PC, akan tinggal di sana sampai tiga bulan mendatang. Ethan punya tugas khusus, yakni menghubungkan rekan-rekan kita dengan rekanan bisnis asli Kanada. Sekaligus membantu mereka untuk mempelajari ba