Kak Jazil! Semangat!
"Ternyata di sini ada yang jualan seperti di Jawa, ya," ucap Ibu setelah kami turun dari mobil. Setelah proses penjemputan, kami langsung bertolak pulang. Kak Jazil begitu antusias saat bertemu bapak dan ibu. Diambilnya tangan mereka untuk dicium, memperkenalkan diri bahwa dia Jazil Ehsan teman dekat Dewi Larasati. "Maaf, Bu. Panggil nama saya saja. Jangan pak," kata Kak Jaz kepada Ibu saat berkenalan tadi. "Tidak, saya panggil Pak Jaz saja," jawab Ibu dengan wajah tanpa senyum. Aku langsung mengedipkan mata, memberi tanda untuk membantah. Sikap ibu kelihatan menjaga jarak, walaupun sering mencuri pandang kepada Kak Jaz yang mendorong troly yang bermuatan koper. Dia jalan lebih dulu bersama Bapak, kami mengikuti dari belakang. "Rupone ono, dedegke yo apik. Pantas saja kamu lengket sama dia," bisik Ibu. Mendengar ucapannya pipiku terasa hangat, malu tepatnya. Ini penilaian pertama, dilihat dari fisik. "Neng mergo kuwi, yang Ibu kawatirkan bisa terjadi. Orang sana itu banyak yang
Setelah makan selesai, kami bertolak ke tempat Kak Jazil. Seperti yang diminta Ibu. Beruntung jalanan tidak terlalu padat, tidak kurang tiga puluh menit kami sudah sampai."Mari, Pak Bu," ucap Kak Jazil.Kacong langsung menghampiri kami dan membantu membawa koper untuk diletakkan di rumah joglo. "Lo, itu mau di bawa ke mana, Pak?" teriak Ibu saat Kak Jazil memerintahkan Kacong untuk membawa koper ke rumah joglo."Buk, itu ditaruh di tempat istirahat," jawabku sambil menarik lengannya untuk duduk kembali di sofa. Aku berusaha mengalihan perhatiannya supaya Ibu memberi kami waktu yang lebih. Bagaimanapun, aku harus mengupayakan penilaian ini tidak hanya sebentar. Aaku harap, semakin lama orangtuaku berbicang dengan Kak Jazil, semakin mereka bisa diyakinkan bahwa dia sosok yang tepat.Dan, di sinilah kami, di ruang tamu kantor. Bapak, Ibuk, Kak Jaz dan aku. Sesaat kami diam, sibuk dengan pikiran masing-masing. Ibuk mengamati sekeliling, dan Bapak sesekali menghela napas. Kak Jazil jug
Kak Jazil menceritakan segala tentangnya. Kehidupan masa kecil, remaja, sampai saat merintis usahanya ini. Bahkan ada beberapa yang belum diceritakan kepadaku. Sesekali Bapak menepuk pundak Kak Jazil saat dia tersekat karena terpaksa menguak cerita lama. Ibu mulai melunak, raut wajahnya menunjukkan rasa iba. Apalagi setelah mendengar kalau kedua orang tua Kak Jazil sudah tiada semenjak dia kecil."Jadi kedua orang tua Nak Jazil, guru?" tanya Ibu.Perubahan panggilan menjadi Nak Jazil, merupakan kabar yang menggembirakan. Senyum tipis disela rasa haru yang melanda kami, tercipta. Mungkin karena rasa simpati atau karena sesama profesi, guru. "Iya, Bu. Orang tua saya di tugaskan di pulau terpencil, dan mereka mengalami kecelakaan saat menyeberang di laut. Itu yang menyebabkan saya kehilangan mereka." Memang, Madura mempunyai pulau-pulau kecil. Jarak yang jauh dan dipisahkan laut yang dalam, bahkan saat cuaca buruk bisa membahayakan. Raut wajah Kak Jazil terlihat sedih. Ada air mata
Setelah istirahat sebentar, kami pergi lagi. Ibu bilang ingin sesuatu yang dingin. Ada tempat favorit kami yang tidak jauh dari sini."Ibu dan Bapak di ajak makan es krim? Kayak anak kecil saja," kata Ibu setelah memasuki bangunan seperti rumah biasa ini. Memang di depan ada tulisan gelato, namun tidak terlihat apa yang di jual. "Tak kiro sepi, tapi di dalam kok antri, ya. Rame ternyata." Ibu memperhatikan ke sekeliling. Pengunjung tidak hanya anak muda, orang tua juga banyak. Mereka asik menikmati camilan dingin ini sambil berbincang dan berfoto selfi. Kak Jazil ke kasir membayar berapa skup yang akan kita beli. Masing-masing dua skup dan nota diberikan kepada kami untuk ikut berbaris di antrian."Antriannya seperti antri sembako, ya, Nak. Padahal bayar." Samar aku dengar Ibu bercanda dengan Kak Jazil. Mereka tertawa bersama, entah apa yang dibicarakan. Syukurlah, mereka sudah mulai dekat. "Bapak ingin yang rasa apa? Yang rasa buah atau yang ada susunya?" tanyaku melihat Bapak ke
Kami berangkat pagi menuju tempat wisata sesuai kesepakatan Bapak dan Ibu. Aku pun belum ke sana, termasuk Kak Jazil yang sudah bertahun-tahun di sini. Istana Tampak Siring hunian orang nomor satu di negara ini. Istana ini terletak di Desa Tampak Siring, Kecamatan Tampak Siring, Kabupaten Gianyar, Bali. Sekitar satu setengah jam, lama tempuh dari Kuta."Ibu dari dulu ingin ke sana! Rekreasi ke Bali tujuannya selalu Kuta, Sanur, Sukawati, dan Tanah Lot. Sekarang pingin lihat rumahnya Pak Karno. Ya kan, Pak?" ucap Ibu tadi malam sambil meminta dukungan ke Bapak. Aku sih, iya-iya saja, walaupun sebenarnya malas. Apa yang dilihat di sana? Memang selera tujuan wisata dipengaruhi usia. Kak Jazil mengemudi mobil dengan Bapak di sebelahnya. Beruntung, Bapak dan Ibu tidak terlalu suka udara dingin di dalam mobil, jadi dia tidak perlu menggunakan jaket tebal. Mereka mulai berbicara banyak, tentang ekonomi, budaya, bahkan politik. Ternyata, Kak Jazil bisa mengimbangi pembicaraan ini. Aku sema
Setelah puas berkeliling dan berfoto dengan berbagai gaya, kami bertolak ke tujuan berikutnya. Pura Gunung Kawi, tujuan ini atas usulan pemandu wisata. Dari tempat parkir, kami menurunin anak tangga yang kanan kiri terdapat sawah yang subur. Dibeberapa tempat ada tempat untuk istirahat dan penjual minuman dan makanan kecil. "Semuanya dipasang selendang, ya. Terus bule itu dikasih jarik untuk menutupi celana pendeknya," kata Ibu sambil menuruni anak tangga."Iya lah, Buk. Ini kan tempat ibadah, harus berbaju tertutup dan ada aturannya," jelas Bapak. Mereka sesekali berhenti dan mengamati sekitar.Suasana sekitar wisata ini yang tenang dan sejuk memang sangat pas dijadikan tempat rekreasi, meditasi atau sekedar bersantai melepas lelah. Kata penjual minuman tadi, tempat ini telah menjadi situs purbakala yang dilindungi, namun tetap difungsikan oleh warga setempat sebagai tempat peribadatan agama Hindu sampai saat ini. Jadi di hari tertentu akan dipadati untuk bersembahyang."Nduk, kok
"Sudahlah, jangan menangis lagi. Nanti kita gantian pulang ke Solo." Kak Jazil mengiburku, setelah mengantar Bapak dan Ibu di bandara. Semalam aku tidur menemani ibu di tempat Kak Jazil. Ini pun karena pemintaan Ibu, kalau tidak, mana aku berani. Bapak terpaksa pindah ke belakang, di pondok tempat Kak Jazil. Untuk pertama kalinya aku ke belakang, melihat tempat Kak Jazil tinggal saat mengantar bapak bersama ibu.Kak Jazil juga menunjukkan lahan yang akan digunakan untuk rumah kami nanti, juga berkeliling di gudang tempat tukang berkerja. Tumpukan kayu jati menggunung, barang-barang yang masih proses dan sudah selesai juga terdapat di sana-sini, hanya di tempat packing yang kelihatan bersih dan rapi, itu yang kami lihat sekarang. "Ini akan dikirim kemana, Nak Jazil?" tanya Bapak menunjuk meja kayu jati yang terlihat usang dan ada detail ukiran sedikit di ujungnya. Meja yang tidak umum menurutku. Serat kayu ditonjolkan dan kelihatan kusam namun kelihatan unik."Kalau yang ini ke Bel
Ini yang dinamakan godaan. Belum masalah perjodohan Kak Jazil, sekarang sudah muncul nama lain yang menyelusup di antara hubungan ini.Aku harus segera memberanikan diri untuk menyampaikan niat Kak Jazil sebelum langkahku kembali ke titik semula."Terima kasih, Buk. Laras dan Kak Jazil sudah yakin dengan niat ini, apalagi sudah mendapat restu. Memang kami berangkat dari budaya yang berbeda, tapi kami sepakat untuk menjadikan perbedaan itu menjadi pelengkap bukan untuk dipertentangkan. Buk ... kalau bisa, boleh kami secepatnya menikah? Kak Jazil ingin disegerakan," ucapku sambil memainkan ujung lengan Ibu. Menunggu jawaban Ibu yang tidak kunjung terdengar. Apa Ibu masih meragukan kami? Atau masih belum yakin dengan Kak Jazil?"Buk. Boleh, ya?" Diam, tidak ada reaksi dari Ibu. Aku dongakkan kepalaku memastikan bagaimana reaksi Ibu."Yah, tidur," gumanku lirih. Aku menatap wajah Ibu, wajah yang aku rindukan setiap saat. Selama ini, dialah yang menjadi pelindungku dan sekarang ada Kak
"Dek Laras! Ka-kakimu berdarah!" teriak Kak Jazil yang baru masuk ke dapur. Aku yang memanggang roti untuk makan pagi, kaget dibuatnya. Apalagi, Kak Jazil langsung memapahku untuk duduk di bangku. Setelah duduk, baru aku sadar kalau darah segar keluar dari balik rokku. Apa sekarang sudah waktunya melahirkan? Tetapi, tidak ada rasa mulas seperti yang diajarkan di kelas ibu hamil."Kak. Aku pendarahan ...." ucapku sambil menatap kedua kakiku. Kecemasan mulai melingkupi hati ini. Apakah ini membahayakan? Padahal waktu yang diperkirakan masih dua minggu lagi."Kamu akan melahirkan, Dek. Kita ke rumah sakit sekarang!" ucapnya kemudian teriak memanggil Embuk yang menyapu di kamar. Memerintahkan bersiap dan menyuruh memberitahu Kacong untuk membawa mobil, segera Seketika, keadaan menjadi heboh. Kak Jazil langsung menggendongku memasuki mobil yang dikemudi Kacong dan segera meluncur ke rumah sakit.Sepanjang jalan, tak lepas genggaman di tanganku. Sesekali dia mengecup keningku dan membisik
Seperti yang direncana kemarin. Kami akan menghabiskan waktu pada hari minggu di pantai. Aku dan Embuk sudah mempersiapkan karpet, peralatan makan dan bekal berupa camilan dan buah. "Dek, katanya di sana mau jalan kaki." "Memang iya. Kenapa?," ucapku sambil mengusap kepala Kak Jazil yang menyelusup di pundakku. Kebiasaan dia, memeluk dari belakang walaupun aku sibuk seperti sekarang, memasukkan bekal makanan di keranjang. "Bekalnya kok banyak, Dek. Pindah makan, ya?" bisiknya sambil mengecup sekilas leher ini. "Maunya bawa kasur dan bantal, sekalian rebahan di sana," timpalku bercanda. "Tenang saja, kalau ingin tidur, di sini saja," ucapnya sambil menepuk dada dan tertawa. Embuk, Ardi, dan Kacong berangkat terlebih dahulu. Mereka membawa mobil bak dengan muatan di belakangnya, entah apa saja. Tadi mereka menyiapkan bersama Kak Jazil. Aku berangkat bersama Kak Jazil, sedangkan Darren tidak jadi ikut. Katanya ada teman senegaranya yang berkunjung "Kak, kita ke pasar ikan, ka
“Kita hanya memiliki dua tangan, cukup untuk menutup telinga kita. Tidak perlu membungkam mulut orang lain. Biarkan saja, toh akan mengerti dengan sendirinya.” Itu yang dikatakan Kak Jazil, tadi.Oke, lah, mereka akan mengerti sendiri, tapi kapan? Keburu kepala kita terbakar karena kesal.*Curhat dengan Kak Jazil membuatku bertambah kesal. Seakan tidak menyambut kekesalanku, dia justru memberikan wejangan yang merujuk untuk menyuruhku memaklumi dan lebih bersabar. Memang kalau dipikir ada benarnya, tapi hati ini masih terasa panas.Selebihnya, dia hanya mengangguk dan bersuara, "Hmm ...," atau "He-eh." Seperti tidak ada kata lain atau kalimat dukungan untukku.Ditambah lagi, lima baju yang teronggok di sofa mengingatkan kejadian itu. Ingin aku buang, tetapi sayang. Model dan warnanya aku suka sekali.Dari pada semakin kesal, aku menonton serial drama Korea. Menikmati alur cerita dan penampilan yang membuat mata ini enggan berkedip, bisa mengurai rasa kesal ini. Tentu saja, dengan mem
"Tak usah pusing dengan perkataan orang, Dek. Yang penting kita baik dengan sesama, nyaman hidupnya dan bahagia selalu. Aku tidak pusing dengan mereka, tidak berpengaruh dengan pendapatan," ucap Kak Jazil ketika aku mengadu."Tapi, Kak?"Aku menceritakan kejadian di toko baju itu. Bagaimana kesalnya hati ini saat merasa tidak dianggap. Kak Jazil hanya menanggapi dengan senyuman sambil mengusap-usap lenganku.“Kak Jazil bicara seperti itu karena tidak ada di sana. Tidak tahu bagaimana kesalnya saat melihat sorot mata mereka yang terlihat menyepelekan. Bahkan terkesan tidak percaya saat dijelaskan. Harusnya Kak Jazil memberlaku, dong. Istrinya diperlakukan seperti itu. Memang mereka pikir aku tidak mampu membeli dagangannya, apa?!,” dengusku kesal.Alih-alih terprovokasi dengan aduanku, suamiku ini justru tertawa terkekeh.“Dek, kalau pengalaman seperti itu, Kakak sudah kenyang. Kamu saja yang bening digitukan, apalagi Kakak yang modelnya santai seperti ini.”“Memang Kak Jazil pernah d
Kejadian tamu dari ibu kota minggu kemarin membuatku berputar otak. Mencari tahu apa yang kurang pada penampilan Kak Jazil. Setahuku ok-ok saja. Mungkin karena penampilkan kami sebagai orang pribumi dan masih berusia muda, sehingga tidak dipercaya mempunyai usaha mandiri seperti ini. Tetap, aku siapkan setiap pagi baju kemeja dan celana kain. Celana cargo, celana tiga perempat, celana jeans, dan kaos tanpa krah aku singkirkan. Sandal jepitpun aku haramkan. Dia harus berpenampilan fashionable, biar terlihat kalau seorang bos. Itu harapanku, walaupun tetap berakhir dengan kaos lengan pendek, pakai sarung, dan peci di kepala dengan rambut terurai. Pastinya dilengkapi sandal jepit kesayangan. "Tak nyaman pakai seperti itu, Dek. Seperti sales saja. Kenapa tidak pakai dasi saja sekalian?" tolak suamiku itu. Huuft! *** Kehamilanku yang semakin besar menuntutku untuk jalan kaki. Ini yang disarankan dokter. Bersama Embuk, aku mengelilingi jalan dekat rumah. Berjajar galeri dan artshop
Dia menyilangkan kaki, menunjukkan kakinya yang putih mulus walaupun mulai berkerut. Di usia yang sudah tidak muda, wanita ini masih cantik dan kelihatan terawat. Alis mata, hidung, bibir, pokoknya semua yang ada tubuhnya seperti tertulis berapa harga yang dia keluarkan. Untuk seumur dia, menggunakan celana super pendek dan atasan tank top, dan riasan mencolok dengan lipstik merah menyala, menunjukkan dia berasal dari komunitas bagaimana.Cantik, sih. Tamu julid, itu kesimpulanku. Permintaannya yang seperti menjebak. Pada umumnya, tamu ditawari minum jawabannya mineral water, teh, atau kopi biasa. Ini minta cappuccino, dan ucapan yang terakhir seperti menyepelekan. “Ya, kalau ada.”Huuft!"Mas dan Mbak, juga cappuccino?" tanyaku ke pasangan itu.Pasangan, yang kata Ardi sempat viral. Mereka menghentikan kesibukan sejenak dan menjawab bersamaan, "Iya. Disamakan dengan Mami Sherin saja."Mereka menunjukkan senyuman kaku, dan kembali berkutat dengan ponsel."Oh, punya mesin capucinno
Perutku semakin membuncit, dan sudah tidak bisa disembunyikan dari baju keseharianku. Kalau ibu hamil lainnya susah makan dan muntah-muntah, tetapi aku malah tidak berhenti makan. Apalagi, Ibu selalu mengirimi makanan kering dari Solo.Tidak hanya aku yang membuncit, Kak Jazil pun begitu. Keinginanku makan ini dan itu, memaksa dia untuk selalu menemani makan. Apalagi rasa malas yang mengusaiku, membuatnya ikut rebahan disampingku karena harus berbagi aroma kecut ketiaknya."Dek Ras, kalau begini caranya, Kakak jadi seperti orang hamil. Ini, perutnya juga saingan. Buncit." Dia menyingkap kaos, terlihat perut yang mulai berlemak, walaupun jejak six-pack masih berbayang."Main surfing dengan Darren, boleh, ya? Badan ini sudah mulai berat." Kak Jazil berdiri di depan cermin, memiringkan badan ke kanan dan ke kiri, sesekali mengelus perut. Kedua alisnya bertaut, seperti menyesali perut rata yang mulai terganti.Aku tertawa dan menghampirinya, mengikuti apa yang dilakukan, pamer perut."
"Bermaksud apa? Kalau laki-laki mencari istri orang?!" teriak Kak Jazil memotong ucapan Mas Januar. Aku langsung menarik lengannya, mencegah dia yang bersiap berdiri. Tangannya yang sudah melemas, sekarang terkepal kembali. "Kak Jaz, sabar. Kita dengar dulu apa yang akan dikatakan Mas Januar," ucapku, tanpa melepas pegangan tanganku."Baiklah! Silahkan. Saya akan dengar!" Kemudian, dia menyandarkan badannya ke sandaran sofa. Wajahnya masih mengeras pertanda rasa amarah yang belum mereda."Saya ke sini ingin mengucapkan selamat atas pernikahan kalian, dan memperbaiki hubungan kita. Juga, akan memberikan ini." Mas Januar mengeluarkan amplop dari saku jasnya, dan menyerahkan kepada kami. Sebuah undangan pernikahan."Saya akan menikah awal bulan depan. Kalau kalian sempat, bisa datang. Tetapi kalau tidak pun, saya minta doanya."Kak Jazil membaca undangan itu dengan mengangguk pelan dan menatap ke Mas Januar. "Maafkan saya yang sudah salah paham. Kamu ke sini membawa bunga, itu yang me
Setelah dari dokter kandungan, hariku pun semakin dikuasai Kak Jazil. Tidak boleh ini dan itu."Ini untuk anakku, Dek." Dia membopongku, kembali ke ranjang. Ini hanya gara-gara, aku naik kursi untuk mengambil cetakan kue di rak lemari paling atas. "Aku, tidak?" protesku. Menatap wajahnya yang semakin tampan dengan rambut pendek. Setelah puas, kemudian menyelusup di ketiaknya, mencari yang aku mulai candui. Bau kecut ketiaknya."Ya, termasuk mamanya juga, Dek," jawabnya kemudian mencium pucuk kepalaku.Saat periksa ke dokter, kami dipesan untuk hati-hati di tri semester awal. Jangan sampai jatuh, karena itu akan berakibat fatal. Ke kantor pun, tidak boleh sehari penuh. Aku hanya diperbolehkan menyuruh, mengawasi dan mengkoreksi. Apalagi, sekarang ada Darren dan pegawai baru, Ardi namanya. Dia saudara jauh Kacong, lulusan dari sekolah kejuruan, jurusan akutansi. Anaknya baik, bisa diajari, nurut dan lucu. Tingkahnya tidak seperti anak laki-laki pada umumnya, sekilas dia lebih bersifa