Welcome to Ibiza.Dan di sinilah mereka sekarang. Di Ibiza.Setelah menjalani penerbangan panjang lebih dari dua puluh empat jam, Dypta dan Audry mendarat dengan selamat.Ibiza selain terkenal sebagai destinasi wisata musim panas, juga merupakan surganya dunia malam. Bukan hal yang aneh lagi jika menemukan wisatawan topless saat berjemur di pantai.“Capek banget ya?” tanya Dypta yang sedang berbaring pada Audry di sebelahnya.Audry mengangguk lesu. Selain penerbangan yang panjang, kondisinya yang sedang berbadan dua juga memengaruhi keadaan fisiknya.“Mestinya kamu nggak usah ikut aku,” kata Dypta menyayangkan tindakannya dan Audry sambil mengelus perut perempuan itu.Setelah berdiskusi berdua, Dypta memutuskan untuk membawa Audry ikut bersamanya. Dypta memikirkan keadaan Audry jika tinggal sendiri. Namun kini ketika melihat Audry kelelahan, Dypta juga tidak tega.“Nggak apa-apa, Dyp, aku cuma capek sedikit. Paling nanti juga baikan,” ucap Audry agar Dypta tidak lagi mengkhawatirkanny
“Mommy kenapa belum pulang, Bi? Om Dypta bilang Mommy nggak lama, tapi kenapa masih belum pulang? Om Dypta juga nggak pernah ke sini lagi. Om Dypta ke mana, Bi?” tanya Tania sore itu. Sudah hampir seminggu dua orang tersayangnya menghilang tanpa ia tahu apa penyebabnya.Perempuan separuh baya itu hanya bisa memandang dengan kasihan pada anak perempuan yang baru saja selesai dimandikannya. Ia bingung harus menjawab apa karena ia memang tidak tahu apa-apa. Setiap malam majikannya meradang, terlebih ketika putrinya menangis karena ibunya pergi. Membuat rumah yang ia tempati semakin suram dan mencekam.“Mungkin Om Dypta lagi sibuk, Bibi juga nggak tahu. Nanti coba Tata tanya sama Papi ya.””Tata kangen Mommy, Bi. Mommy kapan pulang?” tanya Tania dengan mata berkaca-kaca. Membuat perempuan yang mengurusnya ikut sedih.Setelah Bi Dira memasangkan baju, menyisirkan rambut serta membedakinya, Tania berlari ke kamar Jeff. Tania membuka pintu dengan hati-hati. Begitu terbuka, ia melihat Jeff se
Jeff keluar dari kamar menemui Dana yang memberinya laporan."Saya sudah ke tempat kerjanya, Pak," ujar laki-laki itu."Mereka bilang apa?""Dypta sedang ada bisnis trip ke luar negeri, lebih tepatnya ke Ibiza.""Spain?""Benar, Pak.""Dengan siapa?""Sendiri, Pak. Dan rencananya besok baru pulang."Jeff terdiam setelah mendengar penjelasan Dana. Ia tidak yakin Dypta berangkat sendiri. Pasti membawa Audry bersamanya."Bapak tidak apa-apa?" tanya Dana melihat muka kusut majikannya. Ia tahu, Jeff pasti terguncang setelah mengetahui pengkhianatan istri dan ponakannya."Dana, rahasiakan ini semua dari siapa pun. Saya tidak mau ada yang tahu tentang masalah ini.""Baik, Pak. Saya bisa dipercaya," jawab Dana meyakinkan."Sekarang sini kuncinya," pinta Jeff meminta kunci mobil."Bapak mau ke mana? Biar saya yang antar Bapak.""Tidak usah, saya bisa sendiri."Dana terpaksa menyerahkan kunci mobil pada Jeff dan membiarkan majikannya itu berangkat entah ke mana."Papi! Papi mau ke mana? Tata ik
Ibiza saat ini mencapai suhu tertingginya di musim panas. Namun tak lantas mengurungkan niat para wisatawan untuk mengunjungi pulau eksotik berpenduduk padat itu. Tak terkecuali para selebriti dunia seperti Christiano Ronaldo hingga Madonna.Di salah satu kamar hotel kawasan itu, sepasang sejoli asyik masyuk memadu kasih.Mereka adalah Audry dan Dypta. Hari ini adalah hari terakhir mereka di sana sebelum penerbangan nanti siang.Seakan sudah menjadi kebutuhan, keduanya mengisi waktu dengan bercinta lagi dan lagi."Aku udah nggak sabar pengen ketemu Tania, Dyp. Perasaanku nggak enak. Apa menurutmu kita terlalu egois?" "Bisa iya, bisa enggak. Tergantung kita ngeliatnya dari segi mana," jawab Dypta sambil membelai lembut rambut Audry."Nanti kalau kita udah pulang ke Indonesia kita harus gimana, Dyp?" Membayangkannya saja Audry sudah cemas."Aku akan antar kamu ke rumah.""Kalau Jeff nanya gimana? Aku takut ...""Aku akan bilang selama ini kamu menghilang karena butuh waktu untuk me ti
“Kamu yakin kita bakal ngelakuin ini, Dyp?”Audry masih merasa ragu ketika Dypta ingin mengantarnya pulang. Mereka sudah tiba di Indonesia dan saat ini sedang berada di apartemen Dypta.”Saat ini hanya itu jalan satu-satunya. Kamu nggak mungkin terus bersembunyi dan berharap Om Jeff akan tetap diam. Itu mustahil, Ry.”Audry mengembuskan napas cemas. Kekhawatiran mengenai apa yang akan dilakukan Jeff setelah ia tiba di rumah begitu membayanginya. Jeff mungkin bisa membunuhnya.“Kamu nggak usah takut, Om Jeff nggak akan berani macam-macam. Aku sudah bicara baik-baik dengannya,” ujar Dypta sambil menangkup kedua pipi Audry.”Kamu nggak kenal dia, Dyp. Dia bisa ngelakuin apa aja,” desis Audry lirih.“Sekeras apa pun dia, tapi aku yakin dia nggak akan tega menyakiti kamu sampai sebegitu ekstrem. Karena apa? Karena kamu sedang hamil. Dan yang ada di pikirannya adalah bahwa anak yang kamu kandung adalah anaknya. Dia pengen banget punya anak laki-laki. Karena hal itu dia masih bisa berpikir d
Hujan turun semakin deras di luar sana. Angin bertiup kencang. Disusul oleh petir yang terdengar saling bersahutan tanpa henti.Audry mencoba memejamkan mata, tapi sungguh sulit. Meskipun ia tidur dalam dekapan hangat suaminya, namun pikirannya melanglang buana ke luar sana. Memikirkan Dypta.Sudah sejak tadi Audry menghubunginya, tapi ponsel Dypta tidak aktif. Pesannya tidak terkirim. Mungkin Dypta langsung tidur karena terlalu lelah. Audry mencoba untuk tetap memelihara pikiran positif.Sambil mencoba untuk tenang, Audry memutar badan. Jeff tidur di tengah-tengah setelah Tania terlelap. Jeff memindahkan putri mereka tepat ke sebelah dinding.Setengah jam kemudian karena masih belum berhasil memejamkan matanya, Audry bergerak turun dari tempat tidur setelah sebelumnya menepis pelan tangan Jeff yang melingkari tubuhnya dengan begitu berhati-hati. Audry tidak ingin membuat Jeff terbangun.Membuka lemari, ia menemukan pakaiannya tersusun dengan rapi. Tidak ada tanda-tanda seseorang meme
Audry melangkah cepat memasuki Paradise Club atau Paradiso. Seharusnya ia tidak mencari Dypta di tempat itu sekarang. Karena sudah jelas Dypta tidak akan berada di sana karena pekerjaannya berlangsung malam hari. Tapi Audry tidak memiliki ide akan mendatangi tempat mana lagi."Maaf, ada yang bisa dibantu?" Seseorang menyapanya ketika Audry merasa kebingungan harus bertanya pada siapa."Saya mencari Dypta. Dia ada?""Dypta?""Iya, Pradypta Syailendra. Head of sommelier di sini," jawab Audry dengan lebih jelas."Dia sudah resign, Mbak.""Resign?" ulang Audry dengan dahi berkerut. "Kapan?" sambungnya lagi."Kemarin.""Kemarin?" Kerutan di dahi Audry muncul semakin dalam."Kemarin malam lebih tepatnya."Audry mematung di tempatnya berdiri. Berbagai pertanyaan berputar-putar di kepalanya. Semua ini terasa sangat membingungkan. Kemarin malam mereka masih bersama. Hingga Dypta mengantarnya pulang ke rumah. "Kalau boleh tahu Dypta pindah kerja ke mana ya, Mas?""Maaf, Mbak, saya kurang tahu
Sore harinya Inggrid mendatangi Audry yang seharian ini galau memikirkan Dypta.“Gue bela-belain ke sini demi lo, Ry.” Itu kalimat pertama yang meluncur dari bibir Inggrid.“Thanks ya, gue nggak tahu harus cerita sama siapa lagi soalnya. Cuma lo yang gue percaya, Rid.”Inggid mengusap tangan Audry dan tersenyum hangat. “Itu gunanya sahabat kan? Sekarang ceritain ke gue mimpi lo itu.”Rona tegang tercetak jelas di wajah Audry. Mengingat mimpinya tadi seakan membawanya kembali masuk ke sana.“Tadi gue ketiduran, terus mimpiin Dypta. Gue jalan sendiri nggak tahu di mana, terus tiba-tiba aja gue udah nyampe di bangunan tua. Gue masuk ke sana dan nyium bau darah di mana-mana. Terus--” Audry tercekat. Suaranya seakan ditarik ke dalam.”Terus apa?” tanya Inggrid antusias, ingin tahu kelanjutannya.”Gue ngeliat Dypta gantung diri, ada pisau di perutnya. Gue takut, Rid …”Inggrid sontak tertawa ketika Audry menyelesaikan ceritanya. “Lo tuh ada-ada aja. Makanya, Ry, jangan kebanyakan nonton fil
Rogen melangkah pelan setelah Davina menggandengnya. Anak-anak terkadang menempatkan orang dewasa dalam posisi yang tidak mudah.Athaya langsung bangun dari berbaring dan menyandarkan punggung ke headboard begitu Rogen ikut duduk di ranjang.“Istirahat aja, Ay, kamu pasti capek.” Rogen menyuruh Athaya kembali berbaring.Athaya tersenyum samar. Ia merasa canggung untuk berbaring di ranjang itu sedangkan ada Rogen di dekatnya.“Bunda kenapa bangun? Kita tidur sama-sama yuk! Papa juga.” Davina memandang Athaya dan Rogen bergantian.Rogen terpaksa menganggukkan kepala dan memberi Athaya isyarat dengan matanya agar menuruti kemauan Davina. Jadilah mereka berbaring bertiga. Rogen dan Athaya berada di sisi kanan dan kiri memagari Davina di tengah-tengah mereka.Davina tersenyum bahagia dan memandang kedua orang tuanya yang membelai kepalanya bergantian. Ini adalah pertama kalinya Davina tidur bertiga dengan Rogen dan Athaya.“Kenapa Papa dan Bunda tinggalnya pisah-pisah? Kenapa Bunda nggak ti
Rogen dan Belva duduk dengan tegang di kursi pasien di ruangan Gatra. Mereka sedang menanti hasil pemeriksaan kesehatan. Ini adalah pemeriksaan kesekian yang mereka lakukan.“Kalian berdua sehat, nggak ada masalah apa-apa.” Entah untuk keberapa kali Gatra mengatakan hal yang sama.“Kalau memang begitu kenapa Belva masih belum hamil, Bang?” tukas Rogen.Gatra mengerti bagaimana perasaan adik ipar dan istrinya. Dan sebagai orang yang dekat dengan mereka ia juga tidak pernah henti menyemangati.“Abang ngerti perasaan kalian, tapi ini hanya masalah waktu, Dek. Percaya sama Abang, kalau sudah waktunya Tuhan pasti kasih.”Belva yang sejak tadi diam terpaku di sebelah Gatra hanya tersenyum getir. Sudah hampir empat tahun menikah namun Tuhan belum mempercayakan seorang anak pun dititipkan ke dalam rahimnya. Sementara orang-orang di sekelilingnya saat ini sedang mengandung. Mulai dari Tania hingga Athaya. Saat ini Tania sedang mengandung anak keempat,
“Davina! Sini, Sayang, ada papa tuh!”“Yeay … Papa datang!!!” Bidadari cilik itu berlari kecil ke depan rumah saat mendengar suara Audry yang berseru memberitahunya.Rogen baru saja turun dari mobil. Segala rasa lelahnya sirna seketika ketika melihat wajah Davina, putri kecilnya. Rogen langsung mengangkat Davina dan menggendong anak itu.Tanpa terasa, tiga setengah tahun sudah berlalu. Davina kini tumbuh menjadi anak yang manis, tidak banyak tingkah dan menggemaskan.“Udah makan, Sayang?” “Udah, Pa.”“Beneran? bohong ah!” Rogen tidak percaya. Davina memang paling susah jika disuruh makan nasi.“Cium aja kalau Papa nggak percaya, pasti ada bau ayam goreng. ” Davina menyodorkan pipinya.Rogen tertawa lalu mengecup gemas pipi chubby sang putri. “Oh iya, bau ayam goreng. Iya deh, Papa percaya.”Davina tertawa sambil membelai dagu belah Rogen. Davina sangat suka melakukannya. Biasanya sebelum tidur ia akan mengelus-elus belahan di dagu Rogen hingga akhirnya ketiduran.“Tadi Davina ngapain
Athaya mengerutkan dahi. Suara itu terdengar sangat jelas dan dekat. Suara yang sudah familier dengannya tapi sudah lama tidak didengarnya.Nggak mungkin, pikir Athaya. Pasti ini hanya halusinasinya saja. Mana mungkin Rogen ada di sini. Saat ini Rogen pasti sedang bahagia-bahagianya dengan Belva menikmati masa-masa indah pengantin baru.Athaya memejamkan mata dan mencoba untuk fokus pada dirinya sendiri sambil menahan kontraksi yang hilang timbul. Ia menepis semua pikiran dan bayangan-bayangan lain yang melintas di kepalanya.“Sombong lo ya, jauh-jauh gue datang ke sini tapi dicuekin.”Suara itu membuat Athaya terkesiap. Ini nyata dan bukan halusinasinya. Tapi masa Rogen ada di sini?Sambil menahan rasa penasaran Athaya memutar tubuhnya dengan perlahan. Tepat di saat itu ia mendapati seseorang sudah berada di belakangnya, duduk di sisi ranjang.“Adek …” Athaya menggumam tidak percaya. Rogen benar-benar ada di sana. Di dekatnya, di tempat yang sama dengannya. Dan ini bukan mimpi.Roge
Enam bulan kemudian …Setelah kejadian malam itu, hidup Athaya berubah. Pelan-pelan ia mulai menepis Rogen dari hatinya dan membiarkan Kenzi yang mengisi. Athaya menyadari, tidak akan adil untuk Kenzi jika ia masih saja dibayang-bayangi Rogen. Mungkin Athaya harus berterima kasih pada Nora yang telah memilihkan Kenzi untuknya. Kenzi memang tidak sempurna, tapi dia adalah suami yang ideal untuk Athaya. Kenzi membuktikan kata-katanya. Dia menerima keadaan Athaya apa adanya. Dia juga tidak pernah mengungkit-ungkit kejadian itu. Malah Kenzi sangat perhatian pada kehamilan Athaya.“Ay, Rogen jadi menikah hari ini?” tanya Kenzi pagi itu sebelum berangkat ke kantor.“Jadi, Mas,” jawab Athaya.Tempo hari Belva mengabarinya dan bertanya apa Athaya bisa datang. Tapi Athaya menolak dengan alasan kandungannya sudah semakin besar dan hanya menunggu due date. Athaya sama sekali tidak mengungkit kejadian malam itu. Ia tidak ingin menyalahkan Belva. Yan
“Saya minta penjelasan dari kamu sekarang. Saya harus tahu semuanya. Karena apa? Karena saya adalah suami kamu. Saya pendamping hidup kamu. Dan terutama saya adalah orang yang bertanggung jawab atas hidup kamu setelah kita resmi menikah, bukan orang tua kamu. Jadi saya minta kamu untuk bicara sejujur mungkin."Suara dingin bernada tegas itu betul-betul membuat Athaya tidak berdaya. Satu-satunya yang harus ia lakukan adalah mengatakan segalanya pada Kenzi.“Pertama, saya mau minta maaf udah bikin Mas kecewa,” ucap Athaya pelan. “Saya memang salah karena nggak bilang semua ini dari awal. Saya nggak akan membela diri. Dan …” Athaya menggantung kalimatnya sembari mengamati ekspresi Kenzi.Lelaki itu masih seperti tadi. Menyorot Athaya dengan tatapannya yang datar dan penuh rasa kecewa.“Dan saat ini saya juga sedang hamil.” Athaya melanjutkan perkataannya dengan suara yang jauh lebih lirih.“HAMIL?” Kali ini Kenzi tidak mampu menyembunyikan r
Athaya memandang keluar jendela pesawat. Mereka baru saja memasuki kota Jayapura dan akan mendarat sebentar lagi. Seperti yang dikatakan Athaya pada Rogen, setelah ia menikah akan langsung berangkat ke Papua.Orang-orang terdekatnya melepas Athaya dengan berat hati, terutama Nora. Sedangkan Jeff hanya berbicara pada Kenzi agar menjaga Athaya baik-baik. Jeff tidak mengatakan apa-apa pada Athaya. Athaya bersyukur Rogen tidak ikut melepas keberangkatannya di bandara karena lelaki itu mengatakan padanya harus kerja pada hari tersebut. Kalau ada Rogen Athaya tidak menjamin jika ia akan kuat dan sanggup untuk pergi.“Aya, kita sebentar lagi landing.” Suara Kenzi membuyarkan lamunan Athaya.Athaya mengangguk pelan. Sepanjang penerbangan Kenzi sibuk sendiri membaca buku, sedangkan Athaya larut dalam lamunannya.Semilir angin menyapa halus begitu Athaya turun dari pesawat. Ia dan Kenzi langsung disambut oleh seorang laki-laki yang merupakan perwa
Hanya satu minggu setelah perkenalan Athaya dan Kenzi, pernikahan keduanya pun diselenggarakan. Rencana kepindahan Kenzi ke Papua ternyata cukup menguntungkan. Karena dengan begitu mereka jadi punya alasan untuk melaksanakan pernikahan tersebut sesegera mungkin.Pernikahan itu diadakan sebagaimana mestinya. Dalam artian tidak terlalu mewah dan besar-besaran. Jeff bilang bahwa itu hanya akan menghabiskan biaya.Bagi Athaya tidak masalah. Jika perlu tidak perlu ada pesta atau perayaan apa-apa. Cukup akad nikah saja. Yang penting sah secara agama dan diakui oleh negara. Bukankah itu yang lebih penting?Nora masuk ke kamar Athaya memberitahunya. “Aya, ada Belva tuh.”Athaya terkesiap. Sudah sejak tadi ia melamun sendiri setelah perias pengantin mendandaninya.“Belva sama siapa, Mi?” “Sama Rogen.”Deg …!!! Detak jantung Athaya mengencang dalam hitungan detik mendengar nama itu disebut. Lelaki yang dicintainya ternyata datang pada hari pernikahannya. Dan itu tidak mudah untuk Athaya.“Sur
“Adek, ini Mas Kenzi, calon suamiku.” Athaya menegur Rogen yang termangu sementara di hadapannya Kenzi mengulurkan tangan untuk bersalaman. Rogen terkesiap dan balas menjabat tangan pria di depannya. ‘Nggak banget selera lo, Ay.’ Ia membatin. Rogen mengurungkan niatnya untuk menghajar Kenzi. Lagi pula, sejak kapan ia peduli pada Athaya?Terlepas dari perbuatan Kenzi yang telah menodai Athaya, Rogen berkaca pada dirinya sendiri. Ia juga melakukan hal yang sama dengan Belva. Hanya saja Belva tidak sampai hamil.“Mas Kenzi, Adek ini saudaraku, dan ini Belva sahabatku sekaligus calon istrinya Rogen,” kata Athaya menjelaskan.“Adek?” ulang Kenzi tidak mengerti.“Rogen maksudnya. Kalau di keluarga kami dipanggilnya Adek soalnya dulu dia anak bungsu.” Athaya menjelaskan dengan detail.Kenzi manggut-manggut sambil tersenyum.“Mas Kenzi bentar ya, saya pinjam Athaya dulu,” kata Belva menyela.Kenzi mengangguk pelan.Belva kemudian menarik tangan Athaya menjauh. “Ay, lo serius mau nikah sama