“Mbak Puspa, ada telepon untuk Mbak Puspa!” seru Diah dari meja kasir. Puspa yang baru saja kembali dari mengantar pesanan, tak sabar berjalan untuk segera menerima telepon. “Dari siapa?” tanyanya. “Katanya Bu Angel.” Puspa mengerutkan kening. Nama itu asing baginya, bahkan terlalu keren. Ia tidak merasa punya teman ataupun anggota keluarga yang bernama Angel. “Halo, assalamualaykum, siapa ini/” “Wa’alaykumussalam, Mbak Puspa ya. Saya Bu Angel, teman Bu Suci yang punya punya percetakan. Sekarang saya tengah di rumah sakit membawa Bu Suci yang pingsan di teras rumah setelah menerima tamu lelaki.” “Apa? Mama di rumah sakit? B-baik, Bu, sekarang ibu membawa mama ke rumah sakit apa?” “Rumah sakit yang paling dekat dengan rumah kamu. Cepat ke sini ya.” “Baik, Bu, saya akan segera ke sana. Terima kasih banyak ya, Bu.” Puspa menutup teleponnya dengan tergesa. Lalu i
Dini masih terbaring lemah di ruang klinik kampus. Ia pingsan saat mengikuti perkuliahan, padahal tadinya ia baik-baik saja dan perutnya juga tidak dalam keadaan kosong. Namun, saat tengah fokus menulis, pandangannya kabur dan ia pun jath pingsan. “Dini, kamu sudah sadar,” sapa dokter kampus yang masih muda itu. Dini tersenyum samar sambil mengangguk. “Masih pusing gak?” tanyanya. “Sedikit.” Dini merasakan mual di perutnya. “Saya maag ya, Dok?” tanya Dini sambil berusaha duduk. Ia pun bersandar di kepala ranjang sambil memejamkan mata. Rasa pusing dan mual itu kembali menyerang. “Maaf, Mbak Dini, terakhir datang bulan kapan?” “Oh, saya tepar karena mau datang bulan ya? Pantas saja. datang bulan saya sedang tidak teratur, Dok. Dua bulan saya tidak haid dan badan saya pada sakit semua. Syukurlah kalau akhirnya saya datang bulan.” Dini menghela napas lega. “Coba tolong tes air
Dini mendengarkan cerita Puspa perihal apa yang dikatakan Miko tentangnya. Wajah gadis itu sontak membeku dengan bulir keringat membasahi keningnya. Tentu saja ekspresi Dini diperhatikan oleh Puspa. Wanita dewasa itu bisa menebak apa yang telah terjadi antara Miko dan adiknya. Namun, saat ini bukan waktu yang tepat untuk mengintervensi Dini akan kesalahannya. Bisa-bisa gadis itu kabur karena tidak mau mengaku. "Mama tentu saja kaget dengan apa yang dikatakan Miko, sehingga mama jatuh pingsan. Teteh harap, kamu menjauh dari pria dewasa seperti Miko yang mendekatimu hanya karena ada maunya. Apalagi kamu mau menikah dengan Ramon. Teteh lelah hari ini, mau langsung tidur. Besok Teteh tidak kerja, biar Teteh yang jagain mama di rumah sakit. Mama ada di kelas VIP.""Loh, kenapa di VIP, Teh?" tanya Dini yang mencoba mengusir rasa gugupnya. "Dibayarin calon suami Teteh." Ada perasaan bangga di hati seorang Puspa karena Galih mampu memberikan perawatan yang terbaik baik mamanya. Setelah seki
Dini yang malang. Miko membuat gadis itu seperti budak ranjang, apalagi pria dewasa itu mengetahui Dini sudah tidak perawan lagi. Maka semakin semena-mena dirinya. Saat pingsan pun, Miko terus membabi buta menikmati tubuh Dini. Saat gadis itu sadar, maka ia akan berikan minum dan makan roti saja, lalu ia gagahi kembali. Miko bisa dibilang memperkosan Dini berkali-kali hingga suara gadis itu habis. Pukul sebelas malam, disaat Miko sudah tertidur bagaikan mayat. Dini berusaha bangun dan memakai pakaiannya. Dengan menyeret tubuhnya, ia keluar dari rumah Miko. Memesan ojek online. Ia tidak sanggup berdiri karena semua tubuhnya sakit. Terutama bagian intimnya yang mungkin terluka. "Pak, tolong saya. Bawa saya ke kantor polisi, saya diperkosa lelaki di rumah itu," rengek Dini di depan pagar. "Oh, iya, Mbak, saya bantu. " Untunglah Dini bertemu dengan ojek online baik. Bapak-bapak yang memapahnya untuk naik ke atas motor. "Aduh, sakit, Pa, hua!" Dini menjerit kesakitan saat pengemudi oje
Puspa tidak bisa berkata-kata setelah mendengarkan semua laporan dari perawat dan juga dokter yang memeriksa dan melakukan tindakan kuret pada adiknya. Adiknya diperkosa hingga keguguran; tentulah hal itu membuat Pusa merasa terpukul. Napasnya tersendat-sendat. Ia tidak sanggup menanggung semua berita ini sendiri. Puspa meminta Galih datang menemaninya. Ia akan mengajak Galih berbicara dane berdiskusi apa yang harus ia lakukan untuk Dini. "Puspa, suara kamu kenapa gemetar? Apa Mama drop?""B-bukan, Mama, Pak, tapi Dini, tolong saya... " Puspa tidak sanggup melanjutkan ucapannya. Ia tersedu menahan tangis di ruang tunggu depan klinik. "Oke, sekarang sharelock ya, aku segera ke sana. Tunggu, semua akan baik-baik saja." "Cepat ya." Puspa pun menutup ponselnya. Ia masih menangis, belum tega dan belum sanggup melihat keadaan Dini yang pasti sangat menyedihkan. Apa yah harus ia katakan pada mamanya? Jantung mamanya pasti kembali kambuh, padahal mamanya baru mau keluar rumah sakit hari in
“Hari ini mama keluar dari rumah sakit, Teteh gak bisa lama nemenin kamu di sini ya, tapi nanti Teteh balik lagi. Paling tidak, urusan mama biar Teteh bereskan dulu. Kamu gak papa’kan?” Puspa baru saja selesai menyuapi Dini bubur nasi yang dibelikan oleh Galih. Pria itu juga membawakan pizza, makanan kesukaan Dini untuk camilan gadis itu. “Iya, Teh,” jawab Dini serak. Wajahnya sudah sedikit lebih berseri, berbeda saat pertama kali Puspa melihat adiknya terbaring lemas di ranjang rumah sakit. “Sabar ya, Dini, semoga setelah pria itu ditangkap, ia dapat hukuman yang pantas,” sambung Galih menambahkan. Dini tidak menjawab, hanya saja kepalanya mengangguk. “Teh, tapi mama jangan tahu ya. Saya sedang ada tugas kampus beberapa hari di Subang, begitu saja bilang mama,” ujar Dini mengingatkan Puspa lagi. Wanita itu mengangguk paham. Ia memeluk Dini sebelum keluar dari kamar perawatan itu. Galih mengantar Puspa ke rumah sakit untu
Galih sedang menikmati makan malam bersama keluarganya. Sudah mulai banyak saudara berdatnagan karena tiga hari lagi, Rain dan Sonya akan menikah. Rumah ramai dengan ponakan, om, tante, baik dari pihak mama ataupun papanya. Galih yang memang jarang sekali bertemu dengan anggota keluarga yang lain, tentu saja diminta dengan sangat oleh sang Mama untuk berada di rumah sebelum makan malam. Semua berkumpul dengan penuh suka cita menyambut pesta pernikahan Rian. Seharusnya Galih yang lebih dulu, tetapi karena Rian yang pertama kali dijodohkan dan cocok, maka Rian-lah yang lebih dahulu menikah.Rian pun sudah sejak kemarin tidak boleh keluar rumah oleh mamanya. Rian dipingit tidak bekerja dan pergi ke mana pun. Berolah raga juga hanya boleh di halaman rumah atau olah raga memnggunakan alat fitness yang sudah tersedia di rumah. Galih masuk ke kamar adiknya setelah semua anggota keluarga beristirahat. Rian nampak asik dengan ponselnya, seperti tengah berbalas pesan. Sesekali pria itu menyungg
Dengan berakting sesak napas. Rian berhasil keluar dari rumahnya untuk dibawa ke rumah sakit yang terdekat. Tidak ada yang tahu bahwa itu hanya akal-akalan Rian saja agar ia bisa menyelinap keluar untuk menemui Dini. Ya, sebelum ia berumah tangga, ia harus menyelesaikan urusannya dengan Dini terlebih dahulu. Apalagi mendengar Dini hamil dan diperkosa, pastilah ia juga khawatir. Khawatir bukan berarti ia mau membatalkan pernikahannya lalu bersama Dini, tetapi ia hanya ingin minta maaf saja. "Kamu beneran gak papa sendirian di rumah sakit? Napas kamu masih sesak gitu?" Bu Gina begitu khawatir melihat napas putranya yang sesak. "Gak papa, Ma, besok palingan juga udah bisa pulang. Saya cuma stres saja mau menikah, jadinya sesek. Udah lama banget gak sesek napas, terakhir pas SMA kan?" Bu Gina mengangguk mengiyakan. Rian memang memiliki penyakit asma sejak kecil, tetapi sudah belasan tahun tidak pernah kambuh. Bu Gina pun membenarkan dalam hati, bahwa anaknya sakit karena memikirkan pe
Bu Suci belum benar-benar tidur saat anak menantunya pulang. Ia sengaja sedikit berbohong agar Ramon dan Dini mau segera pulang ke rumah. Bagaimanapun ini adalah malam pengantin putrinya, tidak lucu kalau malam pengantin dihabiskan dengan menemani nenek-nenek yang sedang sakit. Bu Suci mengambil ponsel, lalu ia mengirimkan pesan pada Puspa.Assalamualaykum, Puspa, Pak RT dan kepala keamanan komplek sudah kamu beritahu perihal pernikahan Dini belum?SendPesan itu tidak langsung dibalas oleh Puspa. Mungkin anaknya itu sudah tidur. Pikir Bu Suci. PuspaWa'alaykumussalam. Iya, Ma, Puspa sudah informasikan pada Pak RT dan kepala keamanan. Kertas bukti pernikahan siri Dini dan juga foto Dini tadi sudah saya kirimkan sekalian. Mama jangan khawatir. Istirahat ya, tidurnya jangan kemaleman.Oke, terima kasih sayang. Kamu juga istirahat. Jangan lupa besok kalau kemari bawakan Mama bubur candil ya.SendBu Suci tersenyum lega setelah membaca pesan Puspa. Akhirnya ia bisa tidur nyenyak malam
Saya terima nikah dan kawinnya Andini binti fulan, dengan mas kawin seperangkat alat salat serta perhiasan emas lima belas gram, dibayar tunai. SahSemua orang yang ada di dalam ruangan kamar perawatan Bu Suci mengucap syukur atas sudah terlaksananya pernikahan siri yang dilakukan oleh Ramon dan juga Dini. Ada saudara dari pihak ibunya sebagai saksi, sedangkan dari pihak Ramon ada salah satu teman pria lelaki itu yang kebetulan sedang ikut pameran di Bandung. Lalu untuk Dini, dinikahkan oleh wali hakim karena memang tidak ada yang tahu ke mana dan di mana keluarga Dini yang asli. Dini yang siang ini diminta memakai baju panjang dan selendang panjang untuk menutupi kepalanya, terlihat semakin ayu dan mempesona. Make up tipis yang dibantu oleh Puspa berhasil membuat Ramon tidak bisa berkedip menatap istri kecilnya. Setelah ijab kabul, semuanya mengalami Dini dan juga Ramon, tidak lupa Dini mencium punggung tangan mamanya sebagai bentuk sungkem hormat pada wanita yang dengan sepenuh
Setahun setelah kepergian suaminya, Bu Suci hanya berdua saja dengan Puspa. Putri semata wayang yang baru duduk di bangku kelas satu sekolah dasar. Kepergian suaminya yang sakit tiba-tiba tentu saja meninggalkan luka teramat dalam untuknya. Keluarga mereka sedang menikmati indahnya berumah tangga dengan satu anak yang cerdas. Namun, tidak ada yang dapat menebak umur, rejeki, dan jodoh manusia. Sang Suami dipanggil untuk selamanya menghadap Khalik. Bu Suci mencoba tegar sebagai istri dan juga ibu, walau tidak ada satu pun yang tahu bahwa hatinya benar-benar patah. Separuh jiwanya pergi. Ia yang sehari-hari menjadi ibu rumah tangga, harus berusaha lebih giat lagi untuk memenuhi kebutuhan hidup. Memang ada pensiun yang ia dapat dari kantor suaminya, karena suaminya adalah Pegawai Negeri Sipil di kantor pengadilan negeri, tetapi tetap saja berbeda saat ia masih memiliki suaminya tercinta. Sampai suatu hari, suara tangisan bayi berada begitu dekat di telinganya saat ia tengah salat tahaj
Seminggu sudah berlalu dan kondisi Bu Suci masih sama. Tidak ada pergerakan apapun atau perkembangan lainnya. Puspa dan Dini masih bergantian jaga, menunggui mamanya tanpa keluh kesah karena rasa sayang keduanya. Dokter sempat mengatakan bahwa jika mama mereka sadar, maka itu adalah sebuah mukjizat. Sama saja bukan dengan mengatakan bahwa mereka harus ikhlas jika hal buruk terjadi pada mamanya. Dini dan Puspa sempat syok saat dokter mengatakan hal itu, tetapi keduanya kembali saling menguatkan. Tentu saja dengan support pasangan masing-masing. Puspsa didukung oleh suaminya, sedangkan Dini didukung dan dikuatkan oleh Ramon. Dua lelaki yang selalu mendukung dan menyemangati dua beradik itu karena rasa sayang mereka. "Jam berapa sidang hari ini?" tanya Ramon pada Dini saat pria itu meneleponnya setelah salat subuh. "Jam delapan, Bang, doakan lancar ya. Dini sedikit takut, tapi kata Mas Galih dan pengacara, Dini gak boleh takut karena Dini gak salah. Dini akan ceritakan kejadian yang s
"Mana, Ramon?" tanya Puspa saat Dini muncul bersama Robi, keluar dari lift. "Bunda!" Robi memeluk bundanya yang sudah sangat ia rindukan. Puspa pun berjongkok untuk memeluk Robi yang baru tidak ia lihat satu minggu, sudah semakin montok badannya. Terutama di bagian perut dan pipi. "Aduh, anak Bunda, lucu banget sih. Ndut banget! Baru gak ketemu sebentar saja, rasanya kamu udah naik sekarung," kata Puspa yang diikuti tawa Robi dan juga Dini. "Belajaan apa itu?" tanya Puspa saat Dini berjalan ke arah sofa sambil meletakkan tiga bungkusan milik Robi. "Ini baju Robi tiga stel, mainan, sama makanan, Teh. Ini, Teteh mau? Makan saja. Saya dan Robi sudah makan tadi. Bang Ramon hanya antar sampai depan pintu lobi karena harus buru-buru pulang ke Jakarta. Bang Ramon salam untuk Teh Puspa dan Mas Galih." "Kalian pergi sama anaknya Ayu juga? Kamu gak papa, Dini? Jalan sama anak calon suami?" tanya Puspa sembari memperhatikan dengan jeli ekspresi yang ditunjukkan Dini. "Iya, Teh, sama Ana da
Ramon dan Dini sudah bersama dengan Ana, Mona, dan Robi di dalam sebuah mall. Acara dimulai dengan berbelanja aneka pakaian lucu untuk si Kembar, dilanjut dengan nonton film di bioskop, beli aksesoris, dan perlengkapan sekolah, lalu ditutup dengan makan sore. Ya, tidak terasa sudah pukul lima sore. Sejak pukul sepuluh pagi kelimanya bersenang-senang di mall. Dini dengan senang menemani Ramon berkeliling membawa putri kembarnya. Tidak ada protes ataupun rasa cemburu. Ia percaya sikap dan perasaan pria itu saat ini hanya ingin membahagiakan anak-anak yang tadinya hanya bisa ia temui lewat video call. Tidak mungkin ia cemburu pada bentuk kasih sayang ayah pada putrinya. Ia adalah anak yang lahir dan tumbuh tanpa kasih sayang seorang ayah, untuk itu ia tidak mau ada yang merasakan sama sepertinya, apalagi jelas-jelas ayah si Kembar ada dan berkecukupan. "Capek ya?" Ramon merangkul pundak Dini sambil mengusapnya pelan. "Nggak, seru tahu, jalan-jalan di mal. Sampai malam juga saya mau. S
"Kamu gak ke dokter memeriksakan kehamilan kamu?" tanya seorang wanita setengah baya pada putri semata wayangnya. "Males, Ma." Sonya menjawab tanpa semangat.. Ini adalah hari ketujuh ia menjauh dari Rian. Berharap pria ia menghubunginya, memberikan maaf untuknya. Wanita itu menyadari bahwa ia sudah jatuh cinta pada Rian yang awalnya ia setuju untuk dijodohkan dengan pria itu, hanya untuk menutupi kehamilannya saja. Bukan murni karena ia mau dijodohkan. Setelah melewati beberapa bulan bersama Rian dan menikah, dan hari itu juga gagal, barulah ia sadar bahwa dirinya benar mencintai Rian. "Masih memikirkan soal Rian?" tanya Bu Karina sambil menyentuh lembut rambut putrinya. Sonya mengangguk dengan air mata yang siap tumpah. "Sonya mencintai Rian, Ma. Benar-benar mencintai Rian. Sonya ingin semuanya balik lagi seperti awal. Sonya ingin Rian mau menerima Sonya lagi setelah anak ini lahir, tetapi Rian sepertinya begitu jijik dengan Sonya. Rian gak mau sedikit pun mendengarkan alasan da
Ia pria dewasa yang sudah makan asam garam kehidupan rumah tangga. Kenal dengan tidak banyak wanita dan menurutnya, Dini adalah wanita kedua paling polos setelah Ayu yang pernah ia temui. Jika dengan Ayu ia melakukan kesalahan yang sangat buruk, memanfaatkan kepolosan serta kebaikan keluarganya, maka dengan Dini, ia tidak akan berbuat hal yang seperti itu. Bibir Dini baginya terlalu manis sehingga ia tidak bisa segera melepas pagutannya. Namun, jika tidak dihentikan sekarang, maka akan ada setan membisikinya untuk hal yang lebih nekat lagi. Ciuman itu pun terlepas saat keduanya hampir kehabisan napas. Ramon mengusap bibir Dini yang merah merekah karena ulahnya. "Bibir kamu manis sekali, kayaknya saya bisa kena diabetes kalau sering-sering cium kamu," kata Ramon membuat rasa hangat di pipi Dini kembali terasa hingga ke telinganya. "Apaan sih?" Dini menunduk malu, tangannya mencoba melepas pelukan Ramon, tetapi tidak bisa. "Masih mau peluk, karena besok udah gak bisa dan saya harus
Acara makan berdua dengan Ramon berganti dengan acara makan bersama anak-anak dan mantan istrinya. Bagi Dini yang terbiasa dengan anak kecil, tentu tidak sulit untuk berinteraksi. Lihat berapa jahatnya ia waktu itu pada Puspa, tetapi pada Robi ia tetap sayang dan juga perhatian. Mungkin karena ia tipe perempuan penyuka anak kecil, sehingga tidak masalah baginya harus berkenalan dengan dua anak lagi dari Ramon. "Apa kalian pacaran?" tanya Ayu pada Ramon, tetapi matanya juga beralih pada Dini. "Tidak pacaran. Kami hanya dekat saja, tetapi akan segera menikah." Suara pria itu begitu tenang dan terkendali. Seolah-olah menegaskan bahwa ia dan gadis di dekatnya sudah sangat serius. "Kelihatan seperti ayah dan anak. Apa kamu yakin memilih Mas Ramon sebagai suami?" tanya Ayu lagi kali ini diiringi gelak tawa. Namun, menurut Dini, hal ini tidak lucu, justru tengan mencemoohnya. Lalu apa ia harus marah? Tentu tidak, masalah hidupnya suda lebih banyak dan ia tidak berminat untuk mencari masal