Sabtu yang dinantikan semua orang tiba. Terutama keluarga Rian. Semua bersuka cita karena anak saudara mereka akhirnya akan menikah juga. Pesta meriah pun sudah disiapkan dengan sebaik-baiknya karena yang menikah adalah sesama anak pengusaha. Puspa pun hadir di sana untuk menemani Galih, sekaligus pria itu mengenalkan dirinya pada keluarga besar calon suaminya. Sebenarnya Puspa sempat menolak, tetapi ia tidak tega dengan wajah memohon Galih. "Dini bagaimana?" tanya Galih berbisik. Mereka tengah duduk berdampingan; menunggu keluarga calon mempelai wanita yang sudah berada di jalan dan sebentar lagi akan sampai. "Sudah lebih baik dan mau makan. Hanya jalannya saja sulit." Puspa mendesah sedih. "Sudah saya bilang, kamu gak perlu khawatir, Pak Edison akan mengurus semuanya. Dini akan mendapat pendampingan dari pengacara saya." Galih tersenyum bijak. "Bapak terlalu baik. Semua keluarga saya jadi menyusahkan saja. Coba dari dulu saya ketemunya Pak Galih, bukan Rian." Puspa tertawa memb
"Sonya kenapa? Masih lemes ya?" Bu Gina bertanya pada putra bungsunya itu. Karena setelah melihat istrinya yang pingsan dan dibawa ke ruangan istirahat, Rian hanya kembali sendiri dan duduk di pelaminan megah itu sendirian. Lelaki itu tidak menjawab. Wajahnya mengeras, menahan marah. "Biar saya lihat putri saya dulu, Mbakyu," kata Bu Lena; mama dari Sonya. Bukan hanya Bu Lena, suaminya pun Pak Jaksa ikut turun dari pelaminan untuk melihat putri mereka. Tinggal Rian dan kedua orang tuanya di pelaminan. Tamu yang datang bertanya-tanya ke mana pengantin wanita. Namun, Rian hanya bisa menjawab bahwa Sonya sedang istirahat sebentar karena kelelahan. "Sonya mana? Itu kenapa tamu hanya salamam sama Rian saja?" tanya Galih pada Puspa. Pria itu baru saja dari luar mengantarkan relasi papanya dan sempat berbincang lima belas menit di parkiran. Galih tidak tahu kalau Sonya pingsan. "Sonya kecapean, Pak, jadinya pingsan.""Waduh, kamu nanti gak boleh pingsan, Puspa. Bisa repot saya." Wajah pri
Rian terus mengunci dirinya di kamar. Tidak ada satu pun orang yang berhasil membujuknya untuk membukakan pintu. Bu Gina, Galih, papanya, serta saudara yang lain tidak bisa membuat Rian membuka pintu kamar. Belum lagi suara benda dilempar begitu jelas terdengar sampai keluar kamar. "Sial! Penipu! Bajingan! Sia-sia semua ini. Sia-sia lelah mengurus pernikahan, semuanya hancur. Sonya, kamu keterlaluan! Sial! Sial!" Teriak Rian dari dalam kamar. Pria itu sangat frustasi dengan masalah yang menimpanya. Ponselnya berkelap-kelip sejak tadi, tetapi tidak ia gubris. Apalagi nama Sonya yang tertera di sana. Ia sudah tidak mau berurusan dengan Sonya, maupun keluarganya. Bugh! Bugh! Kembali suara benda di lempar ke tembok terdengar begitu keras, hingga Bu Gina berjengkit kaget. Bu Gina hanya bisa menghela napas sambil menatap kamar anaknya yang tertutup. Ia bisa membayangkan betapa kecewanya Rian atas pernikahan ini. Semuanya sia-sia karena memang tidak akan sah. Memang menurut sebagian ula
"Permisi, assalamu'alaikum, Dini!" Bu Suci menoleh ke arah asal suara. Ia yang tengah menyapu kamar Dini, mengintip dari jendela kamar anaknya. "Assalamu'alaikum, Dini!" Seru suara itu memanggil nama Dini. Bu Suci bergegas keluar kamar untuk membukakan pintu pagar. "Siapa ya?" tanya Bu Suci sembari menghampiri tamunya. "Maaf, Bu, mm... apa Dini ada di rumah, saya mau bicara sebentar." Desti tergagap. "Gak ada, Dini lagi ke Jakarta ke rumah calon suaminya. Ada apa ya?""Oh, begitu, Dini mau menikah ya, Bu?""Iya, makanya lagi ke Jakarta dulu urusin persiapan pernikahannya. Ada pesan?" tanya Bu Suci masih terus memperhatikan teman Dini. "Sampaikan saja kalau Desti kemari, Bu. Saya permisi." Kening Bu Suci mengerut. Ia masih memperhatikan tamu yang mencari Dini sampai gadis itu naik ke atas motornya kembali, lalu pergi dari hadapannya. Namanya seperti tidak asing, tapi pernah dengar di mana. Apa teman kampus Dini? Bu Suci masuk kembali ke dalam rumah. Robi masih belum diantar sau
“Puspa, kamu mau mahar apa? Mumpung masih sepuluh hari lagi. Kita masih ada waktu untuk mencari mahar untujk kamu. Mau emas, uang, mukena, mm … maksud saya seperangkat alat solat gitu atau mau apa?” tanya Galih pada Puspa saat mereka baru saja kembali dari toko souvenir. Wadah sabun cair dari bahan akrilik berbentuk botol dan diberi nama pasangan pengantin adalah pilohan mereka berdua, walau tetap saja melalui rekomendasi Bu Gina. “Pak, kalau mahar pakaian boleh tidak sih? Kalau boleh, saya mau mahar pakaian bagus, unik, dan limited editon. Pokoknya saya gak mau sampai ada orang, tetangga, Dini, ataupun saudara saya yang lain yang bajunya sama dengan saya.” Ucapan Puspa tentu saja membuat Galih tercengang. Mahar baju? Ia baru saja dengar dan sepertinya tidak ada. “Memangnya kenapa kalau bajunya sama dengan Dini atau saudara kamu yang lain?” tanya Galih masih tidak mengerti. Puspa menghela napas. Sebenarnya ia enggan bercerita tentang masa lalunya dengan
Desti berusaha mengirimkan kembali pesan pada Dini, setelah ia mendapatkan balsan pesan begjtu pedas dari temannya itu. Wajah gadis itu semakin berkeringat banyak; membayangkan papanya akan lama mendekam di penjara. Bagaimana dengannya yang harus kuliah? Makan sehari-hari, uang jajan, uang nongkrong dan biaya hidup lainnya yang harus ia tanggung sendiri. Pasti orang-orang bertanya, apakah kamu tidak punya keluarg lain yang bisa diminta tolong? Jawabannya dalah tidak, karena profesi yang dilakukan papanya, banyak saudara yang mengabaikan, bahkan meninggalkan mereka. Kontak pertemanannya diblokir oleh Dini, hal itu membuat Desti semakin ketakutan. Ia saja tidak bisa masuk ke dalam rumah karena proses penyelidikan masih berlanjut. Rumahnya masih diberi police line dan tidak bolah ada satu orang pun yang masuk kecuali petugas yang berwenang. Gadis itu ngekos karena tidak bisa tidur di dalam rumahnya entah sampai kapan. Ditambah lagi, di dalam rumah ada brangkas berisi tabu
"Halo, assalamu'alaikum, benar ini dengan Teh Puspa?""Wa'alaykumussalam. Iya, benar, ini siapa ya?""Teh, mohon maaf sebelumnya. Saya Desti, Teh. Teman Dini, anak dari Pak Miko.""Oh, iya, ada apa? Mau minta cabut pengaduan? Sorry aja, saya gak mau. Papa kamu harus bisa membusuk di penjara!""Teh, tapi papa saya bersedia menikahi Dini, Teh. Memang awalnya papa saya naksir Dini, tapi sama Dini dicuekin, terus.... ""Terus, karena dicuekin jadi diperkosa, iya, begitu? Tidak ada damai dalam kamus hidup saya apalagi berurusan dengan tindak pidana. Papa kamu cukup mempertanggungjawabkan perbuatannya dengan membusuk di penjara, bukan dengan menikahi adik saya."Napas Puspa naik turun dengan cepat saat baru saja menutup teleponnya. Syukurlah mamanya sudah tidur, jika tidak, suaranya yang terus berteriak seperti tadi bisa didengar oleh sang Mama. Belum, saat ini belum saatnya mamanya tahu perihal musibah yang menimpa Dini. Biarkan ia selesaikan pelan-pelan bersama dengan tim pengacara yang s
Setelah mengurung diri dua hari, Rian akhirnya membuka pintu kamarnya. Aroma apek langsung tercium saat ia melewati meja makan keluarga dan saat itu Galih baru saja menghabiskan kopinya. Mama dan papa mereka pergi ke Bali menggantikan Rian dan Sonya yang tidak jadi honeymoon. Galih menahan mual, tetapi ia tidak berani berkomentar. Ia hanya memperhatikan Rian sekilas. Mood Rian sedang tidak baik, maka menegurnya di saat genting seperti ini bukanlah pilihan tepat. "Bik, saya mau makan!" Teriak Rian dari meja makan. Dengan tergopoh, Bik Anin; ART baru di rumah kelurga Bu Gina menghampiri Rian. "Di dapur masih ada sambal goreng kentang dengan hati sapi dan nasi saja, Tuan, apa mau saya tambahkan ceplok telur?" tanya Anin. "Boleh, tambahkan ceplok telur. Nasinya yang banyak." "Baik, Tuan, saya buatkan dulu!" Dengan bergegas, ART itu berlari menuju dapur. Galih masih tidak bersuara, tetapi dalam hatinya tengah menertawakan Rian yang merajuk, tapi lapar. Rian itu adalah tipe pria manja