"Assalamualaikum," ucap Mas Nando yang mulai memasuki kamarku dengan wajah gelisah.
"Wa'alaikumussalam." Aku menjawab salam darinya dengan senyum penuh arti.
Bukan berniat untuk berbicara denganku, dia berlalu memasuki kamar mandi, lalu kudapati dia keluar dari kamar mandi dengan wajah sendu, seperti tak ada lagi semangat dalam hidupnya.
Aku pun menatap suamiku itu dengan lekat, dalam hati, aku ingin sekali mendekatinya. Namun, rasa malu dan gugup membuatku tak sanggup jika harus mendekatinya terlebih dahulu.
Mas Nando yang mulai sadar dengan tatapanku, ia mencoba untuk menghindar, kusadari itu. Aku hanya tertunduk malu sambil berpikir, apakah Mas Nando tidak merasa bahagia dengan pernikahan ini? Hatiku terus bertanya-tanya.
Hingga lamunanku dikagetkan oleh Mas Nando yang memberiku kertas entah apa yang tertulis di kertas itu, aku mencoba menerima dan mulai membacanya.
Sebuah tulisan tangan Mas Nando. Ya Mas Nando sendiri yang menulisnya, isi dari surat itu adalah sebuah perjanjian. Perjanjian apa yang dimaksud Mas Nando, aku mulai bingung dengan keadaan ini, keadaan yang memaksaku untuk tetap terlihat tenang.
Di kertas itu tertulis sebuah perjanjian yang Mas Nando buat untukku, dia menuturkan bahwa selama menjalani pernikahan ini aku dan Mas Nando tidak akan terikat. Apa maksud dari surat perjanjian ini, aku yang merasa bingung dan tidak paham akan maksud dari semua ini, pun memberanikan diri untuk bertanya pada Mas Nando.
"Mas, Ini maksudnya apa ya? Maaf saya tidak mengerti," ucapku dengan mencoba untuk tetap tenang.
"Apa kamu sudah membacanya?" tanya Mas Nando yang masih berdiri dengan jarak yang cukup jauh denganku.
"Iya, sudah kok Mas, tapi ini maksudnya gimana ya, bisa tolong dijelaskan, biar Nandini tidak salah paham?" tanyaku dengan nada lembut, tetapi penuh tanda tanya.
"Kata-kata yang mana yang tidak kamu pahami?" Mas Nando malah balik bertanya.
"Maksud dari kita tidak akan terikat itu apa ya, Mas?" Aku menegaskan kalimat yang membuatku tersentak dan serasa menghujam hatiku,
"Apakah Mas Nando tidak menginginkanku?" gumamku dalam hati.
"Apa kamu berpikir kalau aku menerima perjodohan ini?" Pertanyaan yang Mas Nando lontarkan itu membuat hatiku semakin terasa nyeri.
"Maaf, Mas. Nandini masih belum mengerti apa yang Mas Nando inginkan dari semua ini," ucapku dengan tetap lembut meski hatiku mulai terasa sakit.
"Sekarang saya ingin bertanya, apakah kamu menyetujui perjodohan ini?" tanya Mas Nando dengan tegas, yang membuatku takut, kali ini dengan tatapan yang sangat tajam.
"Seandainya saya tidak menyetujuinya, pasti saya tidak akan menerimanya Mas," ucapku dengan agak terbata-bata karena merasa takut Mas Nando akan marah.
"Nandini, apakah kamu sangat yakin kalau Nando Mahesa Pratama akan menerimamu begitu saja?" pungkas Mas Nando yang semakin tegas dengan tatapan tajam.
"Maaf, Mas, tapi bisa tidak lebih dipelanin sedikit suaranya, Nandini khawatir suara kita akan terdengar oleh keluargaku dan keluarga Mas Nando yang berada di sana," ujarku mengingatkan Mas Nando bahwa keluarganya juga berada di sini.
"Bagus dong, kalau mereka dengar, saya tidak seperti kamu yang bisa terus-menerus berpura-pura seolah kita bahagia dengan pernikahan ini."
Ya Allah rasanya aku ingin menangis tapi aku harus tetap kuat.
"Memang aku bahagia kok, Mas, aku tidak sedang berpura-pura," ucapku dengan lembut berharap Mas Nando memahaminya.
"Sudahlah, lebih baik kamu simpan saja rasa bahagia yang kamu rasakan itu, karena saya tidak akan pernah memedulikannya," ujar Mas Nando yang setiap ucapannya membuat hatiku semakin sakit.
"Apa Mas Nando terpaksa menikahiku?" Aku lontarkan pertanyaan itu karena hatiku sudah merasa sangat sakit dengan semua pernyataannya tadi.
"Iya, saya terpaksa menikahimu Nandini," jawab Mas Nando yang tanpa melihat ke arahku.
"Tapi kenapa Mas Nando menerima perjodohan ini, bolehkah Nandini mengetahui alasannya?" Aku menanyakannya, mengapa dia harus berpura-pura menerima perjodohan ini.
"Kamu tahu kenapa? Itu semua karena kalian semua yang memaksaku harus menerimanya."
"Iya, Mas. Akan tetapi, seharusnya Mas Nando menolaknya, kalau memang Mas Nando tidak menginginkanku," ucapku yang kali ini tidak bisa selembut kapas lagi, karena sedari tadi Mas Nando selalu memancing emosiku.
"Kamu pikir mudah untuk menolak perjodohan ini? Sedangkan orang tua kita tidak akan pernah membiarkan kita menolaknya, apa kamu tahu akibat apa yang akan saya alami, jika saya menolak perjodohan ini?" Mas Nando menegaskan bahwa dirinya sama sekali tidak bisa menerimaku.
"Nandini memang tidak tahu apa pun mengenai perjodohan ini Mas, yang Nandini tahu Ayah telah memilihkan laki-laki yang baik untuk menjadi imam Nandini, yang bisa membimbing Nandini menjadi lebih baik lagi kedepannya. Hanya itu yang Nandini ketahui, Mas," sahutku dengan pelan dan lembut.
Aku harus tetap menahan emosi dan berusaha tetap menghormati serta menghargai semua keputusan yang akan diambil oleh Mas Nando nanti, yang menyangkut rumah tangga kami.
"Tapi saya tidak bisa dengan mudah menerima orang baru yang asing bagi saya, Nandini. Saya harap kamu bisa mengerti itu," ujar Mas Nando dengan kesal.
"Iya, Mas Nandini akan berusaha untuk selalu mengerti dan menghargai apa pun keputusan Mas Nando," ucapku dengan tetap berusaha tenang, meski hati meledak-ledak menahan emosi.
"Bagus kalau kamu mengerti kalau saya tidak menginginkanmu hadir di kehidupan saya," tegas Mas Nando.
Perkataan itu yang membuat hatiku terasa begitu nyeri. jika tidak menginginkanku mengapa dia menerima perjodohan ini dan melukai hatiku.
"Akan tetapi, semua sudah terlanjur, bagaimanapun juga Nandini sudah sah menjadi istri Mas Nando dan Nandini akan terus berusaha menjadi istri yang baik," ucapku masih dengan nada lembut, karena sebenarnya aku tidak pernah bisa marah, meski hatiku sangat tersakiti.
"Kamu tidak perlu melakukan tugas kamu sebagai seorang istri, dan saya juga tidak perlu memperlakukan kamu sebagaimana seorang suami memperlakukan istrinya, kamu mengerti!" Dia mempertegas.
Semua itu membuat batinku ingin memberontak. Namun, aku hanya bisa diam. Bibir ini terasa kelu, aku sudah tak sanggup untuk berkata apa pun lagi, teras percuma kalau aku harus menjelaskan. Mas Nando pasti tidak akan menerimanya, karena dia sedang emosi.
Aku pun terdiam, membiarkan Mas Nando meluapkan emosinya terhadap diriku. Aku juga salah telah mempercayai janjinya, yang aku pikir dia akan menepatinya.
"Kamu dengarkan baik-baik, saya menerima perjodohan ini bukan saya merasa tertarik dengan kamu, semua itu saya lakukan hanya karena semua yang saya miliki akan begitu saja jika saya menolaknya, saya tidak menginginkan hal itu," ujar Mas Nando dengan tegas.
"Kamu tahu ini. Orang tua saya sangat mencintai kamu, aku heran apa yang membuat mereka menyukai kamu dan menginginkan kamu menjadi menantu mereka, padahal saya lihat kamu biasa-biasa saja, tidak ada yang spesial di mata saya, kamu ini terlalu polos Nandini!" ujarnya lagi.
"Saya akui kamu memang cantik, tapi bukan hanya kecantikan yang mampu mempengaruhi hati saya, karena apa? Karena hati saya sudah terlanjur di tempati oleh wanita yang sangat saya kagumi sejak dulu. Kini saya gagal menikahinya dan itu semua karena kamu hadir di kehidupan saya, yang telah memaksa saya untuk menerima semua kenyataan ini," ujarnya begitu sadis sembari menatapku tajam.
Aku masih menahan emosi yang ingin segera meledak, aku mencoba untuk terus menahan dengan berusaha untuk tetap tenang. Aku telah menerima perjodohan ini, dan aku juga harus menerima semua konsekuensinya.
"Di kertas itu tertulis sebuah kesepakatan, yang kamu tidak boleh melanggarnya, kesepakatan ini memang saya sendiri yang menulisnya, tetapi kamu harus menyetujuinya," ujar Mas Nando dengan nada penuh emosi.
"Saya akan menjelaskan satu persatu, saya harap kamu bisa mengerti dan memahaminya," ujarnya.
"Kesepakatan ini terdiri dari lima kesepakatan yang tidak boleh kamu langgar, kesepakatan yang pertama, saya dan kamu tinggal dalam satu rumah. Namun, tentu saja tidak berada dalam satu kamar, saya tidur di kamar saya sendiri dan kamu nanti bisa tidur di kamar tamu. Kesepakatan itu bisa kita lakukan saat kita sudah pindah di rumah saya nanti."
"Kesepakatan yang kedua, kamu tidak harus menyiapkan segala keperluan saya, karena saya sudah terbiasa melakukannya sendiri. Kamu bisa melakukan kegiatan kamu sendiri dan tidak harus memberitahu saya, tidak perlu pamit kalau kamu ingin pergi ke mana pun kamu mau, saya juga tidak harus meminta persetujuan kamu, tidak perlu juga meminta izin, kita bisa hidup dalam satu rumah, tapi tetap seperti orang asing, kamu anggap saja kita tidak saling kenal. Kamu tidak mengenal saya, dan saya juga tidak mengenal kamu."
"Kesepakatan yang ketiga, kamu tidak diizinkan untuk mengurusi semua urusan pribadi saya, kamu urus saja diri kamu sendiri, kamu bebas melakukan apa saja yang kamu suka dan yang diinginkan, saya tidak akan membatasi pergaulan kamu, saya juga tidak akan melarang kamu untuk melakukan apa pun itu, dan saya akan tetap memberikan kamu uang belanja setiap bulan, jika habis kamu bisa memintanya lagi. Saya tidak akan menolak."
"Kesepakatan yang ke empat, di luar rumah kamu harus tetap realistis seolah-olah rumah tangga kita ini baik-baik saja, tidak ada masalah. Kamu harus selalu terlihat bahagia, jangan pernah pasang muka sedih, kita akan terlihat mesra saat di luar rumah, hanya di luar rumah saja, itu pun saat bertemu dengan keluargaku dan keluarga kamu, selain itu kita akan tetap terlihat seperti orang asing yang tidak saling kenal."
"Kesepakatan yang kelima, kamu harus siap saya ceraikan, rumah tangga kita ini hanya akan bertahan selama satu tahun, setelah itu saya akan menceraikan kamu. Karena saya akan menikahi pacar saya Alesha. Saya harap kamu bisa mengerti." Kesepakatan terakhir yang membuat hati ini terasa teriris, hati ini terluka.
Aku terdiam, rasanya aku tidak ingin membahas hal ini lebih jauh lagi, khawatir malah akan menimbulkan risiko. aku pun memutuskan untuk diam.
Mas Nando yang mulai berani memandangku dengan tatapan yang serius. Namun, aku diam saja, biarlah Mas Nando puas dengan semua amarahnya, aku akan jadi pendengar.
Kami pun hanyut dalam diam, tidak
ada lagi yang bicara, Mas Nando memandangku dengan pandangan yang seolah merasa bersalah. Ia pun mencoba mengatur napasnya dan kembali diam. Mungkin dia sedang introspeksi diri atau bisa jadi juga dia telah meluapkan segala emosinya.Aku menanggapi semua itu dengan tenang dan tetap lembut dalam bertutur kata, menghormati dia sebagai suamiku. Ya, meski aku tidak dianggap dan dihargai. Setelah dirinya merasa tenang, kemudian Mas Nando pun mencoba untuk berbicara lagi."Apa ada yang ingin kamu tanyakan lagi?""Tidak Mas, Nandini nurut," sahutku"Ya sudah, ini sudah malam, kamu istirahat saja," ucapnya sambil melangkahkan kaki ke luar."Mas Nando mau ke mana?" tanyaku."Keluar sebentar, ke depan rumah," singkatnya."Oh ya, Mas. Nanti Mas Nando tidur di mana? Di kamar Nandini juga tidak ada sofa," sahutku memberanikan diri untuk bertanya seperti itu."Ya, tidur di sini, bolehkan?" Dia mengucapkannya sambil tersenyum. Aku ingin kamu selalu memberikan senyuman itu Mas Nando"Hmm, maksudnya Mas?" jawabku yang merasa bingung, karena dia tadi menegaskan kalau tidak akan tidur dalam satu kamar denganku, kenapa sekarang dia berkata sebaliknya."Untuk sementara w
"Kamu rilex saja, saya 'kan tidak menyakiti kamu," ucapnya dengan lembut sambil membelai hijabku.Sedari tadi aku masih memakai hijab, memang aku masih enggan untuk melepasnya karena malu."Iya, Mas, apa boleh kita seperti ini?" Spontan Aku mengatakan hal itu, seakan diriku ini menolak permintaannya."Duh apa-apaan sih kamu ini, Nandini, sudah seharusnya kamu bisa melayani suami kamu dengan baik, kok bisanya masih berpikir macam-macam," gumamku dalam hati."Loh, 'kan kamu sendiri tadi yang bilang itu hukumnya wajib dan agama pun tidak melarangnya," ucapnya dengan nada agak kesal."Maaf Mas bukannya gitu, tapi--" ucapku dengan lembut tapi khawatir Mas Nando akan kembali marah."Tapi, kamu malu untuk mengakuinya? Kamu ini sangat polos sekali, saya suka kepolosan kamu," ucapnya dengan lembut dan semakin mendekatkan dirinya hingga tiada jarak lagi di antara kita.Aku terdiam, Mas Aldo langsung saja mencium bibirku dan kali ini lebih lama. Ciuman itu be
Ibu Kurnia hamil anak pertamanya, saat aku berusia 9 Tahun, aku yang tengah tinggal selama 2 tahun dengan keluarga baruku itu.Aku bahagia sekali memiliki seorang adik, akhirnya keluarga kami pun terlihat sangat lengkap. anak pertama mereka adalah Putri Intan Pramesti. Adik yang selalu membuatku bangga karena prestasi yang sering ia raih. Kini Putri telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, bahkan menurutku dia lebih cantik dariku.Usia Putri saat ini menginjak usia 18 tahun, yang saat ini tengah melanjutkan pendidikannya Di SMAN 29 Jakarta. Dia tumbuh menjadi remaja yang sangat pandai dan mulai suka dandan, ya memang karena dia itu cantik. Namun, kecantikan itu tak membuatnya menjadi gadis yang sombong.Saat Putri berusia 3 tahun, Ibu Kurnia Hamil lagi anak ke duanya, yang diberi nama Faizal Nauval Rahardi, Faizal yang memang hanya terpaut 3 tahun dengan Putri, kini seperti mereka ini sepantaran.Faizal menginjak pendidikan SMP, dia memilih SMP
Setelah sarapan pagi, kami pun bergegas untuk segera berangkat ke rumah Mas Nando yang ada di Jakarta, takut di jalan terjebak macet, jadi kami memutuskan untuk berangkat pagi.Aku pun pamit dan menyalami ayah dan ibu angkatku serta Paman Sam,"Ayah, Ibu, Nandini pamit tinggal di rumah Mas Nando ya," ucapku sembari menyalami mereka.Mas Nando pun melakukan hal yang sama denganku"Iya, Nandini. Hati-hati, Nak. Ibu akan selalu berdoa semoga keberkahan selalu tercurahkan di kehidupan rumah tangga kalian," ucap Ibu sembari memelukku erat."Iya, Ibu. Terima kasih banyak, Ibu telah menyayangiku, nandini pasti akan merindukan Ibu.""Iya, Nak. Ibu juga pasti akan selalu merindukan kamu, seringlah datang ke sini untuk sekadar mengunjungi kami ya, Nak, ajaklah suamimu untuk ikut serta," ucap Ibu sembari membelai hijab yang kukenakan."Iya, Bu itu pasti, saya pasti mengizinkan Nandini untuk sering ke mari, bahkan saya yang akan mengantarnya saat
Di dalam kamar air mata ini pun terasa tumpah, hatiku benar-benar hancur, mungkin tidak akan seperti ini rasanya, jika aku tidak mencintai Mas Nando, tapi aku mencintai suamiku, entah kapan cinta ini mulai tumbuh dan bersemi di hatiku aku pun tidak tau hal itu. mungkin saja saat ijab qobul terucap, ataukah karena semalam di perlakukan dengan baik oleh Mas Nando. atau bisa jadi karena senyumannya. entahlah apa yg membuatku bisa mencintai suamiku.Yang pasti saat ini aku benar - benar kecewa dengan perilaku Mas Nando. Dia tidak menghargaiku sama sekali. bahkan pertama kali aku masuk rumah ini pun harga diriku merasa diinjak-injak dengan ulahnya yang membawa perempuan itu kerumahnya, padahal di sini ada aku. Dia anggap apa aku ini.Mas Nando sama sekali tidak bisa menjaga perasaanku, untuk apa aku tinggal di sini, untuk melihat mereka yang pamer kemesraan. Aku harus pergi dari sini, tapi aku akan pergi ke mana? kembali ke rumah Ayah, itu tidak mungkin. Masalah ini akan me
"Aku kangen sama kamu Nis.""Iya sama Kei, aku juga udah ngerasa kangen aja nih sama kamu, bisa nggak kalau kita besok ketemu?" ujar Annisa mengajakku ketemuan. Ya, mungkin dengan bertemu Annisa bisa membuatku kembali bersemangat."Ketemu di mana Nis?" tanyaku."Ya, di tempat biasa aja, kamu bisa 'kan. Mas Nando tidak mengekang kamu 'kan Nandini?" ucap Annisa yang khawatir Mas Aldo melarangku pergi bertemu Annisa."Tidak kok, Nis. Mas Nando tidak akan melarangku untuk bertemu dengan siapa pun, apalagi 'kan dia tau kalau kamu sahabat terbaikku, ya pasti dizinkan," ujarku mencoba menjelaskan, agar Annisa tidak curiga dengan Mas Nando."Bagus deh kalau gitu, berarti kita bisa ketemu kapan aja dong ya," ucap Annisa yang kelihatan sangat gembira, aku dan Annisa akan segera bertemu lagi."Iya Nis, itu pasti," ucapku dengan lembut."Oke deh, Nandini, besok aku tu
Sampai pada suatu pagi, dimana langit cerah, matahari pun menampakkan senyumnya.Aku yang duduk di tepi ranjang masih terasa enggan untuk keluar kamar. malas sekali rasanya kalau aku harus bertemu dengan Mas Nando pagi ini, membuat moodku yang tadinya sudah terkondisikan, bisa membuat mood kembali hancur.Terdengar suara Bi Inah yang mengetuk pintu dan memanggilku untuk sarapan pagi, aku pun masih enggan membuka pintu itu, pasti di bawah sana ada Mas Nando yang tengah menungguku, kekesalanku saja belum hilang. aku harus tenangin dulu hatiku. baru siap menemuinya.Terpaksa aku hiraukan panggilan dari Bi Inah. Namun, aku tetap berbicara dengannya."Iya, Bi, Nandini lagi nggak pengen keluar, nanti saja, bilang aja ke Mas Nando kalau Nandini masih males makan," ujarku masih di dalam kamar tanpa membukakan pintu."Jangan begitu, Mbak Nandini harus makan walaupun sedikit, 'kan Mbak Nandini sejak kemarin siang belum makan, nanti bisa sakit perutnya,
Hati yang mulai kembali membaik. Hatiku yang mulai merasa tenang, aku pun bersiap untuk pergi bertemu sahabatku Annisa, di sebuah restoran seefood tempat favorit kami, restoran Star Food yang menjadi pilihan kami sejak 5 tahun ini, bukan hanya karena harganya yang terjangkau. Namun, juga makanan di sana sangat enak, tempatnya juga sangat nyaman, terkadang mereka juga mengadakan diskon yang pasti banyak diminati oleh pengunjung.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah. "Bi, saya keluar dulu menemui teman saya, nanti juga sekalian mau mampir ke rumah orang tua saya, kemungkinan saya akan kembali ke rumah sore hari," ujarku dengan lembut seraya melempar senyum ke arah Bi Inah yang sedang mencuci piring."Iya, Mba, hati-hati ya, Mba Nandini naik apa kesananya?" tanya Bi Inah."Naik Grab car saja, Bi, saya sudah memesannya barusan," ucapku dengan lembut."Oh begitu, Mbak Nandini hati-hati ya.""Oh ya, mau dimasakin apa buat nanti makan malam Mbak?" tanya
Makanannya telah ia habiskan,aku menuangkan air minum di gelas dan aku berikan padanya."Ini Mas, minumnya.""Iya, makasih ya, sayang, kamu sudah melayaniku dengan baik," ujarnya sembari menerima segelas air minum dari tanganku."Iya, sama-sama, Mas. Meski rumah tangga kita tidak bisa berjalan dengan lama, setidaknya aku bisa membuat Mas Nando bahagia bersamaku, itu sudah cukup membuatku puas kok, Mas," jawabku dengan menunduk."Iya, makasih ya, Nandini. Maaf kalau aku belum bisa bahagiain kamu. Saat ini belum bisa mencintai kamu, tapi entah dengan perhatian kamu selanjutnya, mungkin saja bisa membuat hatiku luluh," ujar Mas Nando sembari menatapku lembut dan memberikan senyuman manisnya.Berarti aku masih ada kesempatan untuk memenangkan hatinya karena Mas Nando sendiri yang telah memberikan aku kesempatan itu."Aku akan pergunakan kesempatan itu dengan baik, Mas," jawabku sembari tersenyum manis."Iya Nandini.""Mana tadi kat
"Sudah azan Maghrib nih, Bi, sholat dulu yuk.""Iya Mba Nandini, ini Bibi juga mau ambil air wudu."Aku telah selesai menyetrika pakaian, sambil ngobrol nggak terasa capeknya. Aku pun bergegas mengambil air wudu dan menjalankan ibadah salat Maghrib, dilanjut dengan muroja'ah hafalan Al-Qur'an, sejak masalah menghampiriku aku tidak fokus untuk memuroja'ah hafalan. Sekarang aku ingin lebih fokus lagi untuk muroja'ah hafalanku, agar tidak terlupa.Setelah salat dan muroja'ah hafalan Al-Qur'an, aku bersiap untuk memasak makan malam. Mas Nando pasti suka aku masakin soto betawi, pulang kerja pasti dia belum sempat makan. Aku beinisitif untuk membuatkan soto betawi yang super lezat. Khusus untuk suamiku.Aku memasaknya sendiri, sebenarnya sih Bi Inah ingin membantuku tapi aku mencegahnya. Ini saatnya aku melaksanakan tugas-tugasku sebagai istri yang baik. Karena sejak masalah ini menghampiriku aku merasa aku belum melakukan tugasku sebagai seorang istri, yaitu
Tugas mengajar hari ini telah terselesaikan. Aku mencoba mengubungi Mas Nando. Ya, barangkali suamiku mau menjemputku, tapi lagi-lagi tidak diangkat olehnya. Aku pun mengirimkan pesan whatsapp.[Mas, aku akan pulang bersama Mas Aditia ya, aku harap kamu tidak marah padaku] isi pesan dariku.Aku langsung menghubungi Mas Aditia, dan langsung saja tersambung, memang orang ini selalu sigap jika aku membutuhkan bantuannya."Assalamualaikum Mas Aditia.""Wa'alaikumussalam, Iya, Mbak Nandini.""Bisa jemput saya sekarang, Mas?""Bisa kok Mbak, segera meluncur.""Baiklah, terima kasih banyak ya* Mas Aditia, saya tunggu di dekat gerbang kampus," ujarku."Iya sama-sama, Mbak Nandini, ini saya langsung meluncur ke sana.""Iya Mas Aditia, hati-hati ya. "Wassalamu'alaikum.""Iya, Mbak Nandini. Wa'alaikumussalam."Aku pun menutup teleponnya dan berjalan ke dekat gerbang kampus untuk menunggu Mas Aditia di sana.
"Tenang, Nandini. Kamu harus tetap semangat, alihkan dulu masalah yang membebani pikiran, konsentrasilah untuk mengajar," gumamku dalam hati, menyemangati diriku yang mulai down."Assalamualaikum Naharukis sa'id thalibul ilmi." Aku mengucapkan salam kepada para Mahasiswa."Wa'alaikumussalam, said mubarok Ustazah, Nandini." Mereka menjawab salamku dengan serempak, seperti biasanya."Kayfa halukuma?" Aku menanyakan kabar mereka."Alhamdulillah ala kulli hal.""Kayfa haluk Ustazah Nandini?" tanya salah satu mahasiswi yang bernama Zakia."Alhamdulillah ana bi khoir," jawabku sembari melempar senyum manis."Sudah bisa kita mulai proses belajarnya?" ujarku menanyakan kesiapan mereka."Sudah siap, Ustazah." Mereka menjawabnya dengan serempak."Baiklah mari kita mulai proses belajarnya hari ini kita awali dengan bacaan basmalahya.""Bismillahirrohmanirrohim ... selanjutnya kita berdoa agar diberikan ilmu yang berman
Aku masuk ke ruang kerjaku. Di ruangan itu telah banyak dosen yang sudah datang. Ya, memang aku agak kesiangan, biasanya aku selalu datang lebih dulu dari mereka semua. Aku yang datang kesiangan pun menjadi bahan candaan mereka. Ya, maklum aku 'kan pengantin baru."Assalamualaikum." Aku masuk ke ruang kerjaku dengan mengucapkan salam."Wa'alaikumussalam." Para dosen menjawab salam dengan serempak.Mereka semua langsung saja menatapku, aku yang berdiri di antara tatapan mereka pun menjadi sangat malu, bagaikan aku ini seorang artis saja yang penuh sorotan dan tatapan penggemar."Eheeemm, pengantin baru sudah mulai masuk kerja nih?" goda salah satu rekan kerjaku yang bernama Bu Yulistya,"Iya, nih, apa jangan-jangan maksain kerja nih," sahut Pak Nawawi dosen paling Killer di sini, tetapi kali ini malah bisa bercanda."Nandini, kamu minta perpanjang cuti kerja juga pasti dibolehin kok, mengingat pasti lagi asyik-asyiknya menikmati b
"Jika kau akan pergi, mengapa kau datang, jika aku mencintaimu apakah itu salahku?"***Keesokan harinya, aku sengaja tidak ke luar kamar terlebih dahulu, hari ini aku bersiap untuk mengajar, aku sudah rindu dengan para mahasiswi, aku berangkat kerja akan tetap meminta tolong Mas Aditia untuk mengantar.Keegoisan Mas Nando sungguh tidak wajar, dia terlalu posesif, tak seharusnya dia cemburu dengan Mas Aditia, dia tidak mencintaiku kenapa dia harus cemburu? Aneh bukan?Aku masih menunggu di kamar, aku tidak akan keluar dari kamar sebelum Mas Nando berangkat kerja. Aku malas untuk membahas hal yang sama, yang bisa membuat moodku hilang, aku harus semangat lagi untuk mengajar, harus fokus. Jangan karena masalah ini membuatku jadi sulit berkonsentrasi penuh pada pekerjaanku. Aku harus kembali bersemangat, demi masa depanku dan kebahagiaanku sendiri. Apa aku egois? Aku rasa tidak.Terdengar suara langkah kaki seperti sedang berjalan ke arah
Belum sempat aku masuk ke rumah, Mas Nando tiba-tiba menghampiriku di luar yang masih ngobrol dengan Mas Aditia."Nandini, kamu sudah pulang sayang?" ucapnya sembari merangkul pundakku."Iya sudah kok, Mas.""Eh lo rupanya, Dit?" tanya Mas Nando yang kaget melihat Mas Aditia yang mengantarku pulang."Iya, Mas Nando," jawab Mas Aditia sembari membuka mobilnya lalu ke luar dari mobil."Nandini, kamu kok diantar pulang sama nih anak?" tanya Mas Nando sembari menatapku sinis, sepertinya dia marah."Iya, Mas. Mas Aditia ini kan sopir grab car," jawabku sembari tetap tersenyum padanya."Oh jadi lo sekarang jadi sopir grab car, Dit?" tanya Mas Nando pada Mas Aditia.Aku heran, mereka 'kan tetangga, Mas Aditia aja kenal baik, bahkan tahu semua tentang Mas Nando, tetapi Mas Nando malah tidak tahu kalau Mas Aditia kerjanya jadi sopir grab car, kan aneh aja gitu."Iya, Mas," jawab Mas Aditia singkat dan eksresinya agak gugup.
Diteras kulihat Mas Aditia tengah duduk di kursi yang semalam dia tempati buat tidur."Assalamualaikum Mbak Nandini.""Wa'alaikumussalam warahmatullah. Sudah sedari tadi di sini ya, Mas?""Barusan kok, Mbak. Oh ya, ini bubur ayamnya, saya belikan dua, barangkali Mba Nandini suka nanti bisa nambah lagi.""Makasih ya, Mas, jadi ngerepotin," ucapku dengan lembut"Iya sama-sama* Mbak, nggak ngrepotin kok.""Mas Aditia nanti bisa antar saya ke pasar sebentar untuk membeli keperluan memasak, sudah habis semua.""Bisa kok, Mbak, sekarang?""Saya mau sarapan dulu, Mas, nanti saya hubungi kalau sudah siap berangkat""Oh baik, Mbak. Saya permisi pulang ya, mau sarapan juga sekalian mau cuci mobil dulu, " ujar Mas Aditia yg pamit pulang."Iya, Mas. Hati-hati, sekali lagi makasih ya, buburnya.""Iya dihabiskan ya!"Aku mengangguk."Ya sudah, Mbak. Saya pulang dulu. Assalamualaikum.
Pagi yang cerah, aku Nandini, aku akan membuat suamiku sadar betapa berartinya diriku."Aku akan membuat kamu lupa dengan masa lalu kamu yang pahit itu Mas Nando," gumamku dalam hati."Astagfirullah, aku sampai lupa, bukankah tadi malam Mas Aditia telah menolongku, dan tidur di teras," gerutuku.Aku pun bergegas ke luar rumah untuk melihat apakah Mas aditia masih berada di sana ataukah sudah kembali ke indekos.Aku ke luar rumah, tidak ada siapa pun di sana, bantal dan selimut masih ada di kursi, lalu di mana Mas Aditia?"Mbak Nandini sudah bangun?" tanya Mas aditia menghampiriku."Iya, sudah sejak Subuh tadi, Mas, Mas Aditia dari mana?""Oh ini loh, Mbak, tadi itu saya pulang dulu, untuk sholat Subuh di masjid, karena saya masih ngantuk ketiduran deh di kamar indekos, bangun tidur saya inget, kalau saya pulang tadi belum pamit sama Mbak Nandini, saya berpikir pasti Mbak Nandini nyariin, makanya saya ke sini lagi Mbak," ujar Mas