"Kamu rilex saja, saya 'kan tidak menyakiti kamu," ucapnya dengan lembut sambil membelai hijabku.
Sedari tadi aku masih memakai hijab, memang aku masih enggan untuk melepasnya karena malu."Iya, Mas, apa boleh kita seperti ini?" Spontan Aku mengatakan hal itu, seakan diriku ini menolak permintaannya."Duh apa-apaan sih kamu ini, Nandini, sudah seharusnya kamu bisa melayani suami kamu dengan baik, kok bisanya masih berpikir macam-macam," gumamku dalam hati."Loh, 'kan kamu sendiri tadi yang bilang itu hukumnya wajib dan agama pun tidak melarangnya," ucapnya dengan nada agak kesal."Maaf Mas bukannya gitu, tapi--" ucapku dengan lembut tapi khawatir Mas Nando akan kembali marah."Tapi, kamu malu untuk mengakuinya? Kamu ini sangat polos sekali, saya suka kepolosan kamu," ucapnya dengan lembut dan semakin mendekatkan dirinya hingga tiada jarak lagi di antara kita.Aku terdiam, Mas Aldo langsung saja mencium bibirku dan kali ini lebih lama. Ciuman itu begitu lembut, aku terbuai olehnya. Aku memejamkan mata menikmati setiap sentuhan bibir tebalnya di bibirku, rasanya seperti diriku dibuatnya melayang dalam kedamaian dan diturunkan kembali dengan kebahagiaan. Apa aku jatuh cinta?"Nandini," ucapnya dengan napas yang mulai tidak beraturan."Iya Mas, kenapa?" ucapku dengan lembut.Tatapan mata kami berdua pun menyatu, seakan saling menginginkannya lebih dari sekadar bercumbu."Tidak kok, kamu cantik, Nandini aku menginginkannya lagi," bisiknya di telingaku yang membuat tubuhku bergetar, napasku pun mulai tak beraturan, dadaku bergetar dengan kencang. Aku merasa dicintai. Namun, apa benar ini cinta, bukankah yang dia cintai adalah pacarnya."Nandini kenapa di dalam rumah kamu masih memakai hijab? tanya Mas Nando sembari memperbaiki posisi duduknya."Nandini terbiasa selalu memakai hijab saat di rumah mau pun di luar rumah Mas. Kenapa, apa Mas Nando merasa keberatan? Kalau Mas Nando merasa keberatan Nandini akan melepasnya," jawabku dengan lembut sambil mengatur napas yang tadi sempat tidak beraturan."Tidak keberatan kok, cuma masa di dalam kamar kamu masih saja memakainya?" tanya Mas Nando sambil menyentuh hijab yang sedang aku kenakan, aku mengenakan hijab instan sederhana. Namun, cukup panjang dan lebar."Kalau di kamar, Nandini kadang melepasnya kadang juga tidak, Mas.""Kamu tidur dengan memakai hijab?""Iya, Mas, tapi terkadang juga melepasnya," jawabku dengan santai."Apa malam ini kamu juga akan tidur dengan memakai hijab?" tanya Mas Nando sembari menatapku."Emmm, ya kalau Mas Nando menyuruh Nandini melepasnya, ya, Nandini akan melepasnya, Mas," ucapku."Jadi kalau aku suruh lepas, baru kamu akan melepasnya?""Iya, Mas, 'kan istri tidak boleh membantah perintah suaminya," ucapku sembari tersenyum tipis."Kalau gitu, dilepas saja hijabnya!" ujarnya dengan nada perintah."Iya, Mas," ucapku sambil mencoba membuka hijab yang aku kenakan."Subhanallah cantiknya," ujar Mas Nando dengan tersenyum dan menatapku tanpa berkedip.Hal itu membuatku tertunduk malu.Mas Nando membuka ikatan rambutku dan membiarkan rambutku tergerai dengan indahnya. Mas Nando membelai rambutku dari atas ke bawah. Sentuhannya membuat jantungku berdegup kencang lagi."Rambut kamu bagus, apalagi kalau tergerai begini, kamu terlihat semakin cantik," ucapnya dengan lembut sembari mengecup keningku. Duh bikin dag dig dug aja sih."Makasih, Mas, atas pujiannya," ucapku dengan tertunduk malu."Saya akui kamu pandai merawat diri, meski tanpa memolesnya dengan make up, tapi kecantikan kamu ini benar-benar alami, kamu pasti sering minum jamu ya?" ujarnya sambil terus menatapku dengan tatapan yang penuh arti."Iya, Mas. Ibu yang sering membuatkannya, Nandini memang tidak suka dandan kok Mas, lebih suka yang alami saja," ucapku dengan masih tertunduk malu dengan pujian yang diberikan Mas Nando padaku."Oh pantesan, ya, saya juga suka sama kecantikan yang alami kok, saya juga tidak terlalu suka sama wanita yang dandanan menor, sederhana saja lebih membuat hati adem, kayak kamu gini," ujarnya sembari mengangkat daguku, aku pun menatapnya."Iya, Mas," ucapku singkat, karena bingung mau ngomong kayak gimana lagi, hatiku saja terasa enggak karuan kayak gini."Kamu kenapa selalu menunduk sih, udah biasa aja sama aku, santai aja, saya 'kan bersikap lembut sama kamu.""Jujur, saya itu sebenarnya susah sih buat marah, apalagi sama perempuan, tapi entah kenapa tadi saya sulit menenangkan diri saya dan langsung berkata kasar sama kamu, baru bisa luluh dengan tanggapan kamu yang bisa menahan emosi dan tetap bertutur kata sopan dan lembut," ucapnya dengan lembut"Iya, Mas. Nandini ngerti kok, gak usah dibahas lagi mengenai emosi tadi Mas, lebih baik sekarang kita istirahat, pasti Mas Nando juga sudah lelah 'kan dengan aktivitas yang menguras tenaga dan emosi tadi," ucapku dengan senyuman tipis."Kok buru-buru banget sih, padahal saya masih ingin ngobrol sama kamu," ucapnya dengan lembut, tapi seakan tidak ingin mengakhiri obrolan malam ini."Iya, maaf Mas, Mas Nando mau bicara apa lagi? Apa mau sambil aku buatin kopi atau teh hangat?""Enggak usah repot - repot, lagian sudah malam, nanti malah saya nggak bisa tidur kalau kamu bikinin kopi, apa kamu mau temenin saya begadang?" ucapnya dengan senyum manis sembari menatapku lekat."Enggak ah, Mas, ini aja Nandini udah ngantuk," ucapku lembut yang terkesan agak manja."Nandini, kok nada suara kamu jadi lembut manja gitu sih,” ucapnya dengan tersenyum nakal."Apa sih Mas, udah ah, jangan modus," ucapku dengan ekspresi malu, pasti sekarang ini pipiku mulai merah merona."Iya loh, kamu itu sebenarnya manja, ya, 'kan," ucapnya mulai menggodaku."Enggak kok," jawabku singkat juga tertunduk malu."Kamu boleh kok manja sama aku, 'kan tidak ada prosedur larangannya di kesepakatan kita tadi," ucap Mas Nando dengan nada menggodaku.Aku hanya terdiam dan tidak bisa berkata apa-apa lagi. Bingung, merasa heran, merasa disayangi berbaur menjadi satu. Membuat hatiku bergejolak dan tidak karuan rasanya."Nandini, kok malah diam sih, jawab dong, apa kamu lagi pengen dimanja?" ucap Mas Nando dengan lebih mendekatkan tubuh kekarnya.Tubuh Mas Nando memang seperti Atletis, tubuhnya sixpack, mungkin dia sering olahraga, hasilnya pun tubuhnya menjadi bagus. Aku memang menyukainya."Terus Nandini harus ngomong apa Mas?" ucapku dengan masih menahan malu."Ya, sudah kamu tidak perlu bicara, biar saya yang manjain kamu ya," ujarnya"Maksudnya Mas?" ucapku bingung, apa yang akan Mas Nando lakukan, mengingat dia tadi bilang kalau dia tidak akan berbuat apa pun terhadapku, tapi kok jadi begini ya."Sudah, tidak perlu ingin tahu maksudnya, nanti kamu juga akan tahu sendiri," ucapnya lembut sembari mencium pipiku dengan lembut."Iya Mas," jawabku singkat."Nandini.""Iya, Mas.""Mas Nando ingin mengobati luka hati kamu karena ucapan kasar Mas tadi," ucapnya dengan lembut sembari memelukku. Aku pun menyandarkan kepalaku di pundaknya, rasanya sangat nyaman."Iya, Mas. Makasih ya," ucapku sembari menatap wajahnya, Mas Nando memang sangat tampan, kulitnya putih, hidungnya juga mancung, malah lebih mancung dari hidungku, sungguh sempurna."Iya, sama - sama sayang," ucapnya lembut sambil mengecup keningku.Deg hatiku tersentak mendengar panggilan sayang itu terlontarkan. Rasanya aku tidak percaya ini bisa terjadi, kupikir malam ini aku akan hanyut dalam kesedihan, tapi malah sebaliknya, aku merasa bahagia karena ternyata diriku masih ada kesempatan untuk memiliki hati suamiku.Mas Nando pun kembali mencium bibirku, kali ini lebih mesra, aku hanyut dalam kemesraan ini, meski hanya ciuman dan pelukan. Namun, hatiku merasa sangat lega, ternyata suamiku bisa bersikap manis juga. Kami langsung terlelap tidur, Mas Nando selalu memelukku bahkan sampai pagi. ***Pagi yang cerah menampakkan keceriaan. Sungguh pagi yang indah untuk pengantin baru. Namun, tidak menurutku, pagi ini terasa biasa, semua dalam titik jenuh, dalam kebingungan akankah akan baik-baik saja.Bagaimana mungkin, sedangkan hari ini aku akan pindah ke rumah Mas Nando, rumah yang pasti terasa asing bagiku, aku pasti sangat merindukan kamar ini, tempat di mana aku biasa meluapkan kesedihan, di rumah Mas Nando akankah aku di sana merasa nyaman, seperti halnya di tempat ini, aku juga pasti akan merindukan ayah dan ibu yang telah membesarkanku, walaupun aku ini hanyalah anak angkat, tapi mereka tak pernah sedikit pun membedakan kasih sayang mereka terhadap anak-anaknya. Aku mempunyai 3 saudara, aku anak sulung bagi mereka, mereka mengambilku di sebuah Panti Asuhan Bina Pertiwi, tempat di mana aku merasa beda tidak seperti yang lain, yang bisa punya ayah dan ibu yang menyayangi mereka. hingga akhirnya Pak Rahardi dan Ibu Kurnia yang memberikanku kasih sayang utuh sebagai orang tua angkatku. Dari situlah aku merasakan keutuhan dalam keluarga, aku punya ayah dan ibu dan juga kini aku memiliki 3 adik yang sangat menyayangiku dan menghormatiku sebagai Kakaknya. Pak Rahardi dan Ibu Kurnia menjadikan aku anak angkat mereka sejak usiaku masih menginjak umur 7 tahun. Pada saat itu aku sangat bahagia, karena aku bisa memiliki keluarga yang sejak lama aku impikan. Aku memiliki ayah kandung, ya aku ketahui, ayah kandungku adalah seorang dosen disalah satu perguruan negeri yang cukup ternama di Jakarta. di Universitas Negeri Jakarta tempat beliau mengajar. Ayahku adalah ayah yang baik, beliau selalu mengunjungiku di Panti asuhan, pasti kalian bertanya, kenapa Ayahku tidak mengajakku pulang ke rumah? Pasti hal itu terlintas dipikiran kalian. Ayahku punya alasan tersendiri kenapa dirinya membiarkan putrinya tinggal di Panti asuhan, aku hanyalah anak yang tidak diinginkan, aku harus kehilangan ibuku di saat ibu melahirkanku. Sejak saat itulah ayah menitipkanku di Panti Asuhan Bina Pertiwi, karena ayah tidak bisa membawaku ke keluarganya. Keluarga ayah adalah keluarga pejabat yang selalu menjaga nama baiknya, memang ayah dan ibuku sudah menikah. Namun, istri pertama ayah tidak suka hal itu, meski awalnya sempat menyetujui rencana ayah yang ingin menikahi ibuku, dan keluarga ayahku yang seorang pejabat tidak mengetahui bahwa ayahku telah menikah lagi, bagi ayah ini adalah aib yang harus ditutupi. Maka dari itu ayah sengaja menitipkanku di panti asuhan. Tapi hal itu sama sekali tak membuatku membenci ayah, aku bisa mengerti perasaan ayah saat itu, yang belum siap dengan kehadiranku yang akan membuat keluarganya malu, karena perilaku ayah yang sama sekali tidak mencerminkan seorang anak pejabat pemerintahan yang selalu disegani oleh masyarakat.Ayah sengaja menutupi hal itu. Akan tetapi, ayah sering sekali datang ke panti asuhan untuk mengunjungiku, ingin mengetahui perkembanganku, ayah juga selalu menuruti apa pun permintaanku, kecuali satu, yaitu berkumpul dengan keluarga ayah. Hal itu yang membuatku sedih, tidak bisa mempunyai keluarga yang utuh, tidak seperti yang lain, bisa disayangi oleh ayah dan ibunya dan bisa bertemu mereka setiap saat.Ibu Kurnia hamil anak pertamanya, saat aku berusia 9 Tahun, aku yang tengah tinggal selama 2 tahun dengan keluarga baruku itu.Aku bahagia sekali memiliki seorang adik, akhirnya keluarga kami pun terlihat sangat lengkap. anak pertama mereka adalah Putri Intan Pramesti. Adik yang selalu membuatku bangga karena prestasi yang sering ia raih. Kini Putri telah tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, bahkan menurutku dia lebih cantik dariku.Usia Putri saat ini menginjak usia 18 tahun, yang saat ini tengah melanjutkan pendidikannya Di SMAN 29 Jakarta. Dia tumbuh menjadi remaja yang sangat pandai dan mulai suka dandan, ya memang karena dia itu cantik. Namun, kecantikan itu tak membuatnya menjadi gadis yang sombong.Saat Putri berusia 3 tahun, Ibu Kurnia Hamil lagi anak ke duanya, yang diberi nama Faizal Nauval Rahardi, Faizal yang memang hanya terpaut 3 tahun dengan Putri, kini seperti mereka ini sepantaran.Faizal menginjak pendidikan SMP, dia memilih SMP
Setelah sarapan pagi, kami pun bergegas untuk segera berangkat ke rumah Mas Nando yang ada di Jakarta, takut di jalan terjebak macet, jadi kami memutuskan untuk berangkat pagi.Aku pun pamit dan menyalami ayah dan ibu angkatku serta Paman Sam,"Ayah, Ibu, Nandini pamit tinggal di rumah Mas Nando ya," ucapku sembari menyalami mereka.Mas Nando pun melakukan hal yang sama denganku"Iya, Nandini. Hati-hati, Nak. Ibu akan selalu berdoa semoga keberkahan selalu tercurahkan di kehidupan rumah tangga kalian," ucap Ibu sembari memelukku erat."Iya, Ibu. Terima kasih banyak, Ibu telah menyayangiku, nandini pasti akan merindukan Ibu.""Iya, Nak. Ibu juga pasti akan selalu merindukan kamu, seringlah datang ke sini untuk sekadar mengunjungi kami ya, Nak, ajaklah suamimu untuk ikut serta," ucap Ibu sembari membelai hijab yang kukenakan."Iya, Bu itu pasti, saya pasti mengizinkan Nandini untuk sering ke mari, bahkan saya yang akan mengantarnya saat
Di dalam kamar air mata ini pun terasa tumpah, hatiku benar-benar hancur, mungkin tidak akan seperti ini rasanya, jika aku tidak mencintai Mas Nando, tapi aku mencintai suamiku, entah kapan cinta ini mulai tumbuh dan bersemi di hatiku aku pun tidak tau hal itu. mungkin saja saat ijab qobul terucap, ataukah karena semalam di perlakukan dengan baik oleh Mas Nando. atau bisa jadi karena senyumannya. entahlah apa yg membuatku bisa mencintai suamiku.Yang pasti saat ini aku benar - benar kecewa dengan perilaku Mas Nando. Dia tidak menghargaiku sama sekali. bahkan pertama kali aku masuk rumah ini pun harga diriku merasa diinjak-injak dengan ulahnya yang membawa perempuan itu kerumahnya, padahal di sini ada aku. Dia anggap apa aku ini.Mas Nando sama sekali tidak bisa menjaga perasaanku, untuk apa aku tinggal di sini, untuk melihat mereka yang pamer kemesraan. Aku harus pergi dari sini, tapi aku akan pergi ke mana? kembali ke rumah Ayah, itu tidak mungkin. Masalah ini akan me
"Aku kangen sama kamu Nis.""Iya sama Kei, aku juga udah ngerasa kangen aja nih sama kamu, bisa nggak kalau kita besok ketemu?" ujar Annisa mengajakku ketemuan. Ya, mungkin dengan bertemu Annisa bisa membuatku kembali bersemangat."Ketemu di mana Nis?" tanyaku."Ya, di tempat biasa aja, kamu bisa 'kan. Mas Nando tidak mengekang kamu 'kan Nandini?" ucap Annisa yang khawatir Mas Aldo melarangku pergi bertemu Annisa."Tidak kok, Nis. Mas Nando tidak akan melarangku untuk bertemu dengan siapa pun, apalagi 'kan dia tau kalau kamu sahabat terbaikku, ya pasti dizinkan," ujarku mencoba menjelaskan, agar Annisa tidak curiga dengan Mas Nando."Bagus deh kalau gitu, berarti kita bisa ketemu kapan aja dong ya," ucap Annisa yang kelihatan sangat gembira, aku dan Annisa akan segera bertemu lagi."Iya Nis, itu pasti," ucapku dengan lembut."Oke deh, Nandini, besok aku tu
Sampai pada suatu pagi, dimana langit cerah, matahari pun menampakkan senyumnya.Aku yang duduk di tepi ranjang masih terasa enggan untuk keluar kamar. malas sekali rasanya kalau aku harus bertemu dengan Mas Nando pagi ini, membuat moodku yang tadinya sudah terkondisikan, bisa membuat mood kembali hancur.Terdengar suara Bi Inah yang mengetuk pintu dan memanggilku untuk sarapan pagi, aku pun masih enggan membuka pintu itu, pasti di bawah sana ada Mas Nando yang tengah menungguku, kekesalanku saja belum hilang. aku harus tenangin dulu hatiku. baru siap menemuinya.Terpaksa aku hiraukan panggilan dari Bi Inah. Namun, aku tetap berbicara dengannya."Iya, Bi, Nandini lagi nggak pengen keluar, nanti saja, bilang aja ke Mas Nando kalau Nandini masih males makan," ujarku masih di dalam kamar tanpa membukakan pintu."Jangan begitu, Mbak Nandini harus makan walaupun sedikit, 'kan Mbak Nandini sejak kemarin siang belum makan, nanti bisa sakit perutnya,
Hati yang mulai kembali membaik. Hatiku yang mulai merasa tenang, aku pun bersiap untuk pergi bertemu sahabatku Annisa, di sebuah restoran seefood tempat favorit kami, restoran Star Food yang menjadi pilihan kami sejak 5 tahun ini, bukan hanya karena harganya yang terjangkau. Namun, juga makanan di sana sangat enak, tempatnya juga sangat nyaman, terkadang mereka juga mengadakan diskon yang pasti banyak diminati oleh pengunjung.Aku pun berpamitan dulu dengan Bi Inah. "Bi, saya keluar dulu menemui teman saya, nanti juga sekalian mau mampir ke rumah orang tua saya, kemungkinan saya akan kembali ke rumah sore hari," ujarku dengan lembut seraya melempar senyum ke arah Bi Inah yang sedang mencuci piring."Iya, Mba, hati-hati ya, Mba Nandini naik apa kesananya?" tanya Bi Inah."Naik Grab car saja, Bi, saya sudah memesannya barusan," ucapku dengan lembut."Oh begitu, Mbak Nandini hati-hati ya.""Oh ya, mau dimasakin apa buat nanti makan malam Mbak?" tanya
"Gimana Nandini, sudah siap buat cerita?" tanya Annisa. "Iya, Nis. Aku memang harus siap menceritakan masalahku ini ke kamu," ucapku dengan nada sedih. "Iya jangan dipendam sendiri, Nandini, siapa tau saja aku bisa bantu kamu selesaikan masalah yang sedang kamu hadapin itu," ujar Annisa. "Iya, Nis. Makasih ya, kamu selalu bisa membuatku sedikit lebih tenang," ucapku "Iya, Nandini. Kita ini bukan sekadar sahabat, tapi kamu sudah aku anggap sebagai saudaraku, jadi masalah yang sedang kamu hadapi itu juga masalahku, sedangkan kebahagiaan yang kamu rasakan itu juga kebahagiaan yang aku rasakan. Aku nggak bisa lihat kamu sedih, Nandini. Kamu ini kan pengantin baru, seharusnya kamu bahagia, bukan malah sedih kayak gini," ucap Annisa yang mampu membuat hatiku sedikit lebih tenang. "Iya, Nis." "Apa kamu sedang bertengkar dengan Mas Nando, Nandini?" tanya Annisa. "Iya, Nis," jawabku dengan tertunduk, berusaha menata hati agar tidak samp
"Maksud kamu, aku harus perhatian gitu ke Mas Nando?""Iyalah, Keisya. Kamu masakin makanan kesukaan dia, atau kamu bisa rebusin air hangat untuk mandi saat dia pulang kerja, atau kamu cuci pakaiannya, memasangkan dasi, mengambilkan semua keperluannya saat kerja. hal sepele yang kamu lakukan itu pasti bisa meluluhkan hati suami kamu.""Apa kamu yakin hati Mas Nando bisa luluh, hanya karena diperhatikan seperti itu?" tanyaku sedikit ragu."Ya bisalah, asalkan kamu melakukannya dengan ikhlas." ujar Annisa mencoba meyakinkanku."Iya, Nis, kamu benar. Memang itulah yang seharusnya aku lakukan, tapi Mas Nando telah membuat kesepakatan, kalau aku dan dia akan terus menjadi seperti orang asing yang tidak saling kenal. Aku urusin keperluan dan kebutuhanku sendiri, begitu juga dengan dia. dan aku pun tidak berhak ikut campur urusan pribadinya," ucapku menjelaskan keraguanku tadi."Sudahlah, jangan mikirin kesepakatan, lagian 'kan Mas Nando yang membuat kese
Makanannya telah ia habiskan,aku menuangkan air minum di gelas dan aku berikan padanya."Ini Mas, minumnya.""Iya, makasih ya, sayang, kamu sudah melayaniku dengan baik," ujarnya sembari menerima segelas air minum dari tanganku."Iya, sama-sama, Mas. Meski rumah tangga kita tidak bisa berjalan dengan lama, setidaknya aku bisa membuat Mas Nando bahagia bersamaku, itu sudah cukup membuatku puas kok, Mas," jawabku dengan menunduk."Iya, makasih ya, Nandini. Maaf kalau aku belum bisa bahagiain kamu. Saat ini belum bisa mencintai kamu, tapi entah dengan perhatian kamu selanjutnya, mungkin saja bisa membuat hatiku luluh," ujar Mas Nando sembari menatapku lembut dan memberikan senyuman manisnya.Berarti aku masih ada kesempatan untuk memenangkan hatinya karena Mas Nando sendiri yang telah memberikan aku kesempatan itu."Aku akan pergunakan kesempatan itu dengan baik, Mas," jawabku sembari tersenyum manis."Iya Nandini.""Mana tadi kat
"Sudah azan Maghrib nih, Bi, sholat dulu yuk.""Iya Mba Nandini, ini Bibi juga mau ambil air wudu."Aku telah selesai menyetrika pakaian, sambil ngobrol nggak terasa capeknya. Aku pun bergegas mengambil air wudu dan menjalankan ibadah salat Maghrib, dilanjut dengan muroja'ah hafalan Al-Qur'an, sejak masalah menghampiriku aku tidak fokus untuk memuroja'ah hafalan. Sekarang aku ingin lebih fokus lagi untuk muroja'ah hafalanku, agar tidak terlupa.Setelah salat dan muroja'ah hafalan Al-Qur'an, aku bersiap untuk memasak makan malam. Mas Nando pasti suka aku masakin soto betawi, pulang kerja pasti dia belum sempat makan. Aku beinisitif untuk membuatkan soto betawi yang super lezat. Khusus untuk suamiku.Aku memasaknya sendiri, sebenarnya sih Bi Inah ingin membantuku tapi aku mencegahnya. Ini saatnya aku melaksanakan tugas-tugasku sebagai istri yang baik. Karena sejak masalah ini menghampiriku aku merasa aku belum melakukan tugasku sebagai seorang istri, yaitu
Tugas mengajar hari ini telah terselesaikan. Aku mencoba mengubungi Mas Nando. Ya, barangkali suamiku mau menjemputku, tapi lagi-lagi tidak diangkat olehnya. Aku pun mengirimkan pesan whatsapp.[Mas, aku akan pulang bersama Mas Aditia ya, aku harap kamu tidak marah padaku] isi pesan dariku.Aku langsung menghubungi Mas Aditia, dan langsung saja tersambung, memang orang ini selalu sigap jika aku membutuhkan bantuannya."Assalamualaikum Mas Aditia.""Wa'alaikumussalam, Iya, Mbak Nandini.""Bisa jemput saya sekarang, Mas?""Bisa kok Mbak, segera meluncur.""Baiklah, terima kasih banyak ya* Mas Aditia, saya tunggu di dekat gerbang kampus," ujarku."Iya sama-sama, Mbak Nandini, ini saya langsung meluncur ke sana.""Iya Mas Aditia, hati-hati ya. "Wassalamu'alaikum.""Iya, Mbak Nandini. Wa'alaikumussalam."Aku pun menutup teleponnya dan berjalan ke dekat gerbang kampus untuk menunggu Mas Aditia di sana.
"Tenang, Nandini. Kamu harus tetap semangat, alihkan dulu masalah yang membebani pikiran, konsentrasilah untuk mengajar," gumamku dalam hati, menyemangati diriku yang mulai down."Assalamualaikum Naharukis sa'id thalibul ilmi." Aku mengucapkan salam kepada para Mahasiswa."Wa'alaikumussalam, said mubarok Ustazah, Nandini." Mereka menjawab salamku dengan serempak, seperti biasanya."Kayfa halukuma?" Aku menanyakan kabar mereka."Alhamdulillah ala kulli hal.""Kayfa haluk Ustazah Nandini?" tanya salah satu mahasiswi yang bernama Zakia."Alhamdulillah ana bi khoir," jawabku sembari melempar senyum manis."Sudah bisa kita mulai proses belajarnya?" ujarku menanyakan kesiapan mereka."Sudah siap, Ustazah." Mereka menjawabnya dengan serempak."Baiklah mari kita mulai proses belajarnya hari ini kita awali dengan bacaan basmalahya.""Bismillahirrohmanirrohim ... selanjutnya kita berdoa agar diberikan ilmu yang berman
Aku masuk ke ruang kerjaku. Di ruangan itu telah banyak dosen yang sudah datang. Ya, memang aku agak kesiangan, biasanya aku selalu datang lebih dulu dari mereka semua. Aku yang datang kesiangan pun menjadi bahan candaan mereka. Ya, maklum aku 'kan pengantin baru."Assalamualaikum." Aku masuk ke ruang kerjaku dengan mengucapkan salam."Wa'alaikumussalam." Para dosen menjawab salam dengan serempak.Mereka semua langsung saja menatapku, aku yang berdiri di antara tatapan mereka pun menjadi sangat malu, bagaikan aku ini seorang artis saja yang penuh sorotan dan tatapan penggemar."Eheeemm, pengantin baru sudah mulai masuk kerja nih?" goda salah satu rekan kerjaku yang bernama Bu Yulistya,"Iya, nih, apa jangan-jangan maksain kerja nih," sahut Pak Nawawi dosen paling Killer di sini, tetapi kali ini malah bisa bercanda."Nandini, kamu minta perpanjang cuti kerja juga pasti dibolehin kok, mengingat pasti lagi asyik-asyiknya menikmati b
"Jika kau akan pergi, mengapa kau datang, jika aku mencintaimu apakah itu salahku?"***Keesokan harinya, aku sengaja tidak ke luar kamar terlebih dahulu, hari ini aku bersiap untuk mengajar, aku sudah rindu dengan para mahasiswi, aku berangkat kerja akan tetap meminta tolong Mas Aditia untuk mengantar.Keegoisan Mas Nando sungguh tidak wajar, dia terlalu posesif, tak seharusnya dia cemburu dengan Mas Aditia, dia tidak mencintaiku kenapa dia harus cemburu? Aneh bukan?Aku masih menunggu di kamar, aku tidak akan keluar dari kamar sebelum Mas Nando berangkat kerja. Aku malas untuk membahas hal yang sama, yang bisa membuat moodku hilang, aku harus semangat lagi untuk mengajar, harus fokus. Jangan karena masalah ini membuatku jadi sulit berkonsentrasi penuh pada pekerjaanku. Aku harus kembali bersemangat, demi masa depanku dan kebahagiaanku sendiri. Apa aku egois? Aku rasa tidak.Terdengar suara langkah kaki seperti sedang berjalan ke arah
Belum sempat aku masuk ke rumah, Mas Nando tiba-tiba menghampiriku di luar yang masih ngobrol dengan Mas Aditia."Nandini, kamu sudah pulang sayang?" ucapnya sembari merangkul pundakku."Iya sudah kok, Mas.""Eh lo rupanya, Dit?" tanya Mas Nando yang kaget melihat Mas Aditia yang mengantarku pulang."Iya, Mas Nando," jawab Mas Aditia sembari membuka mobilnya lalu ke luar dari mobil."Nandini, kamu kok diantar pulang sama nih anak?" tanya Mas Nando sembari menatapku sinis, sepertinya dia marah."Iya, Mas. Mas Aditia ini kan sopir grab car," jawabku sembari tetap tersenyum padanya."Oh jadi lo sekarang jadi sopir grab car, Dit?" tanya Mas Nando pada Mas Aditia.Aku heran, mereka 'kan tetangga, Mas Aditia aja kenal baik, bahkan tahu semua tentang Mas Nando, tetapi Mas Nando malah tidak tahu kalau Mas Aditia kerjanya jadi sopir grab car, kan aneh aja gitu."Iya, Mas," jawab Mas Aditia singkat dan eksresinya agak gugup.
Diteras kulihat Mas Aditia tengah duduk di kursi yang semalam dia tempati buat tidur."Assalamualaikum Mbak Nandini.""Wa'alaikumussalam warahmatullah. Sudah sedari tadi di sini ya, Mas?""Barusan kok, Mbak. Oh ya, ini bubur ayamnya, saya belikan dua, barangkali Mba Nandini suka nanti bisa nambah lagi.""Makasih ya, Mas, jadi ngerepotin," ucapku dengan lembut"Iya sama-sama* Mbak, nggak ngrepotin kok.""Mas Aditia nanti bisa antar saya ke pasar sebentar untuk membeli keperluan memasak, sudah habis semua.""Bisa kok, Mbak, sekarang?""Saya mau sarapan dulu, Mas, nanti saya hubungi kalau sudah siap berangkat""Oh baik, Mbak. Saya permisi pulang ya, mau sarapan juga sekalian mau cuci mobil dulu, " ujar Mas Aditia yg pamit pulang."Iya, Mas. Hati-hati, sekali lagi makasih ya, buburnya.""Iya dihabiskan ya!"Aku mengangguk."Ya sudah, Mbak. Saya pulang dulu. Assalamualaikum.
Pagi yang cerah, aku Nandini, aku akan membuat suamiku sadar betapa berartinya diriku."Aku akan membuat kamu lupa dengan masa lalu kamu yang pahit itu Mas Nando," gumamku dalam hati."Astagfirullah, aku sampai lupa, bukankah tadi malam Mas Aditia telah menolongku, dan tidur di teras," gerutuku.Aku pun bergegas ke luar rumah untuk melihat apakah Mas aditia masih berada di sana ataukah sudah kembali ke indekos.Aku ke luar rumah, tidak ada siapa pun di sana, bantal dan selimut masih ada di kursi, lalu di mana Mas Aditia?"Mbak Nandini sudah bangun?" tanya Mas aditia menghampiriku."Iya, sudah sejak Subuh tadi, Mas, Mas Aditia dari mana?""Oh ini loh, Mbak, tadi itu saya pulang dulu, untuk sholat Subuh di masjid, karena saya masih ngantuk ketiduran deh di kamar indekos, bangun tidur saya inget, kalau saya pulang tadi belum pamit sama Mbak Nandini, saya berpikir pasti Mbak Nandini nyariin, makanya saya ke sini lagi Mbak," ujar Mas