Ario menghentikan laju mobilnya mendadak. Dia menoleh ke arah Lasmini yang tetap menatap ke depan. Wajah cantik Lasmini kini terlihat tidak ramah, berbeda dari biasanya.
Ario kemudian mengambil cincin yang diletakkan oleh Lasmini di dalam laci mobilnya. Dia lalu meraih tangan Lasmini untuk menyematkan kembali cincin itu di jemari lentik wanita pujaan hatinya. Namun Lasmini segera menepis tangan Ario. Dia lalu menyembunyikan tangannya di samping kursi yang dia tempati. Ario tertawa geli melihat ulah Lasmini yang mencoba menghindarinya.
“Ayolah, sayang. Jangan begitu, kamu sudah menerima lamaran aku tadi, bukan? dan malam ini aku akan berbicara pada ibumu tentang rencana kita.” Ario lalu mengelus pipi halus Lasmini dan mengecup pipi itu dengan lembut.
Lasmini mencoba mengelak, tapi percuma karena Ario sudah mendaratkan bibirnya di pipi mulus Lasmini.
“Mas, stop! aku sudah bilang jangan sentuh aku sebelum urusan rumah tangga Mas Ario selesa
Lasmini tersenyum geli melihat ekspresi Ario. Dia jadi teringat saat dirinya minta dicium oleh Bima, saat mereka sedang berdua di kamar.Lasmini menutup pintu mobil yang sempat dia buka sebelumnya. Dia kemudian mendekatkan wajahnya ke wajah Ario. Dia hanya diam saat bibirnya dan bibir Ario hanya berjarak kira-kira satu inci. Ario tertawa pelan kala Lasmini mematung di tempatnya.“Kamu tahu Lasmini, apa yang membuat aku jatuh cinta sama kamu?” tanya Ario disela tawanya.Lasmini menggelengkan kepalanya. “Tidak, waktu itu setelah Mas bilang cinta sama aku, Mas langsung menyerangku di kebun teh dan jadi itu si Bima,” ucap Lasmini mengerucutkan bibirnya.Ario semakin gemas dengan wanita cantik yang ada di depannya ini. Bibirnya yang mengerucut itu menjadi daya tarik tersendiri bagi dirinya. Tanpa aba-aba, Ario langsung menyambar bibir merah alami yang sepertinya sedang menggoda dirinya. Bibir itu seperti sedang memanggil dirinya dan mem
“Bu, aku bukan membela Mas Ario. Dia bukan tidak mau bertanggung jawab, tapi saat itu keadaan yang tidak memungkinkan. Dia dijodohkan oleh wanita pilihan orangtuanya. Dia mencari aku setelah itu, tapi karena kita sudah pindah jadinya tidak ketemu. Dia tanya sama orang desa yang lain, tidak ada yang tahu kemana kita pindah saat itu. Aku pikir Mas Ario tidak bohong. Kita pindah memang mendadak dan tidak ada yang tahu, bukan? karena aku hamil, jadi ibu diam-diam mengajak aku pindah ke desa Paman. Kalau Mas Ario bohong, dia tidak mungkin bilang kalau saat ke desa ternyata kita tidak ada. Dia tanya ke tetangga juga saat itu dan menurut tetangga, kita sudah pindah dan mereka memang tidak tahu alamat kita di desa Paman. Jadi aku percaya sama ucapan Mas Ario, karena yang dia jelaskan padaku benar adanya.” Lasmini menghela napas setelah dia menjelaskan pada ibunya panjang lebar.Sulastri terdiam setelah mendengarkan penjelasan anaknya. Dalam hati dia diam-diam mulai memper
Ario tersenyum senang setelah membaca tulisan di kertas yang diletakkan Lasmini di meja kerjanya. Dia menatap Lasmini yang kini wajahnya merona.“Akhirnya ibu kamu mengijinkan aku juga. Terima kasih sudah membantu aku menjelaskan pada ibu kamu. Tapi aku akan memberikan penjelasan lagi saat aku mengunjungi Bima. Dan aku tetap akan meminta maaf kepada ibumu.” Ario kemudian melipat kertas itu dan ditaruh di laci meja kerjanya.“Kok disimpan kertasnya, Mas?” tanya Lasmini sambil memicingkan matanya.“Buat kenang-kenangan kalau ibu mertuaku sudah memberikan lampu hijau buatku.” Ario tertawa kecil dan menatap Lasmini yang kini merotasi matanya malas.“Saya kembali ke meja saya ya, Pak. Masih banyak pekerjaan yang harus saya selesaikan,” ucap Lasmini.“Silahkan,” sahut Ario menganggukkan kepalanya. “Mini, tunggu!” seru Ario tiba-tiba.“Ada apa, Pak?” tanya Lasmini m
“Mainan kereta ini bagus, Bun. Bima sudah punya belum?” Ario menatap wajah Lasmini sekilas. Dia kemudian asyik memilih mainan untuk anak semata wayangnya.“Bima belum punya mainan kereta itu, Mas. Harganya juga mahal. Sayang juga takutnya nanti nggak awet, karena anak seusia dia belum mengerti. Dia juga masih suka melempar-lempar barang. Sayang kalau harga mainan mahal tetapi cuma sebentar bisa dibuat main.” Lasmini merasa keberatan kalau Ario berlebihan dalam membelikakn mainan untuk anaknya.“Biarlah, Bun. Nanti kalau rusak, aku belikan lagi. Sama anak jangan perhitungan. Kita kerja juga buat anak, bukan?” Ario tetap pada pilihannya semula. Dia tetap memilih mainan kereta untuk diberikan pada Bima.Lasmini hanya bisa menghela napas panjang. Dia sepertinya sulit untuk memberi saran pada Ario. Sepertinya Ario ingin membalas waktu yang pernah dia lewatkan saat anak itu masih di dalam kandungan dan saat anak itu lahir. Dia ingin
Ario segera menghabiskan suapan terakhir makan malamnya, kemudian dia beranjak dari kursi dan melangkah ke arah Sulastri di ruang tamu. “Biar saya yang menggendongnya, Bu. Sepertinya Bima ingin sama saya.” Ario mengulurkan tangannya ke arah Bima dan secara spontanitas, Bima segera meraih tangan Ario. Dalam sekejap mata, Bima sudah berada di pelukan sang ayah. Sulastri merasa terharu melihat pemandangan itu. Dia tersenyum saat melihat Bima yang langsung anteng berada di pelukan Ario. “Kalau begitu Ibu tinggal dulu ya, Nak,” ucap Sulastri. “Iya, Bu. Biar Bima sama saya saja, sepertinya dia juga sudah mengantuk,” sahut Ario. Hati Ario merasa damai saat berada di rumah Lasmini. Dia seperti menemukan rumah yang sesungguhnya, sebuah rumah yang sangat nyaman dan membuat dirinya tidak ingin keluar dari rumah itu. “Bima sudah tidur ya, Mas?” tanya Lasmini yang tiba-tiba ada di sampingnya. Dia melihat anaknya yang sudah tertidur pulas padahal baru saja
“Tenang, Bu. Jangan panik dulu. Maksud saya menikah siri bukan untuk menjadikan Lasmini sebagai istri simpanan saya. Saya sama sekali tidak ada niatan seperti itu. Saya lakukan ini untuk kepentingan Bima juga. Alangkah baiknya kalau dia tumbuh di dalam suatu keluarga yang lengkap, ada ayah dan bundanya. Saya tahu Lasmini secara materi bisa menafkahi Bima. Terbukti dia selama ini bisa mandiri bahkan bisa membeli rumah ini. Tapi menurut cerita Lasmini, Bima suka menanyakan ayahnya. Hal itu yang menjadi pertimbangan utama saya. Saya ingin Bima mendapatkan kasih sayang dari kedua orangtuanya setiap saat karena tinggal satu atap. Walaupun saya akui secara pribadi, saya juga mengharapkan Lasmini menjadi istri saya seperti rencana semula. Tapi kalau soal Lasmini menjadi istri saya, itu bisa menunggu sampai adanya keputusan pengadilan yang mengabulkan gugatan cerai saya. Untuk Bima, saya tidak bisa menunda lagi, Bu.” Ario menatap Sulastri dengan tatapan penuh permohonan.
Ario tengah bersiap berangkat ke rumah Lasmini, saat tiba-tiba Rosalia datang ke rumahnya. Dia mengerutkan keningnya merasa heran saat mantan istrinya datang ke rumahnya.“Ada apa?” tanyanya saat Rosalia sudah mendekat.“Apa tidak boleh seorang istri datang ke tempat suaminya?” Rosalia balik bertanya.“Mantan! ingat itu!” ucap Ario kemudian masuk ke dalam mobil dan menyalakan mesin mobilnya. Rosalia buru-buru naik ke dalam mobil dan duduk di kursi penumpang.“Sidang masih berlangsung, Ario, ingat itu!” ucap Rosalia ketus. Dia kini memanggil Ario hanya dengan sebutan namanya saja, karena dia sudah tidak bisa sabar lagi menghadapi pria itu. Dia kemudian membuka tasnya dan mengambil sesuatu di sana. “Ini! kamu lihat ini! sekretaris kamu yang cantik itu ternyata sudah memiliki anak dan anak itu adalah anak haram, karena Lasmini tidak punya suami dan belum pernah menikah sebelumnya. Sekretaris seperti itu y
Ario menggendong Bima yang sudah tertidur pulas, dan menggandeng tangan Lasmini memasuki villa yang sudah dia sewa untuk mereka menginap malam ini.Ario merebahkan Bima di atas tempat tidur dan melepaskan sepatu anaknya dan mencium pipi anaknya dengan sayang. Sementara itu Lasmini mencoba untuk menelepon ibunya untuk menjelaskan kalau dia tidak bisa pulang malam ini, karena longsor dan jalan menuju Jakarta di tutup.“Halo, Bu.”[Halo, Mini. Kamu di mana? ini sudah malam tapi kamu belum pulang.] terdengar suara Sulastri yang panik di seberang sana.“Maaf, Bu. Aku tidak bisa pulang malam ini, karena jalan yang menuju Jakarta ditutup disebabkan ada longsor di dekat sini.”[Oh begitu. Ya sudah kamu hati-hati, ya. Bima sudah tidur?] suara Sulastri sudah tidak terdengar panik lagi dan berganti menjadi lebih tenang sekarang.“Sudah, Bu. Dia ditemani ayahnya sekarang.”[Ya sudah kalau begitu. Ibu tidur dulu