Aku bangkit berdiri setelah menghabiskan beberapa waktu hanya untuk meratapi nasib. Ternyata patah hati memang sakit. Dulu aku selalu menganggap mereka yang menangis karena patah hati adalah orang lemah. Sebab, menangis hanya karena cinta. Faktanya cinta memang bisa melemahkan. Aku berjalan menuju lemari. Mencari dress yang paling panjang untuk dikenakan. Kemudian meraih sling bag. Memasukkan dompet, semua kartu, dan ponsel. Aku hanya akan pergi dengan membawa diri sendiri. Semua pakaian biarkan saja tertinggal di lemari. Aku tidak membutuhkan itu lagi. Aku terdiam beberapa saat dengan memeluk jaket Sergio. Berpikir ingin membawa atau meninggalkannya. Lalu memutuskan untuk membawa ikut serta. Setidaknya aku memiliki satu kenangan darinya. Yang bisa mengobati ketika rindu tiba-tiba datang menyerang. Kukenakan jaket itu kembali setelah berganti pakaian. Lalu berjalan ke luar kamar. Tidak lagi kudapati Clayton di sana. Tampaknya ia telah pergi. Kaki terasa begitu berat untuk menuru
Wanita itu diam sejenak. Aku bangkit berdiri, beranjak untuk ke belakang agar ia mengikuti. Aku menunggu di depan pintu toilet. Berharap agar ia datang. Beberapa menit menunggu, akhirnya istri Sergio datang juga. Di balik wajah cantik itu terselip kebingungan. Entah akan apa. Aku menarik napas dalam. Terasa berat untuk berucap. Ia orang baik, entah kalimat semacam apa yang harus kukatakan agar ia tidak merasa tersakiti. “Ada apa, Mbak?” Ia menatapku dengan lekat, menunggu jawaban. Lagi, aku menghela napas dalam. Mencoba untuk menetralisir perasaan. Jantung seakan bergendang. “Ini masalah Sergio.” Suaraku terdengar sedikit bergetar. Degup jantung bahkan belum bisa kukendalikan. Aku butuh bantuan. Napas bahkan mulai terasa sesak. “Iya, kenapa?” Ia menatap dengan bingung. Aku tidak bisa menahan diri. Akhirnya isak tangis itu kembali lagi. Aku terjatuh, berlutut di hadapannya. Menarik kedua tangan itu memohon ampunan. “Maafkan aku.” Aku berucap dengan terisak. “Sergio selingkuh
Kaki melangkah tanpa tujuan. Ini benar-benar sakit. Meninggalkan lelaki yang begitu dicintai karena takdir tidak merestui. Aku memeluk tubuh sendiri. Angin malam mulai terasa menusuk hingga ke tulang. Untung saja jaket milik Sergio melekat di badan, jadi rasa dingin itu bisa diminimalisir meski sedikit. Ponsel berdering, kurogoh tas untuk melihat siapa yang tengah memanggil. Nama Sergio tertera di layar ponsel. Aku berdecak kesal. Apa dia tidak tahu betapa sulitnya aku untuk mengenyahkan dia dari hidupku? Mengapa ia tidak berpikir sedikit pun tentang perasaanku?! Ia yang melarang agar aku tidak menghubungi, tapi dia juga yang melanggar larangan itu. Kuabaikan panggilan darinya hingga dering itu berhenti sendiri. Ia kembali memanggil. Kutekan icon menolak, lalu menonaktifkan ponsel agar ia tidak bisa menghubungi lagi. Kaki terus melangkah tak tahu arah. Entah ke mana malam ini tubuh dibawa beristirahat. Mata bahkan belum mengantuk, sementara waktu sudah menunjukkan dini hari. Sem
Aku tidak bisa tidur hingga pagi menjelang. Berada di tengah-tengah mereka membuatku merasa semakin bersalah. Sebelum mereka bangun, aku bangkit berdiri. Meraih tas, lalu bergegas keluar kamar. Kartu kamar kost kuselipkan di bawah pintu kamar Clayton seperti pesan mereka sebelumnya. Kemudian berlari melewati koridor dan menuruni anak-anak tangga. Kuusap kedua sudut mata yang basah. Sungguh, kini aku ikhlas meninggalkan Sergio. Bukan karena tak ada lagi cinta di dada, tapi karena tidak ingin anak-anaknya kehilangan sosok dirinya. Mereka lebih butuh dia dibanding aku. Mereka lebih dulu ada di hidupnya sebelum diriku. Aku berlari keluar area kost. Menembus gelapnya dini hari menjelang Subuh. Berjalan mengikuti langkah kaki tanpa tujuan. Suara adzan Subuh terdengar setelah beberapa saat aku berjalan sendirian. Kucari sumber suara, lalu memutuskan untuk pergi ke sana. Sholat berjamah bersama beberapa ibu paruh baya yang mengisi shaft bagian perempuan. Aku selalu tidak bisa menahan ai
Aku melangkah keluar dari ruangan dengan perasaan yang begitu berantakan. Kaki begitu berat untuk melangkah. Sungguh, ini tidak pernah terpikir sedikit pun. Tidak pernah terbersit dalam hati barang sedetik pun. Susah payah aku bangkit berdiri, melangkah terseok-seok menjauh pergi dari hidup Sergio, kini darah dagingnya tumbuh di dalam rahim. Mengapa harus begini? Mengapa harus hamil?! Kuempaskan pantat dengan kasar ke kursi yang berjejer panjang di depan poli kandungan. Sebab, kedua kaki rasanya sudah tidak sanggup lagi menopang berat badan. Kedua lutut rasanya lemas. Gemetar. Bagaimana jika nanti orang-orang tahu bahwa aku hamil tanpa adanya pernikahan? Bagaimana pandangan orang terhadap wanita berhijab nantinya? Tuhan, ini terlalu berat! Cukup lama aku berada di sana. Bahkan hingga poli kandungan ditutup, aku enggan beranjak.[Sakit apa, Din? Udah diperiksa apa masih ngantri?] Febby mengirimkan pesan. Aku tidak membalas. Bagaimana mungkin aku bisa menjawab bahwa aku tengah hami
Aku berlalu dengan rasa sakit di dada. Tidak peduli apa pun yang terjadi, janin ini harus digugurkan. Aku tidak ingin ia mendapatkan pertanyaan yang serupa kelak. Mendapatkan ejekan-ejekan karena tidak punya bapak. Apa pun risikonya, akan aku tanggung. Kutancap gas dengan kecepatan tinggi. Berhenti di pinggir jalan untuk membeli nanas muda. Lalu, kembali lagi menancap gas menuju kost-an. Area kost tampak begitu sepi. Sebab, ini jam kerja, juga jam aktif belajar untuk pelajar dan maha siswa. Jadi, hanya ada aku sendiri. Memberikan sedikit kemudahan agar tidak ketahuan. Kukeluarkan obat penggugur di dalam jok, juga tiga buah nanas muda yang tadi sempat kubeli. Bergegas menuju kamar untuk segera mengonsumsi. Kutelan beberapa butir pil tanpa membaca dosis terlebih dahulu. Aku ingin ia keluar sekarang. Agar beban mental ini segera terlepas dari badan. Tidak ada efek yang kurasakan setelah menunggu beberapa saat. Obat itu tidak memberikan respons apa pun. Jadi, kutambah lagi dosisnya.
Sergio terus memeluk, menenangkan. Sekuat apa pun aku memberontak, ia tidak ingin melepaskan. Hingga tubuh terasa mulai kehilangan tenaga dan berhenti memberontak darinya. Kurasakan degup jantungnya berdetak dengan sangat tidak normal. Entah apa yang terjadi selama aku pergi, aku tidak tahu. Yang pasti, aku bisa merasakan bahwa ia juga sakit menahan rindu. Lagi-lagi aku luluh. Ia punya kekuatan besar untuk meluluhkan. Sedikit pun, aku tidak bisa melawan. “Kamu harus tenang. Ada anak kita di dalam perutmu.” Ia berucap setengah berbisik. Puncak kepalaku diusapnya dengan begitu lembut. Sejenak kami terdiam, irama jantung saling berbicara. Hanya isak tangis yang terdengar menyelingi detak jantung yang saling mengejar. “Kamu yang tenang. Tunggu di sini, jangan ke mana-mana. Aku akan memanggil perawat untuk memperbaiki jarum infusmu.” Ia berpesan sembari mewanti-wanti. Membantuku untuk rebahan kembali. Aku hanya diam, tapi tetap menurut. Setelah ia pergi, semua tubuh mulai terasa n
“Kau membenciku. Mengapa kau ingin menikah denganku? Apa karena kau takut aku merusak rumah tangga saudaramu?” Aku bertanya seraya tersenyum getir. Ajakan nikah yang ia ucapkan terasa begitu menggelitik. Sejak dari awal bertemu pun, ia sudah menaruh benci. Lalu, mengapa tiba-tiba ia mengajak untuk menikah? Clayton menghela napas berat. Ia tarik kursi samping brankar dan duduk di atasnya. Kemudian menatapku dengan lekat. “Apa itu salah?” Ia bertanya seraya menaikkan alis kanan.“Sangat.” Aku menjawab dengan lemah. Pernikahan bukanlah hal yang bisa dipermainkan. Andai pernikahan bukan hal yang sakral, sudah kurusak lebih dulu pernikahan Sergio dengan istrinya.“Di mana letak kesalahannya?” Ia kembali bertanya. Kali ini aku tidak lagi menjawab. Tenggorokan rasanya begitu serak. Ingin minum. Bibir juga terasa semakin kering. Aku berdehem kecil, memberikan kode bahwa aku butuh air mineral. Tidak ingin meminta tolong secara langsung, sebab ada ego sebagai penghalang. Namun, tampaknya
“Kamu tunggu di mobil, ya. Nanti aku nyusul.” Sergio berucap ketika kami telah sepakat untuk mencari rumah pagi ini setelah ia mengantar anak-anak ke sekolah. Aku mengangguk, lalu beranjak menuju mobil dan menunggu di sana. Cukup lama hingga Sergio datang menyusul. Mobil mulai melaju dengan kecepatan sedang menuju arah yang sudah sangat familiar. “Kita ke kost?” Aku menoleh ada Sergio, mencari jawaban. “Kita singgah sebentar, aku ada janji dengan salah satu penghuni. Katanya mau bayar sewa kost untuk satu tahun hari ini. Tapi tadi dihubungi tidak ada respons sama sekali.” Aku menarik napas berat, dapat kubaca keresahan di wajahnya. “Kau tidak punya uang?” Kugenggam tangannya yang tengah mengendalikan kemudi. Ia telah mengeluarkan uang banyak beberapa bulan ini, mungkin saja tabungannya telah terkuras habis. Apalagi biaya hidup kami cukup tinggi. Sergio menoleh. Ia tersenyum sekilas, kemudian kembali menatap fokus ke arah jalan raya. “Aku akan berusaha.” Ia mencoba untuk meyakin
“Larissa ingin ikut, sekalian mau cek kandungan.” Sergio memberitahu saat kami berangkat menuju rumah sakit untuk melepas gips seperti saran dokter ketika kontrol minggu lalu. Aku tidak menggubris ucapannya. Diberi izin atau tidak pun, Larissa pasti akan tetap ikut. Aku fokus pada kaki yang sudah bisa dipijakkan pelan-pelan. Tidak lagi terasa begitu sakit saat telapak kaki menyentuh lantai. Larissa berjalan mendahului kami sembari menggendong si bungsu. Ia masuk ke mobil lebih awal dan mengambil posisi di depan, tepat samping kemudi. “Sebaiknya kalian saja yang pergi. Kita bisa ke rumah sakit setelah kalian pulang nanti. Aku ingin ditemani ketika dokter melepas gips.” Aku berucap pada Sergio seraya mendongak menatap. Sepertinya ia tahu apa yang tengah aku pikirkan. Larissa juga pasti akan ingin ditemani ketika bertemu dengan dokter kandungan. Sergio harus memilih salah satu nantinya. “Jadwalnya tidak tabrakan. Dokter sudah menunggu kita. Selepas menemanimu, aku akan menemani Lari
“Pa, makan malamnya di luar saja, ya.” Larissa muncul menghampiri kami yang tengah duduk berdua di ruang tengah. Ia datang bersama anak-anak dengan setelan yang telah siap untuk berangkat. Sergio diam untuk beberapa saat. Menatap mereka yang terlihat penuh harap. Sudah lama juga sejak terkahir kali mereka pergi ke luar bersama. “Lain kali saja, ya.” Sergio menolak. Wajah Larissa langsung berubah. Ia cemberut, berbalik dan lekas berlalu pergi sembari menggendong si bungsu. “Ayo, Pa, mama bilang mau makan steak.” Johannes sedikit memaksa. Ia goyang lengan Sergio, meminta agar lelaki itu menuruti permintaan mamanya. Sergio menoleh padaku. Seolah meminta izin untuk pergi keluar. Sebab, aku tidak mungkin bisa ikut dengan kondisi seperti ini. Aku hanya diam. Ingin rasanya menahan, tapi takut jika nanti Larissa semakin menaruh dendam. Hidup seperti ini saja sudah sangat menyiksa. “Mami juga ikut, ya.” Johannes beralih padaku. “Mami tidak bisa ikut, Sayang. Kaki Mami lagi sakit.” Aku
Aku pindah ke kamar tamu di lantai bawah, agar mempermudah ketika ingin ke ruang makan saat jam makan. Tidak perlu naik turun tangga seperti biasanya. Namun, itu juga sedikit menyiksa, sebab kamarku yang saling berdekatan dengan kamar utama tempat Sergo dan Larissa berada. Aku kembali meminta dibelikan tongkat agar bisa berjalan sendiri tanpa bantuan siapa-siapa. Sergio selalu saja menuruti apa yang aku minta. Tidak ada satu pun alasan yang bisa kupakai untuk meluapkan kecemburuan padanya. Ia terlalu baik, sungguh. Aku juga jadi tidak enak hati jika harus berkeluh kesah tentang rasa cemburu yang beberapa hari ini menyiksa dada. Jadi, semuanya kutahan sendiri. Ternyata berbagi suami memang seberat ini. Larissa tidak ingin bertegur sapa setelah aku kembali dari kampung. Seminggu sudah aku di rumah ini, tapi dianggap tidak ada oleh dia. Ketika ku ajak bercerita pun, ia tidak ingin menanggapi. Jadi, ya sudah aku hanya mengikuti permainan yang ia jalankan. Ia beriskap dingin, aku pun ik
“Aku mau langsung pulang, masih ada kerjaan.” Clayton pamit saat kami telah tiba di rumah. Sepertinya ia memang sengaja menghindari pertemuan sekarang. Aku duduk di sofa, merentangkan kedua kaki di sana. Sementara Sergio langsung beranjak menuju dapur setelah adiknya itu pergi. “Mami capek?” Johannes mendekat. Ia ikut naik ke sofa, memijat kakiku dengan lembut.Aku menggeleng pelan sebagai jawaban. Kemudian tersenyum. Namun, tangan mungilnya tetap bergerilya di sana. “Minum dulu.” Sergio kembali dengan membawa sebotol air mineral dan juga gelas. “Istirahat dulu, Pa. Papa juga pasti lagi capek.” Aku berucap seraya menerima gelas yang sudah ia tuang air. Rasanya begitu gerah dan lelah karena telah melakukan perjalanan jauh. Apalagi Sergio yang harus bolak-balik berulang kali sejauh itu. Kulepas hijab yang menutup kepala, lalu mengibaskan tangan agar terasa lebih segar. “Mami gerah?” Johannes turun dari sofa, ia berlari entah ke mana, lalu datang lagi dengan sebuah buku di tangann
Aku duduk di pinggir, dekat jendela pesawat sebelah kiri. Sementara Sergio duduk tepat di sebelah kananku. Ia memesan tiket bisnis agar aku bisa duduk lebih nyaman, sebab lebih lapang dan leluasa. Sepanjang perjalanan, aku menatap ke arah jendela. Memerhatikan pemandangan yang tampak indah dari atas sini. Sesekali terjadi benturan kecil karena pesawat menabrak gumpalan awan. Aku merasa sedikit gelisah. Tidak senyaman biasanya saat Sergio ada bersamaku. Omongan para tetangga mulai merasuki hati dan pikiran. Aku takut untuk kembali ke rumah itu. Takut bertemu dengan Larissa, lalu mendapatkan perlakuan yang kurang baik darinya. Aku tidak pernah tahu apa yang ia rasakan selama ini. Nyatanya ia tidak seikhlas apa yang terucap dari mulutnya. Aku menoleh menatap Sergio. Ia kembali tertidur selama perjalanan lewat jalur udara. Tampaknya ia benar-benar lelah. Kedua tangannya menggenggam erat tangan kananku yang ia bawa ke antara kedua pahanya. Sejenak, kutatap wajah itu lamat-lamat. Ada pe
Wanita paruh baya itu bersikap acuh tak acuh. Sekeras dan sememelas apa pun aku meminta restu agar diperbolehkan ikut dengan Sergio ke Jakarta, ia tetap tidak mengizinkan. “Satu langkah saja kamu keluar dari rumah ini sama Sergio, jangan pernah injakkan kaki lagi ke rumah ini.” Ibu berucap dengan sangat tegas. Ia tidak main-main dengan kalimat yang baru saja terlontar dari mulutnya. Terlihat keseriusan di sana. Sebenci itu dia terhadap suamiku? Ternyata benar, cinta tidak akan selamanya tetap berbentuk cinta. Ibu pernah sangat mencintai Sergio, menganggap dia adalah pahlawan keluarga. Namun, kini cinta itu telah berubah menjadi benci yang tiada tara. “Aku sudah menikah, Bu. Sergio lebih berhak atas aku dibanding Ibu.” Aku terus memberikan jawaban yang serupa. Sergio kembali setelah ia pergi beberapa waktu yang lalu entah ke mana. Ia pulang dengan membawa tentengan. “Aku sudah membeli keperluan dapur dan peralatan mandi untuk stock satu bulan. Mungkin lebih.” Sergio berucap seraya
Ibu hanya diam saat ia pulang dan menemukan Sergio telah ada di rumah. Tidak ada tegur sapa, tidak ada basa-basi apa pun sama sekali. Sikapnya masih saja sama. Bersikap seolah Sergio tidak ada. Senyum lelaki itu hanya dibalas dengan wajah datar. Aku memerhatikan ekspresi Sergio setiap waktu. Memastikan bahwa ia tidak apa-apa dengan sikap Ibu. “Kau tidak apa-apa?” Aku bertanya dengan perasaan entah, saat tegur sapanya pada Ibu tidak ditanggapi sama sekali. Wanita paruh baya itu berjalan melewati, bahkan tidak menoleh sedikit pun. Rasanya lebih sakit ketika Ibu mengabaikan Sergio daripada ketika Ibu mengabaikan aku. Rasa sakitnya terasa dua kali lipat lebih parah. “Mungkin ibu capek, baru pulang kerja.” Sergio masih berpikir positif. Aku hanya bisa menghela napas dengan berat. Kami tengah duduk di kursi ruang depan. Membahas hal yang tidak terlalu penting. Berdiskusi untuk mengusir rasa sepi. Namun, setelah Ibu pulang, suasana malah terasa semakin mencekam. Terdengar bunyi perabota
“Jangan bicara sembarangan. Aku sibuk mengurus banyak hal, tidak ada waktu lagi jika harus menambah satu wanita.” Sergio langsung menyangkal tuduhanku yang tidak berdasar. Aku tahu ia tidak seburuk itu, hanya saja jauh darinya membuatku memikirkan banyak hal yang negatif tentangnya. “Kau tahu kenapa aku tidak ingin pisah rumah?” Ia bertanya dengan nada entah. “Karena aku tahu LDR itu tidak pernah memiliki ending yang baik.” Ia menjawab sendiri pertanyaan yang baru saja ia lontarkan. “Aku akan menyusul ke sana beberapa hari lagi agar kau berhenti berpikir negatif.” Ia terus mengoceh tanpa henti, tidak memberikanku waktu untuk membalas setiap kalimat yang ia lontarkan. Aku hanya menarik napas berat, merasa menyesal karena telah melontarkan pertanyaan yang mungkin telah menyinggung perasaannya. “Kita bicara lagi nanti. Aku harus menjemput Larissa sekarang.” Sergio kembali ke setelan awal. Berucap dengan penuh kelembutan. Aku hanya mengangguk dengan lemah meskipun ia tidak bisa melih