Bianna berdiri di sudut ruangan, memandangi gelas sampanye di tangannya dengan tatapan kosong. Suara musik yang mengalun dan tawa tamu-tamu yang saling bercakap-cakap terasa seperti gema yang jauh, samar, dan tidak nyata.
Dia masih teringat bagaimana Damian tiba-tiba pergi begitu saja setelah bertemu Viella. Tanpa sepatah kata pun. Tanpa memedulikan Bianna yang harus menjelaskan ketidakhadirannya pada Ricardo. Dengan senyum yang dipaksakan, Bianna berkata bahwa Damian kurang sehat dan perlu beristirahat lebih awal. Sebuah kebohongan kecil yang terpaksa dia lontarkan agar tidak membuat keadaan semakin canggung. Ricardo tampak mengerti, tetapi tetap saja, Bianna merasa seperti orang bodoh yang ditinggalkan begitu saja. Bianna menghela napas panjang, merasa lelah. Namun, saat dia hendak mencari tempat lebih sepi, sebuah suara menghentikannya. "Nyonya Lysander, bolehkah aku menemanimu bersulang?" Bianna mendongaDitatap seperti itu oleh Damian, Viella masih tersenyum, tetapi kali ini sorot matanya tampak lebih dalam. Ada sesuatu di sana, mungkin kemarahan, mungkin rasa sakit, atau mungkin sesuatu yang bahkan tidak bisa ditebak oleh Damian maupun Bianna. “Sepertinya aku mengganggu momen kalian,” ujar Viella dengan nada yang terdengar manis, tetapi Bianna bisa merasakan sindiran di balik kata-katanya. Damian tidak membalas, hanya menatapnya dingin. Viella meneguk sedikit sampanye dari gelasnya sebelum akhirnya berkata, “Aku akan kembali ke tempat Ricardo. Senang berbincang denganmu, Nyonya Lysander.” Setelah berkata begitu, Viella melangkah pergi dengan anggun, meninggalkan Bianna dan Damian yang masih berdiri dalam posisi mereka. Bianna menelan ludah, lalu melirik Damian yang masih menatap Viella hingga sosoknya menghilang di antara tamu-tamu lain. Tangan Damian yang merangkulnya terasa begitu
Mendengar pujian itu Damian hanya menanggapi dengan anggukan kecil dan senyuman tipis, sedangkan Bianna, yang masih merasa gugup setelah berdansa, hanya membalas dengan senyum sopan. Namun, di tengah obrolan singkat itu, Damian melirik ke arah lain. Di sudut ruangan, di dekat meja bar, Viella sedang berbincang dengan Ricardo. Gaun malamnya yang elegan berkilau di bawah cahaya lampu kristal, memancarkan pesonanya sebagai seorang model ternama. Akan tetapi, bukan itu yang menarik perhatian Damian. Viella menatapnya. Tatapan itu bukan sekadar tatapan biasa, ada sesuatu yang tersembunyi di baliknya. Mungkin kejutan, mungkin kemarahan yang ditahan, atau mungkin sesuatu yang Viella sendiri bahkan tidak bisa definisikan. Damian menyadari hal itu, dan bukannya menghindar, pria itu justru mengangkat sudut bibirnya sedikit, memberikan senyum mengejek. Seolah-olah dia sedang menunjukkan bahwa dia baik-baik saja sekarang tanpanya dan s
Dalam perjalanan menuju toilet, Bianna tak bisa mengabaikan kegelisahan yang kini memenuhi pikirannya. Damian kembali bersikap dingin padanya, sama seperti biasanya sebelum semua kejadian ini dimulai.Sejak kemarin, sikap pria itu seperti ombak di lautan, berubah-ubah tanpa pola yang jelas. Kadang terasa hangat dan lembut, membuat Bianna merasa diperhatikan, lalu tiba-tiba kembali menjadi sosok yang dingin dan sulit dijangkau."Apa yang sebenarnya ada di pikirannya?" gumam Bianna dalam hati, sedikit menghela napas.Dia mencoba mengingat bagaimana Damian memperlakukannya tadi, membawanya berdansa, merangkulnya dengan erat di depan Viella, lalu menatapnya seakan-akan dia adalah satu-satunya wanita yang ada di ruangan itu. Namun, hanya selang beberapa menit setelahnya, Damian kembali ke mode dinginnya saat menghadapi pelayan tadi."Apa dia marah karena kejadian barusan? Tapi kenapa? Aku baik-baik saja. Lagipula, kenapa dia harus sekasar itu pada pela
Bianna tergesa-gesa keluar dari toilet. Namun, begitu dia melewati pintu, Damian sudah berdiri di luar, bersandar pada dinding dengan kedua tangannya terselip di saku celana. Begitu melihat Bianna, dia segera meluruskan tubuhnya dan menatapnya penuh selidik."Kamu kenapa lama sekali?" tanyanya, suaranya terdengar datar, tetapi sedikit mengandung rasa khawatir.Bianna tidak menjawab. Dia hanya berjalan lurus melewati Damian tanpa sedikit pun meliriknya."Bia."Damian memanggilnya lagi, kali ini lebih tegas. Namun, Bianna tetap tak berhenti. Kesabarannya tampaknya habis, karena tiba-tiba Damian bergerak cepat dan menarik lengan Bianna, menghentikannya di tengah koridor pesta."Apa yang terjadi padamu?" tanyanya dengan suara yang lebih dalam, menatap Bianna dengan tajam.Bianna menoleh, matanya penuh kemarahan. Dengan cepat, dia menepis tangan Damian dengan keras. Damian tampak sedikit terkejut dengan tindakan itu."Kamu ti
Bianna turun dari mobil tanpa menunggu pintunya dibukakan, langkahnya cepat dan penuh emosi. Angin malam menerpa kulitnya, tetapi amarah yang membakar dadanya membuatnya tak peduli pada hawa dingin."Bia!" Suara Damian memanggil, tetapi dia mengabaikannya.Dia terus berjalan menuju pintu masuk, tidak peduli apakah Damian mengejarnya atau tidak. Tatapannya lurus ke depan, hatinya dipenuhi dengan kemarahan dan kekecewaan yang bercampur menjadi satu.Dari balkon lantai atas, Sean yang tengah menikmati segelas anggur memperhatikan pemandangan itu. Alisnya sedikit terangkat melihat bagaimana Bianna melangkah cepat, sementara Damian tampak kesal di belakangnya.Sean menghela napas pelan dan bergumam pada dirinya sendiri, "Sepertinya pesta mereka tidak berjalan dengan baik."Di dalam kamar, Bianna baru saja menutup pintu saat Damian mengejarnya. Dengan satu gerakan cepat, Damian menarik tangannya, menahannya agar tidak p
Damian berjalan menuju ruang tengah dengan langkah tergesa-gesa, napasnya memburu, bukan karena kelelahan, tetapi karena amarah yang masih membara di dadanya. Tangannya yang terluka berdenyut nyeri, mengingatkannya pada dorongan keras Bianna barusan. Dia meringis, menekan lukanya dengan telapak tangan satunya, berusaha mengendalikan rasa sakit yang menjalar hingga ke tulang.Dia mendengkus, duduk di sofa dengan kasar, kepalanya bersandar ke belakang. Tatapannya kosong menatap langit-langit, sementara pikirannya terus berputar, kacau seperti badai yang tak kunjung reda."Apa masalahnya?" gumamnya dalam hati, jemarinya mencengkram lengan kursi dengan kuat. "Kenapa Bianna selalu ikut campur? Kenapa dia harus bereaksi seperti itu?"Seharusnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Bianna tahu peran mereka. Mereka bukan pasangan sungguhan, hanya dua orang yang terikat dalam perjanjian. Lalu, kenapa dia bersikap seolah-olah dia berhak merasa marah
Pagi harinya, sinar matahari yang masuk melalui celah tirai menyilaukan mata Bianna yang terasa berat. Seluruh tubuhnya terasa pegal, seolah-olah dia baru saja menyelesaikan maraton semalaman. Dengan malas, dia menggerakkan tubuhnya, merasakan nyeri di leher dan punggungnya.Saat dia akhirnya duduk di tepi ranjang, tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang terasa kering dan sedikit hangat. Dia menghela napas dalam, mencoba menghilangkan perasaan berat yang masih menggelayut di dadanya.Dengan langkah gontai, Bianna berjalan menuju meja rias. Dia meraih sisir, tapi saat matanya menangkap pantulan dirinya di cermin, dia tersentak. Mata bengkak. Wajah kusut."Astaga!" serunya kaget, nyaris menjatuhkan sisir dari tangannya.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka, dan Inara masuk dengan nampan berisi air hangat di tangannya. Gadis itu terlonjak kaget mendengar teriakan Bianna. "Ny—nyonya? Ada apa?"Bianna berbalik denga
Kini, Bianna dan Sean sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan mereka dalam suasana yang cukup tenang. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan, menambah kenyamanan pagi itu.Tak lama, Eduardo muncul, berjalan dengan tenang menuju kursi di ujung meja. Dengan wibawa khasnya, pria tua itu duduk dan mulai menyendok bubur hangatnya.Saat semua mulai sarapan, Eduardo melirik ke sekitar meja, menyadari sesuatu yang kurang. "Di mana Damian?" Tiba-tiba dia bertanya.Bianna yang sedang mengunyah bubur oat meal-nya langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, sedangkan Sean dengan sigap menyodorkan segelas air padanya."Pelan-pelan, Bia. Jangan sampai kamu meninggal gara-gara pertanyaan Papa," ucap Sean sambil terkekeh.Bianna menatapnya tajam, lalu meletakkan gelasnya dengan tenang, meski dalam hatinya dia panik. Sejak tadi dia memang sengaja tidak memikirkan Damian set
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha