Damian berjalan menuju ruang tengah dengan langkah tergesa-gesa, napasnya memburu, bukan karena kelelahan, tetapi karena amarah yang masih membara di dadanya. Tangannya yang terluka berdenyut nyeri, mengingatkannya pada dorongan keras Bianna barusan. Dia meringis, menekan lukanya dengan telapak tangan satunya, berusaha mengendalikan rasa sakit yang menjalar hingga ke tulang.
Dia mendengkus, duduk di sofa dengan kasar, kepalanya bersandar ke belakang. Tatapannya kosong menatap langit-langit, sementara pikirannya terus berputar, kacau seperti badai yang tak kunjung reda."Apa masalahnya?" gumamnya dalam hati, jemarinya mencengkram lengan kursi dengan kuat. "Kenapa Bianna selalu ikut campur? Kenapa dia harus bereaksi seperti itu?"Seharusnya tidak ada yang perlu dipermasalahkan. Bianna tahu peran mereka. Mereka bukan pasangan sungguhan, hanya dua orang yang terikat dalam perjanjian. Lalu, kenapa dia bersikap seolah-olah dia berhak merasa marahPagi harinya, sinar matahari yang masuk melalui celah tirai menyilaukan mata Bianna yang terasa berat. Seluruh tubuhnya terasa pegal, seolah-olah dia baru saja menyelesaikan maraton semalaman. Dengan malas, dia menggerakkan tubuhnya, merasakan nyeri di leher dan punggungnya.Saat dia akhirnya duduk di tepi ranjang, tangannya terangkat untuk mengusap wajahnya yang terasa kering dan sedikit hangat. Dia menghela napas dalam, mencoba menghilangkan perasaan berat yang masih menggelayut di dadanya.Dengan langkah gontai, Bianna berjalan menuju meja rias. Dia meraih sisir, tapi saat matanya menangkap pantulan dirinya di cermin, dia tersentak. Mata bengkak. Wajah kusut."Astaga!" serunya kaget, nyaris menjatuhkan sisir dari tangannya.Tepat saat itu, pintu kamar terbuka, dan Inara masuk dengan nampan berisi air hangat di tangannya. Gadis itu terlonjak kaget mendengar teriakan Bianna. "Ny—nyonya? Ada apa?"Bianna berbalik denga
Kini, Bianna dan Sean sudah duduk di meja makan, menikmati sarapan mereka dalam suasana yang cukup tenang. Aroma kopi dan roti panggang memenuhi ruangan, menambah kenyamanan pagi itu.Tak lama, Eduardo muncul, berjalan dengan tenang menuju kursi di ujung meja. Dengan wibawa khasnya, pria tua itu duduk dan mulai menyendok bubur hangatnya.Saat semua mulai sarapan, Eduardo melirik ke sekitar meja, menyadari sesuatu yang kurang. "Di mana Damian?" Tiba-tiba dia bertanya.Bianna yang sedang mengunyah bubur oat meal-nya langsung tersedak mendengar pertanyaan itu. Dia buru-buru menutup mulutnya dengan tangan, sedangkan Sean dengan sigap menyodorkan segelas air padanya."Pelan-pelan, Bia. Jangan sampai kamu meninggal gara-gara pertanyaan Papa," ucap Sean sambil terkekeh.Bianna menatapnya tajam, lalu meletakkan gelasnya dengan tenang, meski dalam hatinya dia panik. Sejak tadi dia memang sengaja tidak memikirkan Damian set
Mobil sedan Mercedes Benz CLE-300 melaju pelan di bawah kemudi Tian. Bianna masih menunggu Sean bicara atas pertanyaannya barusan. Detik berikutnya, tanpa mengalihkan tatapan, Sean pun menjawab pertanyaan Bianna sambil tersenyum kecil. "Karena Dami terlalu membenci Viella."Bianna mengerjap, tidak mengerti sepenuhnya apa maksud dari kata-kata Sean. Apakah itu berarti Viella tidak lagi menjadi ancaman? Ataukah kebencian Damian justru sesuatu yang berbahaya?Namun, melihat ekspresi Sean yang tidak berniat menjelaskan lebih jauh, Bianna memilih untuk menyimpan pertanyaan itu dalam hati.***Damian berdiri di depan sebuah pintu apartemen dengan ekspresi dingin dan penuh tekanan. Tangannya yang terluka masih terasa nyeri, tetapi itu bukan sesuatu yang menghalanginya pagi ini. Dia menekan bel pintu dengan keras, sekali, dua kali, tiga kali. Tidak ada jawaban.Dia menekan lagi, kali ini lebih kuat dan lama.Beberapa saat kemudian, pintu
Bianna terlihat bingung dengan apa yang dibawa Esma untuknya. Sementara Esma meletakkan nampan di meja Bianna dengan hati-hati sebelum menatapnya dengan senyum simpul. "Tuan Damian yang memerintahkan saya untuk membawakannya pada Anda," katanya santai.Bianna menegang seketika. Matanya menatap cangkir kopi dan kue di atas meja seolah-olah keduanya bisa memberinya jawaban. Dia mengerutkan kening. "Dami?" ulangnya pelan, masih sulit percaya. Bukankah Om Sean bilang dia sedang ke luar kota? gumam Bianna dalam hati.Esma mengangguk. "Ya, Nyonya. Saya juga sedikit terkejut ketika mendapat perintah itu. Tapi Tuan Damian memintanya secara langsung."Bianna mengerutkan alis, rasa bingung memenuhi kepalanya. Sejak semalam Damian bersikap dingin, bahkan sampai pagi ini pria itu pergi tanpa sepatah kata pun. Tapi sekarang ... Dia tiba-tiba mengirimkan kopi dan kue?"Apa dia mengatakan sesuatu?" tanya Bianna, masih menatap kue itu dengan ekspresi ti
Pertanyaan Damian membuat Bianna langsung tersadar dari lamunannya dan menggeleng. “Bukan apa-apa,” jawabnya cepat.Saat itu, lift tiba-tiba berhenti di salah satu lantai dan pintunya terbuka. Beberapa pegawai masuk, membuat ruangan sempit itu semakin penuh. Bianna dan Damian terpaksa berdiri lebih dekat, hampir tidak ada ruang tersisa di antara mereka.Tanpa sengaja, seseorang menyenggol lengan Damian yang terluka. Seketika, pria itu meringis dan menahan napas, tetapi dengan cepat berusaha mengendalikan ekspresinya agar tidak terlihat lemah.Namun, Bianna yang berada tepat di sampingnya dengan jelas mendengar desahan kesakitan dari bibir Damian. Dia menoleh, melihat rahang pria itu menegang dan tangannya sedikit mengepal menahan nyeri.Bianna menatapnya dengan khawatir, ingin bertanya, tetapi sadar bahwa mereka sedang dikelilingi oleh banyak orang. Damian sendiri tetap berusaha bersikap tenang, pura-pura tidak terjadi apa-apa.Suasana di
Di ruang periksa rumah sakit, Damian duduk di atas ranjang medis dengan ekspresi datar. Bahunya yang terluka terasa berdenyut, tetapi dia tetap bersikap seolah-olah tidak ada yang terjadi. Bianna berdiri di sampingnya, menatap dokter dengan wajah serius.Dokter mengamati hasil X-ray di tangannya sebelum menghela napas. "Tuan Damian, berdasarkan hasil pemeriksaan, ada dislokasi pada bahu Anda. Itu sebabnya Anda merasa nyeri. Jika dibiarkan, kondisinya bisa semakin buruk."Bianna sontak menoleh pada Damian dengan tajam. "Dengar itu? Makanya kamu harusnya ke rumah sakit dari tadi, bukannya malah bersikap keras kepala!"Damian tidak menjawab, hanya mengalihkan pandangannya ke arah lain.Dokter melanjutkan, "Saya sarankan untuk segera melakukan reposisi bahu, lalu Anda harus memakai penyangga selama beberapa minggu agar posisinya kembali normal."Bianna langsung mengangguk. "Lakukan sekarang juga, Dok!"Damian menoleh cepat ke arah Bi
Bianna melangkah masuk ke restoran dengan langkah ragu. Tempat itu dulu begitu familiar, begitu akrab dalam kenangannya. Bukan kenangan yang manis, tetapi yang justru meninggalkan luka.Restoran ini adalah tempat dia dan Kevin sering menghabiskan waktu bersama, berbagi cerita, dan bahkan bertengkar. Setiap sudut ruangan ini terasa membawa bayangan masa lalu yang seharusnya sudah dia tinggalkan. Akan tetapi malam ini, dia mencoba mengabaikannya.Dengan pakaian casual dibalut coat sepanjang lutut dan wajah yang berusaha dia buat setenang mungkin, Bianna berjalan melewati beberapa meja yang dipenuhi pengunjung. Aroma masakan khas restoran itu menyeruak ke dalam hidungnya, mengingatkannya pada makan malam yang pernah dia habiskan di sini beberapa di antaranya dengan tawa, beberapa lainnya dengan air mata.Lalu, matanya menangkap sosok Kevin yang sudah duduk di salah satu meja dekat jendela. Pria itu tersenyum lebar begitu melihatnya datang."Bia," pan
Kevin menatap Bianna dengan ekspresi penuh kebingungan dan kegelisahan, sedangkan Bianna tetap tenang, menikmati anggurnya tanpa tergesa-gesa. Setelah selesai makan, Kevin menyandarkan punggungnya pada sandaran kursi dan menatap Bianna dengan lembut. "Aku akan mengantarmu pulang," katanya. Bianna meraih tas dan coat di samping tempatnya duduk dan berdiri. "Tidak perlu," jawabnya dengan nada tenang. "Sopirku sudah menunggu di luar." Kevin menghela napas, lalu ikut berdiri. "Bia," panggilnya pelan. Bianna menatapnya, menunggu kelanjutan ucapannya. "Terima kasih sudah mau makan malam denganku," kata Kevin dengan senyum tulus. "Aku benar-benar ingin memperbaiki semuanya." Bianna tersenyum tipis. "Terima kasih juga untuk makan malamnya," ucapnya sopan. "Aku harap kamu benar-benar menepati janjimu kali ini, Vin." Kevin menatapnya seakan-akan ingin mengatakan sesuatu lagi, tetapi akhirn
Bianna melangkah masuk ke dalam rumah sakit, melewati lorong-lorong yang mulai sepi. Udara hangat dari penghangat ruangan langsung menyambutnya, tetapi tidak bisa menghangatkan hatinya yang dingin saat ini karena dipenuhi dengan berbagai pikiran. Alih-alih pulang ke rumah, dia lebih memilih datang ke sini. Saat tiba di depan kamar Damian, pintunya sedikit terbuka, dan Bianna bisa melihat sosok pria itu sedang duduk di ranjang dengan ekspresi serius, ponsel menempel di telinganya. Meski sedang sakit, Damian tetap tenggelam dalam pekerjaannya. “Pastikan laporan keuangan bulan ini sudah diaudit sebelum meeting minggu depan.” Suara Damian terdengar tegas. “Dan jangan lupa, aku ingin dokumen merger itu siap secepatnya.” Selesai dengan panggilan pertama, Damian langsung menekan nomor lain. Kali ini, dia menghubungi Inez. “Inez, besok pagi bawakan semua dokumen yang harus aku tanda tangani ke rumah sakit. Aku akan pulang besok,” k
"Kalau begitu, duduklah sebentar," ujar Kevin akhirnya, mengisyaratkan Bianna untuk duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan.Bianna menuruti ajakannya. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kakinya dengan tenang. Kevin mengambil tempat di seberangnya, menatapnya dengan tatapan penuh arti."Aku tidak akan berbohong," kata Kevin akhirnya. "Menjalankan Harland Group tidak semudah yang kamu bayangkan, terutama setelah tender terakhir yang kamu menangkan. Itu benar-benar menyulitkanku."Bianna tersenyum tipis, merasa puas dengan pengakuan Kevin. Dia tahu proyek besar itu akan berdampak besar pada Harland Group, dan itu adalah bagian dari rencananya."Oh?" Bianna memiringkan kepalanya sedikit, berpura-pura terkejut. "Kupikir Harland Group cukup kuat untuk mengatasi tantangan seperti itu."Kevin menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Harland Group memang kuat, tapi aku tak bisa menyangkal bahwa kemenanganmu dalam tender itu m
Saat Bianna keluar dari kafe, Tian yang sudah menunggu di dekat mobil segera mendekat dengan ekspresi terkejut. Matanya membesar saat melihat wajah Bianna yang masih basah, rambutnya yang sedikit menempel di pipi, dan sisa lemon tea yang mengering di ujung blazer yang dia kenakan."Nyonya, apa yang terjadi?" tanya Tian dengan khawatir. "Kenapa rambut Anda basah seperti ini?"Bianna menghela napas panjang dan mengibaskan sedikit rambutnya yang basah, mencoba menghilangkan sisa air yang masih menempel. "Bukan apa-apa," katanya santai, meskipun dalam hatinya masih terasa kesal dengan kejadian tadi.Tian menatapnya ragu. "Apa kita pulang saja? Saya bisa menyiapkan pakaian baru untuk Anda," usulnya.Bianna menggeleng tegas. "Tidak perlu. Aku ingin langsung pergi ke Harland Group."Tian tampak sedikit kaget dengan keputusan Bianna yang tetap ingin melanjutkan rencananya, meskipun jelas ada sesuatu yang terjadi di dalam kafe tadi. Namun, Tian su
Leony cukup terkejut dengan tawaran Bianna, dia menatap wanita yang masih berpakaian kerja itu dengan ekspresi enggan, tetapi setelah beberapa detik, akhirnya dia menarik kursi di depannya dan duduk dengan kasar. Tangannya mengepal di atas meja, menahan amarahnya yang masih membara.Bianna tersenyum tipis, matanya berbinar dengan ketenangan yang jelas membuat Leony semakin frustasi. "Aku sudah tahu kalau kamu akan melakukan sesuatu seperti ini," katanya seraya melipat serbet di tangannya. "Tapi aku tidak tahu kalau rasanya sememalukan ini."Leony mendengkus, matanya berkilat penuh kemarahan. "Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu, Bia. Aku datang ke sini hanya untuk memperingatkanmu untuk tidak mendekati Kevin lagi."Bianna menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menyilangkan kakinya dengan santai. "Salah paham," katanya ringan. "Aku bukan orang yang mendekati Kevin." Dia berhenti sejenak, menikmati reaksi Leony yang tampak semakin t
Bianna tersenyum samar, tetapi tidak menjawab langsung. Matanya justru beralih menatap jam di dinding. "Sudah hampir waktunya untuk rapat," katanya, mengalihkan pembicaraan.Sean menyadari bahwa Bianna tidak ingin membahasnya lebih jauh. Meskipun rasa penasarannya belum sepenuhnya terjawab, dia memilih untuk tidak memaksa."Baiklah," kata Sean akhirnya, bangkit dari kursinya. "Ayo ke ruang rapat."Bianna mengangguk dan ikut berdiri. Keduanya lalu berjalan keluar dari ruang kerja Bianna menuju ruang rapat, dengan Sean yang masih diam-diam memikirkan sesuatu di dalam benaknya.*** Bianna melangkah masuk ke dalam kafe dengan tenang. Pandangannya menyapu ruangan yang cukup ramai siang itu. Ia memilih tempat duduk di sudut yang agak jauh dari keramaian, lalu duduk dengan anggun sambil melirik jam tangannya. Leony belum datang.Dengan santai, Bianna memanggil pelayan dan memesan ice lemon tea. Dia tidak tahu berapa lama harus menunggu
Saat Bianna keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju mobilnya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dia melihat layar dan mendapati nama Leony tertera di sana. Dahinya mengernyit. Apa lagi yang wanita itu inginkan?Tanpa banyak berpikir, Bianna mengangkat teleponnya."Ada apa?" tanyanya datar.Di seberang sana, suara Leony terdengar tajam. "Kita harus bertemu."Bianna mendesah pelan. “Maaf, aku sangat sibuk. Jika kamu hanya ingin membuang waktuku, lebih baik langsung ke intinya saja.” Suaranya terdengar malas.Leony tertawa sinis. “Jangan sok sibuk, ya? Padahal kamu tidak terlalu sibuk saat merebut suamiku.”Bianna menyipitkan mata. “Lucu sekali mendengar itu darimu. Kamu menelpon seseorang untuk meminta bertemu, tapi bahkan tidak bisa menjaga sopan santun? Di mana tata kramamu?” Nada sindiran Bianna jelas, dan itu membuat Leony semakin kesal."Jalang kamu, Bia!" suara Leony meninggi. “Aku tidak peduli seberapa sibuknya kamu
Suaranya terputus saat matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu. Damian kini berada di atasnya, tubuhnya sedikit menindih, dengan kakinya sebagai tumpuan, sementara tangan lainnya masih menggenggam erat pergelangan tangan Bianna.Bianna menatapnya dengan terkejut, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa yang kamu lakukan?” Suaranya terdengar lebih lemah dari yang dia harapkan.Damian menatapnya dalam diam, lalu bibirnya melengkung membentuk smirk khasnya. “Aku hanya memainkan peranku.”Bianna menelan ludah, berusaha menormalkan napasnya. “Peran apa?” tanyanya, meskipun dia merasa sedikit gugup dengan kemungkinan jawaban yang akan diberikan Damian.Damian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengangkat tangannya dan dengan gerakan santai, menyentuh wajah Bianna. Jemarinya yang besar dan hangat menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dahi wanita itu, menyelipkannya ke belakang telinga.Lalu dengan suara
“Aku akan memainkan peranku dengan lebih baik mulai sekarang.”Jawaban Bianna sukses membuat dahi Damian berkerut. “Maksudmu?”Bianna menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu berkata dengan tegas, “Aku akan masuk ke perusahaan Kevin. Aku akan mengambil alih perusahaan itu secara diam-diam.”Tercipta keheningan selama beberapa detik sebelum Damian tertawa kecil. “Akhirnya, kamu mulai berpikir seperti ini juga.”Namun, tawanya bukanlah tawa mengejek. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seperti kepuasan. Seolah-olah dia memang sudah menunggu saat ini terjadi.“Tapi itu belum cukup, Bia,” lanjut Damian, matanya berbinar tajam. “Menunjukkan diri dengan penampilan berbeda hanya langkah awal. Berusaha merebut hati Kevin kembali, itu bukan strategi yang matang. Kamu harus lebih dari itu.”Bianna mengangguk mantap. Dia tahu itu. Dia sadar hanya bersikap manis kepada Kevin tidak akan membawanya jatuh.Itulah seba
Bianna mengangkat wajahnya sedikit, lalu menggeleng. "Dami tidak pernah begitu, Opa.” Dia mencoba meyakinkan Eduardo kalau suaminya bukan seperti yang orang tua itu pikirkan.Eduardo terkekeh kecil. "Aku mengenal cucuku lebih lama daripada kamu mengenalnya, Bia," katanya bijak. "Dan aku juga mengenal wajah pura-pura. Kamu bisa mengatakan padaku jika hatimu sedang tidak baik-baik saja."Bianna membuka mulut, tetapi tidak ada kata yang keluar. Selama ini, dia selalu berpura-pura tegar, bahkan di depan dirinya sendiri. Dia menelan semua emosi, semua kesedihan, dan rasa sakit, berpikir bahwa dia bisa mengatasinya sendirian. Namun, mendengar kata-kata Opa, Bianna merasa dinding yang selama ini dia bangun mulai runtuh.Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, mencoba menahan gemetar yang mulai terasa.Eduardo tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya duduk di sana, memberi ruang bagi Bianna untuk menghadapi perasaannya sendiri.Bianna menunduk, menatap je