Bianna masih tidak percaya dengan apa yang dikatakan Inez saat tadi mereka bicara di luar ruangannya Damian. Apa yang Inez sampaikan tidak mungkin sebuah kebohongan, kan? Tidak ada untungnya bagi gadis itu membohongi Bianna. Akan tetapi, sungguh sulit dipercaya kalau ternyata selama satu tahun ini Damian benar-benar telah menutup diri dari para wanita. Lantas, luka seperti apa yang Viella beri hingga membuat pria yang jarang tersenyum itu sulit keluar dari bayang-bayang wanita itu?Bianna kembali menggeleng lalu menghela napas kasar sembari menyandarkan punggung ke sandaran kursi kerjanya. Mencoba untuk mengingkari kabar yang didapat, tetapi semakin Bianna abaikan, kenyataan itu justru semakin nyata sebab sampai hari ini dia belum tahu bagaimana isi hati Damian yang sebenarnya, bukan?Ketukan pintu menarik bianna kembali pada kenyataan. Dia lebih dulu melihat jam di layar ponselnya barulah dia meminta si pengetuk untuk masuk. “Maaf, Nyonya. Anda sudah melewatkan makan siang Anda.” Es
“Bagaimana rasanya? Enak, kan?” Kevin menanyakan hal itu saat Bianna baru saja menyuapkan satu sendok cake ke mulutnya.Bianna menelan lebih dulu cake yang terbuat dari 80% keju itu sebelum akhirnya menjawab, “Lumayan. Masih kalah enak dengan toko kue langgananku.”“Oh ya? Katakan apa nama tokonya biar lain kali aku bisa membelikannya untukmu,” ujarnya antusias, tetapi ditanggapi cibiran oleh Bianna. “Jadi selama tiga tahun bersamaku, kamu benar-benar tidak tahu apa pun mengenai aku, Vin?” Sontak mata Kevin melebar. Itu jelas sekali terlihat oleh Bianna, reaksinya itu sekaligus membuktikan kalau apa yang Bianna tuduhkan benar, bukan?Kevin terdengar berdecak, sepertinya pria itu tidak terima dengan tuduhan Bianna karena setelahnya, dia pun bangkit dari kursinya berpindah duduk di sebelah wanita itu. Sedikit memiringkan duduknya, dia menghadap kepada Bianna. Hang tidak pernah Bianna siap, ternyata Kevin meraih kedua jemari tangannya, menggenggamnya dan mengunci tatapannya.“Maafin ak
“Sepertinya aku datang di waktu yang tidak tepat.” Sean menatap dingin pada Bianna dan Kevin. “Nggak, Om. Silakan duduk,” ucap Bianna sedikit gelagapan. Dia justru bersyukur Sean masuk ke ruangannya, dengan begitu dia bisa berhasil melepaskan diri dari rangkulan Kevin. Bianna tampak memaksakan tersenyum. Wajahnya terlihat memerah karena menahan malu dan kesal bersamaan. “Kalau kamu sibuk, biar nanti aku kembali lagi.” Sean tersenyum penuh arti. Bianna yang sudah tidak nyaman bersama Kevin pun segera menarik tangan Omnya Damian itu untuk duduk. “Nggak, Om. Kebetulan aku juga lagi mau cari Om. Om duduk sini dulu, ya?” Mau tak mau Sean menuruti saja apa yang Bianna katakan. Duduk tenang di depan meja kerja Bianna. Lalu wanita itu kembali ke hadapan Kevin. “I’m sorry Kevin. Aku ada urusan yang harus dibicarakan dengan Om Sean. Apa kamu bisa tinggalkan ruangan ini?” pinta Bianna to the point yang langsung ditanggapi senyum tipis oleh Kevin. “It’s okay. Nanti aku hubungi kamu lagi
Bianna sudah mencoba untuk mengabaikan ataupun melupakan apa yang dia dengar di butik tadi. Akan tetapi, bukannya hatinya lega justru pikirannya semakin ke mana-mana. Bianna benar-benar dilanda penasaran hebat akan siapa sosok Viella ini. Bianna menghela napasnya berat, matanya tertuju pada ponsel di atas nakas. Wanita itu segera meraih benda pintar itu lalu dia kembali bersandar pada headboard ranjangnya. Daripada memendam rasa penasaran akut, Bianna memilih membuka laman pencarian di ponselnya. Dengan cepat dia ketik kata kunci ‘Kabar Terbaru Viella Roxanne’. Benar saja dalam laman berita online tersebut tersebar kabar kalau Viella memang akan kembali ke Meksiko, tetapi dari semua kabar yang Bianna baca, tidak ada yang menyebutkan kapan wanita itu akan datang. Suara handle pintu yang bergerak mengejutkan Bianna, dia yakin kalau itu adalah suaminya yang akan masuk ke kamar mereka. Wanita itu pun melihat jam yang ada di atas layar ponsel sebelah kiri. Pukul sebelas malam. “Kamu ba
Tak bisa dipungkiri kalau semalam Damian Caesar Lysander sudah membuat Bianna terbuai oleh kehangatan tubuh suami kontraknya itu. Tanpa sadar, Bianna terlelap dalam pelukan pria bertubuh atletis itu. Tidak memedulikan pakaiannya yang belum berganti piyama, Bianna balas rangkulan sang suami. Namun, dalam posisi saling berhadapan, Bianna menyadari satu hal kalau Damian pulang setelah meminum minuman alkohol. Aroma itu tercium dari napasnya yang menerpa wajah Bianna. “Apa yang sudah terjadi? Kenapa Damian minum-minum? Tapi semalam dia tidak terlihat mabuk?” gumam Bianna sembari menyisir rambutnya. Tak ada Damian di kamar. Sejak Bianna bangun tadi, sang suami sudah tidak ada di atas ranjang. Dari pelayan yang masuk mengambil baju kotor ke kamarnya, Bianna tahu kalau Damian sedang pergi berkuda. Setelah memastikan penampilannya tidak ada yang kurang, Bianna memutuskan untuk keluar kamar menuju ke ruang makan. Dia yakin kakek dari Damian pasti sudah menunggunya di sana. “Selamat pagi, O
Bianna menatap Nando dengan cemas, menunggu jawaban atas pertanyaannya. Pemuda itu tampak ragu sesaat, tetapi akhirnya menghela napas sebelum menjawab.“Tuan Damian terjatuh dari kuda, Nyonya. Kudanya tiba-tiba lepas kendali, dan beliau kehilangan keseimbangan. Lengan kirinya patah, dan dahinya terluka akibat benturan dengan tanah. Tapi dokter sudah memeriksanya. Luka di pelipisnya sudah dibersihkan dan diperban,” jelas Nando dengan nada hati-hati. Bianna merasakan dadanya mencelos. Perasaan marah yang tadi memenuhi benaknya seketika berubah menjadi kekhawatiran. Tanpa sadar, tangannya mengepal di samping tubuhnya.“Terima kasih, Nando,” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Kamu boleh kembali ke pekerjaanmu.”Nando mengangguk hormat sebelum berbalik meninggalkan Bianna yang masih terpaku di tempatnya. Dengan cepat, Bianna bergegas menuju kamar mereka. Setibanya di sana, dia mendapati Damian tengah berdiri di dekat lemari, berusaha melep
Mata Bianna terbuka seketika. Wajah Damian sudah sedikit menjauh, dan di tangannya kini tergenggam kemeja yang sejak tadi terlipat rapi di belakang Bianna.Seketika, wajah Bianna memanas. Dia sadar dirinya telah salah paham.“Dami!” Bianna menatap Damian dengan ekspresi campur aduk. Malu, kesal, dan mungkin sedikit kecewa pada dirinya sendiri.Damian hanya menyeringai kecil, ekspresinya terlihat puas karena berhasil mempermainkannya.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Bianna berbalik, berniat segera meninggalkan kamar sebelum rasa malunya semakin besar.Namun, saat baru beberapa langkah, suara Damian menghentikannya.“Bantu aku memakai kemeja.”Bianna berbalik dengan alis berkerut. “Kenapa harus aku?” Bianna mencoba menutupi rasa malunya dengan nada ketus.Damian mengangkat bahu, masih dengan seringai menyebalkan di wajahnya. “Kalau bukan Kamu, apa aku harus meminta Marta atau Inara?”Mendengar nama dua pel
Damian duduk di tepi ranjangnya, menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Jemarinya meluncur di atas layar, mencari satu nama yang sejak tadi menghantui pikirannya.Viella.Tatapannya menajam saat nama itu muncul di daftar kontak. Sudah beberapa kali dia akan menekan nomor itu, tetapi selalu berakhir hanya dengan menatap layar. Tangannya terasa berat dan ragu.Damian ingin mendengar suaranya, ingin menjelaskan sesuatu atau mungkin, justru ingin mendengar penjelasan dari wanita itu. Akan tetapi, seiring dengan keinginannya, ingatan tentang pertengkaran mereka semalam kembali menghantamnya seperti ombak yang brutal."Jadi ini akhirnya, Vi?" suaranya waktu itu terdengar lebih dingin dari biasanya, tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa remuk.Viella menatapnya dengan mata yang penuh amarah, tetapi juga kesedihan. “Kamu yang membuatnya seperti ini, Dami! Kamu tahu aku tidak akan bisa menerima
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha