Tak bisa dipungkiri kalau semalam Damian Caesar Lysander sudah membuat Bianna terbuai oleh kehangatan tubuh suami kontraknya itu. Tanpa sadar, Bianna terlelap dalam pelukan pria bertubuh atletis itu. Tidak memedulikan pakaiannya yang belum berganti piyama, Bianna balas rangkulan sang suami. Namun, dalam posisi saling berhadapan, Bianna menyadari satu hal kalau Damian pulang setelah meminum minuman alkohol. Aroma itu tercium dari napasnya yang menerpa wajah Bianna. “Apa yang sudah terjadi? Kenapa Damian minum-minum? Tapi semalam dia tidak terlihat mabuk?” gumam Bianna sembari menyisir rambutnya. Tak ada Damian di kamar. Sejak Bianna bangun tadi, sang suami sudah tidak ada di atas ranjang. Dari pelayan yang masuk mengambil baju kotor ke kamarnya, Bianna tahu kalau Damian sedang pergi berkuda. Setelah memastikan penampilannya tidak ada yang kurang, Bianna memutuskan untuk keluar kamar menuju ke ruang makan. Dia yakin kakek dari Damian pasti sudah menunggunya di sana. “Selamat pagi, O
Bianna menatap Nando dengan cemas, menunggu jawaban atas pertanyaannya. Pemuda itu tampak ragu sesaat, tetapi akhirnya menghela napas sebelum menjawab.“Tuan Damian terjatuh dari kuda, Nyonya. Kudanya tiba-tiba lepas kendali, dan beliau kehilangan keseimbangan. Lengan kirinya patah, dan dahinya terluka akibat benturan dengan tanah. Tapi dokter sudah memeriksanya. Luka di pelipisnya sudah dibersihkan dan diperban,” jelas Nando dengan nada hati-hati. Bianna merasakan dadanya mencelos. Perasaan marah yang tadi memenuhi benaknya seketika berubah menjadi kekhawatiran. Tanpa sadar, tangannya mengepal di samping tubuhnya.“Terima kasih, Nando,” ucapnya dengan suara yang sedikit bergetar. “Kamu boleh kembali ke pekerjaanmu.”Nando mengangguk hormat sebelum berbalik meninggalkan Bianna yang masih terpaku di tempatnya. Dengan cepat, Bianna bergegas menuju kamar mereka. Setibanya di sana, dia mendapati Damian tengah berdiri di dekat lemari, berusaha melep
Mata Bianna terbuka seketika. Wajah Damian sudah sedikit menjauh, dan di tangannya kini tergenggam kemeja yang sejak tadi terlipat rapi di belakang Bianna.Seketika, wajah Bianna memanas. Dia sadar dirinya telah salah paham.“Dami!” Bianna menatap Damian dengan ekspresi campur aduk. Malu, kesal, dan mungkin sedikit kecewa pada dirinya sendiri.Damian hanya menyeringai kecil, ekspresinya terlihat puas karena berhasil mempermainkannya.Tanpa mengatakan apa-apa lagi, Bianna berbalik, berniat segera meninggalkan kamar sebelum rasa malunya semakin besar.Namun, saat baru beberapa langkah, suara Damian menghentikannya.“Bantu aku memakai kemeja.”Bianna berbalik dengan alis berkerut. “Kenapa harus aku?” Bianna mencoba menutupi rasa malunya dengan nada ketus.Damian mengangkat bahu, masih dengan seringai menyebalkan di wajahnya. “Kalau bukan Kamu, apa aku harus meminta Marta atau Inara?”Mendengar nama dua pel
Damian duduk di tepi ranjangnya, menghela napas panjang sebelum meraih ponselnya yang tergeletak di atas nakas. Jemarinya meluncur di atas layar, mencari satu nama yang sejak tadi menghantui pikirannya.Viella.Tatapannya menajam saat nama itu muncul di daftar kontak. Sudah beberapa kali dia akan menekan nomor itu, tetapi selalu berakhir hanya dengan menatap layar. Tangannya terasa berat dan ragu.Damian ingin mendengar suaranya, ingin menjelaskan sesuatu atau mungkin, justru ingin mendengar penjelasan dari wanita itu. Akan tetapi, seiring dengan keinginannya, ingatan tentang pertengkaran mereka semalam kembali menghantamnya seperti ombak yang brutal."Jadi ini akhirnya, Vi?" suaranya waktu itu terdengar lebih dingin dari biasanya, tapi jauh di dalam hatinya, ada sesuatu yang terasa remuk.Viella menatapnya dengan mata yang penuh amarah, tetapi juga kesedihan. “Kamu yang membuatnya seperti ini, Dami! Kamu tahu aku tidak akan bisa menerima
Bianna terdiam. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang membuatnya tak bisa langsung membalas. Kenapa dia berubah lagi? Pagi tadi, Damian memang tetap dengan sikap dinginnya, tetapi setidaknya dia tidak seketus ini. Bahkan, pria itu sempat menunjukkan sisi lemahnya sesuatu yang jarang terjadi. Apa yang sebenarnya terjadi? Bianna menggigit bibirnya, menahan dorongan untuk membalas dengan emosi. Namun, dia tidak bisa menahan pikirannya sendiri yang mulai mempertanyakan perubahan sikap suaminya. Kenapa pria ini selalu seperti ini? Seolah-olah ada tembok tebal yang dia bangun di sekelilingnya? “Aku hanya tidak ingin Kamu semakin terluka, Dami.” Suaranya lebih lembut kali ini, mencoba meredam ketegangan di antara mereka. Namun, bukannya mereda, Damian menatapnya lebih tajam. “Aku harus datang ke pesta itu. Itu bagian dari realisasi kita, bukan? Bukti bahwa kita adalah pasangan yang sesungguhnya.” Bianna terkesiap. Jadi ini alasannya? Jadi, satu-satunya alasan Damian ingin tetap h
Mobil SUV Mercedes Benz hitam milik Damian berhenti di depan gedung megah tempat pesta ulang tahun Ricardo Thomson diadakan. Lampu-lampu mewah yang menghiasi eksterior bangunan memberikan kesan elegan dan glamor, mencerminkan kemewahan dunia bisnis yang selama ini menjadi bagian dari kehidupan Damian dan Bianna. Saat seorang valet membukakan pintu, Damian turun lebih dulu. Dengan posturnya yang tegap meski lengan kirinya baru saja terluka, dia tetap terlihat berwibawa. Kemudian, Bianna keluar dengan anggun, mengenakan gaun malam yang sewarna dengan jas Damian membalut tubuh rampingnya dengan sempurna. Wajahnya tetap tenang meski pikirannya masih dipenuhi rasa heran akan sikap Damian yang begitu keras kepala. Begitu mereka melangkah masuk ke dalam gedung, hampir semua mata tertuju pada mereka. Sejumlah pebisnis dan sosialita yang hadir tampak menyambut dengan hangat pasangan yang belum lama menikah itu. Beberapa orang mulai berdatangan, memberikan sapaan sopan dan sekadar bertukar s
“Berikan tepuk tangan yang meriah untuk .... Viella Roxanne!” Tepuk tangan menggema di seluruh ruangan. Semua orang tampak antusias menyambut nama itu. Namun, di antara semua yang bertepuk tangan, hanya satu orang yang tetap diam dan membeku di tempatnya, Damian. Pria itu menatap lurus ke panggung, tanpa kedip, tanpa ekspresi. Hanya kejutan yang tergambar jelas di wajahnya, seolah-olah dia tidak percaya dengan apa yang baru saja didengar. Dari samping, Bianna yang juga sama terkejutnya langsung mengarahkan pandangannya ke suaminya. Jantungnya berdebar tidak karuan saat melihat ekspresi Damian yang sulit ditebak. Kenapa Damian bereaksi seperti ini? Dan bahkan Damian melepaskan genggaman tangan Bianna dengan cepat. Tak lama kemudian, seorang wanita dengan langkah anggun menaiki panggung. Cahaya lampu sorot menyorotnya, membuatnya tampak semakin menawan. Gaun malam berwarna merah anggur yang dia kenakan membalut tubuhnya denga
Bianna berdiri di sudut ruangan, memandangi gelas sampanye di tangannya dengan tatapan kosong. Suara musik yang mengalun dan tawa tamu-tamu yang saling bercakap-cakap terasa seperti gema yang jauh, samar, dan tidak nyata. Dia masih teringat bagaimana Damian tiba-tiba pergi begitu saja setelah bertemu Viella. Tanpa sepatah kata pun. Tanpa memedulikan Bianna yang harus menjelaskan ketidakhadirannya pada Ricardo. Dengan senyum yang dipaksakan, Bianna berkata bahwa Damian kurang sehat dan perlu beristirahat lebih awal. Sebuah kebohongan kecil yang terpaksa dia lontarkan agar tidak membuat keadaan semakin canggung. Ricardo tampak mengerti, tetapi tetap saja, Bianna merasa seperti orang bodoh yang ditinggalkan begitu saja. Bianna menghela napas panjang, merasa lelah. Namun, saat dia hendak mencari tempat lebih sepi, sebuah suara menghentikannya. "Nyonya Lysander, bolehkah aku menemanimu bersulang?" Bianna mendonga
Bianna melangkah masuk ke dalam rumah sakit, melewati lorong-lorong yang mulai sepi. Udara hangat dari penghangat ruangan langsung menyambutnya, tetapi tidak bisa menghangatkan hatinya yang dingin saat ini karena dipenuhi dengan berbagai pikiran. Alih-alih pulang ke rumah, dia lebih memilih datang ke sini. Saat tiba di depan kamar Damian, pintunya sedikit terbuka, dan Bianna bisa melihat sosok pria itu sedang duduk di ranjang dengan ekspresi serius, ponsel menempel di telinganya. Meski sedang sakit, Damian tetap tenggelam dalam pekerjaannya. “Pastikan laporan keuangan bulan ini sudah diaudit sebelum meeting minggu depan.” Suara Damian terdengar tegas. “Dan jangan lupa, aku ingin dokumen merger itu siap secepatnya.” Selesai dengan panggilan pertama, Damian langsung menekan nomor lain. Kali ini, dia menghubungi Inez. “Inez, besok pagi bawakan semua dokumen yang harus aku tanda tangani ke rumah sakit. Aku akan pulang besok,” k
"Kalau begitu, duduklah sebentar," ujar Kevin akhirnya, mengisyaratkan Bianna untuk duduk di sofa panjang yang ada di sudut ruangan.Bianna menuruti ajakannya. Dia duduk dengan anggun, menyilangkan kakinya dengan tenang. Kevin mengambil tempat di seberangnya, menatapnya dengan tatapan penuh arti."Aku tidak akan berbohong," kata Kevin akhirnya. "Menjalankan Harland Group tidak semudah yang kamu bayangkan, terutama setelah tender terakhir yang kamu menangkan. Itu benar-benar menyulitkanku."Bianna tersenyum tipis, merasa puas dengan pengakuan Kevin. Dia tahu proyek besar itu akan berdampak besar pada Harland Group, dan itu adalah bagian dari rencananya."Oh?" Bianna memiringkan kepalanya sedikit, berpura-pura terkejut. "Kupikir Harland Group cukup kuat untuk mengatasi tantangan seperti itu."Kevin menghela napas dan menyandarkan tubuhnya ke sofa. "Harland Group memang kuat, tapi aku tak bisa menyangkal bahwa kemenanganmu dalam tender itu m
Saat Bianna keluar dari kafe, Tian yang sudah menunggu di dekat mobil segera mendekat dengan ekspresi terkejut. Matanya membesar saat melihat wajah Bianna yang masih basah, rambutnya yang sedikit menempel di pipi, dan sisa lemon tea yang mengering di ujung blazer yang dia kenakan."Nyonya, apa yang terjadi?" tanya Tian dengan khawatir. "Kenapa rambut Anda basah seperti ini?"Bianna menghela napas panjang dan mengibaskan sedikit rambutnya yang basah, mencoba menghilangkan sisa air yang masih menempel. "Bukan apa-apa," katanya santai, meskipun dalam hatinya masih terasa kesal dengan kejadian tadi.Tian menatapnya ragu. "Apa kita pulang saja? Saya bisa menyiapkan pakaian baru untuk Anda," usulnya.Bianna menggeleng tegas. "Tidak perlu. Aku ingin langsung pergi ke Harland Group."Tian tampak sedikit kaget dengan keputusan Bianna yang tetap ingin melanjutkan rencananya, meskipun jelas ada sesuatu yang terjadi di dalam kafe tadi. Namun, Tian su
Leony cukup terkejut dengan tawaran Bianna, dia menatap wanita yang masih berpakaian kerja itu dengan ekspresi enggan, tetapi setelah beberapa detik, akhirnya dia menarik kursi di depannya dan duduk dengan kasar. Tangannya mengepal di atas meja, menahan amarahnya yang masih membara.Bianna tersenyum tipis, matanya berbinar dengan ketenangan yang jelas membuat Leony semakin frustasi. "Aku sudah tahu kalau kamu akan melakukan sesuatu seperti ini," katanya seraya melipat serbet di tangannya. "Tapi aku tidak tahu kalau rasanya sememalukan ini."Leony mendengkus, matanya berkilat penuh kemarahan. "Aku tidak peduli bagaimana perasaanmu, Bia. Aku datang ke sini hanya untuk memperingatkanmu untuk tidak mendekati Kevin lagi."Bianna menyandarkan tubuhnya pada sandaran kursi, menyilangkan kakinya dengan santai. "Salah paham," katanya ringan. "Aku bukan orang yang mendekati Kevin." Dia berhenti sejenak, menikmati reaksi Leony yang tampak semakin t
Bianna tersenyum samar, tetapi tidak menjawab langsung. Matanya justru beralih menatap jam di dinding. "Sudah hampir waktunya untuk rapat," katanya, mengalihkan pembicaraan.Sean menyadari bahwa Bianna tidak ingin membahasnya lebih jauh. Meskipun rasa penasarannya belum sepenuhnya terjawab, dia memilih untuk tidak memaksa."Baiklah," kata Sean akhirnya, bangkit dari kursinya. "Ayo ke ruang rapat."Bianna mengangguk dan ikut berdiri. Keduanya lalu berjalan keluar dari ruang kerja Bianna menuju ruang rapat, dengan Sean yang masih diam-diam memikirkan sesuatu di dalam benaknya.*** Bianna melangkah masuk ke dalam kafe dengan tenang. Pandangannya menyapu ruangan yang cukup ramai siang itu. Ia memilih tempat duduk di sudut yang agak jauh dari keramaian, lalu duduk dengan anggun sambil melirik jam tangannya. Leony belum datang.Dengan santai, Bianna memanggil pelayan dan memesan ice lemon tea. Dia tidak tahu berapa lama harus menunggu
Saat Bianna keluar dari rumah sakit dan berjalan menuju mobilnya, ponselnya tiba-tiba bergetar. Dia melihat layar dan mendapati nama Leony tertera di sana. Dahinya mengernyit. Apa lagi yang wanita itu inginkan?Tanpa banyak berpikir, Bianna mengangkat teleponnya."Ada apa?" tanyanya datar.Di seberang sana, suara Leony terdengar tajam. "Kita harus bertemu."Bianna mendesah pelan. “Maaf, aku sangat sibuk. Jika kamu hanya ingin membuang waktuku, lebih baik langsung ke intinya saja.” Suaranya terdengar malas.Leony tertawa sinis. “Jangan sok sibuk, ya? Padahal kamu tidak terlalu sibuk saat merebut suamiku.”Bianna menyipitkan mata. “Lucu sekali mendengar itu darimu. Kamu menelpon seseorang untuk meminta bertemu, tapi bahkan tidak bisa menjaga sopan santun? Di mana tata kramamu?” Nada sindiran Bianna jelas, dan itu membuat Leony semakin kesal."Jalang kamu, Bia!" suara Leony meninggi. “Aku tidak peduli seberapa sibuknya kamu
Suaranya terputus saat matanya bertemu dengan tatapan tajam pria itu. Damian kini berada di atasnya, tubuhnya sedikit menindih, dengan kakinya sebagai tumpuan, sementara tangan lainnya masih menggenggam erat pergelangan tangan Bianna.Bianna menatapnya dengan terkejut, merasa jantungnya berdetak lebih cepat dari biasanya. “Apa yang kamu lakukan?” Suaranya terdengar lebih lemah dari yang dia harapkan.Damian menatapnya dalam diam, lalu bibirnya melengkung membentuk smirk khasnya. “Aku hanya memainkan peranku.”Bianna menelan ludah, berusaha menormalkan napasnya. “Peran apa?” tanyanya, meskipun dia merasa sedikit gugup dengan kemungkinan jawaban yang akan diberikan Damian.Damian tidak langsung menjawab. Sebaliknya, dia mengangkat tangannya dan dengan gerakan santai, menyentuh wajah Bianna. Jemarinya yang besar dan hangat menyingkirkan beberapa helai rambut yang jatuh di dahi wanita itu, menyelipkannya ke belakang telinga.Lalu dengan suara
“Aku akan memainkan peranku dengan lebih baik mulai sekarang.”Jawaban Bianna sukses membuat dahi Damian berkerut. “Maksudmu?”Bianna menarik napas panjang, menegakkan bahunya, lalu berkata dengan tegas, “Aku akan masuk ke perusahaan Kevin. Aku akan mengambil alih perusahaan itu secara diam-diam.”Tercipta keheningan selama beberapa detik sebelum Damian tertawa kecil. “Akhirnya, kamu mulai berpikir seperti ini juga.”Namun, tawanya bukanlah tawa mengejek. Ada sesuatu dalam nada suaranya yang terdengar seperti kepuasan. Seolah-olah dia memang sudah menunggu saat ini terjadi.“Tapi itu belum cukup, Bia,” lanjut Damian, matanya berbinar tajam. “Menunjukkan diri dengan penampilan berbeda hanya langkah awal. Berusaha merebut hati Kevin kembali, itu bukan strategi yang matang. Kamu harus lebih dari itu.”Bianna mengangguk mantap. Dia tahu itu. Dia sadar hanya bersikap manis kepada Kevin tidak akan membawanya jatuh.Itulah seba
Bianna mengangkat wajahnya sedikit, lalu menggeleng. "Dami tidak pernah begitu, Opa.” Dia mencoba meyakinkan Eduardo kalau suaminya bukan seperti yang orang tua itu pikirkan.Eduardo terkekeh kecil. "Aku mengenal cucuku lebih lama daripada kamu mengenalnya, Bia," katanya bijak. "Dan aku juga mengenal wajah pura-pura. Kamu bisa mengatakan padaku jika hatimu sedang tidak baik-baik saja."Bianna membuka mulut, tetapi tidak ada kata yang keluar. Selama ini, dia selalu berpura-pura tegar, bahkan di depan dirinya sendiri. Dia menelan semua emosi, semua kesedihan, dan rasa sakit, berpikir bahwa dia bisa mengatasinya sendirian. Namun, mendengar kata-kata Opa, Bianna merasa dinding yang selama ini dia bangun mulai runtuh.Tanpa sadar, matanya mulai berkaca-kaca. Tangannya mengepal di atas pangkuannya, mencoba menahan gemetar yang mulai terasa.Eduardo tidak berkata apa-apa lagi. Dia hanya duduk di sana, memberi ruang bagi Bianna untuk menghadapi perasaannya sendiri.Bianna menunduk, menatap je