Di tengah kesibukannya di kantor, Damian menerima telepon dari Dion. Suaranya terdengar tegang dan terburu-buru.
"Kevin kabur! Dia berhasil melarikan diri saat dalam perjalanan ke kejaksaan!"Damian langsung berdiri dari kursinya, rahangnya mengeras. "Apa? Bagaimana bisa?""Ada seseorang yang membantunya. Polisi sedang mengejarnya, tapi sejauh ini belum ada jejaknya,” jelas Dion lagi dari balik telepon.Jantung Damian berdegup kencang. Pikirannya langsung tertuju pada Bianna. Jika Kevin kabur, kemungkinan besar dia akan mencari Bianna. Tanpa permisi, Damian mematikan sambungan teleponnya lalu mencari nomor Bianna.Nada sambung terdengar, tetapi panggilan tidak diangkat. Dia mencoba lagi, tetap tidak ada jawaban."Sial!" Damian mengumpat, meraih jasnya yang terlampir di punggung kursi, lalu segera berjalan keluar dengan langkah cepat sambil bicara lagi dengan Dion melalui sambungan telepon. "Aku akanLeony mendelik marah sebelum mengayunkan tangannya dan menampar wajah Kevin dengan keras. Kevin hanya menyeringai miring, tetapi sebelum dia sempat berkata apa-apa, Leony bergegas keluar rumah dan masuk ke dalam mobilnya. Dengan cepat, dia menghidupkan mesin dan menginjak gas. Akan tetapi, sebelum dia bisa melaju jauh, Kevin berhasil membuka pintu penumpang dan masuk ke dalam. "Keluar, Kevin!" bentak Leony tanpa menghentikan kecepatan laju mobilnya. "Tidak. Kita belum selesai berbicara," balas Kevin dengan nada dingin. Dia mencoba menghentikan tangan Leony di atas stir, tetapi wanita itu keukeuh bertahan. Dia justru menekan pedal gas lebih dalam. Mobil pun melaju kencang di jalan raya, sementara keduanya terus berdebat. "Kamu pikir aku akan terjebak selamanya!" seru Kevin. "Kamu pantas mendapatkannya!" balas Leony dengan suara penuh amarah. Me
"Nyonya Stella!" teriak salah satu pelayan yang masih setia mendampinginya.Tubuhnya ambruk ke lantai, napasnya semakin pendek. Para petugas yang melihat kejadian itu segera menghubungi ambulans. Dalam hitungan menit, Stella sudah berada di dalam mobil medis, dilarikan ke rumah sakit.Namun, takdir berkata lain. Saat tiba di ruang gawat darurat, dokter hanya bisa menggelengkan kepala. Serangan jantung yang dialaminya terlalu parah.Stella akhirnya mengembuskan nafas terakhirnya di tengah kehancuran yang dibuat oleh putranya sendiri.Ruangan rumah sakit terasa sunyi, hanya terdengar suara alat medis yang berbunyi pelan, menandakan bahwa penghuninya tidak lagi bernapas. *** Perlahan, kelopak mata Kevin terbuka. Pandangannya masih kabur, kepalanya terasa berat, dan seluruh tubuhnya sakit akibat luka yang dideritanya.Saat kesadarannya mulai pulih, dia mendapati seorang pria berseragam po
Satu tahun telah berlalu sejak semua kejadian yang mengguncang hidup Bianna. Kini, dia duduk di kursi utama ruang rapat Harland Group, dengan wajah penuh percaya diri dan senyum yang tidak bisa disembunyikan. Di depannya, para dewan direksi menatapnya dengan kagum, sementara presentasi tentang keuntungan perusahaan tahun ini terpampang jelas di layar besar."Luar biasa, Nyonya Bianna," ujar salah satu dewan direksi sambil bertepuk tangan. "Harland Group bukan hanya kembali berdiri, tapi juga mencapai kesuksesan yang jauh lebih besar dibanding sebelumnya," tambah Tuan Morgan dengan senyum lebar. “Terima kasih pujiannya Tuan Morgan. Ini semua berkat dukungan dan kepercayaan Anda dan para dewan direksi semua pada saya. Semoga ke depannya perusahaan kita akan semakin berkembang pesat.” Senyum Bianna tidak kalah semringah saat mengatakan semua itu. “Tentu, Nyonya. Kita semua pasti akan terus bersama Anda.” Sontak tepuk tangan men
Bianna terbelalak di kursinya, saat melihat seorang pelayan datang membawa sebuah cake yang cantik, dihiasi lilin-lilin kecil yang berkelap-kelip.Bianna menatap cake itu dengan bingung, lalu melirik Damian. "Apa ini?" tanyanya, sedikit terkejut.Damian hanya tersenyum, tidak menjawab. Bianna menatap cake itu lebih dekat, dan matanya membesar saat melihat tulisan halus di atasnya: "Will You Marry Me?"Sebelum dia sempat mencerna semuanya, Damian tiba-tiba bangkit dari kursinya dan berlutut di hadapan Bianna.Jantung Bianna berdegup lebih cepat saat melihat Damian mengeluarkan sebuah kotak kecil beludru berwarna biru tua. Dengan perlahan, Damian membukanya, memperlihatkan cincin berlian yang berkilauan di bawah cahaya lilin."Bianna.” Suara Damian terdengar lembut, tetapi penuh keyakinan. "Aku tahu kita telah melewati banyak hal. Aku tahu bahwa di masa lalu, aku bukan pria yang paling baik untukmu. Tapi satu hal yang pasti, aku mencintaimu."Bianna menutup mulut dengan telapak tangann
Lima tahun kemudian …Di sebuah gedung pencakar langit yang menjulang tinggi di jantung Manhattan, nama "Lysander Corporation" terpampang megah di salah satu lantai tertinggi. Gedung itu adalah kantor pusat salah satu perusahaan investasi paling berpengaruh di New York, dan di dalamnya, seorang pria berdiri di balik jendela besar dengan pemandangan kota yang sibuk.Sean Andrean Lysander, pria dengan kharisma kuat dan tatapan tajam, mengenakan setelan jas hitam yang sempurna. Matanya menelusuri jalanan sibuk di bawah sana meski tentu tidak terlihat jelas dari tempatnya berdiri, memikirkan banyak hal, tetapi satu hal yang pasti dia telah menempatkan dirinya sebagai salah satu pengusaha paling dihormati di kota ini.Tiba-tiba, pintu ruangannya diketuk. Seorang wanita dengan rambut panjang tergerai, mengenakan setelan blazer elegan, masuk dengan sebuah tablet di tangannya. "Tuan Lysander, rapat dengan dewan direksi akan dimulai dalam sepuluh menit,"
Segera Sean menekan tombol interkom."Evelyn," panggilnya pada asisten sekaligus sekretarisnya."Ya, Tuan Lysander?""Buatkan jadwal penerbangan ke Meksiko untuk akhir pekan ini," katanya tiba-tiba.Ada jeda sejenak sebelum suara Evelyn kembali terdengar. "Meksiko, Tuan?"Sean tersenyum tipis. "Ya, aku pikir sudah waktunya aku mengambil sedikit waktu untuk ... liburan."Dia tidak bisa langsung kembali ke tempat di mana semua kenangan itu ada. Namun mungkin, memulainya dari tempat yang lebih dekat bisa menjadi awal yang baik.Sean mengakhiri panggilan setelah Evelyn mau menuruti perintahnya. Sean pun kembali menatap ponselnya."Damian … aku akan pulang jika ada waktu."Namun, untuk pertama kalinya dalam hidupnya, dia ingin memastikan bahwa waktu itu benar-benar ada.***Sean berjalan santai di area kedatangan Bandara Internasional Benito Juarez, Meksiko. Tangan kirinya dimasukkan ke dal
Elara adalah adik kandung Damian. Dia meninggal beberapa tahun yang lalu. Adik tirinya yang memilih mengakhiri hidup dengan cara yang tragis, meninggalkan Sean dengan penyesalan yang tidak pernah bisa dia hapus. Andai dia lebih cepat tahu siapa orang yang sudah membuat Elara sakit hati, mungkin Elara-nya masih ada sampai sekarang. Genggaman Sean mengencang di atas pahanya, rahangnya mengeras. Dia menutup matanya sesaat, mencoba menenangkan diri, tetapi bayangan Elena terus menghantuinya. Tatapan mata penuh kesedihan yang terakhir kali dia lihat di wajah adiknya itu masih terpatri jelas di ingatannya.Sementara itu, wanita di sampingnya terlihat sibuk menggenggam ponselnya, sesekali mengetik pesan dengan wajah cemas. Dia benar-benar terlihat seperti Elara, seolah-olah Elara kembali dalam wujud lain.Sean menelan ludah, dadanya terasa sesak. Andai waktu bisa diulang, andai dia bisa mengubah semuanya … mungkin Elena masih ada di sini bersamanya. Akan tetapi,
Sean menatap wanita di depannya yang masih terlihat rapuh. Matanya sembab, sisa-sisa air mata masih membekas di pipinya, meskipun dia sudah berusaha untuk terlihat lebih tenang.“Apa kamu yakin bisa sendirian?” tanya Sean dengan nada sedikit ragu.Rachel Landzart mengangguk pelan. “Keluarga ibuku akan segera datang. Aku baik-baik saja,” jawabnya dengan suara yang masih terdengar lemah.Sean terdiam sejenak, menimbang-nimbang apakah benar wanita ini akan baik-baik saja setelah kehilangan seseorang yang begitu berarti baginya. Namun, dia juga tahu bahwa tak ada yang bisa dia lakukan lebih jauh. Dia hanyalah orang asing yang kebetulan ada di tempat dan waktu yang sama.“Baiklah, kalau begitu aku pergi dulu,” ucap Sean akhirnya.Rachel hanya mengangguk tanpa berkata apa-apa.Sean berbalik, melangkah menuju pintu keluar rumah sakit. Namun, baru beberapa langkah, tiba-tiba berhenti. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuatnya ingin meng
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha