Sean yang baru saja menyesap sup hampir aja tersedak, sedangkan Damian langsung terbatuk kecil, jelas tidak menyangka pertanyaan itu akan muncul. “Tidak, Opa. Bukan itu.” Damian buru-buru mengelak. Eduardo menyipitkan matanya, seolah-olah mencoba membaca sesuatu dari ekspresi Damian. “Kenapa reaksimu seperti itu?” Jelas nada curiga keluar dari bibir orang tua itu. “Jangan terlalu lama menunda, Damian.” Damian menarik napas panjang, mencoba menahan dirinya agar tidak menunjukkan ekspresi frustasi. “Kami tidak menunda, Opa. Mungkin memang belum diberi saja.” Eduardo mengangguk pelan, meski raut wajahnya tetap menunjukkan sedikit keraguan. “Kalau begitu, periksakan lagi. Pastikan tidak ada masalah. Dan satu lagi ….” Tatapannya kini lebih serius. “Jangan biarkan Bianna terlalu stres dan lelah karena pekerjaan.” Damian terdiam sejenak, lalu mengangguk. “Ya, Opa. Aku akan bicara dengannya.” *** Pagi hari, Bianna turun dari kamar dengan langkah cepat, mengenakan blazer hitam dan
Di dalam mobil yang melaju dengan tenang, suasana terasa begitu dingin sama halnya udara di luar. Damian duduk di samping Bianna, tetapi tidak satu kata pun keluar dari mulut mereka. Hanya suara roda yang melaju di atas aspal dan sesekali desahan napas Bianna yang terdengar.Bianna menatap lurus ke depan, tangan terlipat di pangkuannya. Setelah beberapa menit dalam diam, akhirnya dia berbicara."Turunkan aku di kantor saja." Suaranya datar, tanpa emosi.Damian meliriknya sekilas, tetapi tidak langsung menjawab. Mobil tetap melaju ke arah yang telah ditentukan.Bianna menghela napas dan mengulang, "Dami, aku tidak mau ke rumah sakit. Aku tidak mau melakukan pemeriksaan apa pun."Damian akhirnya bersuara, suaranya terdengar tenang, tetapi tegas. "Aku setuju."Bianna menoleh, terkejut. "Apa?"Damian tetap menatap ke depan, ekspresinya tetap tenang. "Aku setuju. Kita tidak akan pergi ke rum
Esok paginya, matahari Paris bersinar hangat, menyinari jalanan berbatu yang mulai dipenuhi turis. Damian dan Bianna keluar dari hotel mereka dengan pakaian kasual dibalut coat sepanjang paha, sesuatu yang jarang mereka kenakan di tengah kesibukan kerja. Meskipun suasana kota tampak romantis, ekspresi mereka tetap datar, seolah-olah mereka hanya melakukan tugas yang sudah ditentukan. Damian membawa kamera di tangannya, sedangkan Bianna berjalan di sampingnya dengan tangan dimasukkan ke dalam saku mantelnya. Mereka menuju Menara Eiffel, tempat pertama yang akan mereka gunakan sebagai latar belakang “bulan madu” palsu mereka. “Baiklah, kita mulai dari sini,” ujar Damian, mengangkat kamera. Bianna menatapnya, lalu menghela napas. “Haruskah kita benar-benar melakukan ini?” Damian mengangkat bahu dengan santai. “Kamu tahu Opa. Kalau dia tidak melihat bukti, dia akan mengirim seseorang untuk mengawasi kita.” Bianna berdecak pelan, tahu bahwa Damian benar. Akhirnya, dia pun berpose
Namun, bukannya menjawab, Damian justru berdiri dengan kasar, mendorong kursinya ke belakang hingga terdengar suara berdecit di lantai kayu restoran. Tanpa berkata apa-apa, dia melangkah keluar dengan wajah muram dan penuh emosi.Bianna semakin bingung. Dia mengalihkan pandangannya ke arah yang tadi ditatap Damian dan menemukan dinding foto tersebut. Dengan rasa penasaran yang membuncah, Bianna bangkit dari tempat duduknya dan berjalan mendekat.Matanya menelusuri setiap foto di sana hingga akhirnya dia melihatnya, foto Kevin yang tersenyum bahagia dengan seorang wanita yang sedikit familiar, tetapi Bianna tidak ingat pernah melihat di mana wanita itu. Perasaan aneh menjalar dalam hatinya. Dengan cepat, dia meraih foto tersebut dan segera berlari keluar restoran, mengejar Damian yang sudah lebih dulu pergi.Bianna berlari mengejar Damian yang terus berjalan dengan langkah cepat. Wajah pria itu masih dipenuhi amarah, matanya me
Bianna terkejut mendengar ucapan Damian. "Apa?" Seketika Bianna menarik ingatannya kembali saat dia melihat foto wanita di dalam dashboard mobil Damian juga di laptop Sean. Bianna pun yakin kalau wanita itu benar adalah Elara Lysander. Damian tidak langsung menatapnya. Dia menatap lurus ke depan dengan ekspresi kosong, seakan-akan sedang mengingat kembali kenangan yang sudah lama dia kubur."Aku tidak tahu dengan siapa Elara berpacaran," lanjutnya. "Aku tidak peduli saat itu. Aku terlalu sibuk dengan perusahaan, terlalu sibuk dengan urusanku sendiri. Aku pikir, selama dia bahagia, tidak ada alasan bagiku untuk ikut campur."Bianna tetap diam, membiarkan Damian melanjutkan ceritanya."Tapi, akhirnya aku mendapatkan berita itu," suara Damian melemah, dan dia mengepalkan tangannya. "Berita bahwa adikku bunuh diri."Bianna menahan napas."Dia tidak meninggalkan banyak pesan. Hanya sepucuk surat," kata D
Damian tidak menjawab, hanya menatap Bianna dalam diam.Bianna menghela napas keras, frustasi. “Dami, aku tidak tahu apa-apa soal Kevin dan adikmu. Aku tidak tahu dia pernah memiliki hubungan dengan Elara, aku bahkan tidak tahu dia meninggalkan seseorang untuk menikah denganku. Jadi, aku tidak merasa bersalah. Dan Aku tidak akan meminta maaf.”Tatapan Damian tetap tajam, tetapi bibirnya tetap tertutup rapat.Bianna melanjutkan, suaranya sedikit melembut. “Yang aku tahu, aku menikah dengan Kevin karena keluarga kami menginginkannya. Awalnya kami juga saling mencintai, dan aku tidak pernah tahu apa yang terjadi di masa lalunya.”Damian masih diam.“Dami, aku hanya ingin kita bisa melupakan ini sejenak,” lanjut Bianna dengan suara lebih pelan. “Setidaknya, di sisa waktu kita di Paris, bisakah kamu memperlakukanku seperti biasa? Aku tidak ingin perjalanan ini dipenuhi ketegangan.”Damian menatap Bi
Bianna terdiam. Dia ingin bilang “ya”, tetapi jujur saja, dia tidak yakin dengan jawabannya sendiri. Damian mendekat sedikit, suaranya lebih rendah. “Kamu tadi ingin aku memperlakukanmu seperti biasa. Tapi masalahnya, Bia ... ini memang caraku memperlakukanmu sekarang.” Bianna membeku, merasakan wajahnya memanas. Damian kembali bersandar santai di bangku, menikmati es krimnya seolah-olah tidak terjadi apa-apa. Sementara Bianna? Dia benar-benar kehilangan kata-kata. Bianna tidak lagi bicara, tangannya dia bawa mengusap perlahan pergelangan kakinya yang masih terasa nyeri. Sejak tadi dia sudah berusaha menahan rasa sakitnya, tetapi nyatanya berjalan sepanjang hari dengan kondisi seperti ini bukan ide yang bagus. Tiba-tiba, Damian berjongkok di depannya, membelakangi Bianna. "Naik," katanya santai. Bianna mengernyit. "Apa?"
Akhirnya perjalanan bulan madu palsu itu berakhir juga. Begitu sampai kembali di rumah, Bianna merasa udara di sekitarnya sedikit berubah. Ada kelegaan, tetapi juga ada sesuatu yang mengganjal dalam hatinya. Dia masih merasa canggung setelah semua yang terjadi di Paris, sedangkan Damian, pria itu terlihat seperti biasa saja, seolah-olah tidak ada yang perlu dipikirkan. Di depan pintu, Eduardo sudah berdiri dengan senyum sumringah, wajahnya penuh semangat seperti seseorang yang baru saja melihat anaknya pulang dari petualangan panjang. "Ah, kalian akhirnya pulang!" seru Eduardo dengan antusias. "Bagaimana bulan madu kalian? Menyenangkan, kan?" Bianna tersenyum tipis, berusaha mengabaikan rasa canggung di dalam hatinya. "Iya, Opa. Itu perjalanan yang sangat menyenangkan." Eduardo tertawa kecil. "Tapi kenapa hanya tiga hari? Bulan madu itu setidaknya satu bulan! Bahkan lebih baik kalau kalian pergi setahun
Enam bulan kemudianAngin sore bertiup lembut, mengusap wajah Rachel yang termenung di bangku taman dekat dengan rumahnya. Pandangannya kosong menatap danau buatan di depannya, pikirannya masih dipenuhi oleh satu hal yang sama selama enam bulan terakhir ini, penyesalan.Hampir setiap hari, dia mengulang kembali momen itu dalam pikirannya. Betapa bodohnya dia yang hanya diam saat Sean bertanya apakah dia harus pergi. Seharusnya saat itu Rachel mengatakan sesuatu. Seharusnya waktu itu Rachel memintanya tetap tinggal.Rachel menggenggam erat jemarinya sendiri, hatinya terasa sesak."Aku seharusnya mengatakannya …," gumamnya, lalu tiba-tiba dia berteriak kesal, "Aku seharusnya bilang jangan pergi!" Suaranya bergetar menahan tangis."Lalu kenapa kamu tidak mengatakannya malam itu?"Rachel membelalakkan matanya. Mencerna suara yang baru saja dia dengar lalu dengan cepat dia berdiri dan menoleh ke arah suara itu.Di sana, berdiri sosok yang selama ini selalu ada dalam pikirannya.Sean.Rache
Perjalanan menuju rumah Rachel dipenuhi dengan keheningan. Hanya suara mesin mobil yang terdengar, sedangkan Sean dan Rachel larut dalam pikiran masing-masing.Rachel menggenggam ujung mantelnya dengan erat, mencoba menahan sesuatu yang terasa mengganjal di dadanya. Sean di sampingnya tampak tenang, tetapi tatapannya lurus ke depan, seakan-akan menyembunyikan banyak hal yang ingin dia katakan.Mobil berhenti di depan rumah Rachel. Wanita itu membuka pintu mobil, tetapi sebelum turun, Sean akhirnya bersuara.“Mungkin ini adalah pertemuan terakhir kita.”Rachel membeku. Jari-jarinya yang memegang pegangan pintu menegang. Dia menelan ludah susah payah, berusaha mencari sesuatu untuk dikatakan, tetapi tenggorokannya terasa kering.“Kalau begitu .…” Rachel menarik napas panjang sebelum melanjutkan, “hati-hati di perjalanan.”Sean tersenyum tipis, tetapi senyumnya terasa pahit.“Kau juga,” jawabnya.Rachel mengangguk pelan, lalu turun dari mobil. Sean tetap duduk di dalam, menatap punggung
Sean berdiri di tepi trotoar, menunggu dengan sabar di depan kantor tempat Rachel bekerja. Udara sore yang sejuk membelai wajahnya, sedangkan lalu lintas kota mulai ramai seiring jam pulang kerja.Tidak lama, pintu kaca otomatis terbuka, dan Rachel muncul dari dalam gedung dia antara banyaknya para pekerja yang keluar dari gedung itu. Dia tampak lelah, tetapi senyum tetap terukir di wajahnya saat matanya menangkap sosok Sean. Dengan riang, dia melambaikan tangan."Sean!" serunya, mempercepat langkah mendekatinya.Sean, yang kini sudah benar-benar pulih tanpa tongkatnya, membalas senyum Rachel. "Lama sekali. Aku hampir mengira kau sudah lupa kalau ada seseorang yang menunggumu di sini," godanya.Rachel tertawa kecil. "Sibuk, tahu? Tapi aku senang kamu datang menjemputku."Sean mengangkat bahu. "Aku ‘kan harus memastikan kamu tidak pulang terlalu larut. Siapa tahu ada orang asing yang mencoba merebut perhatianmu," ujarnya dengan nada bercan
Waktu berlalu, dan akhirnya hari yang dinantikan tiba. Setelah menjalani pemulihan yang cukup panjang, Sean dan Steven hari ini sudah diperbolehkan keluar dari rumah sakit. Mereka sempat melalui berbagai pemeriksaan dan tes untuk memastikan kondisi keduanya benar-benar sudah pulih.Hari itu langit begitu cerah, seolah-olah ikut merayakan kesembuhan mereka berdua.Damian sudah menunggu di depan ruang rawat sang anak yang pintunya terbuka dengan penuh antusias. Tidak berapa lama, orang yang dia tunggu akhirnya keluar juga. Bianna tersenyum hangat sambil menggandeng tangan Steven yang terlihat lebih ceria dan sehat dibanding sebelumnya.“Siap pulang, jagoan?” Damian bertanya sambil mengusap kepala putranya dengan lembut.Steven mengangguk dengan semangat. “Siap, Daddy! Aku kangen rumah!”Dari arah sebelah kanan Damian, Sean juga baru keluar dari ruang rawatnya, pria itu melangkah dengan tenang, meskipun tubuhnya masih sed
Rachel menghela napas, tidak menyangka kalau Sean akan bertanya hal itu. Wanita yang menguncir rambut panjangnya itu lebih dulu menyesap air putih dari gelas yang ada di meja samping tempat tidur sebelum akhirnya menjawab, “Aku bertemu dengan Bianna lebih dulu, lalu dari situlah aku mulai mengenal Damian. Tapi aku bisa merasakan sesuatu yang aneh darinya. Dia selalu bersikap baik, tapi juga menjaga jarak seolah-olah … ada sesuatu dalam diriku yang mengganggunya.”Sean mengangkat alis. “Mengganggunya?”Rachel mengangguk pelan. “Aku tidak tahu pasti, tapi aku merasa dia melihatku bukan sebagai diriku sendiri … melainkan seseorang yang lain.”Sean menatap Rachel dalam diam. Pikirannya mulai menghubungkan banyak hal yang selama ini terasa samar. “Mungkin karena kamu mirip dengan Elara,” gumamnya lirih.Rachel menatap Sean, mencoba membaca ekspresinya. “Aku tidak pernah bertanya banyak, karena aku bisa merasakan sepertinya itu sesua
Waktu terasa berjalan lambat bagi Damian dan Bianna yang menunggu di luar ruang operasi. Bianna duduk di bangku tunggu sambil terus meremas jemarinya sendiri, sedangkan Damian mondar-mandir di sepanjang lorong rumah sakit.“Aku tidak tahan lagi … ini sudah berjam-jam,” gumam Bianna dengan suara gemetar.Damian menghentikan langkahnya dan duduk di samping istrinya, menggenggam tangannya erat. “Mereka akan baik-baik saja. Sean kuat, begitu juga Steven.”Bianna mengangguk, meskipun kekhawatiran masih tergambar jelas di wajahnya. Sementara Eduardo duduk di bangku lainnya ditemani oleh Dion. Pria tua itu menunduk sembari merapalkan doa-doa demi keselamatan cucu dan cicitnya.Setelah hampir lima jam yang terasa seperti seumur hidup, akhirnya pintu ruang operasi terbuka. Dokter Rodriguez keluar dengan wajah tenang dan profesional didampingi seorang suster di sampingnya. “Dok, bagaimana keadaan mereka?” Damian langsung b
Damian menatapnya dengan sorot mata tajam, tetapi tetap tenang. “Bukan itu maksudku, Kak.”“Tapi itulah yang kamu katakan!” Sean mendekat, dadanya naik turun menahan amarah. “Kamu berbicara seolah-olah kehadiran Rachel itu seperti pengganti Elara! Seperti Elara tidak ada artinya bagimu!”Mendengar ucapan Sean, Damian mengepalkan tangannya. “Aku tidak pernah bilang begitu! Aku hanya mengatakan bahwa melihat Rachel … aku merasa sedikit lebih baik. Itu bukan berarti aku melupakan Elara!”Sean menggelengkan kepala dengan ekspresi tidak percaya. “Jangan bicara seolah-olah kamu lebih menderita dariku, Damian! Kamu bahkan tidak ada di sana saat Elara meninggal! Kamu tidak melihatnya sekarat di pelukanku! Kamu tidak merasakan ketakutan dan rasa bersalah yang menghantui setiap detik hidupmu!”Suasana semakin memanas, napas mereka berdua memburu.Damian menatap Sean dengan tatapan dingin. “Kamu pikir hanya kamu yang merasa kehilangan, Kak? Aku juga
Malam semakin larut, tetapi Damian belum juga bisa memejamkan mata. Dia menatap Bianna yang tertidur di samping Steven, memeluk putra mereka dengan penuh kasih sayang. Wajah putranya masih pucat, tetapi napasnya kini lebih teratur setelah mendapatkan perawatan intensif. Damian mengusap rambut Steven dengan lembut, memastikan bahwa putranya nyaman.Namun, pikirannya terus dipenuhi oleh sosok Sean.Dengan hati yang dipenuhi berbagai emosi, Damian bangkit dari tempat duduknya dan melangkah keluar dari kamar rawat sang anak. Dia berjalan menyusuri lorong rumah sakit yang sepi, mencari keberadaan Sean. Dia tahu bahwa saudaranya itu pasti masih ada di sekitar sini.Saat dia sampai di taman di balkon rumah sakit, langkahnya terhenti.Di sana, di bawah redupnya cahaya lampu taman, Sean sedang duduk di bangku panjang bersama Rachel. Keduanya tampak berbincang dengan santai. Rachel terkadang tertawa kecil, sementara Sean terlihat lebih rileks dibandingkan s
Rachel tiba di rumah sakit, untuk menjenguk Steven. Saat dia melangkah ke dalam ruangan dan melihat ekspresi wajah semua orang, dia langsung menyadari bahwa sesuatu yang besar baru saja terjadi. “Apa yang terjadi?” tanyanya sambil menatap mereka satu per satu. Bianna menghapus air matanya dan tersenyum. “Kak Sean cocok sebagai donor sumsum tulang untuk Steven.” Rachel terkejut. Dia menoleh ke arah Sean yang hanya berdiri diam di sudut ruangan, tampak tenang seperti biasanya. Namun, di balik ketenangannya, ada sesuatu yang berbeda dalam tatapan Sean. Rachel melangkah mendekat dan berkata pelan, “Kau benar-benar akan melakukannya?” Sean menatap Rachel dan mengangguk tanpa ragu. “Ya. Aku akan menyelamatkan keponakanku.” Rachel menatapnya dalam-dalam. “Itu … luar biasa.” Sean tidak menjawab, hanya menoleh kembali ke Damian dan Bianna. “Kalau begitu, aku akan menyelesaikan tes tambaha