Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.
Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.
“Bang, mereka sudah tidak ada.”
“Hmm.”
Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.
“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.
“Belok kanan.”
“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.
Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.
“Ya, aku tahu.”
Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika menjalankan sebuah operasi rahasia, meskipun demikian Danu tetap percaya pada intuisi sang prajurit terbaik itu.
Duar!
Mobil seketika oleng. Danu memegang erat kemudi, sementara Barra mengeluarkan pistol dari balik seragamnya. Motor dengan kecepatan tinggi terdengar dari arah belakang dan menuju sisi kiri mobil.
Dor. Dor. Dor.
Sosok yang berada di belakang pengendara melepaskan tembakan ke arah Barra. Barra mengambil posisi ke tempat duduk penumpang di tengah mobil. Kemudian dengan menurunkan kaca mobil sedikit, Barra membalas tembakan tersebut.
Dor. Dor.
Dua tembakan di lepas. Namun karena posisi yang bergerak tidak stabil membuat tembakan Barra tidak tepat sasaran. Walaupun salah satu roda mobil sudah pecah, namun Danu tetap melajukan kendaraannya.
“Bang, apa kita satu lawan satu? Mereka hanya berdua,” usul Danu pada Barra.
“Sepertinya mereka hanya menahan laju kita, sebentar lagi pasti ada yang datang. Baiklah kita berhenti!”
Barra merasa geram, dia pun mengisi pistolnya kembali, diikuti oleh Danu, setelah mobil berhenti lelaki itu pun mengeluarkan senjatanya dari balik jaketnya. Barra terkejut,
“Kamu sudah siap dengan senjatamu?” tanya lelaki itu heran.
“Saya selalu membawanya, Bang. Apalagi sejak istri saya sering diintimidasi orang, membuat saya harus menggertak dengan senjata ini.”
Barra tercekat, ya keadaan yang membuat seseorang mengingkari sumpah sebagai Militer Negara Darlan. Penggunaan senjata telah diatur dalam sebuah undang-undang tertentu, namun keadaan telah membuat Danu mengambil risiko sebab keluarga tetaplah hal kedua yang perlu dia lindungi setelah negara.
Setelah mobil berhenti, Barra dan Danu segera keluar dan berlindung di balik badan mobil. Motor penyerang kembali memutar arah, dan sesuai dengan dugaan dari Barra dari arah berlawanan datang sebuah motor hitam mendekat.
Barra dan Danu membagi tugas. Mereka segera membidik roda motor dari dua sisi berlawanan.
Dor. Dor.
Danu membidik motor yang baru saja datang, sementara Barra membidik motor yang berisi dua orang.
Tidak terima diserang, sosok yang berada di belakang melepaskan tembakan ke arah Barra, namun tidak semudah yang diharapkan. Barra bukanlah seorang yang baru pertama kali menghadapi serangan frontal seperti ini. Kesigapannya menghidar dan mencari perlindungan memperlihatkan bila Barra dan Danu cukup terlatih.
Danu menyerang roda motor, dengan perhitungan yang matang junior Barra melepaskan tembakan dan tepat mengenai sasaran bagian depan motor lawan.
Motor oleng dan hampir jatuh, tetapi sang pengendara ternyata memiliki ketangkasan yang baik dalam mengendarai motor. Hanya dalam hitungan detik, sang pengendara motor kemudian melajukan kendaraan roda dua tersebut pergi meninggalkan Barra dan Danu.
“Sial!” maki Danu jengkel. Rasanya ingin mencabik tokoh dibalik insiden penembakan ini, dan menarik keluar dalangnya.
Tidak mungkin jika penyerang mereka saat ini tidak memiliki pemimpin, jika Barra yang menjadi target sepertinya Danu mengetahui siapa actor utamanya.
“Bang, sepertinya sang pemain lama masih penasaran,” ujar Danu.
Barra menghela napasnya, membuang perlahan dan menghirup yang baru. Pikirannya seperndapat dengan Danu, hanya saja dia belum mengetahui siapa nama sosok besar itu.
“Dan, apa kamu tahu siapa nama orang yang berbicara denganku setelah usai siding?”
Danu baru selesai memasukkan kembali senjatanya dan kemudian mengambil sisa kelonsong peluru.
“Siap Bang, saya tidak mengenalnya. Abang tidak baca papan namanya?”
Barra menggeleng, “Saat itu pikiranku hanya ingin bergerak cepat menyampaikan kejanggalan satu demi satu.”
Barra meruntuki kebodohannya. Mengapa matanya tidak melihat nama yang ada di dada sang petinggi militer itu.
Semoga saja ingatannya masih dapat mengenali sosok tersebut.
Mereka pun mengganti roda mobil dengan roda cadangan, sementara Danu sibuk dengan kegiatannya, mata Barra justru melihat motor hitam melewati dan pengendara itu sempat menoleh melihat pada Barra.
“Mata itu,” gumam Barra seraya mengingat seseorang.
***
Di sebuah salon ternama.
Mella terlihat menghubungi seseorang melalui ponselnya. Namun kegiatannya terhenti setelah melihat Marissa datang menjemputnya.
“Maaf Ibu, Icha terlambat.”
Marissa segera mengambil alih tas jinjing dan juga beberapa perlengkapan milik Mella.
“Ada tugas dari Bapak?” tanya Mella seraya berjalan mendahului.
Marissa mengikuti langkah Mella setelah memastikan tidak ada lagi yang tertinggal. Dia hanya tersenyum menjawab pertanyaan Mella.
Hal yang selalu bisa ditebak oleh Mella, Marissa tidak akan pernah membawa cerita seputar pekerjaannya di kantor. Tugasnya sebagai ajudan dan juga pengawal pribadi Mella adalah tugas tambahan, namun Mella harus memahami saat tugas utama sebagai prajurit memerlukan perhatian lebih, Mella tidak boleh menghalangi.
Satu jam lamanya Mella menunggu wanita itu menjemput, dirinya tidak akan marah seperti istri pejabat lainnya.
“Bu, kita langsung ke Griya Anggrek?” tanya Marissa lembut.
“Iya langsung ke sana saja. Coba cek, kata Ibu Ketua ruang ganti berada dekat lobi utama.”
Mendengar penjelasan itu, Marissa bergerak cepat menghubungi ajudan dari Ibu Ketua, memastikan segalanya telah diatur dengan sempurna.
“Benar Bu, semua sudah disiapkan. Beberapa ibu pejabat daerah sudah berada di sana.”
Mella tersenyum puas dengan kinerja Marissa. Tidak salah perasaannya menilai wanita ini, meskipun rumor yang beredar tentangnya buruk tetapi insting seorang ibu dapat merasakan ketulusan dan juga kebaikan hati Marissa.
“Sudah makan, Cha?”
“Sudah bu,” jawab Marissa.
“Ada apa dengan tanganmu? Kamu habis jatuh, Cha?”
Degh. Marissa tercekat.
***
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika
Barra dan Danu menatap Ramses penuh pertanyaan, sementara lelaki di hadapan mereka justru terlihat tenang, padahal baru saja mengeluarkan pernyataan jika anak angkat kesayangan istrinya dalam bahaya.Sungguh aneh, pikir Barra dalam hati. Danu mengubah posisi duduknya.“Pak, apa kita bisa bergerak melindunginya? Maksud saya-” usul Danu yang penuh maksud terhenti saat melihat tangan sang jenderal.Senyum Ramses mengembang sempurna. Lelaki yang sudah lebih dari separuh abad mengenyam asam manis hidup tersebut hanya menepuk pahanya dengan telapak tangannya. Matanya menyapu kedua anak laki-laki harapannya secara bergantian.Waktu sudah hampir jam sembilan malam, sudah waktunya untuk istirahat malam. Lelaki itupun bangkit berdiri,“Sudah waktunya istirahat.”“Tapi, bagaimana dengan Marissa?” tanya Barra spontan.Ramses menaikkan salah satu alisnya seraya menatap pria muda gagah di depannya. Senyumnya kembali mengembang.“Biarlah aku yang mengurusnya. Kamu selesaikan tugasmu, bukankah
Mata Barra hampir keluar dari kelopaknya saat melihat sosok yang bersembunyi dalam bagasi mobilnya. Begitupun dengan sosok yang kini berhadapan dengan lubang pistol yang mengarah pada kepalanya.Raut wajahnya terkejut dan bingung, semua kata-kata yang sudah disiapkan raib bersama angin malam yang berembus menerpa. Tiga jam bukan waktu yang sebentar untuk tetap tenang dalam bagasi.Marissa beradu pandang dengan Barra.“Sepertinya Anda memang ditakdirkan untuk menembak saya, Kapt.”Barra tersadar dari terkejutnya, perlahan dia menurunkan pistolnya dan memasukkan kembali pada jaket hitamnya.“Kamu memata-matai saya?”“Justru saya yang bingung kenapa saya ada di mobil Anda, Kapt. Pasti Rangga salah mengenali sasaran,” sungut Marissa seraya berusaha keluar dari dalam bagasi.Kakinya terasa mati rasa, begitupun dirinya yang lega bisa menghirup napas. Lebih lama lagi mungkin Marissa akan pingsan.Mendengar nama Rangga, Barra mulai bisa mengerti apa yang sedang mereka rencanakan.“Panta
Suasana penuh dengan lautan manusia saat Barra dan Marissa tiba di lapangan alun-alun kota. Marissa harus memeluk tangan Barra saat menembus barisan warga yang bergembira melihat MC memandu acara.Dan sesuai dengan spanduk yang di gelar, acara tersebut bisa dikatakan sebagai kampanye terselubung. Pemilihan kepala daerah masih tahun depan, namun beberapa oknum mencuri start untuk mencari simpati masyarakat.Lagu lama dan basi, sungut Barra. Lelaki itu menerobos hingga mendekati panggung, tangannya menggenggam erat tangan Marissa yang berjalan tepat di belakangnya.“Kita di sini saja, bisakah kamu melihat?” bisik Barra.Marissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Posisinya saat ini dekat dengan sisi sebelah kanan panggung.“Banyak juga pasukan yang berjaga, bukankah ini illegal?” bisik Marissa juga.“Tetap harus dijaga, karena melibatkan banyak orang. Dan pastinya alasannya bakti sosial.”Marissa mengangguk, matanya memicing jauh di belakang panggung. Barra pun melihat hal ya
Menjelang malam hari pasangan Barra dan Marissa baru kembali ke penginapan. Kedua pasangan paruh baya -sang pemilik penginapan- menyambut riang.“Wah, kalian sangat menikmati masa bulan madu kalian, ya,” ujar Ibu Ningsih seraya melirik suaminya.Marissa tertawa melihatnya, “Pak, sepertinya Ibu memberi kode keras untuk diajak refreshing.”Karno membalas lirikan sang istri dengan sedikit ketus, “Lalu siapa yang mengurus penginapan ini? Anak-anak semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”“Oh! Berapa anaknya, Pak? Dan di mana mereka sekarang?”“Anak kami ada dua orang, laki-laki semua. Yang pertama jadi MND sementara yang kedua jadi pelaut. Semuanya tidak berada di kota ini.”Barra sedikit memicingkan tatapannya saat Bu Ningsih menjelaskan kedua anak mereka. MND adalah singkatan dari Militer Negeri Darlan, cukup menarik perhatiannya. Lelaki itu pun bersiap mencari informasi namun wanita di sebelahnya labih aktif dari dirinya.“Wah keren. Anak pertama kalian sungguh gagah, ja
Sekali hentakan, tangan Barra sudah merebut pistol yang ada di genggaman sosok asing itu. Entah bagaimana bisa masuk, tetapi otak pintar Marissa segera bekerja.“Apakah pantas seorang anak mengunjungi orang tuanya dengan cara begini?”Marissa melangkah mendekat dan kemudian berdiri tepat di depan sosok yang kini berada dalam kekuasaan Barra. Keributan di luar kamar, otomatis membuat pasangan suami istri pemilik penginapan keluar.Betapa terkejutnya Ningsih dan Karno saat melihat siapa yang datang. Tegar putera sulung mereka yang kini menatap nanar, bukan, bukan lagi nanar tetapi sudah duduk berimpuh di lantai saat matanya beradu pandang dengan kedua netra orang tua tersebut.“Tegar, kamu pulang nak?” Ningsih berlari melewati Marissa dan memeluk tubuh sang putera.“Bangun nak, ada apa ini. Bangunlah.”Berbeda dengan istrinya, Pak Karno justru terkejut ketika melihat sebuah senjata ada digenggaman Barra. Walaupun dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun perasaannya sebagai
Keesokan harinya.“Pa, Papa! Lihat berita!” Mella memanggil suaminya penuh semangat.Matanya menatap antusias pada siaran langsung yang sedang dibawakan oleh presenter. Isi beritanya lah yang membuatnya histeris hingga Mella memanggil suaminya begitu antusias.Ramses usai membaca pesan pada ponsel pribadinya setelah itu segera bergabung melihat berita bersama sang istri. Senyumnya mengembang saat menyimak apa yang saat ini menjadi berita terpanas.“Mereka luar biasa jika bersatu.” Ramses bergumam dengan bangganya.“Maksud papa bagaimana? Apa maksudnya bersatu?”Ramses melirik pada sang wanitanya, dengan senyum yang tentu saja membuat Mella -sang istri- penasaran. Sejak kejadian malam itu, Mella sudah berhenti berusaha menjodohkan Barra dengan Marissa, sebab sebagai seorang yang sudah menganggap Marissa sebagai anak, Mella merasa sakit ketika anaknya itu mendapatkan perlakuan kasar.Kini mendengar kalimat bersatu tentu saja hati Mella tidak tenang, takut Marissa akan terluka untuk
“Apa yang sedang kamu lakukan?”Rangga terperanjat ketika tiba-tiba suara bariton khas milik Barra terdengar dari belakang tubuhnya. Lelaki muda itu masih mengawasi kepergian Mella dan Marissa, bersamaan dengan Suster yang sedang menggendong bayi mungil melambaikan tangan seperti hal yang sering dilakukan oleh anak kecil melepas ibu dan neneknya pergi.“Siap tidak ada, Kapt,” ujar Rangga sedikit canggung. Raut wajahnya melukiskan kesan tidak nyaman bertemu dengan pria yang selalu berwajah masam padanya.“Jika kamu berpikiran jahat padanya, enyahkan jauh-jauh sebelum kamu lakukan!”Tatapan yang tajam terasa seperti mengiris iris mata Rangga. Barra memang sedang mengancamnya. Rangga hanya bisa menelan air liurnya saja.“Jenderal Ramses masih memberikan kesempatan padamu, tetapi aku tidak. Aku akan percaya jika kamu membuktikan dengan perbuatan dan bukan rekayasa. Ingat feelingku akan mengetahui kamu sedang memainkan trik konyol atau memang tulus membela kebenaran!”Angin yang bere
Dua pekan berlalu. Sepanjang waktu yang seakan landai digunakan oleh Barra untuk berunding dengan tim kuasa hukum militernya. Sebab target dari pembunuhan suami pertama Marissa adalah keluarga atau kerabat dari anggota Militer Darlan.Berbeda dengan sang suami, Marissa tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Mella dan saat ini akan menghadiri acara istri petinggi militer Darlan.“Ada acara kemana?” tanya Barra saat melihat istrinya sudah mengenakan baju dinas safarinya.Marissa merapikan sedikit anak rambut yang keluar dari sanggulnya, kemudian merapikan riasan yang natural pada wajah cantiknya.“Iya, Ibu ada acara pertemuan arisan di wisma anyelir.”“Wisma anyelir?”“Gedung pertemuan di sebelah kantor Panglima Tertinggi.”“Hati-hati,” pesan Barra seraya membetulkan kerah baju Marissa.Rutinitas yang mulai disukai oleh Barra, sebagai pasangan sah Marissa. Kebahagiannya adalah dapat memberikan perhatian disela kesibukkannya sebagai anggota militer yang penuh dengan ris
Pertanyaan Marissa hanya ditanggapi dengan tatapan Barra. Lelaki itu mengerutkan dahinya seraya mengeraskan rahang, terlihat jelas jika dirinya sedang memikirkan sesuatu.Drrt, drrt.Getaran ponsel yang ada di atas nakas mengalihkan perhatian Barra. Dengan satu jangkauan tangannya yang panjang, benda pipih tersebut sudah berpindah tempat. Sebuah pesan masuk dan terbaca sepintas oleh mata Marissa.‘Rencana berhasil’ demikian sepotong penggalan pesan.Barra membaca dan kemudian menghapus pesan tersebut.“Mengapa dihapus? Rencana apa?” tanya Marissa.Barra terdiam, dan kembali pada posisi sebelumnya memandang Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan oleh wanita itu.“Ada apa?”“Adik sudah siap?” akhirnya Barra bersuara.“Si – siap apa, Bang?” suara Marissa tergagap. Tatapannya sontak kebawah kemudian menatap Barra lalu beralih lagi ke arah tidak menentu.“Dik? Ada apa? Sudah siap kah?” ulang Barra bingung.“Eh – eh,” gumam Marissa lirih. Tidak tahu bagaimana wajahnya sek
Brak.Pintu tiba-tiba terbuka, Marissa berdiri di depannya seraya menatap ke dalam. Tepatnya pada Rangga, wajah wanita yang mempunyai hubungan personal sangat dekat itu memancarkan sorot kekecewaan. Langkah kaki perlahan mendekat, tanpa bicara Marissa berdiri tepat berjarak satu jengkal lengannya.Plak!Tamparan keras tak pelak mendarat di wajah Rangga. Lelaki itu terkejut, demikian juga Barra.“Icha –““Salah apa aku padamu, Rang? Tega kamu mau mencelakakanku. Kalau aku naik mobil yang salah seharusnya kamu datangi aku, bukan kau biarkan saja.” Marissa tidak menghiraukan ucapan Barra, serentetan kalimat terlontar dengan emosi jiwa.Ruangan kerja Ramses yang mempunyai dua pendingin udara sepertinya tidak mampu mendinginkan suasana hati Marissa. Tangannya masih mengepal dan bibirnya sedikit terbuka, hingga barisan gigi yang terkatup rapat terlihat.“Mbak, maafkan aku. Aku terpaksa!”“Kita selalu bahas rencana ini berdua, apa kau ceritakan semua rencanaku pada mereka!” ucap Mar
“Apa maksudnya?” Ramses yang mengikuti langkah Barra terhenyak dengan tuduhan menantunya.Ya Barra sudah resmi sekarang sebagai suami Marissa sesugguhnya. Ketika semua sudah pergi, sepertinya Barra menepati janjinya. Mulai menyerang lawannya, tetapi Ramses heran mengapa dalam rumahnya ada penyusup. Dan orang itu mengapa harus Rangga.Barra tidak langsung menjawab. Dengan gayanya yang elegan, lelaki itu berbalik badan menghadap Ramses dan kemudian kepalanya menoleh ke arah Rangga.“Itu yang sedang aku tanyakan padanya. Pada hari Icha masuk dalam mobil yang salah, sebenarnya dia sudah tahu. Aku sudah memeriksa CCTV dari sekitar tempat dimana mobilku dan mobil target parkir bersebelahan.”Ramses, Danu, Mella, bahkan Marissa terkejut mendengar penjelasan Barra. Terlebih Marissa, dalam benaknya ingin menyangkal pendapat lelaki tersebut, namun ketika Barra mengatakan berdasarkan bukti rekaman CCTV dia jadi dilema.“Apa benar itu Rang?” tanya Marissa.Matanya masih terlihat sayu, me
Ternyata bukan sekedar kegilaan ucapan saja, esok harinya Barra menghadap Ramses dan juga Mella mengemukakan keinginannya untuk menikah secara resmi.Alasan yang digunakan oleh lelaki itu, untuk melindungi Marissa secara penuh dan juga keberadaan bayi yang diadopsi oleh mereka.“Memang benar sekali kabar tentangmu yang pandai negosiasi, berdebat dan juga melumpuhkan lawan.”Ramses tertawa, sementara Mella sudah heboh sendiri bersama si kecil.“Oma sih Yes!” serunya.“Bukankah secara administrasi sudah kalian lakukan jauh hari,” balas Barra sedikit sarkas membuat Ramses semakin tertawa lepas.“Aku bangga dengan satria muda seperti ini, kuharap setelah rencana awalmu kupenuhi segera selesaikan misi kita sebelum pesta demokrasi tahun depan.”“Yes Sir!”“Ya sudah kapan kalian akan melangsung-““Hari ini.” Barra memotong kalimat Mella.Wanita itu terkejut nyaris melupakan ada manusia kecil dalam gendongannya.“Lihat kan dia sudah tergila-gila pada anak perempuanmu,” goda Ramses.Barra
Semua mata kini tertuju pada Marissa dan buku yang ada dalam genggamannya. Rona merah menghiasi kedua pipinya yang putih halus.“Apa itu?” tanya Barra hendak mengambil namun tangan Marissa bergerak cepat menyembunyikannya. Mella yang melihat hal tersebut kembali dibuat senang.“Lihat Ayah Bundamu lucu sekali,” bisik Mella pada sosok mungil dalam pelukannya.“Icha selalu membawa buku nikah kemanapun dia pergi. Sebab selama kamu tidak sadar diri, dia selalu mendapatkan pelecehan secara verbal maupun tindakan. Itulah cara dia melindungi dirinya.” Ramses menghentikan Barra yang berusaha ingin tahu.“Oh. Anakku, betapa kuatnya kamu menghadapi ujian hidup,” tutur Ningsih menatap haru.“Eh- sebentar, siapa anak kecil ini?” Ningsih tersadar sesuatu.“Anak kami, Bu,” jawab Barra cepat.“Hah? Baru kemarin periksa kehamilan mengapa sudah ada bayinya?” pekik Ningsih polos.Tawapun terdengar dari bibir Ramses maupun Mella. Banyak sekali kejadian yang tidak bisa disaksikan oleh mereka.
“Bagaimana bisa Anda di sini,” ucap Barra bingung, mengenali siapa yang datang.Ramses dan Mella datang dan berada di rumah sakit, hal yang seharusnya bukan karena faktor kebetulan.“Nak Barra kenapa hal seperti ini disembunyikan dari kami,” tegur Mella sedikit protes.Wanita itu sudah duduk di sisi pembaringan Marissa.“Maaf Bu. Semua terjadi begitu cepat, kami juga tidak menyangka hal ini terjadi. Tetapi bagaimana Bapak dan Ibu bisa tahu kami di sini?”Ramses tertawa, “Apa kamu lupa dengan feeling seorang wanita yang tajam. Ibumu bermimpi sesuatu yang buruk menimpa Icha, dan seperti biasa aku tidak bisa berbuat apapun ketika Ibumu minta ke kota ini.”“Dan terbukti benar kan! Jangan remehkan kekuatan batin seorang ibu.”Terlihat sekali Mella sedih melihat kondisi anak angkatnya ini, tidak henti tangan wanita itu mengusap wajah dan juga tangan Marissa.“Pulang ikut Ibu ya Nak,” ucap Mella lembut.Rambut Marissa yang kini terurai sedikit berantakan diusap dan dirapikan oleh tanga
Marissa hampir saja menendang lelaki tua itu dengan kakinya. Pikiran buruk lebih mendominasi ketika dirinya melihat pria itu tiba-tiba menghambur padanya seolah ingin memeluk.“Nyonya, bolehkan saya meminta tolong pada Anda berdua.”Marissa yang masih curiga dengan sosok lelaki ini, menatap penuh selidik. Dalam hati dia bertanya mengapa wajah laki-laki seperti pernah dia temui, tetapi di mana, tanya Marissa dalam hati.“Apa itu?” akhirnya Marissa membuka mulut juga.“Anak saya baru saja melahirkan, namun sayang dia meninggal setelah anaknya lahir. Saya tidak mampu dan tidak bisa merawat cucu saya ini karena keadaan. Bisakah kalian merawat anak ini.”“Hah!” seketika Marissa terbelalak, tidak percaya dengan yang dia dengar.“Tolonglah kami, Nyonya,” pinta lelaki itu seraya menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar.Semakin bingung Marissa dibuatnya, matanya menatap keluar berharap Barra cepat datang.Sementara itu di sudut tersembunyi, tepatnya di area luar yang letaknya berdekat