Suasana penuh dengan lautan manusia saat Barra dan Marissa tiba di lapangan alun-alun kota. Marissa harus memeluk tangan Barra saat menembus barisan warga yang bergembira melihat MC memandu acara.Dan sesuai dengan spanduk yang di gelar, acara tersebut bisa dikatakan sebagai kampanye terselubung. Pemilihan kepala daerah masih tahun depan, namun beberapa oknum mencuri start untuk mencari simpati masyarakat.Lagu lama dan basi, sungut Barra. Lelaki itu menerobos hingga mendekati panggung, tangannya menggenggam erat tangan Marissa yang berjalan tepat di belakangnya.“Kita di sini saja, bisakah kamu melihat?” bisik Barra.Marissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Posisinya saat ini dekat dengan sisi sebelah kanan panggung.“Banyak juga pasukan yang berjaga, bukankah ini illegal?” bisik Marissa juga.“Tetap harus dijaga, karena melibatkan banyak orang. Dan pastinya alasannya bakti sosial.”Marissa mengangguk, matanya memicing jauh di belakang panggung. Barra pun melihat hal ya
Menjelang malam hari pasangan Barra dan Marissa baru kembali ke penginapan. Kedua pasangan paruh baya -sang pemilik penginapan- menyambut riang.“Wah, kalian sangat menikmati masa bulan madu kalian, ya,” ujar Ibu Ningsih seraya melirik suaminya.Marissa tertawa melihatnya, “Pak, sepertinya Ibu memberi kode keras untuk diajak refreshing.”Karno membalas lirikan sang istri dengan sedikit ketus, “Lalu siapa yang mengurus penginapan ini? Anak-anak semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”“Oh! Berapa anaknya, Pak? Dan di mana mereka sekarang?”“Anak kami ada dua orang, laki-laki semua. Yang pertama jadi MND sementara yang kedua jadi pelaut. Semuanya tidak berada di kota ini.”Barra sedikit memicingkan tatapannya saat Bu Ningsih menjelaskan kedua anak mereka. MND adalah singkatan dari Militer Negeri Darlan, cukup menarik perhatiannya. Lelaki itu pun bersiap mencari informasi namun wanita di sebelahnya labih aktif dari dirinya.“Wah keren. Anak pertama kalian sungguh gagah, ja
Sekali hentakan, tangan Barra sudah merebut pistol yang ada di genggaman sosok asing itu. Entah bagaimana bisa masuk, tetapi otak pintar Marissa segera bekerja.“Apakah pantas seorang anak mengunjungi orang tuanya dengan cara begini?”Marissa melangkah mendekat dan kemudian berdiri tepat di depan sosok yang kini berada dalam kekuasaan Barra. Keributan di luar kamar, otomatis membuat pasangan suami istri pemilik penginapan keluar.Betapa terkejutnya Ningsih dan Karno saat melihat siapa yang datang. Tegar putera sulung mereka yang kini menatap nanar, bukan, bukan lagi nanar tetapi sudah duduk berimpuh di lantai saat matanya beradu pandang dengan kedua netra orang tua tersebut.“Tegar, kamu pulang nak?” Ningsih berlari melewati Marissa dan memeluk tubuh sang putera.“Bangun nak, ada apa ini. Bangunlah.”Berbeda dengan istrinya, Pak Karno justru terkejut ketika melihat sebuah senjata ada digenggaman Barra. Walaupun dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun perasaannya sebagai
Keesokan harinya.“Pa, Papa! Lihat berita!” Mella memanggil suaminya penuh semangat.Matanya menatap antusias pada siaran langsung yang sedang dibawakan oleh presenter. Isi beritanya lah yang membuatnya histeris hingga Mella memanggil suaminya begitu antusias.Ramses usai membaca pesan pada ponsel pribadinya setelah itu segera bergabung melihat berita bersama sang istri. Senyumnya mengembang saat menyimak apa yang saat ini menjadi berita terpanas.“Mereka luar biasa jika bersatu.” Ramses bergumam dengan bangganya.“Maksud papa bagaimana? Apa maksudnya bersatu?”Ramses melirik pada sang wanitanya, dengan senyum yang tentu saja membuat Mella -sang istri- penasaran. Sejak kejadian malam itu, Mella sudah berhenti berusaha menjodohkan Barra dengan Marissa, sebab sebagai seorang yang sudah menganggap Marissa sebagai anak, Mella merasa sakit ketika anaknya itu mendapatkan perlakuan kasar.Kini mendengar kalimat bersatu tentu saja hati Mella tidak tenang, takut Marissa akan terluka untuk
Di suatu tempat lain.Brak!Ruangan yang semula riuh dengan obrolan orang-orang berkelompok dalam skala kecil seketika hening, terdiam dengan pandangan yang kini terarah pada sosok yang baru saja datang.“Siapa yang menginjinkan mengangkat berita ini!” bentak orang itu seraya menunjuk pada siaran terpanas yang sedang tayang di televisi.“Siap kami tidak tahu, Pak.”“Saya tidak mau dengar jawaban tidak tahu! Kamu cari tahu siapa yang berani mengusik kejadian setahun lalu ini!”Perintah jelas dikeluarkan oleh sosok laki-laki sekitar separuh baya, wajahnya yang memerah menahan marah menunjukkan bahwa dia tidak sedang bercanda.Semua terdiam, mulut masing-masing lidah terasa kelu.“Tuan, rencana kita gagal,” bisik seseorang yang baru saja masuk.“Apalagi ini! Rencana mana yang gagal?”“Bakti sosial di kota Baranda. Pihak partai baru saja menghubungi dan mereka menyatakan kecewa dengan kita.”“Arrrgghhh! Bodoh semua! Kalian semua BODOH!” teriakan bak suara bom meledak seketika di rua
Hari ini Marissa membantu memasak Ningsih. Setelah kedatangan Tegar, pasangan Karno dan Ningsih tidak membolehkan Marissa dan Barra mencari kontrakan. Mereka berdua tinggal tanpa harus membayar biaya menginap.“Masak apa, Sa?” Ningsih sudah berdiri di samping Marissa.Sayuran hijau baru saja di cuci, irisan bawang dan bumbu lainnya terlihat tertata rapi siap untuk diolah. Marissa tersenyum pada wanita yang juga dia anggap sebagai ibu.Marissa seorang yatim piatu, sehingga ketika merasakan kebaikan seorang wanita lebih tua darinya, dia anggap itu sabagai bentuk kasih sayang Tuhan padanya dengan memberikan sosok ibu pada setiap wanita paruh baya yang dia kenal.“Ibu suka tumis kangkung? Tadi saya lihat kangkung di kebun belakang sudah ranum.”Kangkung tidak terlalu tua sangat nikmat diolah tidak terlalu matang, sehingga tidak banyak vitamin yang hilang.“Apa ini kesukaan suamimu?” tanya Ningsih sambil tersenyum. Marissa terkejut dan tergagap, tidak menyangka Ningsih akan bertanya
Melihat siapa yang datang, Ningsih bersorak kegirangan. Karno berdiri di belakang Barra dengan tatapan bingung sekaligus marah. Lelaki tua itu pun menarik lelaki yang masih memegang alat reproduksinya.“Siapa kalian!” bentaknya dengan galak.Barra menatap pada Marissa, “Kamu tidak apa-apa?”“Tidak,” jawab Marissa seraya menggeleng.Setelah memastikan keadaan Marissa aman, Barra maju dan menarik salah satu lelaki yang tersungkur. Mengunci gerak tangannya dibelakang tubuh lelaki asing itu.Marissa mendekati satu pria penyerangnya yang lain. Kakinya menginjak tangan lelaki itu.“Masih tidak mau bilang siapa yang kalian cari!”Barra tidak mau kalah, lelaki itu menekan tangan lawan yang ada kekuasaannya dengan keras, dan berbisik.“Katakan siapa kalian, dan siapa yang menyuruhmu datang ke sini?”Dengusan kasar terdengar sebagai balasan dari perkataan Barra. Walaupun kesakitan namun terlihat jelas jika lelaki itu bukanlah sosok yang mudah memberikan informasi. Barra menambah kekuata
Sore hari menjelang, Ningsih tetap memaksa Marissa untuk memeriksakan kandungannya, bahkan wanita itu menawarkan diri untuk membawa ke dokter kandungan yang cukup terkenal di kota tersebut.“Tidak perlu, Bu. Saya tidak apa-apa,” tolak Marissa halus.Seperti biasa Marissa membantu Ningsih untuk menyiapkan hidangan snack sore bagi seluruh tamu yang menginap, namun kali ini dia diperlakukan istimewa oleh Ningsih.“Tidak bisa begitu, tetap harus diperiksa, takutnya terjadi sesuatu dengan kandunganmu. Penyesalan selalu datang terlambat.”Panjang lebar Ningsih memberi nasehat pada Marissa, membuat wanita itu bingung bagaimana harus menjelaskan pada Ningsih bawa dia sama sekali tidak hamil. Semua ini gara-gara Barra, umpat Marissa dalam hati.Pucuk dicinta ulam tiba, sosok yang seharusnya bertanggung jawab atas kehebohan yang menimpa Marissa pun keluar dari kamar. Penampilan Barra sudah rapi dan jelas sekali jika dia akan pergi.Matanya beradu pandang dengan Marissa,“Ganti baju, kita a
“Apa yang sedang kamu lakukan?”Rangga terperanjat ketika tiba-tiba suara bariton khas milik Barra terdengar dari belakang tubuhnya. Lelaki muda itu masih mengawasi kepergian Mella dan Marissa, bersamaan dengan Suster yang sedang menggendong bayi mungil melambaikan tangan seperti hal yang sering dilakukan oleh anak kecil melepas ibu dan neneknya pergi.“Siap tidak ada, Kapt,” ujar Rangga sedikit canggung. Raut wajahnya melukiskan kesan tidak nyaman bertemu dengan pria yang selalu berwajah masam padanya.“Jika kamu berpikiran jahat padanya, enyahkan jauh-jauh sebelum kamu lakukan!”Tatapan yang tajam terasa seperti mengiris iris mata Rangga. Barra memang sedang mengancamnya. Rangga hanya bisa menelan air liurnya saja.“Jenderal Ramses masih memberikan kesempatan padamu, tetapi aku tidak. Aku akan percaya jika kamu membuktikan dengan perbuatan dan bukan rekayasa. Ingat feelingku akan mengetahui kamu sedang memainkan trik konyol atau memang tulus membela kebenaran!”Angin yang bere
Dua pekan berlalu. Sepanjang waktu yang seakan landai digunakan oleh Barra untuk berunding dengan tim kuasa hukum militernya. Sebab target dari pembunuhan suami pertama Marissa adalah keluarga atau kerabat dari anggota Militer Darlan.Berbeda dengan sang suami, Marissa tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Mella dan saat ini akan menghadiri acara istri petinggi militer Darlan.“Ada acara kemana?” tanya Barra saat melihat istrinya sudah mengenakan baju dinas safarinya.Marissa merapikan sedikit anak rambut yang keluar dari sanggulnya, kemudian merapikan riasan yang natural pada wajah cantiknya.“Iya, Ibu ada acara pertemuan arisan di wisma anyelir.”“Wisma anyelir?”“Gedung pertemuan di sebelah kantor Panglima Tertinggi.”“Hati-hati,” pesan Barra seraya membetulkan kerah baju Marissa.Rutinitas yang mulai disukai oleh Barra, sebagai pasangan sah Marissa. Kebahagiannya adalah dapat memberikan perhatian disela kesibukkannya sebagai anggota militer yang penuh dengan ris
Pertanyaan Marissa hanya ditanggapi dengan tatapan Barra. Lelaki itu mengerutkan dahinya seraya mengeraskan rahang, terlihat jelas jika dirinya sedang memikirkan sesuatu.Drrt, drrt.Getaran ponsel yang ada di atas nakas mengalihkan perhatian Barra. Dengan satu jangkauan tangannya yang panjang, benda pipih tersebut sudah berpindah tempat. Sebuah pesan masuk dan terbaca sepintas oleh mata Marissa.‘Rencana berhasil’ demikian sepotong penggalan pesan.Barra membaca dan kemudian menghapus pesan tersebut.“Mengapa dihapus? Rencana apa?” tanya Marissa.Barra terdiam, dan kembali pada posisi sebelumnya memandang Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan oleh wanita itu.“Ada apa?”“Adik sudah siap?” akhirnya Barra bersuara.“Si – siap apa, Bang?” suara Marissa tergagap. Tatapannya sontak kebawah kemudian menatap Barra lalu beralih lagi ke arah tidak menentu.“Dik? Ada apa? Sudah siap kah?” ulang Barra bingung.“Eh – eh,” gumam Marissa lirih. Tidak tahu bagaimana wajahnya sek
Brak.Pintu tiba-tiba terbuka, Marissa berdiri di depannya seraya menatap ke dalam. Tepatnya pada Rangga, wajah wanita yang mempunyai hubungan personal sangat dekat itu memancarkan sorot kekecewaan. Langkah kaki perlahan mendekat, tanpa bicara Marissa berdiri tepat berjarak satu jengkal lengannya.Plak!Tamparan keras tak pelak mendarat di wajah Rangga. Lelaki itu terkejut, demikian juga Barra.“Icha –““Salah apa aku padamu, Rang? Tega kamu mau mencelakakanku. Kalau aku naik mobil yang salah seharusnya kamu datangi aku, bukan kau biarkan saja.” Marissa tidak menghiraukan ucapan Barra, serentetan kalimat terlontar dengan emosi jiwa.Ruangan kerja Ramses yang mempunyai dua pendingin udara sepertinya tidak mampu mendinginkan suasana hati Marissa. Tangannya masih mengepal dan bibirnya sedikit terbuka, hingga barisan gigi yang terkatup rapat terlihat.“Mbak, maafkan aku. Aku terpaksa!”“Kita selalu bahas rencana ini berdua, apa kau ceritakan semua rencanaku pada mereka!” ucap Mar
“Apa maksudnya?” Ramses yang mengikuti langkah Barra terhenyak dengan tuduhan menantunya.Ya Barra sudah resmi sekarang sebagai suami Marissa sesugguhnya. Ketika semua sudah pergi, sepertinya Barra menepati janjinya. Mulai menyerang lawannya, tetapi Ramses heran mengapa dalam rumahnya ada penyusup. Dan orang itu mengapa harus Rangga.Barra tidak langsung menjawab. Dengan gayanya yang elegan, lelaki itu berbalik badan menghadap Ramses dan kemudian kepalanya menoleh ke arah Rangga.“Itu yang sedang aku tanyakan padanya. Pada hari Icha masuk dalam mobil yang salah, sebenarnya dia sudah tahu. Aku sudah memeriksa CCTV dari sekitar tempat dimana mobilku dan mobil target parkir bersebelahan.”Ramses, Danu, Mella, bahkan Marissa terkejut mendengar penjelasan Barra. Terlebih Marissa, dalam benaknya ingin menyangkal pendapat lelaki tersebut, namun ketika Barra mengatakan berdasarkan bukti rekaman CCTV dia jadi dilema.“Apa benar itu Rang?” tanya Marissa.Matanya masih terlihat sayu, me
Ternyata bukan sekedar kegilaan ucapan saja, esok harinya Barra menghadap Ramses dan juga Mella mengemukakan keinginannya untuk menikah secara resmi.Alasan yang digunakan oleh lelaki itu, untuk melindungi Marissa secara penuh dan juga keberadaan bayi yang diadopsi oleh mereka.“Memang benar sekali kabar tentangmu yang pandai negosiasi, berdebat dan juga melumpuhkan lawan.”Ramses tertawa, sementara Mella sudah heboh sendiri bersama si kecil.“Oma sih Yes!” serunya.“Bukankah secara administrasi sudah kalian lakukan jauh hari,” balas Barra sedikit sarkas membuat Ramses semakin tertawa lepas.“Aku bangga dengan satria muda seperti ini, kuharap setelah rencana awalmu kupenuhi segera selesaikan misi kita sebelum pesta demokrasi tahun depan.”“Yes Sir!”“Ya sudah kapan kalian akan melangsung-““Hari ini.” Barra memotong kalimat Mella.Wanita itu terkejut nyaris melupakan ada manusia kecil dalam gendongannya.“Lihat kan dia sudah tergila-gila pada anak perempuanmu,” goda Ramses.Barra
Semua mata kini tertuju pada Marissa dan buku yang ada dalam genggamannya. Rona merah menghiasi kedua pipinya yang putih halus.“Apa itu?” tanya Barra hendak mengambil namun tangan Marissa bergerak cepat menyembunyikannya. Mella yang melihat hal tersebut kembali dibuat senang.“Lihat Ayah Bundamu lucu sekali,” bisik Mella pada sosok mungil dalam pelukannya.“Icha selalu membawa buku nikah kemanapun dia pergi. Sebab selama kamu tidak sadar diri, dia selalu mendapatkan pelecehan secara verbal maupun tindakan. Itulah cara dia melindungi dirinya.” Ramses menghentikan Barra yang berusaha ingin tahu.“Oh. Anakku, betapa kuatnya kamu menghadapi ujian hidup,” tutur Ningsih menatap haru.“Eh- sebentar, siapa anak kecil ini?” Ningsih tersadar sesuatu.“Anak kami, Bu,” jawab Barra cepat.“Hah? Baru kemarin periksa kehamilan mengapa sudah ada bayinya?” pekik Ningsih polos.Tawapun terdengar dari bibir Ramses maupun Mella. Banyak sekali kejadian yang tidak bisa disaksikan oleh mereka.
“Bagaimana bisa Anda di sini,” ucap Barra bingung, mengenali siapa yang datang.Ramses dan Mella datang dan berada di rumah sakit, hal yang seharusnya bukan karena faktor kebetulan.“Nak Barra kenapa hal seperti ini disembunyikan dari kami,” tegur Mella sedikit protes.Wanita itu sudah duduk di sisi pembaringan Marissa.“Maaf Bu. Semua terjadi begitu cepat, kami juga tidak menyangka hal ini terjadi. Tetapi bagaimana Bapak dan Ibu bisa tahu kami di sini?”Ramses tertawa, “Apa kamu lupa dengan feeling seorang wanita yang tajam. Ibumu bermimpi sesuatu yang buruk menimpa Icha, dan seperti biasa aku tidak bisa berbuat apapun ketika Ibumu minta ke kota ini.”“Dan terbukti benar kan! Jangan remehkan kekuatan batin seorang ibu.”Terlihat sekali Mella sedih melihat kondisi anak angkatnya ini, tidak henti tangan wanita itu mengusap wajah dan juga tangan Marissa.“Pulang ikut Ibu ya Nak,” ucap Mella lembut.Rambut Marissa yang kini terurai sedikit berantakan diusap dan dirapikan oleh tanga
Marissa hampir saja menendang lelaki tua itu dengan kakinya. Pikiran buruk lebih mendominasi ketika dirinya melihat pria itu tiba-tiba menghambur padanya seolah ingin memeluk.“Nyonya, bolehkan saya meminta tolong pada Anda berdua.”Marissa yang masih curiga dengan sosok lelaki ini, menatap penuh selidik. Dalam hati dia bertanya mengapa wajah laki-laki seperti pernah dia temui, tetapi di mana, tanya Marissa dalam hati.“Apa itu?” akhirnya Marissa membuka mulut juga.“Anak saya baru saja melahirkan, namun sayang dia meninggal setelah anaknya lahir. Saya tidak mampu dan tidak bisa merawat cucu saya ini karena keadaan. Bisakah kalian merawat anak ini.”“Hah!” seketika Marissa terbelalak, tidak percaya dengan yang dia dengar.“Tolonglah kami, Nyonya,” pinta lelaki itu seraya menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar.Semakin bingung Marissa dibuatnya, matanya menatap keluar berharap Barra cepat datang.Sementara itu di sudut tersembunyi, tepatnya di area luar yang letaknya berdekat