Acara kemeriahan panggung prajurit masih berlangsung namun Barra meninggalkan tempat tersebut. Bahkan beberapa prajurit yang ingin berkenalan dengannya terpaksa diabaikan karena Ramses memanggilnya.
Saat Barra tiba bersamaan dengan Marissa yang baru keluar dari ruangan Jenderal Bintang Tiga tersebut.
“Selamat siang, Kapt. Anda ingin menghadap Bapak, Kapt?” tanya Marissa seraya tersenyum.
Melihat senyuman prajurit wanita tersebut membuat Barra tidak suka.
“Apakah selalu demikian kamu menggunakan kecantikanmu untuk menggoda laki-laki?” ujar Barra sarkas.
Spontan senyum Marissa hilang dan berganti dengan raut wajah terkejut,
“Hah? Apa maksud Anda, Kapt?”
Alih-alih menjawab, Barra justru melewati tubuh Marissa dan mengetuk pintu ruangan Ramses. Lelaki gagah yang sialnya memiliki wajah sempurna itu mengabaikan tatapan Marissa. Wanita itu pun hanya menarik napas dan menggelengkan kepala.
Selalu salah, batin wanita berusia 25 tahun itu.
Tiba-tiba ponsel Marissa berbunyi. Tanda indicator pesan masuk pun menyala. Segera dia membacanya, setelah itu dia terlihat menghubungi seseorang.
“Jemput aku sekarang,” ujarnya pada sang penerima telepon.
Marissa mengambil sesuatu dalam laci yang terkunci di ruangan tersebut, kemudian memasukkan dalam tas pingganngnya. Melihat jam tangan, seolah sedang memeriksa waktu yang berjalan, lalu wanita itu segera melangkah keluar dari sana.
Bersamaan dengan Barra yang juga baru saja keluar dari ruangan Ramses, lelaki itu berjalan hanya sekitar dua puluh langkah di belakang Marissa.
Marissa berjalan sangat cepat hingga tanpa sengaja menabrak seseorang. Wanita itu segera meminta maaf pada orang tersebut, dan melanjutkan langkahnya.
“Hei! Belagu sekali kamu jadi orang! Jangan merasa paling jadi anak emas, seenaknya saja menabrak orang!”
“Ehhm!”
Sosok yang menggerutu itu pun membalikkan badannya. Dan seketika matanya membulat hingga ternganga mulutnya melihat patung pahatan dewa yunani berdiri tepat di depannya.
"Anda Dewa Zeus?” ucapnya berhalusinasi. Barra mengeryitkan dahinya.
‘Ternyata semua wanita berseragam tetaplah wanita, tidak ada yang Tangguh!’ batin Barra meremehkan.
Tanpa ingin membuang waktunya, Barra berlalu begitu saja melewati wanita yang masih sibuk dengan pikirannya sendiri.
“Hei! Tunggu, aduh mengapa Anda pergi! Tunggu!” pekik wanita tersebut ketika Barra sudah jauh meninggalkannya.
“Mengapa dua orang itu sama sombongnya! Apa semua yang dibanggakan oleh Panglima adalah orang-orang sombong,” umpatnya sebelum akhirnya melanjutkan perjalanannya ke kantin.
Barra tiba di lobi utama bersamaan dengan Marissa masuk sebuah mobil hitam yang segera melaju ketika wanita itu menutup pintunya.
“Mobil siapa itu?” tanya Barra pada prajurit yang berjaga di lobi utama.
“Mobil Serka Marissa,” jawab salah satu penjaga.
Penjelasan itu membuta Barra semakin penasaran, sehebat apa seorang sersan kepala mampu mempunyai mobil dengan tipe mahal.
“Seorang sersan kepala mampu membeli mobil itu?” pertanyaan Barra langsung dijawab oleh tawa kedua petugas jaga berpangkat kopral dan sersan dua.
”Bagi seorang Marissa itu tidak ada yang mustahil, Kapt. Anda jangan meremehkan dia, jika dia tidak suka dengan seseorang, maka bersiaplah seseorang itu akan dimutasi pindah ke daerah perbatasan.”
Barra tak menunggu lama, kedua petugas itu bercerita bergantian tentang masa lalu Marissa. Entah apa yang membuat menarik dari cerita hidup seseorang hingga kaum lelaki pun turut mendongeng.
Barra terkejut ketika mengetahui jika Marissa adalah seorang yang pernah menikah dan suaminya sudah meninggal setahun yang lalu.
“Bahkan menurut infonya, dia sendiri yang menyebabkan suaminya terbunuh. Jangan-jangan suaminya sudah membuat dia marah hingga disingkirkan juga.”
“Dan anehnya Ibu Mella sangat menyayangi dia. Banyak yang bilang Sersan Marissa menggunakan pellet,” ucap penjaga itu menutup cerita.
Apa yang sudah diceritakan oleh kedua penjaga itu hanya satu yang menarik perhatian Barra. Suami Marissa terbunuh setahun yang lalu, dan kini wanita itu menjadi bagian dari keluarga Ramses.
‘Pasti ada sesuatu yang telah terjadi hingga menarik perhatian Ramses.’
Tidak lama Danu datang menemui Barra. Lelaki itu pun baru saja dimutasikan dan bergabung menjadi anak buah Ramses. Meskipun berbeda unit kerja, namun dalam hal tertentu Barra dan Danu mendapat hak istimewa jika itu atas perintah Ramses.
“Ayo,” ajak Barra pada Danu.
Pertemuan dengan Ramses menjadi tanda aksi Barra sudah bisa dimulai, segalanya tetap dalam garis komando. Operasi rahasia, saat ini Barra hanya mengajak juniornya terlebih dahulu.
Mereka mengendarai mobil dinas yang memang diperuntukkan bagi Barra. Danu segera mengambil alih mengemudi.
“Kita kemana, Bang?”
“Pinggiran kota sebelah utara.”
Danu menoleh pada Barra, “Kemana Bang? Bukannya di sana tidak ada pemukiman?”
Daerah pinggiran kot sebelah utara memangnlah merupakan rawa-rawa sepi, hanya saja memiliki jalan raya yang panjang dan rata. Terkadang sering digunakan untuk arena balap liar.
“Misi kita bukan menjebak pemimpin geng motor kan?” tanya Danu sambal terus melajukan mobil ke arah yang sudah disebutkan oleh seniornya.
“Tentu saja bukan, buat apa? Lihat saja nanti.”
Danu pun terdiam dan memfokuskan pandangan ke depan, hanya sesekali melihat ke kaca spion. Tidak lama kemudian tampak dua sepeda motor dari arah belakang mobil mereka.
Salah satu dari sepeda motor tersebut mendahului mobil dinas Barra, sementara yang satu lagi terlihat membayangi di belakang.
Keduanya pengemudi itu mengenakan pakaian serba hitam, berjaket kulit hitam dengan helm senada pula. Tidak ada yang bisa mengenali wajah pengemudi karena tertutup oleh helm, hanya dari gerakan tubuh yang menoleh ke arah dalam mobil dapat disimpulkan ada maksud tertentu.
“Jaga kecepatan seperti ini saja. Tenang dan jangan terpengaruh,” ujar Barra pada Danu.
Anggukan kepala Danu cukup sebagai tanda mengerti. Seharusnya dua pengendara motor tersebut dapat meninggalkan mobil yang berisikan Barra dan Danu, namun kenyataannya keduanya hanya membayangi.
Barra memeriksa GPS pada ponselnya.
“Dua ratus meter ada pom bensin. Beloklah masuk ke sana.”
Danu mengikuti instruksi Barra, setelah melihat pom bensin, mobil dinas itupun berbelok masuk.
Pengemudi motor yang berada di belakang mobil pun mengikuti masuk dan mengambil antrian khusus sepeda motor.
“Bang, mereka ini bodoh atau bagaimana? Terlihat jelas sekali kalau mengikuti kita.”
Danu memperhatikan pengendara motor yang sementara sedang mengisi bahan bakar. Sedangkan mobil Barra dan Danu masih menunggu dua antrian mobil di depannya.
“Sepertinya tidak sesederhana itu,” ujar Barra.
***
Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.“Bang, mereka sudah tidak ada.”“Hmm.”Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.“Belok kanan.”“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.“Ya, aku tahu.”Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika men
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika
Barra dan Danu menatap Ramses penuh pertanyaan, sementara lelaki di hadapan mereka justru terlihat tenang, padahal baru saja mengeluarkan pernyataan jika anak angkat kesayangan istrinya dalam bahaya.Sungguh aneh, pikir Barra dalam hati. Danu mengubah posisi duduknya.“Pak, apa kita bisa bergerak melindunginya? Maksud saya-” usul Danu yang penuh maksud terhenti saat melihat tangan sang jenderal.Senyum Ramses mengembang sempurna. Lelaki yang sudah lebih dari separuh abad mengenyam asam manis hidup tersebut hanya menepuk pahanya dengan telapak tangannya. Matanya menyapu kedua anak laki-laki harapannya secara bergantian.Waktu sudah hampir jam sembilan malam, sudah waktunya untuk istirahat malam. Lelaki itupun bangkit berdiri,“Sudah waktunya istirahat.”“Tapi, bagaimana dengan Marissa?” tanya Barra spontan.Ramses menaikkan salah satu alisnya seraya menatap pria muda gagah di depannya. Senyumnya kembali mengembang.“Biarlah aku yang mengurusnya. Kamu selesaikan tugasmu, bukankah
Mata Barra hampir keluar dari kelopaknya saat melihat sosok yang bersembunyi dalam bagasi mobilnya. Begitupun dengan sosok yang kini berhadapan dengan lubang pistol yang mengarah pada kepalanya.Raut wajahnya terkejut dan bingung, semua kata-kata yang sudah disiapkan raib bersama angin malam yang berembus menerpa. Tiga jam bukan waktu yang sebentar untuk tetap tenang dalam bagasi.Marissa beradu pandang dengan Barra.“Sepertinya Anda memang ditakdirkan untuk menembak saya, Kapt.”Barra tersadar dari terkejutnya, perlahan dia menurunkan pistolnya dan memasukkan kembali pada jaket hitamnya.“Kamu memata-matai saya?”“Justru saya yang bingung kenapa saya ada di mobil Anda, Kapt. Pasti Rangga salah mengenali sasaran,” sungut Marissa seraya berusaha keluar dari dalam bagasi.Kakinya terasa mati rasa, begitupun dirinya yang lega bisa menghirup napas. Lebih lama lagi mungkin Marissa akan pingsan.Mendengar nama Rangga, Barra mulai bisa mengerti apa yang sedang mereka rencanakan.“Panta
Suasana penuh dengan lautan manusia saat Barra dan Marissa tiba di lapangan alun-alun kota. Marissa harus memeluk tangan Barra saat menembus barisan warga yang bergembira melihat MC memandu acara.Dan sesuai dengan spanduk yang di gelar, acara tersebut bisa dikatakan sebagai kampanye terselubung. Pemilihan kepala daerah masih tahun depan, namun beberapa oknum mencuri start untuk mencari simpati masyarakat.Lagu lama dan basi, sungut Barra. Lelaki itu menerobos hingga mendekati panggung, tangannya menggenggam erat tangan Marissa yang berjalan tepat di belakangnya.“Kita di sini saja, bisakah kamu melihat?” bisik Barra.Marissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Posisinya saat ini dekat dengan sisi sebelah kanan panggung.“Banyak juga pasukan yang berjaga, bukankah ini illegal?” bisik Marissa juga.“Tetap harus dijaga, karena melibatkan banyak orang. Dan pastinya alasannya bakti sosial.”Marissa mengangguk, matanya memicing jauh di belakang panggung. Barra pun melihat hal ya
Menjelang malam hari pasangan Barra dan Marissa baru kembali ke penginapan. Kedua pasangan paruh baya -sang pemilik penginapan- menyambut riang.“Wah, kalian sangat menikmati masa bulan madu kalian, ya,” ujar Ibu Ningsih seraya melirik suaminya.Marissa tertawa melihatnya, “Pak, sepertinya Ibu memberi kode keras untuk diajak refreshing.”Karno membalas lirikan sang istri dengan sedikit ketus, “Lalu siapa yang mengurus penginapan ini? Anak-anak semua sibuk dengan pekerjaannya masing-masing.”“Oh! Berapa anaknya, Pak? Dan di mana mereka sekarang?”“Anak kami ada dua orang, laki-laki semua. Yang pertama jadi MND sementara yang kedua jadi pelaut. Semuanya tidak berada di kota ini.”Barra sedikit memicingkan tatapannya saat Bu Ningsih menjelaskan kedua anak mereka. MND adalah singkatan dari Militer Negeri Darlan, cukup menarik perhatiannya. Lelaki itu pun bersiap mencari informasi namun wanita di sebelahnya labih aktif dari dirinya.“Wah keren. Anak pertama kalian sungguh gagah, ja
Sekali hentakan, tangan Barra sudah merebut pistol yang ada di genggaman sosok asing itu. Entah bagaimana bisa masuk, tetapi otak pintar Marissa segera bekerja.“Apakah pantas seorang anak mengunjungi orang tuanya dengan cara begini?”Marissa melangkah mendekat dan kemudian berdiri tepat di depan sosok yang kini berada dalam kekuasaan Barra. Keributan di luar kamar, otomatis membuat pasangan suami istri pemilik penginapan keluar.Betapa terkejutnya Ningsih dan Karno saat melihat siapa yang datang. Tegar putera sulung mereka yang kini menatap nanar, bukan, bukan lagi nanar tetapi sudah duduk berimpuh di lantai saat matanya beradu pandang dengan kedua netra orang tua tersebut.“Tegar, kamu pulang nak?” Ningsih berlari melewati Marissa dan memeluk tubuh sang putera.“Bangun nak, ada apa ini. Bangunlah.”Berbeda dengan istrinya, Pak Karno justru terkejut ketika melihat sebuah senjata ada digenggaman Barra. Walaupun dia tidak mengerti apa yang sedang terjadi, namun perasaannya sebagai
“Apa yang sedang kamu lakukan?”Rangga terperanjat ketika tiba-tiba suara bariton khas milik Barra terdengar dari belakang tubuhnya. Lelaki muda itu masih mengawasi kepergian Mella dan Marissa, bersamaan dengan Suster yang sedang menggendong bayi mungil melambaikan tangan seperti hal yang sering dilakukan oleh anak kecil melepas ibu dan neneknya pergi.“Siap tidak ada, Kapt,” ujar Rangga sedikit canggung. Raut wajahnya melukiskan kesan tidak nyaman bertemu dengan pria yang selalu berwajah masam padanya.“Jika kamu berpikiran jahat padanya, enyahkan jauh-jauh sebelum kamu lakukan!”Tatapan yang tajam terasa seperti mengiris iris mata Rangga. Barra memang sedang mengancamnya. Rangga hanya bisa menelan air liurnya saja.“Jenderal Ramses masih memberikan kesempatan padamu, tetapi aku tidak. Aku akan percaya jika kamu membuktikan dengan perbuatan dan bukan rekayasa. Ingat feelingku akan mengetahui kamu sedang memainkan trik konyol atau memang tulus membela kebenaran!”Angin yang bere
Dua pekan berlalu. Sepanjang waktu yang seakan landai digunakan oleh Barra untuk berunding dengan tim kuasa hukum militernya. Sebab target dari pembunuhan suami pertama Marissa adalah keluarga atau kerabat dari anggota Militer Darlan.Berbeda dengan sang suami, Marissa tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Mella dan saat ini akan menghadiri acara istri petinggi militer Darlan.“Ada acara kemana?” tanya Barra saat melihat istrinya sudah mengenakan baju dinas safarinya.Marissa merapikan sedikit anak rambut yang keluar dari sanggulnya, kemudian merapikan riasan yang natural pada wajah cantiknya.“Iya, Ibu ada acara pertemuan arisan di wisma anyelir.”“Wisma anyelir?”“Gedung pertemuan di sebelah kantor Panglima Tertinggi.”“Hati-hati,” pesan Barra seraya membetulkan kerah baju Marissa.Rutinitas yang mulai disukai oleh Barra, sebagai pasangan sah Marissa. Kebahagiannya adalah dapat memberikan perhatian disela kesibukkannya sebagai anggota militer yang penuh dengan ris
Pertanyaan Marissa hanya ditanggapi dengan tatapan Barra. Lelaki itu mengerutkan dahinya seraya mengeraskan rahang, terlihat jelas jika dirinya sedang memikirkan sesuatu.Drrt, drrt.Getaran ponsel yang ada di atas nakas mengalihkan perhatian Barra. Dengan satu jangkauan tangannya yang panjang, benda pipih tersebut sudah berpindah tempat. Sebuah pesan masuk dan terbaca sepintas oleh mata Marissa.‘Rencana berhasil’ demikian sepotong penggalan pesan.Barra membaca dan kemudian menghapus pesan tersebut.“Mengapa dihapus? Rencana apa?” tanya Marissa.Barra terdiam, dan kembali pada posisi sebelumnya memandang Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan oleh wanita itu.“Ada apa?”“Adik sudah siap?” akhirnya Barra bersuara.“Si – siap apa, Bang?” suara Marissa tergagap. Tatapannya sontak kebawah kemudian menatap Barra lalu beralih lagi ke arah tidak menentu.“Dik? Ada apa? Sudah siap kah?” ulang Barra bingung.“Eh – eh,” gumam Marissa lirih. Tidak tahu bagaimana wajahnya sek
Brak.Pintu tiba-tiba terbuka, Marissa berdiri di depannya seraya menatap ke dalam. Tepatnya pada Rangga, wajah wanita yang mempunyai hubungan personal sangat dekat itu memancarkan sorot kekecewaan. Langkah kaki perlahan mendekat, tanpa bicara Marissa berdiri tepat berjarak satu jengkal lengannya.Plak!Tamparan keras tak pelak mendarat di wajah Rangga. Lelaki itu terkejut, demikian juga Barra.“Icha –““Salah apa aku padamu, Rang? Tega kamu mau mencelakakanku. Kalau aku naik mobil yang salah seharusnya kamu datangi aku, bukan kau biarkan saja.” Marissa tidak menghiraukan ucapan Barra, serentetan kalimat terlontar dengan emosi jiwa.Ruangan kerja Ramses yang mempunyai dua pendingin udara sepertinya tidak mampu mendinginkan suasana hati Marissa. Tangannya masih mengepal dan bibirnya sedikit terbuka, hingga barisan gigi yang terkatup rapat terlihat.“Mbak, maafkan aku. Aku terpaksa!”“Kita selalu bahas rencana ini berdua, apa kau ceritakan semua rencanaku pada mereka!” ucap Mar
“Apa maksudnya?” Ramses yang mengikuti langkah Barra terhenyak dengan tuduhan menantunya.Ya Barra sudah resmi sekarang sebagai suami Marissa sesugguhnya. Ketika semua sudah pergi, sepertinya Barra menepati janjinya. Mulai menyerang lawannya, tetapi Ramses heran mengapa dalam rumahnya ada penyusup. Dan orang itu mengapa harus Rangga.Barra tidak langsung menjawab. Dengan gayanya yang elegan, lelaki itu berbalik badan menghadap Ramses dan kemudian kepalanya menoleh ke arah Rangga.“Itu yang sedang aku tanyakan padanya. Pada hari Icha masuk dalam mobil yang salah, sebenarnya dia sudah tahu. Aku sudah memeriksa CCTV dari sekitar tempat dimana mobilku dan mobil target parkir bersebelahan.”Ramses, Danu, Mella, bahkan Marissa terkejut mendengar penjelasan Barra. Terlebih Marissa, dalam benaknya ingin menyangkal pendapat lelaki tersebut, namun ketika Barra mengatakan berdasarkan bukti rekaman CCTV dia jadi dilema.“Apa benar itu Rang?” tanya Marissa.Matanya masih terlihat sayu, me
Ternyata bukan sekedar kegilaan ucapan saja, esok harinya Barra menghadap Ramses dan juga Mella mengemukakan keinginannya untuk menikah secara resmi.Alasan yang digunakan oleh lelaki itu, untuk melindungi Marissa secara penuh dan juga keberadaan bayi yang diadopsi oleh mereka.“Memang benar sekali kabar tentangmu yang pandai negosiasi, berdebat dan juga melumpuhkan lawan.”Ramses tertawa, sementara Mella sudah heboh sendiri bersama si kecil.“Oma sih Yes!” serunya.“Bukankah secara administrasi sudah kalian lakukan jauh hari,” balas Barra sedikit sarkas membuat Ramses semakin tertawa lepas.“Aku bangga dengan satria muda seperti ini, kuharap setelah rencana awalmu kupenuhi segera selesaikan misi kita sebelum pesta demokrasi tahun depan.”“Yes Sir!”“Ya sudah kapan kalian akan melangsung-““Hari ini.” Barra memotong kalimat Mella.Wanita itu terkejut nyaris melupakan ada manusia kecil dalam gendongannya.“Lihat kan dia sudah tergila-gila pada anak perempuanmu,” goda Ramses.Barra
Semua mata kini tertuju pada Marissa dan buku yang ada dalam genggamannya. Rona merah menghiasi kedua pipinya yang putih halus.“Apa itu?” tanya Barra hendak mengambil namun tangan Marissa bergerak cepat menyembunyikannya. Mella yang melihat hal tersebut kembali dibuat senang.“Lihat Ayah Bundamu lucu sekali,” bisik Mella pada sosok mungil dalam pelukannya.“Icha selalu membawa buku nikah kemanapun dia pergi. Sebab selama kamu tidak sadar diri, dia selalu mendapatkan pelecehan secara verbal maupun tindakan. Itulah cara dia melindungi dirinya.” Ramses menghentikan Barra yang berusaha ingin tahu.“Oh. Anakku, betapa kuatnya kamu menghadapi ujian hidup,” tutur Ningsih menatap haru.“Eh- sebentar, siapa anak kecil ini?” Ningsih tersadar sesuatu.“Anak kami, Bu,” jawab Barra cepat.“Hah? Baru kemarin periksa kehamilan mengapa sudah ada bayinya?” pekik Ningsih polos.Tawapun terdengar dari bibir Ramses maupun Mella. Banyak sekali kejadian yang tidak bisa disaksikan oleh mereka.
“Bagaimana bisa Anda di sini,” ucap Barra bingung, mengenali siapa yang datang.Ramses dan Mella datang dan berada di rumah sakit, hal yang seharusnya bukan karena faktor kebetulan.“Nak Barra kenapa hal seperti ini disembunyikan dari kami,” tegur Mella sedikit protes.Wanita itu sudah duduk di sisi pembaringan Marissa.“Maaf Bu. Semua terjadi begitu cepat, kami juga tidak menyangka hal ini terjadi. Tetapi bagaimana Bapak dan Ibu bisa tahu kami di sini?”Ramses tertawa, “Apa kamu lupa dengan feeling seorang wanita yang tajam. Ibumu bermimpi sesuatu yang buruk menimpa Icha, dan seperti biasa aku tidak bisa berbuat apapun ketika Ibumu minta ke kota ini.”“Dan terbukti benar kan! Jangan remehkan kekuatan batin seorang ibu.”Terlihat sekali Mella sedih melihat kondisi anak angkatnya ini, tidak henti tangan wanita itu mengusap wajah dan juga tangan Marissa.“Pulang ikut Ibu ya Nak,” ucap Mella lembut.Rambut Marissa yang kini terurai sedikit berantakan diusap dan dirapikan oleh tanga
Marissa hampir saja menendang lelaki tua itu dengan kakinya. Pikiran buruk lebih mendominasi ketika dirinya melihat pria itu tiba-tiba menghambur padanya seolah ingin memeluk.“Nyonya, bolehkan saya meminta tolong pada Anda berdua.”Marissa yang masih curiga dengan sosok lelaki ini, menatap penuh selidik. Dalam hati dia bertanya mengapa wajah laki-laki seperti pernah dia temui, tetapi di mana, tanya Marissa dalam hati.“Apa itu?” akhirnya Marissa membuka mulut juga.“Anak saya baru saja melahirkan, namun sayang dia meninggal setelah anaknya lahir. Saya tidak mampu dan tidak bisa merawat cucu saya ini karena keadaan. Bisakah kalian merawat anak ini.”“Hah!” seketika Marissa terbelalak, tidak percaya dengan yang dia dengar.“Tolonglah kami, Nyonya,” pinta lelaki itu seraya menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar.Semakin bingung Marissa dibuatnya, matanya menatap keluar berharap Barra cepat datang.Sementara itu di sudut tersembunyi, tepatnya di area luar yang letaknya berdekat