“Apa maksud Anda, Kapt?” Danu kebingungan saat melihat rahang Barra mengeras dengan sorot mata diliputi amarah.
“Di mana kamu berdinas sekarang?”
“Siap, saya sekarang dialihkan ke detasemen kemarkasan daerah , Kapt.”
Jack berdiam sejenak kemudian dia pun memberi intstruksi.
“Tolong carikan aku nomor kontak Jenderal Ramses, atau prajurit wanita yang bernama Marissa. Setelah itu hubungi aku.”
Jack mengeluarkan sebuah ponsel edisi lama hingga Danu terkejut ketika melihat alat komunikasi seorang atasan adalah tipe yang sekarang saja sudah tidak diproduksi lagi. Ingin tertawa tapi Danu menyadari penampilan Barra diluar prediksinya, dan dia tidak berani menanyakannya.
Danu mengambil ponsel Barra dan memasukkan nomonya sendiri kemudian melakukan panggilan ke ponsel pribadinya.
“Anda mengenal Jenderal Ramses, Kapt?” tanyanya seraya mengembalikan ponsel Barra.
“Lekaslah kembali setelah memastikan istrimu dalam keadaan aman. Aku akan menghubungi setelah bertemu dengan Jenderal Ramses.”
Jack mengedarkan padangannya ke arah kapal yang terlihar akan segera berangkat.
“Ayo, kuantar kalian masuk!” Jack membantu membawa barang Danu meskipun beberapa kali ditolak namun Jack tidak peduli.
Dalam hati Jack merasa iba dengan kondisi Danu, jika ini semua adalah benar seperti yang pernah disampaikan oleh Ramses maka terlalu jahat sekali sosok pengkhianat ini. Jack sudah kehilangan sang ibu, dan dia tidak tega jika melihat Danu harus kehilangan istrinya.
Untuk menghadapi pecundang, adakalanya perlu mengikuti permainan licik mereka.
***
Marissa terkejut ketika sedang mengawal istri Ramses, ponselnya berbunyi.
“Siapa, Cha?” tanya Mella – istri dari Jenderal Ramses.
“Icha tidak tahu Bu, ijin mengangkat.” Mella menganggukkan kepala. Kemudian Marissa pun mengakat panggilan dari nomor asing.
“Selamat siang,” sapa Marissa sopan.
Sedetik kemudian mata wanita manis tersebut terbelalak dan ada pijar bahagia di pupil matanya.
“Baik, Kapt. Akan saya kirim via pesan –“
“Hah? Siap bagaimana, Kapt? Oh – baiklah, nanti saya hubungi Anda saat sudah sampai kediaman. Terima kasih sudah menghubungi,” ucap Marissa segera.
Mella memperhatikan interaksi tersebut seraya tersenyum. Sebab sudah lama Mella ingit melihat pancaran bahagia singgah kembali pada sosok prajurit wanita tersebut.
Mella masih ingat kehancuran dan kesedihan Marissa saat kehilangan suami dan anak dalam waktu bersamaan. Sejak itu hidup Marissa fokus pada pekerjaan hingga Ramses mengambil Marissa sebagai anak angkat sekaligus untuk melindungi sang istri.
“Wah siapa hayo,” goda Mella setelah sambungan telepon berakhir.
“Itu Bu, Kapten Barra –“
“Ohh, pria gagah yang terluka dan kamu rawat hingga sembuh ya?” Mella berseru ikut gembira, terlebih saat melihat semu merah merona menjalari pipi Marissa.
“Kenapa? Ingin bertemu Bapak?” tanya Mella lebih lanjut.
“Siap, betul Bu.”
Mella melemparkan senyum penuh arti. Sudah menganggap Marissa sabagai anak, tentu wanita istri Jenderal bintang tiga tersebut mempunyai rencana tersendiri.
Tiga puluh menit berlalu, Jack atau Barra kini sudah berganti pakaian. Dia sabar menunggu Marissa akan menghubungi dirinya. Matanya melihat ponsel lama miliknya, di mana alat komunikasi tersebut hanya mampu menerima panggilan sementara tidak mempunyai aplikasi pesan sebagaimana sebelumnya.
Jack tersenyum tipis ketika melihat nama Marissa memanggil.
“Ya,” jawabnya singkat.
Jack terlihat mendengar dengan seksama dan tak lama menutup panggilan tersebut kemudian lekas berlalu pergi.
Marissa memberikan alamat serta penunjuk jalan yang mudah untuk ditemukan oleh Barra, wanita tersebut yang menjemput Barra ketika sudah sampai di gerbang perumahan khusus perwira tinggi militer Darlan.
Kini Jack sudah berhadapan dengan Ramses di dalam ruang pribadi jenderal tersebut.
“Jadi apa keputusanmu?” tanya Ramses seraya menyunggikan senyum tipis namun tetap terlihat berkarisma. Auranya memang laksana pemimpin yang sedang mendengarkan anaknya.
“Apa benar saya masih tercatat sebagai Militer Negera Darlan?”
“Tentu saja,” jawab Ramses cepat.
“Lantas di mana saya akan bertugas?”
“Pasukan rahasia.”
“Apakah bisa saya mengajak serta anak buah saya yang sama-sama di korbankan saat tragedi tahun lalu?”
“Tentu saja, pilih anggota terbaikmu. Karena kamu akan bertindak sebagai komandan timnya.”
Jack yang adalah seorang porter kini sudah tidak ada, Barra sang prajurit siap beraksi.
“Apa yang menyebabkanmu berubah pikiran?” Ramses penasaran, sebab keteguhan lelaki muda di hadapannya ini terlihat begitu sulit untuk ditembus. Jika tiba-tiba dia sendiri datang menerima tawaran ini pasti ada yang sudah mengetuk jiwa patriotismenya.
“Saya sudah kehilangan ibu setelah tragedi itu, kemarin saya bertemu Danu dan melihat bagaimana istrinya mengalami gangguan sebab adanya konspirasi jahat yang dilakukan oleh sosok besar.”
“Sosok besar?”
“Siap, dan sosok itu adalah orang yang terakhir menjadi tempat saya untuk mencoba membela anak buah saya. Bukankah Anda mempunyai kekuatan yang besar juga, Jenderal.”
Ramses tertegun mendengar penuturan Barra. Jenderal bintang tiga tersebut segera mengetahui bahwa Barra dan anak buahnya mengetahui suatu bukti tentang keterlibatan sosok besar yang bisa ditebak adalah petinggi militer juga.
“Siapa dia?” tanya Ramses pada akhirnya.
“Sekarang saya belum mengetahui identitasnya tapi saya akan segera mengetahuinya ketika saya kembali pada kesatuan saya.”
Prok. Prok. Prok.
Ramses bertepuk tangan bangga.
“Selamat datang di kesatuanmu anakku. Negara ini membutuhkanmu dan juga prajurit terbaik lainnya. Kejahatan akan selalu merajai jika tidak ada yang menghentikannya. Mari kita hentikan keangkaraan dan pengkhianatan terhadap negara.”
“Siap, Jenderal. Kapten Barra Sena Dirgantara siap mengemban tugas bersama demi bangsa.”
“Marissa, bawakan semua perlengkapan Kapten Barra.” Ramses berbicara melalui alat komunikasi antar ruangan.
Tak lama kemudian, masuklah Marissa dengan membawa koper besar dan juga sebuah kotak. Lantas wanita itu menyerahkan pada Barra.
“Apa kamu tidak pensaran mengapa kamu masih hidup setelah penembakan tersebut?”
Barra yang sibuk memeriksa barang apa saja yang diberikan padanya seketika berhenti dan memandang pada Ramses.
“Dia, dialah yang membawamu padaku setelah tanpa sengaja mendengar seseorang memerintahkan membunuhmu.”
Barra tercekat kemudian mengalihkan padangannya pada Marissa.
“Dan dia juga yang merawatmu sampai dengan siuman,” ucap Ramses penuh arti.
Melihat ekspresi Barra, Ramses dapat menduga lelaki itu tidak membaca seksama berkas yang pernah dia baca sebelumnya.
“Terima kasih,” kata Barra setelah terdiam beberapa lama.
Tapi mengapa semua perlengkapan pribadi ada pada wanita ini pikir Barra, masih banyak yang mengganjal di benaknya namun dia enggan bertanya lebih lanjut. Saat ini yang menjadi fokus utama adalah membalaskan dendamnya pada sosok yang sudah berani mengkambinghitamkan dirinya bersama kesepuluh anak buahnya.
Entah bagaimana kabar mereka, yang pasti dia kembali untuk menegakkan kebenaran.
“Kapt, ini kartu ATM Anda, selama ini Anda masih menerima gaji bulanan.” Marissa memeberikan sebuah kartu.
“Bagaimana bisa kartu ini ada padamu?” akhirnya Barra meluapkan rasa penasarannya.
Ramses tertawa melihat interaksi keduanya, sementara Barra bergantian memandang antara Ramses dan Marissa bergantian.
“Aku mengaturnya, yang penting sekarang adalah persiapkan dirimu untuk kembali.”
“Siap Jenderal. Darah merahku dan putih tulangku sudah siap untuk kembali.”
“Demi apa?”
Barra mengepkan tangannya, “Demi ayah, ibu dan juga negeri Darlan ini.”
Ramses berdiri, melangkah mendekati Barra, kemudian memeluk tubuh lelaki yang bisa dikatakan adalah anaknya juga, sebab dia putra dari sahabat terbaiknya.
“Wah ternyata gagah sekali anak menantuku ini,” seru seorang wanita tiba-tiba.
***
“Sayang, ada apa?” Ramses menghentikan sang istri ikut cam pur dalam pembicaraan penting mereka. “Opss maaf. Mama cuma mau ijin bawa Icha saja kok,” jawab Mella seraya melempar senyum manja pada suaminya. Namun jelas terlihat bahwa itu hanya sandiwara saja, bukankah mereka baru saja datang. Ramses sangat tahu isi pikiran sang istri. Barra menanggukkan kepalanya sopan pada istri sang jenderal, sementara Marissa hanya diam saja menunggu perintah lebih lanjut. “Ya sudah, Mama ke kamar saja deh, Icha besok sore saja temani Ibu ke salon ya, besok malam ada pertemuan dengan ibu ketua.” Mella pun berbalik keluar dari ruangan sambil melemparkan senyum penuh arti pada Barra. Sekali lagi, Barra memberi hormat. “Maaf ada sedikit iklan lewat. Kita lanjutkan lagi. Icha tutup pintunya,” ucap Ramses sekaligus memberi perintah pada Marissa. Suasana kembali menjadi serius saat Ramses menyalakan laptop dang menampilkan suatu data pada layar barco yang begerak otomatis turun saat hendak digu
Acara kemeriahan panggung prajurit masih berlangsung namun Barra meninggalkan tempat tersebut. Bahkan beberapa prajurit yang ingin berkenalan dengannya terpaksa diabaikan karena Ramses memanggilnya.Saat Barra tiba bersamaan dengan Marissa yang baru keluar dari ruangan Jenderal Bintang Tiga tersebut.“Selamat siang, Kapt. Anda ingin menghadap Bapak, Kapt?” tanya Marissa seraya tersenyum.Melihat senyuman prajurit wanita tersebut membuat Barra tidak suka.“Apakah selalu demikian kamu menggunakan kecantikanmu untuk menggoda laki-laki?” ujar Barra sarkas.Spontan senyum Marissa hilang dan berganti dengan raut wajah terkejut,“Hah? Apa maksud Anda, Kapt?”Alih-alih menjawab, Barra justru melewati tubuh Marissa dan mengetuk pintu ruangan Ramses. Lelaki gagah yang sialnya memiliki wajah sempurna itu mengabaikan tatapan Marissa. Wanita itu pun hanya menarik napas dan menggelengkan kepala.Selalu salah, batin wanita berusia 25 tahun itu.Tiba-tiba ponsel Marissa berbunyi. Tanda indica
Proses pengisian bahan bakar si pengendara berjaket hitam selesai. Dia segera menghidupkan motornya dan melaju pergi keluar dari area pom bensin.Demikian juga mobil dinas Barra mulai beranjak keluar dari area pengisian bahan bakar, dan kini melaju ke jalan utama. Namun tidak terlihat satu pun pengendara yang berjaket hitam itu.“Bang, mereka sudah tidak ada.”“Hmm.”Kembali Barra mengecek GPS, setelah melalui pertigaan tidak ada lagi fasilitas umum. Barra berpikir sejenak, perasaannya mengatakan akan terjadi sesuatu, sebelumnya dia pernah merasakan hal itu.“Kita ke mana, Bang?” tanya Danu.“Belok kanan.”“Yakin Bang?” Danu menoleh pada Barra.Jalan yang akan dilalui merupakan jalan sepi yang akan menuju ke pegunungan sehingga dalam jarak tertentu tidak akan ditemui perkampungan. Kiri kanan di penuhi dengan kebun kelapa yang sawit.“Ya, aku tahu.”Tekanan suara Barra penuh misteri. Danu hanya bergidik sendiri mendengarnya. Selama ini seniornya terlalu sulit ditebak ketika men
Mobil yang membawa istri dari Jenderal Ramses memasuki lobi utama Griya Anggrek, suatu gedung pertemuan bagi istri petinggi militer di Negara Darlan. Hanya orang yang memiliki kartu pengenal tertentu dapat masuk ke area gedung dengan pengamanan ketat.Marissa membuka jendela depan dan menunjukkan kartu pengenalnya sekaligus menyebutkan siapa yang berada bersamanya.“Nyonya Mella Ramses tiba di Griya,” lapor salah seorang penjaga gerbang.Setelah proses pemeriksaan mobil mewah berwarna hitam itu pun diijinkan masuk, hingga tiba di depan lobi utama dan Marissa dengan gerakan cepat turun dari kendaraan, membuka pintu penumpang.“Selamat datang Nyonya Ramses,” sapa seorang wanita dengan penampilan yang glamour. Mella tersenyum dan menerima uluran tangan wanita tersebut.“Ibu, ruangan ganti ada di sebelah kiri,” ujar Marissa pada Mella, mengingatkan.Rupanya ucapan Marissa tidak disukai oleh wanita yang menyambut Mella, dengan tatapan sinis wanita tersebut menatap tajam pada Marissa.
Waktu menunjukkan pukul tujuh malam. Makan malam telah usai dan kini mereka semua berkumpul di ruang keluarga.Mella menangis mendengar cerita dari beberapa pelayan yang menghubunginya lewat telepon. Ramses tidak habis piker mengapa Barra begitu membenci Marissa hingga tega menodongkan senjata.“Barra ada apa ini?”Sebelumnya Ramses meminta beberepa pelayan bercerita, dan kemudian menyuruh para pelayan pergi meninggalkan ruangan tersebut. Yang tersisa adalah Ramses, Mella, Barra, Marissa, Danu dan Rangga.Suara televisi sudah dimatikan, keheningan menyelimuti saat mata Ramses memandang satu per satu anak muda yang sudah dianggap sebagai anaknya semua.“Jelaskan padaku alasanmu menodongkan senjata pada Marissa,” ujar Ramses berwibawa.Barra menarik napasnya sejenak, lalu melirik ke arah Marissa yang tertunduk.“Seminggu yang lalu, saya diserang oleh pengendara motor. Dan kemudian saya menyelidiki hal tersebut, dengan meminta rekaman CCTV jalan raya. Saya menemukan kenyataan jika
Barra dan Danu menatap Ramses penuh pertanyaan, sementara lelaki di hadapan mereka justru terlihat tenang, padahal baru saja mengeluarkan pernyataan jika anak angkat kesayangan istrinya dalam bahaya.Sungguh aneh, pikir Barra dalam hati. Danu mengubah posisi duduknya.“Pak, apa kita bisa bergerak melindunginya? Maksud saya-” usul Danu yang penuh maksud terhenti saat melihat tangan sang jenderal.Senyum Ramses mengembang sempurna. Lelaki yang sudah lebih dari separuh abad mengenyam asam manis hidup tersebut hanya menepuk pahanya dengan telapak tangannya. Matanya menyapu kedua anak laki-laki harapannya secara bergantian.Waktu sudah hampir jam sembilan malam, sudah waktunya untuk istirahat malam. Lelaki itupun bangkit berdiri,“Sudah waktunya istirahat.”“Tapi, bagaimana dengan Marissa?” tanya Barra spontan.Ramses menaikkan salah satu alisnya seraya menatap pria muda gagah di depannya. Senyumnya kembali mengembang.“Biarlah aku yang mengurusnya. Kamu selesaikan tugasmu, bukankah
Mata Barra hampir keluar dari kelopaknya saat melihat sosok yang bersembunyi dalam bagasi mobilnya. Begitupun dengan sosok yang kini berhadapan dengan lubang pistol yang mengarah pada kepalanya.Raut wajahnya terkejut dan bingung, semua kata-kata yang sudah disiapkan raib bersama angin malam yang berembus menerpa. Tiga jam bukan waktu yang sebentar untuk tetap tenang dalam bagasi.Marissa beradu pandang dengan Barra.“Sepertinya Anda memang ditakdirkan untuk menembak saya, Kapt.”Barra tersadar dari terkejutnya, perlahan dia menurunkan pistolnya dan memasukkan kembali pada jaket hitamnya.“Kamu memata-matai saya?”“Justru saya yang bingung kenapa saya ada di mobil Anda, Kapt. Pasti Rangga salah mengenali sasaran,” sungut Marissa seraya berusaha keluar dari dalam bagasi.Kakinya terasa mati rasa, begitupun dirinya yang lega bisa menghirup napas. Lebih lama lagi mungkin Marissa akan pingsan.Mendengar nama Rangga, Barra mulai bisa mengerti apa yang sedang mereka rencanakan.“Panta
Suasana penuh dengan lautan manusia saat Barra dan Marissa tiba di lapangan alun-alun kota. Marissa harus memeluk tangan Barra saat menembus barisan warga yang bergembira melihat MC memandu acara.Dan sesuai dengan spanduk yang di gelar, acara tersebut bisa dikatakan sebagai kampanye terselubung. Pemilihan kepala daerah masih tahun depan, namun beberapa oknum mencuri start untuk mencari simpati masyarakat.Lagu lama dan basi, sungut Barra. Lelaki itu menerobos hingga mendekati panggung, tangannya menggenggam erat tangan Marissa yang berjalan tepat di belakangnya.“Kita di sini saja, bisakah kamu melihat?” bisik Barra.Marissa mengedarkan pandangannya ke sekeliling. Posisinya saat ini dekat dengan sisi sebelah kanan panggung.“Banyak juga pasukan yang berjaga, bukankah ini illegal?” bisik Marissa juga.“Tetap harus dijaga, karena melibatkan banyak orang. Dan pastinya alasannya bakti sosial.”Marissa mengangguk, matanya memicing jauh di belakang panggung. Barra pun melihat hal ya
“Apa yang sedang kamu lakukan?”Rangga terperanjat ketika tiba-tiba suara bariton khas milik Barra terdengar dari belakang tubuhnya. Lelaki muda itu masih mengawasi kepergian Mella dan Marissa, bersamaan dengan Suster yang sedang menggendong bayi mungil melambaikan tangan seperti hal yang sering dilakukan oleh anak kecil melepas ibu dan neneknya pergi.“Siap tidak ada, Kapt,” ujar Rangga sedikit canggung. Raut wajahnya melukiskan kesan tidak nyaman bertemu dengan pria yang selalu berwajah masam padanya.“Jika kamu berpikiran jahat padanya, enyahkan jauh-jauh sebelum kamu lakukan!”Tatapan yang tajam terasa seperti mengiris iris mata Rangga. Barra memang sedang mengancamnya. Rangga hanya bisa menelan air liurnya saja.“Jenderal Ramses masih memberikan kesempatan padamu, tetapi aku tidak. Aku akan percaya jika kamu membuktikan dengan perbuatan dan bukan rekayasa. Ingat feelingku akan mengetahui kamu sedang memainkan trik konyol atau memang tulus membela kebenaran!”Angin yang bere
Dua pekan berlalu. Sepanjang waktu yang seakan landai digunakan oleh Barra untuk berunding dengan tim kuasa hukum militernya. Sebab target dari pembunuhan suami pertama Marissa adalah keluarga atau kerabat dari anggota Militer Darlan.Berbeda dengan sang suami, Marissa tetap menjalankan tugasnya sebagai pengawal pribadi Mella dan saat ini akan menghadiri acara istri petinggi militer Darlan.“Ada acara kemana?” tanya Barra saat melihat istrinya sudah mengenakan baju dinas safarinya.Marissa merapikan sedikit anak rambut yang keluar dari sanggulnya, kemudian merapikan riasan yang natural pada wajah cantiknya.“Iya, Ibu ada acara pertemuan arisan di wisma anyelir.”“Wisma anyelir?”“Gedung pertemuan di sebelah kantor Panglima Tertinggi.”“Hati-hati,” pesan Barra seraya membetulkan kerah baju Marissa.Rutinitas yang mulai disukai oleh Barra, sebagai pasangan sah Marissa. Kebahagiannya adalah dapat memberikan perhatian disela kesibukkannya sebagai anggota militer yang penuh dengan ris
Pertanyaan Marissa hanya ditanggapi dengan tatapan Barra. Lelaki itu mengerutkan dahinya seraya mengeraskan rahang, terlihat jelas jika dirinya sedang memikirkan sesuatu.Drrt, drrt.Getaran ponsel yang ada di atas nakas mengalihkan perhatian Barra. Dengan satu jangkauan tangannya yang panjang, benda pipih tersebut sudah berpindah tempat. Sebuah pesan masuk dan terbaca sepintas oleh mata Marissa.‘Rencana berhasil’ demikian sepotong penggalan pesan.Barra membaca dan kemudian menghapus pesan tersebut.“Mengapa dihapus? Rencana apa?” tanya Marissa.Barra terdiam, dan kembali pada posisi sebelumnya memandang Marissa dengan tatapan yang sulit diartikan oleh wanita itu.“Ada apa?”“Adik sudah siap?” akhirnya Barra bersuara.“Si – siap apa, Bang?” suara Marissa tergagap. Tatapannya sontak kebawah kemudian menatap Barra lalu beralih lagi ke arah tidak menentu.“Dik? Ada apa? Sudah siap kah?” ulang Barra bingung.“Eh – eh,” gumam Marissa lirih. Tidak tahu bagaimana wajahnya sek
Brak.Pintu tiba-tiba terbuka, Marissa berdiri di depannya seraya menatap ke dalam. Tepatnya pada Rangga, wajah wanita yang mempunyai hubungan personal sangat dekat itu memancarkan sorot kekecewaan. Langkah kaki perlahan mendekat, tanpa bicara Marissa berdiri tepat berjarak satu jengkal lengannya.Plak!Tamparan keras tak pelak mendarat di wajah Rangga. Lelaki itu terkejut, demikian juga Barra.“Icha –““Salah apa aku padamu, Rang? Tega kamu mau mencelakakanku. Kalau aku naik mobil yang salah seharusnya kamu datangi aku, bukan kau biarkan saja.” Marissa tidak menghiraukan ucapan Barra, serentetan kalimat terlontar dengan emosi jiwa.Ruangan kerja Ramses yang mempunyai dua pendingin udara sepertinya tidak mampu mendinginkan suasana hati Marissa. Tangannya masih mengepal dan bibirnya sedikit terbuka, hingga barisan gigi yang terkatup rapat terlihat.“Mbak, maafkan aku. Aku terpaksa!”“Kita selalu bahas rencana ini berdua, apa kau ceritakan semua rencanaku pada mereka!” ucap Mar
“Apa maksudnya?” Ramses yang mengikuti langkah Barra terhenyak dengan tuduhan menantunya.Ya Barra sudah resmi sekarang sebagai suami Marissa sesugguhnya. Ketika semua sudah pergi, sepertinya Barra menepati janjinya. Mulai menyerang lawannya, tetapi Ramses heran mengapa dalam rumahnya ada penyusup. Dan orang itu mengapa harus Rangga.Barra tidak langsung menjawab. Dengan gayanya yang elegan, lelaki itu berbalik badan menghadap Ramses dan kemudian kepalanya menoleh ke arah Rangga.“Itu yang sedang aku tanyakan padanya. Pada hari Icha masuk dalam mobil yang salah, sebenarnya dia sudah tahu. Aku sudah memeriksa CCTV dari sekitar tempat dimana mobilku dan mobil target parkir bersebelahan.”Ramses, Danu, Mella, bahkan Marissa terkejut mendengar penjelasan Barra. Terlebih Marissa, dalam benaknya ingin menyangkal pendapat lelaki tersebut, namun ketika Barra mengatakan berdasarkan bukti rekaman CCTV dia jadi dilema.“Apa benar itu Rang?” tanya Marissa.Matanya masih terlihat sayu, me
Ternyata bukan sekedar kegilaan ucapan saja, esok harinya Barra menghadap Ramses dan juga Mella mengemukakan keinginannya untuk menikah secara resmi.Alasan yang digunakan oleh lelaki itu, untuk melindungi Marissa secara penuh dan juga keberadaan bayi yang diadopsi oleh mereka.“Memang benar sekali kabar tentangmu yang pandai negosiasi, berdebat dan juga melumpuhkan lawan.”Ramses tertawa, sementara Mella sudah heboh sendiri bersama si kecil.“Oma sih Yes!” serunya.“Bukankah secara administrasi sudah kalian lakukan jauh hari,” balas Barra sedikit sarkas membuat Ramses semakin tertawa lepas.“Aku bangga dengan satria muda seperti ini, kuharap setelah rencana awalmu kupenuhi segera selesaikan misi kita sebelum pesta demokrasi tahun depan.”“Yes Sir!”“Ya sudah kapan kalian akan melangsung-““Hari ini.” Barra memotong kalimat Mella.Wanita itu terkejut nyaris melupakan ada manusia kecil dalam gendongannya.“Lihat kan dia sudah tergila-gila pada anak perempuanmu,” goda Ramses.Barra
Semua mata kini tertuju pada Marissa dan buku yang ada dalam genggamannya. Rona merah menghiasi kedua pipinya yang putih halus.“Apa itu?” tanya Barra hendak mengambil namun tangan Marissa bergerak cepat menyembunyikannya. Mella yang melihat hal tersebut kembali dibuat senang.“Lihat Ayah Bundamu lucu sekali,” bisik Mella pada sosok mungil dalam pelukannya.“Icha selalu membawa buku nikah kemanapun dia pergi. Sebab selama kamu tidak sadar diri, dia selalu mendapatkan pelecehan secara verbal maupun tindakan. Itulah cara dia melindungi dirinya.” Ramses menghentikan Barra yang berusaha ingin tahu.“Oh. Anakku, betapa kuatnya kamu menghadapi ujian hidup,” tutur Ningsih menatap haru.“Eh- sebentar, siapa anak kecil ini?” Ningsih tersadar sesuatu.“Anak kami, Bu,” jawab Barra cepat.“Hah? Baru kemarin periksa kehamilan mengapa sudah ada bayinya?” pekik Ningsih polos.Tawapun terdengar dari bibir Ramses maupun Mella. Banyak sekali kejadian yang tidak bisa disaksikan oleh mereka.
“Bagaimana bisa Anda di sini,” ucap Barra bingung, mengenali siapa yang datang.Ramses dan Mella datang dan berada di rumah sakit, hal yang seharusnya bukan karena faktor kebetulan.“Nak Barra kenapa hal seperti ini disembunyikan dari kami,” tegur Mella sedikit protes.Wanita itu sudah duduk di sisi pembaringan Marissa.“Maaf Bu. Semua terjadi begitu cepat, kami juga tidak menyangka hal ini terjadi. Tetapi bagaimana Bapak dan Ibu bisa tahu kami di sini?”Ramses tertawa, “Apa kamu lupa dengan feeling seorang wanita yang tajam. Ibumu bermimpi sesuatu yang buruk menimpa Icha, dan seperti biasa aku tidak bisa berbuat apapun ketika Ibumu minta ke kota ini.”“Dan terbukti benar kan! Jangan remehkan kekuatan batin seorang ibu.”Terlihat sekali Mella sedih melihat kondisi anak angkatnya ini, tidak henti tangan wanita itu mengusap wajah dan juga tangan Marissa.“Pulang ikut Ibu ya Nak,” ucap Mella lembut.Rambut Marissa yang kini terurai sedikit berantakan diusap dan dirapikan oleh tanga
Marissa hampir saja menendang lelaki tua itu dengan kakinya. Pikiran buruk lebih mendominasi ketika dirinya melihat pria itu tiba-tiba menghambur padanya seolah ingin memeluk.“Nyonya, bolehkan saya meminta tolong pada Anda berdua.”Marissa yang masih curiga dengan sosok lelaki ini, menatap penuh selidik. Dalam hati dia bertanya mengapa wajah laki-laki seperti pernah dia temui, tetapi di mana, tanya Marissa dalam hati.“Apa itu?” akhirnya Marissa membuka mulut juga.“Anak saya baru saja melahirkan, namun sayang dia meninggal setelah anaknya lahir. Saya tidak mampu dan tidak bisa merawat cucu saya ini karena keadaan. Bisakah kalian merawat anak ini.”“Hah!” seketika Marissa terbelalak, tidak percaya dengan yang dia dengar.“Tolonglah kami, Nyonya,” pinta lelaki itu seraya menjatuhkan diri berlutut di lantai kamar.Semakin bingung Marissa dibuatnya, matanya menatap keluar berharap Barra cepat datang.Sementara itu di sudut tersembunyi, tepatnya di area luar yang letaknya berdekat