"Omong kosong apa yang baru saja kau katakan itu, Glenn?" balas Narendra terlihat kesal.Glenn kembali tersenyum, "Omong kosong yang bisa saja membuatmu tidak tenang."Narendra sedikit terkejut mendengarnya tetapi ia berhasil mengatur emosinya kembali berkata, "Kau boleh bermimpi sepuasmu, Glenn. Tapi, sayangnya semua yang sedang kau bayangkan tidak akan pernah terjadi. Harta yang diambil darimu jelas tidak akan pernah kembali kepadamu."Senyum Glenn seketika lenyap, kini giliran Narendra yang menyeringai, "Kau ini hanya seekor semut yang sedang melawan gajah, Glenn. Kau tidak akan pernah menang. Kau salah besar jika menganggap diriku takut kepadamu." "Gajah tidak pernah takut pada semut yang akan mati dalam sekali injak," lanjutnya.Glenn yang sempat kehilangan kata-kata itu tiba-tiba membalas, "Seekor semut bisa menang jika dibantu oleh kawan-kawannya, Ren. Gajah bisa mati jika dikerubungi oleh semut."Narendra terhenyak. Sungguh, dia tak mengerti arti kalimat yang diucapkan oleh G
"Siapa yang Ayah maksud?" tanya Narendra dengan tatapan penuh tanya.Satria menghela napas, tetapi tidak menjawab pertanyaan Narendra."Apa maksud Ayah itu Edgar? Orang kepercayaan Paman Andi?" tebak Narendra.Satria mendecakkan lidah, "Edgar berada di dalam penjara, mana bisa dia membantu Glenn? Jelas bukan dia."Narendra pun kembali berpikir keras, sebelum berkata, "Apa mungkin pelayan itu, Ayah? Fero, asisten pribadi Glenn?"Satria menggelengkan kepalanya, menatap putranya yang membuatnya kecewa karena melontarkan dua nama yang menurutnya mustahil membantu Glenn."Bukan, Ayah?""Tentu saja bukan. Fero, yang kau maksud itu hanyalah tikus got yang tidak berarti. Bagaimana mungkin kau mengira itu dia?" ujar Satria tidak percaya.Narendra terlihat malu dan akhirnya terdiam.Satria melanjutkan, "Fero, Edgar atau pelayan, pengawal lama Glenn jelas tidak mungkin bisa membantunya. Ruang gerak mereka terbatas dan Ayah selalu memerintahkan orang untuk mengawasi mereka."Narendra tidak lagi m
"Karena aku percaya pada Glenn," jawab Arnold. Zayn mendesah, "Kalau begitu semoga beruntung." Arnold tersenyum samar menanggapi perkataan Zayn. Sekitar tiga jam setelah pertemuannya dengan Zayn, Arnold pun mengemudikan mobilnya menuju ke restoran yang disebutkan oleh Zayn. Dia memarkir mobilnya tepat di depan restoran itu dan terlihat mengamati semua yang terjadi di dalamnya dari luar. "Di mana dia?" gumamnya yang belum juga menemukan keberadaan sepupunya itu. Saat tidak puas dengan hasil pengamatannya, Arnold memutuskan untuk turun dan masuk ke dalam restoran cepat saji itu. Ia mengambil tempat duduk di bagian pinggir agar ia bisa melihat-lihat. "Beef steak," ujarnya saat seorang pelayan menanyakan pesanannya. Ia melongokkan kepalanya dan melihat ke segala arah tetapi tak kunjung menemukan Glenn. Setelah 10 menit berlalu, pesanan yang ia pesan pun datang dan ia dengan tidak sabar langsung saja bertanya, "Apa sini ada pelayan yang bernama Glenn?" Pelayan yang ditanyai oleh A
Glenn berjalan mendekat ke arah meja tempat sepupunya itu duduk. Arnold tersenyum gugup saat Glenn menarik kursinya lalu duduk tanpa di hadapannya. "Halo," sapa Arnold sambil masih tersenyum aneh. Glenn balas tersenyum bingung, "Halo, katamu?" Arnold menelan ludahnya dalam-dalam. Melihat kegugupan yang terlihat begitu jelas di sorot mata yang ditunjukkan oleh Arnold sekaligus gerak geriknya tersebut, Glenn bertanya, "Apakah tidak ada kata-kata lain yang ingin kau ucapkan selain satu kata itu?" Arnold memegang gelasnya untuk menghilangkan rasa gugupnya yang malah semakin tidak bisa hilang. "Maafkan aku. Maaf baru bisa menemuimu sekarang."Arnold mengatakannya tanpa berani menatap sepupunya itu. Glenn mendesah, "Kata 'maaf' bukan sesuatu yang ingin aku dengar." Arnold memberanikan diri untuk mengangkat kepalanya, "Tapi itu harus aku katakan karena perasaan bersalah yang menghantuiku." Arnold menatap Glenn dengan sorot mata kaget. Wajah mulus Glenn sudah tidak ada. Malah terdapa
Arnold berusaha keras untuk melepaskan dirinya dari orang yang telah membawanya masuk ke dalam mobil asing itu."Lepaskan aku!" ujar pria yang mulai dihinggapi oleh kepanikan itu."Mohon tenang, Tuan Arnold!" ucap salah satu seseorang yang memegangi tangan kanannya.Arnold tentu saja terkejut dan langsung saja berkata, "Siapa sebenarnya kalian ini?" "Maaf, Tuan. Kami hanya-""Sst!" seorang menegur rekannya tersebut agar tidak menjawab pertanyaan Arnold.Pria muda itu pun menjadi semakin penasaran. Tetapi karena ia tahu jika ia tidak mungkin mendapatkan jawaban atas pertanyaannya itu maka ia pun memilih untuk diam.Ia mengamati jalanan dan kini sadar ia akan dibawa ke mana. Ia menghela napas panjang ketika mengetahuinya.Saat sampai di sebuah rumah mewah yang merupakan rumah milik keluarga Brawijaya yang tidak lain adalah keluarganya sendiri itu, ia dipaksa turun."Jadi, sebenarnya siapa yang menyuruh kalian? Ayahku atau kakakku?" tanya Arnold yang telah mulai kehilangan kesabarannya.
"Kau dan cara berpikirmu yang menurutku sangat lucu sekali, Mas."Arnold masih tertawa meski tidak terlalu keras. Narendra mengertakkan giginya, jengkel luar biasa. "Apanya yang lucu? Aku dan kau memang satu darah. Apa salahnya kau mendukung saudara kandungmu?"Arnold menghela napas panjang, menatap serius ke arah kakaknya tersebut sebelum kembali berujar, "Tidak ada yang salah dengan hal itu. Saudara memang harus saling mendukung, Mas."Tidak percaya atas apa yang baru saja dia dengar, Narendra berkata, "Aku tahu kau pasti mengeri apa maksudku. Memang seharusnya begitu, Arnold."Arnold membasahi bibirnya, "Tapi Glenn juga memiliki hubungan darah dengan kita, Mas. Tidak sadarkah kau akan hal itu?"Mendadak, senyum Narendra kembali lenyap hingga tidak berbekas, "Glenn? Kau kembali membawa-bawa nama Glenn? Untuk apa? Dia bukan-""Paman Andi itu kakak ayah kita, Mas. Bukankah seharusnya ayah berpikir ulang sebelum membuat anak dari saudaranya sendiri menderita?" ujar Arnold tanpa menahan
Tetapi Arnold tidak mempedulikan hal itu lagi dan tetap melangkah ke luar.Pria itupun lalu mencegat sebuah taksi ketika ia telah berada di luar rumah mewah yang seharusnya ditempati oleh Glenn tersebut.Arnold sama sekali tidak menoleh dan tetap memandang lurus ke arah depan bahkan ketika ia telah berada di dalam taksi itu."Selamat tinggal, Mas, Ayah, Ibu," ujarnya pelan."Jalan, Pak. Ke Apple Apartment," ucap Arnold pada sopir taksi berusia paruh baya itu."Baik, Mas."Arnold sama sekali tidak merasa berat saat ia meninggalkan rumah yang memang bukan miliknya itu. Justru ia lebih merasakan sedih saat harus meninggalkan rumah mereka sendiri untuk berpindah ke rumah keluarga Glenn.Rumah yang letaknya 5 km dari rumah Glenn itu adalah rumah yang telah ia tempati bersama dengan keluarganya sejak ia masih kecil. Arnold begitu menyayangkan ketika ayah ibunya memilih untuk menjual rumah tersebut dan akhirnya pindah ke rumah mewah itu.Sementara itu, di Barata Restaurant, Glenn masih menun
"Itu tempat tinggal Zayn.""Zayn Salim maksudmu?" tanya Alexander.Glenn tidak menyahut dan malah segera mematikan panggilan itu tanpa mendengarkan lagi apa yang ingin dikatakan oleh Alexander.Pria itu kemudian melepas celemeknya dan menuju ke sebuah ruangan atasannya. Asisten managernya bertanya sebelum ia masuk ke dalam ruangan itu, "Leon, apa kau sedang mencari Bu manager?""Ya, apa dia tidak ada di dalam?""Tidak ada. Dia baru saja keluar untuk menemui salah satu manager dari cabang lain. Ada yang bisa aku bantu? Kau bisa mengatakannya kepadaku," ujar asisten manager bernama Monika itu.Glenn mengangguk, "Jadi, begini Mbak. Aku ingin meminta izin pulang lebih cepat. Apakah bisa?"Monika tersenyum, "Ah, aku pikir kau ingin menyampaikan hal yang penting. Boleh, silakan."Glenn menatap agak terkejut ke arah wanita muda itu, "Beneran boleh, Mbak?""Iya, kenapa? Kamu berharap kalau aku tidak memberikan izin? Ya udah kalau begitu, aku nggak kasih-""Eh, Mbak. Terima kasih atas izin ya