Bab 93 – Tekanan Tiga JenderalKapak besar Jendral iblis Mordor mengayun dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Udara di sekitarnya berdesing tajam, menyiratkan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan gunung dalam sekali tebasan. Namun, Darrel dengan refleks luar biasa menghindar, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan bayangan hitam.Mata keemasan Darrel bersinar tajam, memindai tiga jenderal iblis yang mengepungnya. Mordor berdiri dengan kapak raksasanya, sosok merah darah itu adalah simbol kekuatan mentah. Di sisi lain, Isengard yang lebih ramping namun menyeramkan dengan dua pedang melengkung di tangannya, menebarkan aura haus darah. Terakhir adalah Kroel, tubuhnya dilapisi armor hitam pekat yang membuatnya tampak seperti benteng hidup, dengan tombak panjang berujung runcing yang sesekali menyala dengan energi gelap."Kau manusia keras kepala!" raung Mordor, taring tajamnya tampak saat ia membuka mulutnya lebar. "Menghindar terus? Apa itu cara para kalian manusia bertarung?
Darrel berdiri dengan napas memburu, tubuhnya penuh luka. Setiap gerakan terasa seperti menahan beban gunung, tetapi matanya masih bersinar tajam dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di hadapannya, ketiga jenderal iblis—Mordor dengan kapak raksasanya, Kroel dengan tombak tajam mematikannya, dan Isengard dengan pedang-pedang melengkung yang berkilauan oleh energi merah darah—melangkah maju, aura mematikan mereka semakin menekan atmosfer.“Aku sudah cukup bersenang-senang,” Isengard berkata dingin sambil menyeringai. “Saatnya kau mati, manusia kecil.”Darrel memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melanda seluruh tubuhnya. Dalam pikirannya, bayangan naga emas raksasa, Drakonis, muncul, memandangnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan wibawa."Drakonis, aku butuh kekuatanmu.""Tubuhmu tidak cukup kuat untuk menanggung semuanya, nak," balas suara berat Drakonis. "Jika aku memberimu lebih, kau mungkin tidak akan bertahan.""Aku tidak peduli! Bahkan jika nyawaku harus me
Cilera berdiri terpaku, tangan yang memegang busur gemetar hebat. Air matanya tak lagi dapat ditahan, mengalir deras melewati pipinya. la memandangi Darrel yang masih tertusuk oleh tulang tajam, tubuhnya lemas tak bergerak. Sejenak, bayangan masa lalu mereka melintas di benaknya-senyuman hangat Darrel, keberanian yang ia tunjukkan, dan janji untuk melindungi dunia. Suara Luciferos yang penuh ejekan terus menggema di telinganya, tetapi tidak ada yang mampu menenangkan ketakutan dalam hatinya. Ia meremas busurnya dengan kedua tangan, tetapi lututnya melemas, seolah kekuatan untuk berdiri pun menghilang.“Darrel…” lirihnya, air mata mengalir semakin deras. “Kau… ini semua salahku. Aku harusnya tak membiarkanmu pergi sendiri.”Di sampingnya, Vindel mengeratkan genggamannya pada pedang yang ia pegang. Rahangnya mengatup kuat, menahan gejolak emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Darrel, ia tahu bahwa pemuda itu adalah sosok yang lebih dari sekadar sekutu ia adalah harapan yang mampu me
Di suatu dimensi yang dipenuhi bintang-bintang dan langit biru gelap, terlihat seperti sebuah alam semesta yang tak terbatas. Sosok Darrel terbaring di atas permukaan air dangkal yang berkilauan, bak cermin yang memantulkan segalanya. Ia merasakan keheningan yang mendalam, namun juga ada perasaan asing yang mengganggu.Perlahan, Darrel membuka matanya. Matanya terasa berat, namun ia terkejut mengetahui bahwa dirinya masih hidup. Ia mencoba bangkit, namun tubuhnya terasa lemah. Dan matanya menyapu sekitar tempat yang ia tempati begitu terasa asing baginya."Apa... ini? Dimana aku?" gumam Darrel, kebingungannya semakin memuncak.Suara yang berat dan penuh wibawa terdengar dari arah yang tidak jauh. "Kau sudah bangun, nak?" tanya sosok raksasa itu dengan suara dalam dan penuh kehormatan.Darrel mendongak dan melihat sosok besar yang memancarkan kekuatan agung, sebuah makhluk yang tak bisa disangkal lagi—sebuah naga raksasa. Sayap lebar yang berkilauan dan mata emas yang penuh kebijaksana
Tubuh Darrel bergetar hebat, pancaran cahaya keemasan keluar dari setiap retakan di kulitnya. Rasa sakit yang luar biasa menghantamnya, membuat tubuhnya seolah tak mampu menahan energi besar yang terus meluap."Aah!" Darrel meraung keras, mencoba menahan ledakan kekuatan di dalam tubuhnya. Kulitnya mengembang seperti balon besar, terasa elastis namun menyakitkan. Energi itu begitu mengerikan, hingga seluruh dimensi tampak bergetar karena keberadaannya.Cahaya keemasan memancar dari mata dan mulut Darrel, raungan kerasnya menggema, seolah ingin menghancurkan dimensi yang ia tempati.Namun, seketika, tubuhnya yang mengembang kembali ke bentuk semula, seolah tak pernah terjadi apa-apa.Matanya yang terpejam perlahan terbuka, memancarkan cahaya keemasan yang menyilaukan. Pupilnya, yang sebelumnya biru langit dan biasa, kini berkilauan dengan warna emas membara, seperti mata naga yang menyimpan kebijaksanaan dan kekuatan abadi.Darrel menarik napas panjang, ruang di sekitarnya bergetar heb
Di bawah langit mendung yang tampak berat, rintikan hujan kecil jatuh ke bumi dengan lembut, membasahi dedaunan dan tanah hutan yang gelap. Kabut hitam pekat menyelimuti seluruh wilayah, menciptakan suasana yang suram dan penuh misteri. Di tengah keheningan ini, sebuah kastil yang tampak suram dan angker berdiri tegak, dikelilingi oleh bayang-bayang kegelapan.Di dalam kastil tersebut, sebuah siluet hitam berdiri tegak, merasakan gelombang energi yang datang dari kejauhan. Mata sosok tersebut memancarkan kilatan tajam, dan tubuhnya seolah menegang, tak dapat bergerak. Kejutan yang luar biasa mengguncang dirinya, disertai perasaan gairah dan hasrat yang terpendam lama."Energi ini! Dia... apakah dia kembali?" bisiknya dengan suara serak, matanya terbelalak, penuh ketegangan dan kebingungan. Ada semacam kebencian yang terpendam dalam dirinya, bercampur dengan keinginan untuk memiliki kekuatan yang luar biasa tersebut. "Tidak mungkin... tidak bisa!" gumamnya, merasakan kegelisahan yang
Setelah kekacauan di medan perang perlahan mereda, keheningan yang ganjil menyelimuti tanah yang sebelumnya menjadi saksi bisu pertarungan dahsyat. Darrel berdiri tegap di tengah reruntuhan dan darah yang membasahi tanah, napasnya berhembus halus, tapi matanya masih memancarkan kilatan emas yang mengintimidasi. Tubuhnya telanjang dada, otot-ototnya yang tegas kini terlihat jelas, namun pakaian dari sisik naga melindungi setengah bagian bawah tubuhnya, menciptakan aura seorang kesatria legendaris.Di sekelilingnya, pasukan elf yang tersisa bersorak-sorai. Sorakan kemenangan bergema, memenuhi udara yang sebelumnya dihiasi teriakan perang dan dentingan senjata. Pasukan iblis yang kehilangan pemimpin mereka, Luciferos, menjadi kacau dan bingung. Mereka yang tersisa mencoba melarikan diri, tapi suku elf dengan mudah memburu mereka, membabat habis sisa-sisa kegelapan tanpa ampun.Cilera, yang masih berdiri tak jauh dari medan perang, perlahan mendekati Darrel. Wajahnya menunjukkan campur
Sosok berjubah hitam itu menatap Darrel dengan waspada. Ada sesuatu yang begitu kuat dalam diri pemuda itu—sesuatu yang bahkan ia sendiri tak bisa mengukur batasnya. Dalam kekosongan ruang gua di bawah jurang yang sunyi, sosok itu tahu, dia sedang menghadapi lawan yang jauh lebih kuat dari yang ia bayangkan.Namun, kebanggaan dan keberaniannya tak memudar. "Siapapun dirimu, aku tak peduli," teriaknya, suaranya penuh kebencian. "Yang jelas, kau harus bertanggung jawab karena merusak benda itu!" Ia mengangkat kedua tangannya, bola energi hitam besar terbentuk di telapak tangannya. Dalam sekejap, bola itu melesat ke arah Darrel, mengguncang udara di sekitarnya dengan energi gelap yang mengerikan.Serangan itu terbang dengan kecepatan luar biasa, seakan-akan tak ada yang bisa menghalanginya. Tapi Darrel, yang hanya berdiri diam, menunjukkan ketenangan yang luar biasa. Sebelum bola energi hitam itu mencapai sasaran, sebuah cahaya keemasan melesat begitu cepat, membelah bola itu dengan
Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap