Mata Darrel menatap permata di kalung itu dengan tatapan tajam, seolah mencoba memahami makna tersembunyi yang diungkapkan oleh Drakonis. Cahaya yang memancar darinya terasa hidup, seolah berbisik langsung ke dalam jiwanya. Suara Drakonis terdengar menggema, memberikan arahan yang jelas:"Seiring berjalannya waktu, kau akan mengetahui bahwa dunia membutuhkanmu lebih dari apa yang kau pikirkan, nak. Ambil lah setiap langkah dalam hidupmu, dan ukirlah jalan takdirmu sendiri sebagai pewaris Drakonis."Darrel menarik napas dalam-dalam. Sebenarnya, ia tidak pernah membayangkan akan melangkah sejauh ini. Namun, takdir sebagai pewaris Raja Naga sudah lama ia terima, meski sering kali terasa seperti beban. Jika Drakonis telah berbicara, maka ia tahu dirinya tidak memiliki pilihan lain.Dengan tangan yang sedikit gemetar, Darrel menggenggam kalung itu dan menyerahkannya kembali pada Cilera. Mata wanita itu berkilau, mengharapkan jawaban yang akan mengubah segalanya. Setelah beberapa saat he
Perjalanan semakin jauh menuntun mereka ke dalam hutan yang semakin lebat dan gelap.Pohon-pohon raksasa dengan akar menjalar menciptakan jalur-jalur sulit yang memaksa mereka memanjat atau merunduk. Hawa dingin mulai menusuk tulang, dan kabut tebal perlahan menyelimuti jalur.Darrel, Cilera, dan Vindel bergerak lebih hati-hati. Suara ranting yang patah atau angin yang mendesir membuat mereka semua siaga. Meskipun pertarungan melawan Shadowfang telah selesai, rasa lega tidak bertahan lama."Jadi ini hanya awal," gumam Darrel, menatap hutan yang seperti hidup di sekeliling mereka.Cilera mengangguk, wajahnya tampak serius. "Hutan ini bukan sekadar hutan biasa. Semakin dalam kita pergi, semakin banyak makhluk sihir yang berbahaya.""Dan bukan hanya makhluk sihir," tambah Vindel, suaranya rendah. "Ada juga jebakan alam dan—"Suara raungan tiba-tiba memotong kalimat Vindel. Tanah di bawah mereka mulai bergetar. Darrel segera mengangkat kepalanya, menatap ke arah depan. Dari balik kabut,
Setelah semalam beristirahat di gua kecil, Darrel, Cilera, dan Vindel melanjutkan perjalanan. Matahari baru saja terbit, menyinari jalan berbatu yang semakin menantang. Hutan lebat kini berganti dengan dataran berbatu yang dingin dan terjal. Angin menusuk tulang, membawa bisikan-bisikan aneh yang membuat Darrel menggigil, bukan karena hawa dingin, tetapi firasat buruk.“Sudah sejauh mana kita, Cilera?” tanya Darrel sambil terus berjalan di belakang Cilera.Cilera menoleh ke arahnya, wajahnya terlihat tegas. “Tidak jauh lagi. Lembah Bayangan ada di balik tebing batu itu.” Ia menunjuk ke depan, ke arah tebing yang menjulang dengan celah sempit. “Tapi Darrel, kau harus bersiap. Setelah ini, perjalanan akan lebih sulit.”Darrel mengangguk. Ia mengatur napas, mencoba menenangkan diri.Mereka mendaki tebing dengan hati-hati, melalui celah-celah batu sempit yang hanya cukup untuk satu orang. Saat akhirnya mencapai puncak, pemandangan di depan mereka membuat Darrel terpana.Lembah Bayangan t
Vindel mengepalkan genggaman pada pedangnya. “Hmpp, tidak ada tempat di dunia ini untuk kalian, iblis!”“Keke, justru sebaliknya. Dunia ini diciptakan untuk memuaskan ras kami,” balas makhluk itu, menyemburkan napas berat yang berbau busuk.Cilera melangkah ke samping, menembakkan anak panah sihir, “Tutup mulutmu, iblis!”“...” Vindel mengangkat pedangnya dan bergerak maju mengikuti serangan Cilera.Makhluk itu menatap mereka dengan tatapan tajam, tanpa banyak gerak. “Rupanya hidangan kali ini tak ingin menyerah.”Darrel merasa jantungnya berdegup ragu. Ia ingin berbicara, tetapi terlalu bingung ingin mengatakan apa.“…” Darrel menatap makhluk itu dengan tajam. “Iblis ini tampak mencurigakan.” gumamnya.Makhluk itu tertawa, suara tawanya menggetarkan dinding gua. Ia dengan mudahnya menepis panah sihir Cilera dan mengguncang udara dengan gelombang suara dari teriakannnya.“Sial! Apa-apan iblis ini!?” kejut Vindel, nadanya waspada.Makhluk itu lagi-lagi menggeram pelan. “Kalian pikir ak
“Kau tidak akan menang hanya dengan kekuatan manusia biasa. Walau iblis adalah ras yang kuat, namun mereka masih jauh di bawah ras Drakonik,” gema suara Drakonis kembali terngiang di pikirannya.Darrel mengambil napas dalam, mencoba tetap tenang. Ia mulai memperhatikan pola gerakan iblis buaya itu. Setiap serangan sabitnya selalu diikuti oleh serangan ekor, menciptakan celah kecil di bagian bawah tubuhnya yang tidak tertutup sisik.Ketika makhluk itu melancarkan serangan berikutnya, Darrel melompat ke samping dengan cekatan. Kali ini ia tidak hanya menghindar, tetapi juga memutar tubuhnya dan menusukkan pedangnya ke arah perut sang iblis.Namun, iblis itu tampaknya menyadari niat Darrel dan melangkah mundur dengan cepat, menghindari serangan mematikan itu. Ia menyeringai licik, matanya bersinar dengan kebencian yang semakin dalam.“Kau cukup pintar, manusia. Tapi itu tidak akan cukup untuk mengalahkanku,” katanya dengan nada mengejek.Darrel berdiri tegak, napasnya berat dan terengah-
Waktu berlalu cepat, Darrel perlahan membuka matanya. Pandangannya kabur untuk sesaat, tetapi ia bisa merasakan tubuhnya masih berat. Gua itu tetap gelap, suram, tanpa setitik pun cahaya matahari yang masuk. Hanya nyala api unggun di sampingnya yang memberikan penerangan remang-remang.Darrel memegang dahinya, mencoba mengingat apa yang baru saja terjadi. Sosok iblis buaya itu muncul di benaknya—makhluk yang sangat buas dan penuh kebencian. Ia telah mengalahkannya, tetapi bukan tanpa harga. Dadanya masih terasa nyeri, dan ingatan tentang artefak Abyssal Zephyrion yang mencoba menelan kesadarannya membuat Darrel mendecakkan lidah.“Kesadaran iblis itu... mencoba mengendalikanku,” gumamnya pelan.Namun, suara besar nan tegas kembali menggaung dalam pikirannya.“Tenanglah, nak. Selama aku ada di sini, iblis itu tak akan berani mencelakaimu,” suara Drakonis terdengar seperti sang pelindung, membuat Darrel menghela napas lega.Ia menoleh ke arah api unggun, melihat Cilera dan Vindel yang
Langit mulai meredup ketika Darrel, Cilera, dan Vindel meninggalkan desa yang kini tak lebih dari tumpukan abu. Darrel berjalan di tengah, menggendong anak Elf yang ditemukan di antara puing-puing. Anak laki-laki itu, masih memeluk punggung Darrel erat-erat, matanya kosong seolah-olah jiwanya telah tertinggal di tempat yang hancur itu.Cilera melirik anak itu dengan senyuman yang berusaha menenangkan. “Hei, nak,” panggilnya lembut, mencoba memecahkan keheningan. “Siapa namamu?”Anak itu hanya diam. Matanya memandang ke arah tanah tanpa sedikit pun perubahan ekspresi. Cilera menghela napas, tetapi ia tetap mempertahankan nada suaranya yang ramah.“Kami di sini untuk membantu,” tambahnya. “Kami ingin tahu apa yang terjadi di desamu.”Reibel akhirnya mengangkat wajahnya, suaranya gemetar ketika ia menjawab, “Re-Reibel...”Cilera tersenyum kecil. “Reibel?... Nama yang bagus. Jangan khawatir, Reibel. Kami akan memastikan kau aman sekarang.”Darrel hanya menoleh sekilas. “Kau tahu apa yang
Langit malam mulai menggantung, dihiasi bintang-bintang yang berkilauan di atas kota Moondale. Suara langkah kaki Darrel, Vindel, dan Cilera terdengar berirama ketika mereka menuju ke arah tempat tinggal mereka, suku Windmare. Angin malam menyusup lembut di antara pepohonan besar yang membentuk rumah-rumah para Elf.“Darrel, untuk sementara waktu kau akan tinggal di tempat kami,” ujar Vindel sambil tersenyum. “Lagipula, di sini kau butuh tempat yang aman.”Darrel mengangguk. “Aku tak akan menolak tawaran itu. Jujur saja, tempat ini... sangat indah, tapi juga terasa asing bagiku.”Cilera tersenyum kecil. “Jangan khawatir. Suku kami akan menyambutmu.”Mereka berjalan melewati jalan setapak yang dikelilingi pohon-pohon bercahaya samar. Akhirnya, mereka tiba di pemukiman suku Windmare. Rumah-rumah di sana tampak menyatu dengan pepohonan, dibangun dengan gaya yang elegan namun sederhana, menunjukkan harmoni antara para Elf dan alam sekitarnya.Begitu mereka memasuki area itu, suara langka
Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap