Dengan bimbingan dari Drakonis yang mengalir dalam dirinya, Darrel mengajarkan mereka teknik-teknik dasar yang memanfaatkan kecepatan, namun dengan penekanan pada keseimbangan dan ketepatan serangan. Setiap gerakan Dims dan Lissa diarahkan untuk mengurangi gerakan yang tidak perlu, sehingga mereka bisa bergerak lebih cepat dan efisien.Dims, yang biasanya bertarung dengan penuh antusiasme tanpa memikirkan pertahanan, kini mulai memahami pentingnya menjaga jarak dan menyesuaikan langkah kakinya. Setiap serangan yang ia lakukan sekarang lebih terukur, lebih terfokus.Lissa, yang awalnya ragu dengan setiap gerakan, mulai merasakan peningkatan kepercayaan diri. Dengan sedikit dorongan dari Darrel, dia bisa merasakan bahwa setiap langkah dan ayunan pedangnya lebih presisi."Kalian luar biasa, aku hanya mengajarkan kalian sedikit, namun kalian berkembang dengan cepat." kata Darrel setelah beberapa kali latihan intens. "Teruslah berlatih, ini baru teknik dasar, tapi kalau kalian bisa menguas
Keesokan harinya, Darrel dan teman-temannya berada di tempat latihan sejak pagi. Semangat dan antusiasme mereka membara, meskipun waktu latihan terasa sangat melelahkan. Mereka sadar bahwa ini adalah kesempatan untuk membuktikan diri, dan setiap detik yang terbuang adalah kehilangan kesempatan untuk berkembang. Latihan fisik yang keras diiringi dengan strategi yang matang telah menjadi bagian dari rutinitas mereka. Mereka sudah hampir melupakan dunia luar, fokus pada persiapan untuk kompetisi yang semakin dekat.Namun, ketenangan mereka tak berlangsung lama. Tiba-tiba, sekelompok siswa dari kelas menengah berjalan menghampiri mereka. Mereka mengenakan seragam akademi yang rapi dan menatap tim Darrel dengan pandangan arogan. Di depan kelompok itu, seorang siswa bertubuh kekar dan tinggi berdiri dengan tangan disilangkan di dada, tersenyum mengejek."Itu Andrew Vandirc," bisik Lean pada Darrel. "Dia keponakan Instruktur Sebastian. Salah satu siswa yang paling berpengaruh di kelas men
Instruktur Sebastian yang mendengar rumor tersebut tampak tidak senang. Dia tidak ingin melihat tim dari kelas pemula menunjukkan kemajuan yang terlalu mencolok, apalagi jika hal itu bisa membahayakan posisi Andrew. Dia mulai mengatur strategi lain untuk menggagalkan upaya Darrel dan timnya, tanpa harus turun tangan secara langsung.Di hari-hari berikutnya, Andrew dan teman-temannya beberapa kali mendatangi tim Darrel, mencoba mengganggu dan memprovokasi mereka. Namun, Darrel dan teman-temannya tidak lagi terpancing. Mereka semakin fokus pada tujuan mereka, tidak lagi mempedulikan ejekan atau hinaan dari siapa pun....Hari yang dinantikan akhirnya tiba. Matahari masih belum sepenuhnya tinggi, dan kabut tipis menyelimuti sekitar, memberikan suasana yang terasa misterius dan mendebarkan. Lapangan akademi yang luas penuh sesak oleh ratusan siswa yang berdiri, membentuk lingkaran di sekitar podium besar di tengah-tengah lapangan. Suasana tegang dan penuh antisipasi tergambar jelas pa
Setelah beberapa penyampaian panjang dan pengumuman mengenai aturan, Profesor Jack menutup pidatonya dan menyuruh setiap tim untuk bersiap. Mereka diberi waktu singkat untuk mengatur perbekalan dan senjata yang akan mereka bawa, sebelum tim-tim tersebut mulai berbaris menuju gerbang hutan Crofis yang menjulang megah di depan mereka.Tim Darrel bergerak menuju titik persiapan. Darrel memastikan setiap anggotanya membawa bekal yang cukup dan senjata yang sesuai. Dan tak lupa membawa totem pelindung untuk berjaga-jaga.Ia sendiri memilih pedang panjang, sementara Lean membawa belati, busur dan panah, dengan persediaan panah cadangan. Walaupun Lean tak begitu pandai menggunakan pedang, nyatanya dia cukup hebat dalam membidik, sehingga membuat Darrel dan yang lainnya terkejut dan merasa aneh. Dan Jose, yang lebih mengandalkan kekuatan fisiknya, membawa pedang besar yang kuat. Dims dan Lissa memilih pedang pendek yang sesuai dengan gaya berpedang mereka. Saat mereka mendekati gerbang hu
Dims, yang sebelumnya menahan diri, kini menerjang maju. Ia mengayunkan tinjunya dengan kekuatan penuh, mengincar kaki depan Silver Fenrir yang terluka. Pukulan keras Dims menghantam kaki monster itu, menyebabkan terdengar bunyi retakan. Silver Fenrir mengaum kesakitan, berusaha melawan, tetapi serangan bertubi-tubi dari Dims membuatnya semakin terpojok. Sementara itu, Lissa melangkah maju dengan cepat, menusukkan pedang pendeknya ke sisi kanan Silver Fenrir tersebut. Bilah pedangnya dengan cepat menusuk ke dalam daging dan merobeknya hingga darah mengucur deras dari monster itu. Sayangnya kulit monster itu terlalu tebal dan luka yang dihasilkan Lissa cukup dangkal, namun memiliki dampak yang cukup untuk menekannya. Meski mereka berhasil melemahkannya, Silver Fenrir bukanlah lawan yang bisa diremehkan begitu saja. Dengan marah, monster itu mengumpulkan kekuatannya dan melancarkan auman panjang yang membuat hutan bergetar. Dalam sekejap, tubuhnya membesar, dan energi
“Lean! Terus menembak, aku akan melindungimu," seru Darrel sambil menangkis serangan dari para Goblin.Lean cepat mengamati medan pertempuran. Dengan mata yang tajam, ia memperhatikan Goblin yang tampak berbeda dari yang lain—berdiri sedikit lebih tinggi, membawa tombak kayu yang lebih kokoh. Mengetahui ada sesuatu yang berbeda dari Goblin itu, Lean menarik busurnya dan membidik dengan presisi yang mantap, mengincar titik lemah Goblin tersebut.Panah yang di lapisi energi samar melewat dengan kecepatan super, melewati beberapa Goblin hingga menancap di tengah dahi targetnya, yaitu Goblin mid rank.Dengan kalahnya salah Goblin terkuat dari gerombolan monster itu, para Goblin keroco lainnya mulai panik.Mengambil kesempatan itu, Lissa menggenggam pedang pendeknya dengan erat, dan kilatan energi mulai muncul di sekitar bilah pedangnya—ini adalah Sword Aura rank Beginner, sebuah teknik yang baru saja ia pelajari namun kini tampak sangat berguna. Dengan konsentrasi penuh, Lissa menarik n
Beberapa meter di hadapan Darrel, Dark Bear berjalan perlahan, menyisakan jejak cakar tajam di permukaan tanah yang dipijaknya. Mata binatang buas itu bersinar merah dengan amarah yang memancar kuat, seolah siap menelan apa pun yang berani menantangnya. Hutan sekitar mereka sunyi, seakan seluruh makhluk hidup sengaja menghindari tempat itu.Darrel berdiri tegap, mengangkat pedangnya dengan kuda-kuda sederhana. Pupilnya perlahan memancarkan cahaya keemasan yang tajam dan dingin, berbeda jauh dari tatapan lembut yang biasa ia tunjukkan. Dari tangannya, muncul aura merah ganas yang merambat dan menyelimuti bilah pedang, menyatu dengan setiap gerakan tubuhnya. Cahaya itu berkilauan dengan intensitas yang semakin lama semakin pekat, seolah menggambarkan kekuatan yang tersembunyi dan mulai bangkit.Di belakangnya, Lissa, Lean, Dims, dan Jose hanya bisa menatap terpana. Mereka mengenal Darrel sebagai pemuda yang santai dan karismatik, namun sosok di hadapan mereka tampak seperti orang ya
Hutan Crofis terasa semakin mencekam seiring waktu berlalu. Di bawah kanopi pepohonan yang rapat, Darrel dan timnya melangkah hati-hati mengikuti petunjuk pada peta lusuh yang mereka pegang. Udara dingin terasa menusuk kulit, bercampur aroma tanah lembap dan dedaunan busuk."Dim, bagaimana arah kita?" tanya Darrel, suaranya terdengar pelan namun tegas.Dims yang memegang peta itu memeriksanya sejenak sebelum menjawab. "Kita harus terus ke arah timur. Kalau petunjuk ini benar, kita akan mencapai titik pertemuan dalam beberapa jam.""Semoga saja," sahut Lean sambil menggenggam erat busur panahnya. "Aku tidak suka perasaan diawasi seperti ini."Darrel mengangguk. Ia juga merasakan hal yang sama. Sepanjang perjalanan, mereka berkali-kali mendengar suara ranting patah atau geraman samar dari arah yang tidak terlihat. Namun, setiap kali mereka berhenti untuk memeriksa, hanya hening yang menyambut mereka.“Jaga posisi, jangan lengah,” ujar Darrel singkat, auranya tetap memancarkan kewaspada
Cilera berdiri terpaku, tangan yang memegang busur gemetar hebat. Air matanya tak lagi dapat ditahan, mengalir deras melewati pipinya. la memandangi Darrel yang masih tertusuk oleh tulang tajam, tubuhnya lemas tak bergerak. Sejenak, bayangan masa lalu mereka melintas di benaknya-senyuman hangat Darrel, keberanian yang ia tunjukkan, dan janji untuk melindungi dunia. Suara Luciferos yang penuh ejekan terus menggema di telinganya, tetapi tidak ada yang mampu menenangkan ketakutan dalam hatinya. Ia meremas busurnya dengan kedua tangan, tetapi lututnya melemas, seolah kekuatan untuk berdiri pun menghilang.“Darrel…” lirihnya, air mata mengalir semakin deras. “Kau… ini semua salahku. Aku harusnya tak membiarkanmu pergi sendiri.”Di sampingnya, Vindel mengeratkan genggamannya pada pedang yang ia pegang. Rahangnya mengatup kuat, menahan gejolak emosi yang meluap-luap dalam dirinya. Darrel, ia tahu bahwa pemuda itu adalah sosok yang lebih dari sekadar sekutu ia adalah harapan yang mampu me
Darrel berdiri dengan napas memburu, tubuhnya penuh luka. Setiap gerakan terasa seperti menahan beban gunung, tetapi matanya masih bersinar tajam dengan tekad yang tidak tergoyahkan. Di hadapannya, ketiga jenderal iblis—Mordor dengan kapak raksasanya, Kroel dengan tombak tajam mematikannya, dan Isengard dengan pedang-pedang melengkung yang berkilauan oleh energi merah darah—melangkah maju, aura mematikan mereka semakin menekan atmosfer.“Aku sudah cukup bersenang-senang,” Isengard berkata dingin sambil menyeringai. “Saatnya kau mati, manusia kecil.”Darrel memejamkan mata, berusaha mengabaikan rasa sakit yang melanda seluruh tubuhnya. Dalam pikirannya, bayangan naga emas raksasa, Drakonis, muncul, memandangnya dengan mata yang penuh kebijaksanaan dan wibawa."Drakonis, aku butuh kekuatanmu.""Tubuhmu tidak cukup kuat untuk menanggung semuanya, nak," balas suara berat Drakonis. "Jika aku memberimu lebih, kau mungkin tidak akan bertahan.""Aku tidak peduli! Bahkan jika nyawaku harus me
Bab 93 – Tekanan Tiga JenderalKapak besar Jendral iblis Mordor mengayun dengan kekuatan yang menggetarkan bumi. Udara di sekitarnya berdesing tajam, menyiratkan kekuatan destruktif yang dapat menghancurkan gunung dalam sekali tebasan. Namun, Darrel dengan refleks luar biasa menghindar, tubuhnya bergerak cepat meninggalkan bayangan hitam.Mata keemasan Darrel bersinar tajam, memindai tiga jenderal iblis yang mengepungnya. Mordor berdiri dengan kapak raksasanya, sosok merah darah itu adalah simbol kekuatan mentah. Di sisi lain, Isengard yang lebih ramping namun menyeramkan dengan dua pedang melengkung di tangannya, menebarkan aura haus darah. Terakhir adalah Kroel, tubuhnya dilapisi armor hitam pekat yang membuatnya tampak seperti benteng hidup, dengan tombak panjang berujung runcing yang sesekali menyala dengan energi gelap."Kau manusia keras kepala!" raung Mordor, taring tajamnya tampak saat ia membuka mulutnya lebar. "Menghindar terus? Apa itu cara para kalian manusia bertarung?
Medan perang semakin kacau setelah kemunculan Demon Lord Luciferos. Kabut hitam pekat yang menyelimuti wilayah Redthorn kini meluas, menyebar perlahan ke seluruh penjuru medan tempur, menyebarkan aroma busuk yang membuat siapa pun merasa mual.Di tengah suasana mencekam itu, barisan pasukan iblis terus muncul dari dalam hutan. Mereka berbaris dengan rapi, dipimpin oleh para jenderal iblis yang memiliki tampilan ganas dan mengintimidasi. Salah satu jenderal, sosok tinggi besar dengan kulit merah pekat dan pedang raksasa di punggungnya, tertawa keras."Haha! Lihat wajah ketakutan mereka! Pasukan elf sudah kehilangan nyali!" teriaknya, suaranya menggema di antara gemuruh langkah pasukan.Para prajurit elf semakin tertekan. Banyak di antara mereka yang jatuh berlutut, kehilangan semangat bertempur. Beberapa bahkan mulai menangis, membayangkan kematian yang tak terelakkan.Namun, dari kejauhan, terdengar suara terompet perang. Derap langkah ribuan pasukan bergema, menggetarkan tanah. Dari
Di medan perang yang porak-poranda, kekuatan luar biasa terpancar dari tubuh Darrel yang kini bertransformasi menjadi sesuatu yang hampir tak bisa dikenali. Sisik-sisik hitam keemasan membalut tubuhnya, membentuk armor kokoh yang memancarkan aura mengancam. Kedua tangannya berubah menjadi cakar tajam, seperti lengan seekor naga, sementara matanya bersinar keemasan, memancarkan tatapan dingin yang menusuk jiwa siapa pun yang melihatnya.Barrak tertegun, masih memegangi luka di perutnya yang tidak kunjung sembuh. Darah hitam pekat mengalir deras, namun luka itu bukan yang membuatnya gentar. Kekuatan yang terpancar dari Darrel memunculkan kenangan yang sudah lama terkubur dalam benaknya—bayangan sosok raksasa bermata emas, dengan suara yang menggema seperti guntur di atas langit yang kosong."Iblis. Beraninya makhluk menjijikkan seperti kalian menginjakkan kaki di duniaku."Suara berat nan agung itu terngiang kembali di kepala Barrak, membuat tubuhnya bergetar. Ia memandang Darrel den
Medan perang adalah neraka. Jeritan prajurit dan raungan iblis terus menggema, sementara darah mengalir seperti sungai di atas tanah, menghiasi tanah tandus itu, sementara tubuh-tubuh tak bernyawa bergelimpangan, menjadi saksi bisu betapa brutalnya pertarungan yang berlangsung.Di tengah kekacauan, Jenderal Leonor berdiri dengan pedang yang meneteskan darah. Napasnya memburu, tapi matanya tetap memancarkan determinasi. Armor peraknya berkilauan, memantulkan sinar matahari yang memudar di balik awan gelap. Ia baru saja berhasil menumbangkan golem iblis raksasa dengan bantuan para penyihir elf dan Darrel. Namun, senyum kepuasan tak sempat menghiasi wajahnya."Sial! Mereka tidak kenal lelah!" seru Leonor seraya menebaskan pedangnya ke arah iblis yang mendekat. "Seolah mereka tak peduli dengan nyawa mereka sendiri!"Seorang penyihir elf, Mariel, mengangguk dengan wajah pucat. "Pasukan iblis ini seperti dipacu oleh sesuatu yang lebih besar, Jenderal. Ada kekuatan yang tidak biasa mempenga
"Sial! Bedebah itu berhasil kabur," gerutu Delphira dengan napas terengah-engah, memandangi sosok berjubah hitam yang berlari menghilang ke kedalaman hutan lebat.Angin malam menyapu wajahnya yang sedikit di aliri keringat. Matanya menyipit, mencoba menembus gelapnya hutan, memastikan lawannya benar-benar pergi. Tubuhnya terasa agak letih, tenaga dalamnya terkuras setelah bertarung melawan sosok misterius itu. Ia menoleh ke arah luka kecil di lengannya, darah masih menetes perlahan."Kalau dia benar-benar bertarung sampai mati, aku mungkin harus siap kehilangan satu lemgan atau luka besar," gumamnya seraya mengusap keringat di dahinya. Meski berhasil memaksa lawannya mundur, ia tahu bahwa pertempuran tadi hampir berakhir buruk baginya.Delphira menarik napas panjang, mengatur dirinya sebelum melangkah mundur menuju tepi jurang. Dengan gerakan lincah, ia melompat ke udara. Seketika seekor elang raksasa dengan bulu keemasan menyambarnya, membawa tubuhnya melesat tinggi ke langit....S
Medan perang itu bergetar hebat saat golem raksasa hendak mengangkat tangannya yang besar dan dipenuhi bebatuan keras, mencoba menghantam barisan prajurit elf yang ketakutan. Sebuah dentuman keras terdengar, seakan seluruh tanah itu akan terbelah. Namun, saat tangan golem yang besar hendak mendaratkan pukulan, tiba-tiba tangan itu terpotong menjadi dua bagian."Sssrreeettttt!"Sebuah suara tajam terdengar, dan gumpalan batu besar yang mengelilingi lengan golem terjatuh berantakan ke tanah, menciptakan percikan batu yang menyebar di sekitar medan perang.Para prajurit elf dan penyihir yang sebelumnya tampak terkejut dan takut, kini terdiam, kebingungan dan tak percaya. "Apa yang terjadi? Tangan golem itu... terputus?!" teriak salah satu prajurit dengan nada penuh keheranan.Di tengah kebingungannya, mereka melihat seorang pemuda muncul entah dari mana, melompat tinggi di udara, langsung menerjang golem itu dengan keberanian yang luar biasa. Pedangnya yang terhunus bersinar dingin, mem
Hamparan tanah tandus di hutan Redthorn kini berubah menjadi medan perang yang mencekam. Tanah retak, langit kelabu, dan udara berat oleh aroma busuk iblis yang bercampur dengan debu. Kabut hitam pekat mengambang, seolah menjadi tirai yang menutupi kekacauan di tempat itu.Di kejauhan, pasukan Kerajaan Moondale yang baru tiba melangkah dengan megah. Pancaran cahaya perak dari armor mereka memantulkan sinar matahari yang samar, menciptakan kilauan di tengah kegelapan. Bendera kerajaan berkibar di tengah angin, simbol dari sebuah pohon raksasa yang persis mencerminkan Tree Of Wisdom, mengingatkan setiap prajurit pada tekad dan harapan untuk bangkit meskipun menghadapi kehancuran.Seorang prajurit elf muda, wajahnya penuh luka dan darah, mendekati Jenderal Leonor. "Jenderal, pasukan utama telah tiba," katanya dengan nada lega, tetapi suaranya gemetar oleh kelelahan.Jenderal Leonor, pria paruh baya dengan wajah tegas dan sorot mata tajam, memandangnya sekilas. "Bagaimana situasi di si