Di dalam kamar penginapan yang remang, Darrel berbaring di atas kasur. Wajahnya tampak tenang, tetapi batinnya tidak sepenuhnya beristirahat. Setiap napasnya mengikuti ritme yang lembut, namun indra kewaspadaannya terus berjaga. Cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui celah jendela menambah kesan damai, tapi ia tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah.Di luar, bayang-bayang hitam melompat-lompat di atas atap bangunan seperti kucing liar. Mata tajam mereka mengintai, penuh fokus, menyisir setiap jengkal ruangan tempat Darrel berada. Pemimpin mereka, sosok berjubah hitam dengan mata menyala merah redup, memberikan isyarat tangan. Seketika, mereka menyebar. Salah satu di antaranya menyusup masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Langkahnya begitu ringan, hampir tidak terdengar di lantai kayu. Sosok itu mendekati tempat tidur Darrel dengan hati-hati. Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan belati tipis. Kilauan tajam senjata itu tampak mengintimidasi memantulkan cahay
Di istana kekaisaran yang megah, suasana tegang memenuhi ruang tempat tidur Kaisar Fredrik Ravendel. Di. mana ketegangan menggantung di udara. Kedua pangeran, Lucas Ravendel dan Ignor Ravendel, saling berhadapan, aura permusuhan terlihat jelas di antara mereka.Ignor memecah kesunyian dengan suara dingin, “Lucas, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini juga menyangkut keselamatan ayah.”Lucas menatap adiknya dengan tajam, kemarahan terlihat di matanya. “Menggunakan ayah sebagai alat tawar-menawar? Kau tak tahu malu, Ignor.”“Aku memberikan pilihan yang masuk akal,” jawab Ignor dengan nada penuh percaya diri. “Kaisar membutuhkan penawar, dan kekaisaran membutuhkan pemimpin yang kuat. Kau tak punya pendukung, Lucas. Hanya aku yang bisa menyelamatkan semuanya.”Marquis Gareth, yang berdiri di sisi Ignor, menambahkan, “Tuan Lucas, pikirkan dengan bijak. Menyerah bukan berarti lemah. Itu adalah tanda penghormatanmu kepada Kaisar. Lagipula, apa gunanya tetap
Pangeran Ignor menatap Pangeran Lucas dengan ekspresi penuh kebencian dan kekesalan. Tangannya terkepal erat, dan bibirnya bergetar seolah ingin melontarkan kata-kata yang lebih tajam. Namun akhirnya, ia berkata dengan nada dingin, “Tidak, kau salah, Lucas. Ramuan penawar itu memang ada. Tapi, ia tersimpan di ruang rahasia bawah tanah Kekaisaran. Jika kau benar-benar ingin aku menyembuhkan ayah kita, kau harus memberiku kunci itu untuk masuk ke sana.”Ucapan Ignor menggantung di udara seperti awan gelap. Pangeran Lucas menatap adik tirinya dengan tatapan terkejut bercampur tidak percaya. “Sejak kapan? Sejak kapan ramuan seperti itu disimpan di ruang bawah tanah Kekaisaran? Kau tidak mungkin berkata jujur, Ignor. Jangan coba menipuku!”Namun sebelum Ignor menjawab, Marquis Gareth melangkah maju, mendukung pangeran kedua. “Pangeran Lucas, Pangeran Ignor tidak berbohong. Ramuan penawar itu memang ada di ruang rahasia bawah tanah. Jika Anda tidak percaya, mengapa tidak memeriksanya sendi
Di dalam ruangan yang sunyi di Istana Kekaisaran, Pangeran Ignor duduk termenung. Di atas meja di depannya, gelas anggur yang hampir kosong itu menciptakan kilauan samar di bawah cahaya bulan yang terpantul dari jendela kecil. Suasana tegang dan penuh kekesalan memenuhi ruangan."Sial! Bisa-bisanya anak itu datang dan mengacaukan segalanya!" gumam Ignor, dengan ekspresi wajah yang penuh kebencian. Tangannya yang gemetar menggenggam gelas itu hingga jari-jarinya memutih, namun ia menahan diri untuk tidak membantingnya lagi.Di depannya, sosok berjubah hitam berdiri tegak. Tudung jubahnya menutupi sebagian besar wajahnya, tetapi dari suaranya yang rendah, terdengar jelas rasa kebencian yang mendarah daging. “Sepertinya kita terlalu meremehkan dia, Pangeran. Pembunuh yang kami kirim tidak hanya gagal, tapi juga dikalahkan dengan mudah olehnya.”Pangeran Ignor mendecak kesal, gelas anggur di tangannya bergetar. “Itu karena kau mengirimkan cecunguk kelas teri!” bentaknya, suaranya penuh am
Langit di atas kota Morph tampak suram, diselimuti awan gelap yang menggantung rendah. Kilat sesekali menyambar dari balik gumpalan awan hitam, menebar cahaya singkat yang hanya mempertegas suasana mencekam. Angin dingin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur sesuatu yang aneh, seolah mengisyaratkan bahwa bencana sedang menyusun langkah.Di dalam ruang kerjanya yang megah, Duke Davin Van Bertrand duduk dengan tatapan serius. Cahaya lilin yang redup menerangi wajahnya yang tegas dan penuh wibawa. Di depannya berdiri Virgo Bastarian, kesatria kepercayaannya, dengan tubuh tegap dan ekspresi sedikit kaku. Tangan Virgo menggenggam sepucuk surat yang baru saja selesai dibaca.“Bagaimana kondisi di Greycastle?” tanya Duke Davin dengan nada berat, setiap katanya penuh tekanan.“Sepertinya situasi di sana jauh dari yang kita harapkan, Lord,” jawab Virgo, suaranya dalam dan serius. “Kota itu telah sepenuhnya jatuh ke tangan monster-monster sihir. Banyak penduduk yang tewas, sement
Di bawah sinar matahari yang meredup tertutup kanopi hutan, Darrel bersama tiga temannya menunggangi kuda dengan kecepatan luar biasa. Jalan setapak yang membelah lebatnya hutan menjadi satu-satunya jalur yang menghubungkan ibu kota kekaisaran dengan wilayah timur. Darrel dan tiga temannya bergerak, seolah dikejar waktu yang tak mau berhenti.Darrel sedikit melirik ke belakang, memperhatikan Yurie Lionheart yang mengikutinya dengan ekspresi penuh tekad. Meski ia tidak mengatakannya, Darrel merasa kehadiran gadis itu hanya akan menambah kehawatirannya.'Kenapa Duke Lionheart membiarkan dia ikut?' gumam Darrel pelan, hampir tidak terdengar oleh yang lain.Di sampingnya, Cilera melirik ke arah Yurie dengan pandangan yang tak kalah tajam. Ia mendengus pelan, rasa kesalnya jelas terpancar. ‘Kenapa gadis ini selalu ada di dekat Darrel? Apa dia tidak punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan?’ pikirnya, menahan gejolak emosi.Vindel yang berada di belakang Cilera menyadari perubahan
Frey mengulurkan kedua tangannya ke depan. Energi ungu pekat mengalir dari tubuhnya, membentuk pusaran dahsyat di antara telapak tangannya. Aliran itu memancar liar, menciptakan getaran yang menjalar ke seluruh hutan. Pohon-pohon di sekitar mereka berderak, udara di sekitar semakin bergetar hebat karena tekanan luar biasa. Darrel menatapnya tajam, matanya menyipit saat ia merasakan aura mematikan yang terpancar dari kekuatan itu. Keningnya berkerut. ‘Ini lebih kuat dari sebelumnya. Sepertinya Frey telah sepenuhnya menyerahkan dirinya pada kegelapan,’ pikirnya. Energi di tangan Frey memadat menjadi bola besar yang bercahaya ungu gelap, seolah-olah menyerap cahaya di sekitarnya. Frey menyeringai puas, tatapannya menusuk ke arah Darrel. “Bagaimana, Darrel? Siapkah kau menghadapi ini? Mari kita lihat seberapa hebat pewaris keluarga Van Bertrand yang terkenal itu!” ucapnya dingin, sebelum tubuhnya melayang ke udara. Dengan satu gerakan cepat, Frey mengangkat bola energi itu tinggi-t
Darrel merasakan napasnya tertahan sesaat. Tekanan dari ular energi itu begitu nyata, seolah mengancam mencabik-cabik tubuhnya. Tapi ia tak punya pilihan lain. Dengan satu teriakan, ia menghimpun seluruh kekuatan Drakonis yang tersisa. Energi merah keemasan menyala di tubuhnya, membentuk lapisan pelindung berbentuk lingkaran sihir kuno yang melindungi dirinya dari serangan langsung. Ledakan besar kembali terjadi ketika kedua kekuatan itu bertemu. Gelombang kejut yang dihasilkan menghancurkan area di sekitarnya, menciptakan kawah besar yang membakar tanah. Darrel jatuh berlutut di tengah kawah itu, darah mengalir dari sudut bibirnya. Namun, matanya tetap tajam menatap Frey. "Kau cukup kuat, Frey," gumamnya, dengan suara penuh tekad. Di udara, Frey tak hanya berdiri diam setelah meluncurkan serangan dahsyat. Dengan sebuah gerakan cepat, ia meraih sesuatu dari balik jubahnya yang gelap. Sebuah objek kecil namun memancarkan cahaya cemerlang yang melesat keluar dari tangannya, mengg
Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap