Darrel bangkit perlahan dari tanah. Tubuhnya yang semula penuh luka terlihat mulai pulih dalam kepulan asap putih, meski sisa-sisa darah masih membekas di beberapa bagian. Rantai keemasan yang membelit tubuhnya, artefak suci yang diklaim tak terkalahkan, mulai memancarkan kilauan samar sebelum hancur menjadi debu bercahaya. Aura merah keemasan perlahan berkobar di sekeliling tubuhnya, memberikan kesan kekuatan yang selama ini tersembunyi kini sepenuhnya bangkit. Frey yang melayang di udara menatap dengan ekspresi bingung dan tidak percaya. Cahaya ungu di sekitarnya yang biasanya tampak dominan kini terasa kecil dibandingkan energi yang memancar dari Darrel. “Ini... tidak mungkin!” Frey tergagap, suaranya lirih, hampir tercekat. Darrel tersenyum tipis, sebuah senyum yang sarat dengan intimidasi. Luka-luka di tubuhnya mulai menutup dengan cepat, asap putih tipis mengepul saat regenerasi tubuhnya berjalan dengan kecepatan yang tak manusiawi. “Tidak mungkin?” ulang Darrel dengan na
Vindel melangkah perlahan, menunduk untuk memungut lentera emas yang tergeletak di atas tanah. Ia pun memandangi lentera emas yang kini berada di tangannya dengan tatapan penuh rasa ingin tahu. Permukaannya retak, bercahaya redup seolah kehabisan energi setelah beberapa kali penggunaan dalam pertarungan sebelumnya. Ia memutar lentera itu perlahan, memeriksa setiap detilnya.“Jadi, ini yang disebut Artefak Suci?” tanyanya, suaranya sarat dengan skeptisisme.Darrel membersihkan debu dari bajunya dan tersenyum tipis. “Bukan. Itu hanya replika. Sebuah tiruan dari Luminous of Radiance.”Cilera yang berdiri tak jauh darinya membelalakkan mata. “Replika? Tapi kekuatannya tadi luar biasa! Hampir membuat kita semua tak berdaya!” serunya penuh ketidakpercayaan.Darrel menghela napas panjang, menatap lentera itu sejenak sebelum melanjutkan, “Itu karena lentera itu dibuat oleh Pak Tua Olmund. Ia menggunakan bahan-bahan tertentu dan menambahkan sedikit energiku. Itu cukup untuk meniru sebagian k
Beberapa jam perjalanan melelahkan akhirnya membawa rombongan pasukan Duke Van Bertrand ke sebuah kamp perlindungan sementara. Kamp ini berjarak ratusan kilometer dari Greycastle, tersembunyi di balik tebing-tebing tinggi dan dikelilingi hutan lebat. Udara malam dingin menusuk kulit, sementara rembulan bersinar redup di balik awan hitam. Di tengah keheningan malam, Darrel duduk sendirian di dalam sebuah tenda besar yang sederhana. Sebuah meja kayu tua berdiri di hadapannya, dengan benda bulat bersisik emas tergeletak di atasnya—telur naga yang ia temukan beberapa bulan lalu saat kompetisi akademi Ravencroft berlangsung. Darrel memandangi telur itu dengan ekspresi serius. Jari-jarinya menyentuh permukaan sisiknya yang dingin. "Aku baru ingat soal telur ini... setelah semua kekacauan yang terjadi," gumamnya pelan, suaranya hampir tenggelam dalam deru angin malam. Ia menghela napas panjang, matanya menatap telur itu dengan penuh tekad. "Mungkin waktunya sudah tiba. Aku harus menc
Darrel tidak menjawab, tapi pandangannya sedikit melunak, menunggu kelanjutan kata-kata Balroth.Balroth berdiri dan memandang ke arah cahaya lilin yang berkobar, menatap nyala api itu seolah menemukan pengingat dari masa lalu yang pahit. "Ribuan tahun lalu," ia memulai, suaranya berubah menjadi lebih berat, "Drakonis adalah penguasa yang tak tertandingi. Bukan hanya karena kekuatannya, tapi juga karena kebijaksanaannya yang membuat dunia tunduk pada kehendaknya. Tapi bahkan penguasa sekuat dia memiliki kelemahan..."Balroth menarik napas dalam-dalam sebelum melanjutkan, "Drakonis memiliki kepercayaan mutlak pada orang-orang di sekitarnya. Ia menganggap bahwa kesetiaan adalah hal yang tidak perlu diragukan. Namun, kepercayaan itu menjadi kehancurannya. Salah satu pelayannya, seorang Jendral hebat bernama Arkanis, diam-diam mengkhianatinya. Ia bekerja sama dengan musuh tersembunyi Drakonis dan melemahkannya dengan sebuah Artefak yang menyegel sebagian kekuatannya. Pengkhianatan itu men
Setelah kontrak jiwa selesai, Balroth masih berlutut, keringat membasahi tubuhnya. Lingkaran sihir keemasan yang terbentuk di bawah pijakannya perlahan memudar, seolah tidak pernah ada. Ia menundukkan kepala, membenturkan dahinya ke tanah, menunjukkan penghormatan penuh kepada Darrel."Vanguard ini memberi hormat pada Yang Mulia," ucapnya dengan suara yang bergetar oleh emosi dan tekad.Darrel, berdiri dengan anggun di depannya, menatap penuh pengamatan. Dia terdiam sejenak, merasakan hubungan antara dirinya dengan Balroth yang kini semakin terikat setelah melalui kontrak jiwa antara majikan dan bawahan. Ada sesuatu yang berbeda dalam pandangannya, sebuah keyakinan baru yang terbentuk."Kau bisa berdiri sekarang," ucap Darrel singkat namun tegas."Terima kasih, Tuanku," jawab Balroth sambil berdiri. Tatapannya penuh hormat, auranya semakin kuat setelah menyelesaikan kontrak jiwa dengan Darrel, sang pewaris kekuatan Drakonis.Darrel mengamati sosok Balroth sejenak sebelum akhirnya mena
Malam itu, sinar bulan tampak redup, seolah-olah tertutupi awan gelap yang menandakan sebuah bencana besar. Di dalam benteng kamp pengungsian, obor-obor yang menyala tak mampu mengusir rasa takut yang merayap di hati semua orang. Ketegangan menggantung di udara.Seorang prajurit dengan wajah penuh ketakutan tiba-tiba berlari dari arah hutan, napasnya tersengal-sengal. Ia berteriak, memecah keheningan.“G-gawat! Monster-monster itu mulai bergerak! Mereka datang ke arah sini dalam jumlah besar!”Prajurit yang berjaga di pos terdepan langsung bereaksi, memukul gong peringatan. Suara gong yang berdentang menggema ke seluruh penjuru kamp, membangunkan setiap prajurit dan pengungsi.“Cepat laporkan ini pada Duke Davin! Kita harus bersiap!” salah satu penjaga berteriak panik.Tak butuh waktu lama bagi para petinggi di kamp untuk berkumpul di tenda utama Duke Davin Van Bertrand. Di dalamnya, suasana dipenuhi kecemasan dan ketegangan.Duke Davin berdiri tegak di depan meja taktis, di mana pet
Monster-monster sihir itu terus melangkah maju, langkah-langkah mereka menggetarkan tanah dan udara di sekitarnya. Aura bengis yang menyelimuti tubuh-tubuh undead Drakonik itu membuat semua orang merasa mencekam, seakan-akan akhir dunia semakin dekat. Salah satu undead naga, tubuhnya besar dan menghitam dengan sayap yang terkoyak, membuka mulutnya lebar-lebar. Taring tajam mencuat seperti tombak-tombak baja yang kokoh. Dari mulutnya, sebuah bola energi ungu kehitaman mulai menggumpal, memancarkan kilatan liar sebelum melesat dengan kecepatan luar biasa ke arah benteng. “S-serangan datang!” teriak seorang prajurit di atas benteng. Para penyihir yang berada di atas benteng bereaksi cepat, merapalkan mantra perlindungan. Sebuah kubah energi biru samar muncul, membungkus benteng dalam perlindungan. Namun, begitu bola energi ungu menghantam kubah tersebut, benturan dahsyat mengguncang udara. Suara ledakan menggelegar membuat para prajurit yang berada di dekatnya terpental ke belak
Di atas benteng, suasana tegang menyelimuti udara. Para prajurit menguatkan tekad masing-masing, tangan mereka erat menggenggam senjata. Dari sudut pandang mereka, gelombang monster undead dan monster sihir yang mendekat tampak seperti banjir hitam pekat yang siap menelan segalanya. "Semuanya! Jangan biarkan satupun monster-monster itu melewati benteng pertahanan kita!" seru Lorkan, suaranya memecah kebisuan dan membangkitkan semangat prajurit. Tanpa ragu, ia melompat dari ketinggian tembok kayu, mendarat dengan mantap di atas tanah yang bergetar karena langkah ribuan monster. Dengan keberanian yang membara, Lorkan mengangkat pedangnya tinggi, mengarahkan pasukannya untuk turun dan bergabung dalam medan perang. "Ikuti aku! Ini saatnya kita melindungi tanah air kita!" teriaknya. Para prajurit lainnya bergegas menuruni tembok, langkah-langkah mereka teratur meski dipenuhi kecemasan. Dari atas, para penyihir dan pemanah tetap memberikan perlindungan, mengirimkan sihir dan panah b
Malam yang terasa panjang penuh darah dan kehancuran akhirnya berakhir. Pertarungan besar antara cahaya dan kegelapan mencapai puncaknya dengan kemenangan mutlak Darrel dan pasukan dari pihaknya. Ketika fajar pertama mulai menyingsing di ufuk timur, sinarnya menerangi medan perang yang sunyi, menyisakan jejak kehancuran. Bangkai monster raksasa tergeletak di atas tanah yang retak, bersama dengan mayat-mayat undead yang sebelumnya dikendalikan para penyihir kegelapan. Kini, semua ancaman itu telah musnah tanpa sisa. Darrel berdiri di tengah medan perang, tubuhnya yang masih diselimuti aura keemasan perlahan memudar. Wujudnya kembali seperti semula, seorang pemuda dengan tekad baja yang telah memenuhi kewajibannya sebagai pewaris Drakonis. Ia memandang sekeliling, melihat para prajurit yang tersisa mulai bergerak untuk mengumpulkan rekan-rekan mereka yang gugur. Duke Davin dan Duke Melwyn mendekati Darrel, keduanya membawa luka pertempuran yang terlihat jelas. Mata mereka penuh ra
Darrel mengangkat tangannya perlahan, memperlihatkan sebuah artefak berbentuk sarung tangan yang bersinar gelap, Abyssal Zephyrion. Cahaya kemerahan dari artefak itu tampak kontras dengan aura keemasan yang mengelilingi tubuhnya."Artefak ini…" gumam Darrel, sambil memandangi sarung tangan itu dengan tatapan penuh keyakinan. "Sudah terlalu lama aku menyembunyikannya. Aku tidak ingin menggunakannya, kecuali di saat terakhir. Kini waktunya telah tiba."Arkanis menggeram, mencoba menyeret tubuh raksasanya untuk mendekat. "Kau pikir benda itu bisa menghancurkanku?!" Ia meraung, memaksakan dirinya berdiri meski tubuhnya terus kehilangan energi.Namun, Darrel hanya menggeleng. "Waktumu sudah habis," katanya sembari mengulurkan tangannya ke depan.Aura keemasan di sekeliling Darrel semakin terang, menyatu dengan energi dari artefak di tangannya. Pusaran energi besar mulai terbentuk, menarik setiap partikel di sekitarnya ke dalam putaran dahsyat.Arkanis menyadari bahaya itu. "Tidak! Aku tida
Pemuda itu, yang sebelumnya terkapar tak berdaya, kini berdiri dengan teguh. Tubuhnya dilingkupi aura keemasan yang berkilauan, retakan-retakan pada sisiknya telah menyatu sempurna.Matanya bersinar terang, memancarkan kekuatan Drakonis yang sepenuhnya terbangkitkan. Udara di sekelilingnya terasa berat, penuh dengan energi yang mendebarkan.“Arkanis,” suara Darrel terdengar rendah namun jelas, dipenuhi dengan ketegasan. “Aku tidak akan membiarkanmu menginjak-injak kehormatan ras Drakonik lagi. Usaha sia-siamu berakhir di sini.”Arkanis menatap Darrel dengan mata penuh kemarahan dan keterkejutan. “Kau…! Kau seharusnya sudah mati!” raungnya dengan suara serak. “Tidak mungkin kau bisa bangkit setelah seranganku tadi!”Darrel melangkah maju, auranya yang memancar membuat tanah di bawah kakinya retak. “aku harus berterimakasih pada Falkor, berkatnya kekuatan Drakonis dalam diriku bangkit kembali setelah kristal hitam itu hancur.”Sementara itu, Arkanis memandang Darrel dengan tatapan tajam
Langit yang kelam menjadi saksi atas kehancuran yang perlahan-lahan menghampiri Arkanis. Kristal hitam, yang menyimpan usahanya selama ribuan tahun, kini telah hancur berkeping-keping. Energi keemasan menyapu medan perang, menciptakan gelombang yang mengguncang tanah sejauh ribuan mil. Arkanis menoleh dengan mata yang penuh keterkejutan. Mulutnya menganga, tak mampu menyembunyikan ekspresi ngeri. “T-tidak mungkin…! Bagaimana bisa ini terjadi?!” suaranya menggema di antara sisa-sisa kehancuran, penuh kemarahan dan kebingungan. Falkor, naga kecil yang baru saja terpental akibat ledakan energi dari kristal hitam itu, mencoba bangkit dengan tubuh yang gemetar. Sayap kecilnya berkibar penuh getaran, namun matanya tetap terpancang pada sosok Arkanis yang kini dilingkupi aura gelap yang semakin pekat. Falkor menggeram pelan, matanya membara dengan keberanian yang entah dari mana asalnya. Arkanis, dalam kemarahannya yang membara, membiarkan tubuhnya bergetar hebat. Aura hitam menyel
Di bawah langit yang gelap dan berkabut, Arkanis berdiri tegak dengan tangan terangkat, memegang kristal hitam yang berkilau. Kristal itu memancarkan cahaya samar yang berkilau dalam dua elemen yang saling bertabrakan—sebuah cahaya gelap yang menyatu dengan kilatan keemasan yang berputar di dalam intinya. Aura yang begitu kuat mengelilingi Arkanis, menciptakan suasana menegangkan yang mencekam seluruh medan pertempuran.Tawa puas Arkanis menggema di tengah heningnya mendan perang. Suaranya penuh dengan kemenangan yang sudah terasa di ujung jari. Wajahnya yang dingin kini dipenuhi kebanggaan, dan matanya yang bercahaya dengan kegembiraan yang hampir tak terkendali, mencerminkan keyakinannya bahwa ia akan segera mengakhiri semuanya. Semua usaha dan pengorbanan ribuan tahun lamanya, semuanya menuju satu titik—kekuasaan absolut di tangannya.“Bocah…” gumamnya dengan penuh kebencian, matanya yang tajam menatap Darrel yang terkapar tak berdaya di tanah. Setiap kata yang keluar dari bibi
Baru saja pasukan Duke Melwyn Lionheart tiba di medan perang, mereka disambut oleh kekacauan yang sulit dipercaya. Pasukan monster terus mengamuk, menghancurkan segala yang ada di jalurnya. Para prajurit Duke Melwyn, yang dikenal sebagai pasukan elit kerajaan, tetap bertahan dan mencoba mengendalikan situasi.Namun, perhatian mereka teralihkan ketika suara ledakan besar menggema di langit. Gelombang kejutnya terasa hingga ke permukaan tanah, membuat banyak prajurit terjatuh. Ketika mereka menoleh ke atas, mata mereka terbelalak melihat pemandangan yang tak masuk akal."Astaga... apa itu?" salah satu prajurit bergumam, suaranya dipenuhi ketakutan.Di atas langit, kepulan asap hitam mengepul tebal, menutupi pandangan. Namun, di balik asap itu, kilauan keemasan yang samar terlihat seperti bintang yang jatuh ke bumi.“Apa itu…” gumam Duke Melwyn, yang berdiri di atas kudanya. Matanya tajam menatap ke arah cahaya itu.Dari kilauan itu, sosok Darrel terjatuh dengan kecepatan tinggi. Tubuhn
Darrel melesat bagai kilat, membelah angkasa yang penuh dengan aura gelap yang mendominasi medan perang. Tubuhnya, berselimut cahaya keemasan yang menyala terang, memancarkan keagungan kekuatan Drakonik. Di atas langit, Arkanis tetap berdiri dengan tenang, dikelilingi puluhan naga undead yang melayang di udara. Mata merah mereka menyala, penuh kebencian dan kehampaan.Arkanis mengangkat tangannya, dan puluhan undead Drakonik langsung bergerak, membentuk formasi melingkar. Mulut mereka terbuka, mengumpulkan bola-bola energi hitam yang berkedip-kedip seperti bintang kematian. Dalam sekejap, lusinan bola energi itu melesat, memburu Darrel dengan kecepatan luar biasa.Di bawah, para prajurit yang menyaksikan pemandangan itu hanya bisa tertegun, rasa takut merayapi tubuh mereka. Dentuman demi dentuman dari ledakan energi memenuhi udara, mengguncang tanah dan menghancurkan apa saja yang ada di jalurnya.“Ini… ini bukan pertarungan manusia,” gumam salah seorang prajurit, tubuhnya bergetar
Darrel terpental jauh ke bawah, tubuhnya menghantam bumi dengan kekuatan dahsyat, menciptakan kawah besar yang memekakkan medan perang. Debu dan pecahan tanah beterbangan, mengiringi getaran yang terasa hingga jarak bermil-mil. Tubuhnya, yang berselimut energi keemasan, tampak seperti meteor yang baru saja jatuh dari langit.Namun, di tengah rasa sakit yang mendera, Darrel menggenggam pedangnya lebih erat. Matanya menatap lurus ke atas, ke arah musuh yang masih melayang di udara. Napasnya berat, tapi tekadnya tidak goyah.Di sisi lain, kengerian melanda setiap sudut medan perang. Para prajurit, yang sebelumnya berjuang mati-matian melawan gelombang monster, kini berdiri terpaku, menyaksikan pemandangan yang tidak dapat dijelaskan oleh akal sehat. Langit bergemuruh oleh ledakan energi, dan bumi bergetar seolah takut pada kekuatan entitas yang bertarung di atas sana.Lorkan berdiri di antara tumpukan mayat monster, tubuhnya gemetar bukan karena luka, melainkan karena rasa ngeri yang me
Di atas tanah yang porak-poranda, Darrel berlutut, menahan rasa sakit yang merambat di seluruh tubuhnya. Luka-luka menganga di setiap sudut tubuhnya, darah segar mengalir, menciptakan genangan merah di medan pertempuran yang hancur. Napasnya berat, namun matanya memancarkan keteguhan.Dari kejauhan, Balroth berdiri terpaku. Tubuhnya gemetar menyaksikan pertarungan yang baru saja usai, meskipun ia tahu ini belum selesai. Ledakan sebelumnya telah mengguncang seluruh medan perang, membuatnya nyaris kehilangan harapan pada sang pewaris Drakonis."Yang Mulia!" serunya dengan suara parau, mencoba memanggil Darrel yang masih terhuyung, berdiri dengan satu lutut di tanah. Wajahnya penuh ketegangan, dan rasa takut membakar hatinya.Langkah kaki terdengar mendekat, semakin berat dan jelas. Dari balik debu dan asap sisa ledakan, Arkanis muncul dengan senyum dingin yang menghina. Wajahnya tetap tenang, seolah tak terpengaruh oleh apa yang baru saja terjadi. Tubuhnya masih diselimuti aura kegelap