Di dalam ruangan yang sunyi di Istana Kekaisaran, Pangeran Ignor duduk termenung. Di atas meja di depannya, gelas anggur yang hampir kosong itu menciptakan kilauan samar di bawah cahaya bulan yang terpantul dari jendela kecil. Suasana tegang dan penuh kekesalan memenuhi ruangan."Sial! Bisa-bisanya anak itu datang dan mengacaukan segalanya!" gumam Ignor, dengan ekspresi wajah yang penuh kebencian. Tangannya yang gemetar menggenggam gelas itu hingga jari-jarinya memutih, namun ia menahan diri untuk tidak membantingnya lagi.Di depannya, sosok berjubah hitam berdiri tegak. Tudung jubahnya menutupi sebagian besar wajahnya, tetapi dari suaranya yang rendah, terdengar jelas rasa kebencian yang mendarah daging. “Sepertinya kita terlalu meremehkan dia, Pangeran. Pembunuh yang kami kirim tidak hanya gagal, tapi juga dikalahkan dengan mudah olehnya.”Pangeran Ignor mendecak kesal, gelas anggur di tangannya bergetar. “Itu karena kau mengirimkan cecunguk kelas teri!” bentaknya, suaranya penuh am
Langit di atas kota Morph tampak suram, diselimuti awan gelap yang menggantung rendah. Kilat sesekali menyambar dari balik gumpalan awan hitam, menebar cahaya singkat yang hanya mempertegas suasana mencekam. Angin dingin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur sesuatu yang aneh, seolah mengisyaratkan bahwa bencana sedang menyusun langkah.Di dalam ruang kerjanya yang megah, Duke Davin Van Bertrand duduk dengan tatapan serius. Cahaya lilin yang redup menerangi wajahnya yang tegas dan penuh wibawa. Di depannya berdiri Virgo Bastarian, kesatria kepercayaannya, dengan tubuh tegap dan ekspresi sedikit kaku. Tangan Virgo menggenggam sepucuk surat yang baru saja selesai dibaca.“Bagaimana kondisi di Greycastle?” tanya Duke Davin dengan nada berat, setiap katanya penuh tekanan.“Sepertinya situasi di sana jauh dari yang kita harapkan, Lord,” jawab Virgo, suaranya dalam dan serius. “Kota itu telah sepenuhnya jatuh ke tangan monster-monster sihir. Banyak penduduk yang tewas, sement
Di bawah sinar matahari yang meredup tertutup kanopi hutan, Darrel bersama tiga temannya menunggangi kuda dengan kecepatan luar biasa. Jalan setapak yang membelah lebatnya hutan menjadi satu-satunya jalur yang menghubungkan ibu kota kekaisaran dengan wilayah timur. Darrel dan tiga temannya bergerak, seolah dikejar waktu yang tak mau berhenti.Darrel sedikit melirik ke belakang, memperhatikan Yurie Lionheart yang mengikutinya dengan ekspresi penuh tekad. Meski ia tidak mengatakannya, Darrel merasa kehadiran gadis itu hanya akan menambah kehawatirannya.'Kenapa Duke Lionheart membiarkan dia ikut?' gumam Darrel pelan, hampir tidak terdengar oleh yang lain.Di sampingnya, Cilera melirik ke arah Yurie dengan pandangan yang tak kalah tajam. Ia mendengus pelan, rasa kesalnya jelas terpancar. ‘Kenapa gadis ini selalu ada di dekat Darrel? Apa dia tidak punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan?’ pikirnya, menahan gejolak emosi.Vindel yang berada di belakang Cilera menyadari perubahan
Frey mengulurkan kedua tangannya ke depan. Energi ungu pekat mengalir dari tubuhnya, membentuk pusaran dahsyat di antara telapak tangannya. Aliran itu memancar liar, menciptakan getaran yang menjalar ke seluruh hutan. Pohon-pohon di sekitar mereka berderak, udara di sekitar semakin bergetar hebat karena tekanan luar biasa. Darrel menatapnya tajam, matanya menyipit saat ia merasakan aura mematikan yang terpancar dari kekuatan itu. Keningnya berkerut. ‘Ini lebih kuat dari sebelumnya. Sepertinya Frey telah sepenuhnya menyerahkan dirinya pada kegelapan,’ pikirnya. Energi di tangan Frey memadat menjadi bola besar yang bercahaya ungu gelap, seolah-olah menyerap cahaya di sekitarnya. Frey menyeringai puas, tatapannya menusuk ke arah Darrel. “Bagaimana, Darrel? Siapkah kau menghadapi ini? Mari kita lihat seberapa hebat pewaris keluarga Van Bertrand yang terkenal itu!” ucapnya dingin, sebelum tubuhnya melayang ke udara. Dengan satu gerakan cepat, Frey mengangkat bola energi itu tinggi-t
Darrel merasakan napasnya tertahan sesaat. Tekanan dari ular energi itu begitu nyata, seolah mengancam mencabik-cabik tubuhnya. Tapi ia tak punya pilihan lain. Dengan satu teriakan, ia menghimpun seluruh kekuatan Drakonis yang tersisa. Energi merah keemasan menyala di tubuhnya, membentuk lapisan pelindung berbentuk lingkaran sihir kuno yang melindungi dirinya dari serangan langsung. Ledakan besar kembali terjadi ketika kedua kekuatan itu bertemu. Gelombang kejut yang dihasilkan menghancurkan area di sekitarnya, menciptakan kawah besar yang membakar tanah. Darrel jatuh berlutut di tengah kawah itu, darah mengalir dari sudut bibirnya. Namun, matanya tetap tajam menatap Frey. "Kau cukup kuat, Frey," gumamnya, dengan suara penuh tekad. Di udara, Frey tak hanya berdiri diam setelah meluncurkan serangan dahsyat. Dengan sebuah gerakan cepat, ia meraih sesuatu dari balik jubahnya yang gelap. Sebuah objek kecil namun memancarkan cahaya cemerlang yang melesat keluar dari tangannya, mengg
Dalam kegelapan malam, langit membentang luas di atas pegunungan Tethra, diterangi hanya oleh cahaya bintang-bintang. Di bawah langit yang tenang itu, kerajaan Drakonik berjaga dalam keheningan. Di tengah pusat kerajaan, berdiri sebuah kastil megah yang dipahat dari batu hitam, tempat Raja Naga, Drakonis, memerintah dengan bijaksana. Sebagai penguasa naga terakhir, ia memiliki kekuatan besar yang tak tertandingi di dunia manusia. Drakonis telah menjaga keseimbangan antara manusia dan makhluk magis selama berabad-abad. Namun, di malam itu, ketenangan hanya menjadi ilusi tipis. Sesuatu yang gelap, berbahaya, dan tidak terlihat sedang bersembunyi di balik tembok kastil. Jenderal Arkanis, salah satu panglima perang terpercaya Raja Naga, berjalan cepat melewati koridor batu yang dingin, matanya penuh tekad dan niat busuk. Dalam diam, ia menggenggam erat sebuah permata hitam, artefak kuno yang selama ini tersembunyi dari pandangan Drakonis. Raja Naga duduk di singgasananya, tubuhnya yang
Kerajaan Morph terletak di lembah hijau yang dikelilingi oleh pegunungan megah, tempat angin dingin selalu menyapu desa-desa kecil yang tersebar di sekitarnya. Di atas bukit tertinggi berdiri Kastil Bertrand, rumah bagi salah satu keluarga bangsawan terkuat di seluruh kerajaan. Keluarga Van Bertrand telah memerintah tanah ini selama beberapa generasi dengan kekuasaan dan kehormatan. Duke Davin Van Bertrand, penguasa saat ini, dikenal sebagai seorang pemimpin tegas dan adil, dengan dua putra yang cerdas dan seorang anak ketiga yang berbeda dari mereka semua. Darrel Van Bertrand, putra ketiga Duke, sedang berdiri di tepi balkon kamarnya, menatap ke cakrawala di kejauhan. Usianya baru menginjak lima belas tahun, namun beban kehidupan bangsawan sudah mulai terasa. Angin yang menerpa wajahnya membawa bau pinus dari hutan yang membentang jauh di luar kastil. Matanya yang biru cerah memandangi lembah di bawahnya dengan perasaan campur aduk—di sanalah kebebasan terletak, di balik hutan
Langit di atas Kastil Bertrand mulai gelap ketika Darrel Van Bertrand terbenam dalam buku kuno yang baru saja ditemukannya. Di balik halaman demi halaman yang dipenuhi dengan tulisan kuno dan simbol-simbol yang memusingkan, Darrel merasa seolah-olah dirinya ditarik ke dalam kisah yang berbeda—lebih tua dan lebih besar dari sekadar catatan sejarah manusia. Kisah tentang Drakonis, Sang Raja Naga, yang telah lama dilupakan oleh dunia manusia, kini tampak lebih nyata daripada apa pun yang pernah ia pelajari. Saat Darrel terus membaca, rasa dingin yang aneh menjalar melalui tubuhnya. Tulisan-tulisan dalam buku mulai terasa bukan hanya sebagai cerita belaka, tetapi sebuah panggilan, bisikan dari masa lalu yang mencoba mencapai pikirannya. “Drakonis,” Darrel berbisik, namanya terasa asing di lidah, namun penuh makna. Di saat yang sama, seseorang bergerak di balik bayang-bayang perpustakaan. Elara, sang pelayan yang telah melayani keluarga Van Bertrand selama bertahun-tahun, perlahan mende
Darrel merasakan napasnya tertahan sesaat. Tekanan dari ular energi itu begitu nyata, seolah mengancam mencabik-cabik tubuhnya. Tapi ia tak punya pilihan lain. Dengan satu teriakan, ia menghimpun seluruh kekuatan Drakonis yang tersisa. Energi merah keemasan menyala di tubuhnya, membentuk lapisan pelindung berbentuk lingkaran sihir kuno yang melindungi dirinya dari serangan langsung. Ledakan besar kembali terjadi ketika kedua kekuatan itu bertemu. Gelombang kejut yang dihasilkan menghancurkan area di sekitarnya, menciptakan kawah besar yang membakar tanah. Darrel jatuh berlutut di tengah kawah itu, darah mengalir dari sudut bibirnya. Namun, matanya tetap tajam menatap Frey. "Kau cukup kuat, Frey," gumamnya, dengan suara penuh tekad. Di udara, Frey tak hanya berdiri diam setelah meluncurkan serangan dahsyat. Dengan sebuah gerakan cepat, ia meraih sesuatu dari balik jubahnya yang gelap. Sebuah objek kecil namun memancarkan cahaya cemerlang yang melesat keluar dari tangannya, mengg
Frey mengulurkan kedua tangannya ke depan. Energi ungu pekat mengalir dari tubuhnya, membentuk pusaran dahsyat di antara telapak tangannya. Aliran itu memancar liar, menciptakan getaran yang menjalar ke seluruh hutan. Pohon-pohon di sekitar mereka berderak, udara di sekitar semakin bergetar hebat karena tekanan luar biasa. Darrel menatapnya tajam, matanya menyipit saat ia merasakan aura mematikan yang terpancar dari kekuatan itu. Keningnya berkerut. ‘Ini lebih kuat dari sebelumnya. Sepertinya Frey telah sepenuhnya menyerahkan dirinya pada kegelapan,’ pikirnya. Energi di tangan Frey memadat menjadi bola besar yang bercahaya ungu gelap, seolah-olah menyerap cahaya di sekitarnya. Frey menyeringai puas, tatapannya menusuk ke arah Darrel. “Bagaimana, Darrel? Siapkah kau menghadapi ini? Mari kita lihat seberapa hebat pewaris keluarga Van Bertrand yang terkenal itu!” ucapnya dingin, sebelum tubuhnya melayang ke udara. Dengan satu gerakan cepat, Frey mengangkat bola energi itu tinggi-t
Di bawah sinar matahari yang meredup tertutup kanopi hutan, Darrel bersama tiga temannya menunggangi kuda dengan kecepatan luar biasa. Jalan setapak yang membelah lebatnya hutan menjadi satu-satunya jalur yang menghubungkan ibu kota kekaisaran dengan wilayah timur. Darrel dan tiga temannya bergerak, seolah dikejar waktu yang tak mau berhenti.Darrel sedikit melirik ke belakang, memperhatikan Yurie Lionheart yang mengikutinya dengan ekspresi penuh tekad. Meski ia tidak mengatakannya, Darrel merasa kehadiran gadis itu hanya akan menambah kehawatirannya.'Kenapa Duke Lionheart membiarkan dia ikut?' gumam Darrel pelan, hampir tidak terdengar oleh yang lain.Di sampingnya, Cilera melirik ke arah Yurie dengan pandangan yang tak kalah tajam. Ia mendengus pelan, rasa kesalnya jelas terpancar. ‘Kenapa gadis ini selalu ada di dekat Darrel? Apa dia tidak punya hal lain yang lebih penting untuk dilakukan?’ pikirnya, menahan gejolak emosi.Vindel yang berada di belakang Cilera menyadari perubahan
Langit di atas kota Morph tampak suram, diselimuti awan gelap yang menggantung rendah. Kilat sesekali menyambar dari balik gumpalan awan hitam, menebar cahaya singkat yang hanya mempertegas suasana mencekam. Angin dingin bertiup pelan, membawa aroma tanah basah bercampur sesuatu yang aneh, seolah mengisyaratkan bahwa bencana sedang menyusun langkah.Di dalam ruang kerjanya yang megah, Duke Davin Van Bertrand duduk dengan tatapan serius. Cahaya lilin yang redup menerangi wajahnya yang tegas dan penuh wibawa. Di depannya berdiri Virgo Bastarian, kesatria kepercayaannya, dengan tubuh tegap dan ekspresi sedikit kaku. Tangan Virgo menggenggam sepucuk surat yang baru saja selesai dibaca.“Bagaimana kondisi di Greycastle?” tanya Duke Davin dengan nada berat, setiap katanya penuh tekanan.“Sepertinya situasi di sana jauh dari yang kita harapkan, Lord,” jawab Virgo, suaranya dalam dan serius. “Kota itu telah sepenuhnya jatuh ke tangan monster-monster sihir. Banyak penduduk yang tewas, sement
Di dalam ruangan yang sunyi di Istana Kekaisaran, Pangeran Ignor duduk termenung. Di atas meja di depannya, gelas anggur yang hampir kosong itu menciptakan kilauan samar di bawah cahaya bulan yang terpantul dari jendela kecil. Suasana tegang dan penuh kekesalan memenuhi ruangan."Sial! Bisa-bisanya anak itu datang dan mengacaukan segalanya!" gumam Ignor, dengan ekspresi wajah yang penuh kebencian. Tangannya yang gemetar menggenggam gelas itu hingga jari-jarinya memutih, namun ia menahan diri untuk tidak membantingnya lagi.Di depannya, sosok berjubah hitam berdiri tegak. Tudung jubahnya menutupi sebagian besar wajahnya, tetapi dari suaranya yang rendah, terdengar jelas rasa kebencian yang mendarah daging. “Sepertinya kita terlalu meremehkan dia, Pangeran. Pembunuh yang kami kirim tidak hanya gagal, tapi juga dikalahkan dengan mudah olehnya.”Pangeran Ignor mendecak kesal, gelas anggur di tangannya bergetar. “Itu karena kau mengirimkan cecunguk kelas teri!” bentaknya, suaranya penuh am
Pangeran Ignor menatap Pangeran Lucas dengan ekspresi penuh kebencian dan kekesalan. Tangannya terkepal erat, dan bibirnya bergetar seolah ingin melontarkan kata-kata yang lebih tajam. Namun akhirnya, ia berkata dengan nada dingin, “Tidak, kau salah, Lucas. Ramuan penawar itu memang ada. Tapi, ia tersimpan di ruang rahasia bawah tanah Kekaisaran. Jika kau benar-benar ingin aku menyembuhkan ayah kita, kau harus memberiku kunci itu untuk masuk ke sana.”Ucapan Ignor menggantung di udara seperti awan gelap. Pangeran Lucas menatap adik tirinya dengan tatapan terkejut bercampur tidak percaya. “Sejak kapan? Sejak kapan ramuan seperti itu disimpan di ruang bawah tanah Kekaisaran? Kau tidak mungkin berkata jujur, Ignor. Jangan coba menipuku!”Namun sebelum Ignor menjawab, Marquis Gareth melangkah maju, mendukung pangeran kedua. “Pangeran Lucas, Pangeran Ignor tidak berbohong. Ramuan penawar itu memang ada di ruang rahasia bawah tanah. Jika Anda tidak percaya, mengapa tidak memeriksanya sendi
Di istana kekaisaran yang megah, suasana tegang memenuhi ruang tempat tidur Kaisar Fredrik Ravendel. Di. mana ketegangan menggantung di udara. Kedua pangeran, Lucas Ravendel dan Ignor Ravendel, saling berhadapan, aura permusuhan terlihat jelas di antara mereka.Ignor memecah kesunyian dengan suara dingin, “Lucas, kau tahu apa yang harus kau lakukan. Ini bukan hanya tentang kita. Ini juga menyangkut keselamatan ayah.”Lucas menatap adiknya dengan tajam, kemarahan terlihat di matanya. “Menggunakan ayah sebagai alat tawar-menawar? Kau tak tahu malu, Ignor.”“Aku memberikan pilihan yang masuk akal,” jawab Ignor dengan nada penuh percaya diri. “Kaisar membutuhkan penawar, dan kekaisaran membutuhkan pemimpin yang kuat. Kau tak punya pendukung, Lucas. Hanya aku yang bisa menyelamatkan semuanya.”Marquis Gareth, yang berdiri di sisi Ignor, menambahkan, “Tuan Lucas, pikirkan dengan bijak. Menyerah bukan berarti lemah. Itu adalah tanda penghormatanmu kepada Kaisar. Lagipula, apa gunanya tetap
Di dalam kamar penginapan yang remang, Darrel berbaring di atas kasur. Wajahnya tampak tenang, tetapi batinnya tidak sepenuhnya beristirahat. Setiap napasnya mengikuti ritme yang lembut, namun indra kewaspadaannya terus berjaga. Cahaya bulan yang menyelinap masuk melalui celah jendela menambah kesan damai, tapi ia tahu malam ini tidak akan berlalu dengan mudah.Di luar, bayang-bayang hitam melompat-lompat di atas atap bangunan seperti kucing liar. Mata tajam mereka mengintai, penuh fokus, menyisir setiap jengkal ruangan tempat Darrel berada. Pemimpin mereka, sosok berjubah hitam dengan mata menyala merah redup, memberikan isyarat tangan. Seketika, mereka menyebar. Salah satu di antaranya menyusup masuk melalui celah jendela yang terbuka sedikit. Langkahnya begitu ringan, hampir tidak terdengar di lantai kayu. Sosok itu mendekati tempat tidur Darrel dengan hati-hati. Dari balik jubahnya, ia mengeluarkan belati tipis. Kilauan tajam senjata itu tampak mengintimidasi memantulkan cahay
Di kedalaman istana kekaisaran, dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip, suasana penuh ketegangan terasa menyesakkan. Beberapa sosok berdiri di dalam bayang-bayang, sementara satu sosok berlutut di lantai marmer yang dingin.Smith tampak gemetar. Peluh deras mengalir di pelipisnya, perlahan menetes ke lantai. "B-benar, Tuan Pangeran. Pemuda bernama Darrel Van Bertrand itulah yang menghentikan kekacauan yang diciptakan oleh para undead itu," ucapnya dengan nada penuh ketakutan.Pangeran Kedua Kekaisaran Ravencroft, Ignor Ravendel, memukul meja di depannya dengan kemarahan membara. Suara dentuman kayu memenuhi ruangan, membuat semua orang yang ada di sana tersentak."Sialan! Sudah kuduga bocah itu akan menjadi duri dalam rencanaku! Padahal kekacauan itu seharusnya memastikan kematian si anak haram itu!" seru Ignor penuh amarah. Matanya memancarkan kebencian mendalam, seolah membara seperti api neraka.Sosok berjubah hitam yang berdiri di sa