Setelah kejadian di tempat latihan sehari yang lalu, kini komdisi di kediaman Duke Van Bertrand kembali seperti semula...Suasana di dalam ruang tamu yang besar itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Lampu gantung kristal yang berkilauan memantulkan bayangan samar di dinding, seolah menjadi saksi bisu percakapan penting yang akan memengaruhi masa depan dua keluarga besar.Duke Davin duduk dengan tenang di kursinya, wajahnya menunjukkan ketegasan. Tatapan matanya yang tajam mengarah pada Darrel dan Yurie yang duduk berdampingan di hadapan meja panjang. Suaranya terdengar tegas, penuh wibawa, namun tetap mempertimbangkan kepentingan semua pihak.“Kita seharusnya menyerahkan masalah ini kepada anak-anak kita. Meskipun pertunangan ini telah dijalin sejak mereka kecil, kita harus mendengarkan pendapat mereka terlebih dahulu,” ujar Duke Davin sambil melirik Melwyn, sahabat sekaligus pemimpin keluarga Lionheart.Duke Melwyn, yang duduk di sisi lain meja, menghela napas panjang. Ia menat
Perjalanan panjang yang ditempuh Darrel dan rombongannya akhirnya mencapai tujuan. Kekaisaran Ravencroft menyambut mereka dengan segala kemegahannya. Senja menorehkan garis keemasan di tembok-tembok kokoh kota, menciptakan suasana yang mendebarkan hati.Istana Kekaisaran menjulang megah di tengah ibu kota, seperti simbol mutlak kekuatan yang tak tergoyahkan. Gerbang utama yang dihiasi ukiran pedang dan perisai terbuka perlahan, menyambut para tamu penting yang datang dari berbagai penjuru negeri.Kereta Darrel berhenti di halaman istana. Deretan prajurit kekaisaran berseragam biru gelap berjajar di kedua sisi, menyambut rombongan dengan penghormatan penuh wibawa. Darrel turun dari kereta dengan langkah tenang, mengenakan pakaian resmi berwarna hitam dengan bordir emas. Lambang keluarga Van Bertrand, kepala naga dengan pedang melintasi rahangnya, terpampang jelas di dadanya.“Selamat datang di istana Kekaisaran Ravencroft, Tuan Duke Van Bertrand,” seorang pelayan menyambut dengan s
Saat suasana mulai tegang, Darrel tetap tenang di kursinya. Gelas anggur di tangannya berkilau diterpa cahaya lilin, sementara ia menikmati pemandangan aula tanpa terganggu oleh suara berisik Armand, pemuda yang terus berusaha menarik perhatian dengan cara murahan.Namun, ketenangan itu segera pecah oleh kedatangan seorang gadis berambut hitam panjang yang melangkah anggun menuju tempat mereka.Yurie Lionheart, dengan wajah cantik yang tak tertandingi dan tatapan dingin yang menusuk, menghentikan langkahnya di dekat Darrel. Kehadirannya langsung menarik perhatian seluruh orang, terutama Armand, yang tampak terkejut.“Oh, itu kamu, Nona Yurie. Senang bisa bertemu denganmu lagi!” Clara, yang berdiri di samping Armand, menyapa dengan suara ramah.Namun, sapaan Clara tak cukup mengalihkan perhatian Armand yang kini terpaku pada Yurie. Tatapan matanya berubah menjadi genit, sementara senyum ramah yang dibuat-buat tersungging di bibirnya.Siapa gadis cantik ini? Apa dia punya hubungan deng
Setelah Pangeran Ignor menyelesaikan pidatonya dan mendapat tepuk tangan penuh penghormatan, suasana aula kembali menjadi riuh. Namun, ketegangan merayap saat pintu utama aula terbuka sekali lagi.Seorang pemuda berambut cokelat tua memasuki ruangan, mengenakan jubah sederhana berwarna hitam dengan lambang keluarga kekaisaran Ravendel di dadanya. Langkahnya tegap, namun aura yang ia bawa tampak sunyi.Pangeran Lucas Ravendel, putra pertama Kaisar Ravendel, telah tiba.Namun, berbeda dengan sambutan hangat yang diterima Pangeran Ignor, kehadiran Lucas disambut dengan tatapan dingin, senyuman palsu, dan bisikan sinis.“Beraninya anak haram ini muncul di acara sebesar ini?” bisik seorang bangsawan perempuan sambil menutup mulutnya dengan kipas. “Dia tak tahu malu. Pangeran Ignor jelas lebih pantas menjadi putra mahkota.”“Aku heran mengapa Kaisar masih membiarkan dia memakai lambang Ravendel,” sahut seorang pria tua dengan nada menghina.Namun, Lucas berjalan dengan kepala tegak. Tatapan
"Apakah Duke Van Bertrand tak pernah mengajarimu sopan santun, nak?" Sebuah suara lantang penuh arogansi memecah keheningan. Marquis Gareth Bicris, seorang bangsawan paruh baya dengan tubuh tinggi besar dan wajah penuh keangkuhan, melangkah maju. Ia berdiri di sisi Pangeran Ignor, matanya menatap Darrel seolah memandang seorang budak rendah.Darrel tetap tenang, tatapannya tidak bergeming. Namun, di balik ketenangannya, api kecil berkobar dalam dirinya. Ia tahu Marquis Gareth tipe orang yang hanya mengandalkan status dan jabatan untuk menghina orang lain.“Benar!” sahut Armand dengan nada keras, seolah mendapatkan dukungan. Ia melangkah maju, menunjuk Darrel dengan jari gemetar. “Anak muda ini tidak tahu tempatnya. Berlagak sok hebat, tapi hanya memalukan dirinya sendiri!”Beberapa bangsawan tertawa kecil, suara mereka bercampur antara rasa takut dan kepuasan melihat seorang pemuda "rendahan" seperti Darrel dipojokkan.Namun, Darrel hanya tersenyum tipis. Senyumnya bukan karena kesen
Aula pesta yang megah kini telah menjadi arena pertarungan penuh darah dan kehancuran. Undead dengan rupa mengerikan terus bermunculan, menyeret tubuh mereka yang busuk dan menyerang tanpa henti.Suara jeritan manusia bersahut-sahutan dengan raungan monster, menciptakan harmoni kegelapan yang menggetarkan.Namun, di tengah badai kekacauan, Darrel berdiri tenang. Pancaran aura keemasan menyelubungi tubuhnya, membuat undead yang mendekat langsung meleleh menjadi debu.Pandangannya menyapu seluruh ruangan, berusaha menemukan sumber energi gelap yang menjadi dalang dari kekacauan ini.Sudut matanya menangkap gerakan mencurigakan di balik salah satu tiang besar. Darrel memperhatikan dengan seksama, memastikan gerak-gerik sosok bertudung hitam yang terlihat menyembunyikan dirinya di sana. Meskipun wajah sosok itu sebagian besar tertutup, senyum dingin yang melengkung di bibirnya menunjukkan kebencian dan niat jahat."Jadi kaukah dalang di balik semua ini," gumam Darrel, suaranya rendah nam
Lanjutkan cerita di atas dengan alur bab 112 berikut ini, panjang cerita minimal hingga 1100 kata:Pria itu tampak terkejut, namun ia segera menyembunyikannya di balik wajah datarnya yang berpura-pura tampak tegas.Pria yang memimpin para kesatria itu, Smith, tampak terkejut melihat situasi penuh kerusakan di dalam aula istana. Namun, ia segera menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi wajah datar yang berusaha terlihat tegas.“Tampaknya semua sudah ber—” ucap Smith terputus ketika seorang pemuda melangkah keluar dari aula, melewati para kesatria tanpa sedikit pun rasa gentar.Smith, yang merasa tugasnya dipertanyakan, segera berbalik dan berteriak, “Berhenti di sana, anak muda!”Langkah Darrel terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Smith dengan ekspresi santai namun dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang tampak lebih seperti peringatan. “Ada apa, Tuan Kesatria?” tanyanya dingin, nada suaranya datar namun penuh tekanan.Smith melangkah maju dengan dagu terangkat. “Ti
Di kedalaman istana kekaisaran, dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip, suasana penuh ketegangan terasa menyesakkan. Beberapa sosok berdiri di dalam bayang-bayang, sementara satu sosok berlutut di lantai marmer yang dingin.Smith tampak gemetar. Peluh deras mengalir di pelipisnya, perlahan menetes ke lantai. "B-benar, Tuan Pangeran. Pemuda bernama Darrel Van Bertrand itulah yang menghentikan kekacauan yang diciptakan oleh para undead itu," ucapnya dengan nada penuh ketakutan.Pangeran Kedua Kekaisaran Ravencroft, Ignor Ravendel, memukul meja di depannya dengan kemarahan membara. Suara dentuman kayu memenuhi ruangan, membuat semua orang yang ada di sana tersentak."Sialan! Sudah kuduga bocah itu akan menjadi duri dalam rencanaku! Padahal kekacauan itu seharusnya memastikan kematian si anak haram itu!" seru Ignor penuh amarah. Matanya memancarkan kebencian mendalam, seolah membara seperti api neraka.Sosok berjubah hitam yang berdiri di sa
Di kedalaman istana kekaisaran, dalam sebuah ruangan gelap yang hanya diterangi oleh cahaya lilin yang berkedip-kedip, suasana penuh ketegangan terasa menyesakkan. Beberapa sosok berdiri di dalam bayang-bayang, sementara satu sosok berlutut di lantai marmer yang dingin.Smith tampak gemetar. Peluh deras mengalir di pelipisnya, perlahan menetes ke lantai. "B-benar, Tuan Pangeran. Pemuda bernama Darrel Van Bertrand itulah yang menghentikan kekacauan yang diciptakan oleh para undead itu," ucapnya dengan nada penuh ketakutan.Pangeran Kedua Kekaisaran Ravencroft, Ignor Ravendel, memukul meja di depannya dengan kemarahan membara. Suara dentuman kayu memenuhi ruangan, membuat semua orang yang ada di sana tersentak."Sialan! Sudah kuduga bocah itu akan menjadi duri dalam rencanaku! Padahal kekacauan itu seharusnya memastikan kematian si anak haram itu!" seru Ignor penuh amarah. Matanya memancarkan kebencian mendalam, seolah membara seperti api neraka.Sosok berjubah hitam yang berdiri di sa
Lanjutkan cerita di atas dengan alur bab 112 berikut ini, panjang cerita minimal hingga 1100 kata:Pria itu tampak terkejut, namun ia segera menyembunyikannya di balik wajah datarnya yang berpura-pura tampak tegas.Pria yang memimpin para kesatria itu, Smith, tampak terkejut melihat situasi penuh kerusakan di dalam aula istana. Namun, ia segera menyembunyikan keterkejutannya di balik ekspresi wajah datar yang berusaha terlihat tegas.“Tampaknya semua sudah ber—” ucap Smith terputus ketika seorang pemuda melangkah keluar dari aula, melewati para kesatria tanpa sedikit pun rasa gentar.Smith, yang merasa tugasnya dipertanyakan, segera berbalik dan berteriak, “Berhenti di sana, anak muda!”Langkah Darrel terhenti. Ia menoleh perlahan, menatap Smith dengan ekspresi santai namun dingin. Bibirnya menyunggingkan senyum tipis yang tampak lebih seperti peringatan. “Ada apa, Tuan Kesatria?” tanyanya dingin, nada suaranya datar namun penuh tekanan.Smith melangkah maju dengan dagu terangkat. “Ti
Aula pesta yang megah kini telah menjadi arena pertarungan penuh darah dan kehancuran. Undead dengan rupa mengerikan terus bermunculan, menyeret tubuh mereka yang busuk dan menyerang tanpa henti.Suara jeritan manusia bersahut-sahutan dengan raungan monster, menciptakan harmoni kegelapan yang menggetarkan.Namun, di tengah badai kekacauan, Darrel berdiri tenang. Pancaran aura keemasan menyelubungi tubuhnya, membuat undead yang mendekat langsung meleleh menjadi debu.Pandangannya menyapu seluruh ruangan, berusaha menemukan sumber energi gelap yang menjadi dalang dari kekacauan ini.Sudut matanya menangkap gerakan mencurigakan di balik salah satu tiang besar. Darrel memperhatikan dengan seksama, memastikan gerak-gerik sosok bertudung hitam yang terlihat menyembunyikan dirinya di sana. Meskipun wajah sosok itu sebagian besar tertutup, senyum dingin yang melengkung di bibirnya menunjukkan kebencian dan niat jahat."Jadi kaukah dalang di balik semua ini," gumam Darrel, suaranya rendah nam
"Apakah Duke Van Bertrand tak pernah mengajarimu sopan santun, nak?" Sebuah suara lantang penuh arogansi memecah keheningan. Marquis Gareth Bicris, seorang bangsawan paruh baya dengan tubuh tinggi besar dan wajah penuh keangkuhan, melangkah maju. Ia berdiri di sisi Pangeran Ignor, matanya menatap Darrel seolah memandang seorang budak rendah.Darrel tetap tenang, tatapannya tidak bergeming. Namun, di balik ketenangannya, api kecil berkobar dalam dirinya. Ia tahu Marquis Gareth tipe orang yang hanya mengandalkan status dan jabatan untuk menghina orang lain.“Benar!” sahut Armand dengan nada keras, seolah mendapatkan dukungan. Ia melangkah maju, menunjuk Darrel dengan jari gemetar. “Anak muda ini tidak tahu tempatnya. Berlagak sok hebat, tapi hanya memalukan dirinya sendiri!”Beberapa bangsawan tertawa kecil, suara mereka bercampur antara rasa takut dan kepuasan melihat seorang pemuda "rendahan" seperti Darrel dipojokkan.Namun, Darrel hanya tersenyum tipis. Senyumnya bukan karena kesen
Setelah Pangeran Ignor menyelesaikan pidatonya dan mendapat tepuk tangan penuh penghormatan, suasana aula kembali menjadi riuh. Namun, ketegangan merayap saat pintu utama aula terbuka sekali lagi.Seorang pemuda berambut cokelat tua memasuki ruangan, mengenakan jubah sederhana berwarna hitam dengan lambang keluarga kekaisaran Ravendel di dadanya. Langkahnya tegap, namun aura yang ia bawa tampak sunyi.Pangeran Lucas Ravendel, putra pertama Kaisar Ravendel, telah tiba.Namun, berbeda dengan sambutan hangat yang diterima Pangeran Ignor, kehadiran Lucas disambut dengan tatapan dingin, senyuman palsu, dan bisikan sinis.“Beraninya anak haram ini muncul di acara sebesar ini?” bisik seorang bangsawan perempuan sambil menutup mulutnya dengan kipas. “Dia tak tahu malu. Pangeran Ignor jelas lebih pantas menjadi putra mahkota.”“Aku heran mengapa Kaisar masih membiarkan dia memakai lambang Ravendel,” sahut seorang pria tua dengan nada menghina.Namun, Lucas berjalan dengan kepala tegak. Tatapan
Saat suasana mulai tegang, Darrel tetap tenang di kursinya. Gelas anggur di tangannya berkilau diterpa cahaya lilin, sementara ia menikmati pemandangan aula tanpa terganggu oleh suara berisik Armand, pemuda yang terus berusaha menarik perhatian dengan cara murahan.Namun, ketenangan itu segera pecah oleh kedatangan seorang gadis berambut hitam panjang yang melangkah anggun menuju tempat mereka.Yurie Lionheart, dengan wajah cantik yang tak tertandingi dan tatapan dingin yang menusuk, menghentikan langkahnya di dekat Darrel. Kehadirannya langsung menarik perhatian seluruh orang, terutama Armand, yang tampak terkejut.“Oh, itu kamu, Nona Yurie. Senang bisa bertemu denganmu lagi!” Clara, yang berdiri di samping Armand, menyapa dengan suara ramah.Namun, sapaan Clara tak cukup mengalihkan perhatian Armand yang kini terpaku pada Yurie. Tatapan matanya berubah menjadi genit, sementara senyum ramah yang dibuat-buat tersungging di bibirnya.Siapa gadis cantik ini? Apa dia punya hubungan deng
Perjalanan panjang yang ditempuh Darrel dan rombongannya akhirnya mencapai tujuan. Kekaisaran Ravencroft menyambut mereka dengan segala kemegahannya. Senja menorehkan garis keemasan di tembok-tembok kokoh kota, menciptakan suasana yang mendebarkan hati.Istana Kekaisaran menjulang megah di tengah ibu kota, seperti simbol mutlak kekuatan yang tak tergoyahkan. Gerbang utama yang dihiasi ukiran pedang dan perisai terbuka perlahan, menyambut para tamu penting yang datang dari berbagai penjuru negeri.Kereta Darrel berhenti di halaman istana. Deretan prajurit kekaisaran berseragam biru gelap berjajar di kedua sisi, menyambut rombongan dengan penghormatan penuh wibawa. Darrel turun dari kereta dengan langkah tenang, mengenakan pakaian resmi berwarna hitam dengan bordir emas. Lambang keluarga Van Bertrand, kepala naga dengan pedang melintasi rahangnya, terpampang jelas di dadanya.“Selamat datang di istana Kekaisaran Ravencroft, Tuan Duke Van Bertrand,” seorang pelayan menyambut dengan s
Setelah kejadian di tempat latihan sehari yang lalu, kini komdisi di kediaman Duke Van Bertrand kembali seperti semula...Suasana di dalam ruang tamu yang besar itu dipenuhi ketegangan yang tak terlihat. Lampu gantung kristal yang berkilauan memantulkan bayangan samar di dinding, seolah menjadi saksi bisu percakapan penting yang akan memengaruhi masa depan dua keluarga besar.Duke Davin duduk dengan tenang di kursinya, wajahnya menunjukkan ketegasan. Tatapan matanya yang tajam mengarah pada Darrel dan Yurie yang duduk berdampingan di hadapan meja panjang. Suaranya terdengar tegas, penuh wibawa, namun tetap mempertimbangkan kepentingan semua pihak.“Kita seharusnya menyerahkan masalah ini kepada anak-anak kita. Meskipun pertunangan ini telah dijalin sejak mereka kecil, kita harus mendengarkan pendapat mereka terlebih dahulu,” ujar Duke Davin sambil melirik Melwyn, sahabat sekaligus pemimpin keluarga Lionheart.Duke Melwyn, yang duduk di sisi lain meja, menghela napas panjang. Ia menat
Kerumunan di sekitar lapangan latihan semakin ramai. Bisik-bisik dan antisipasi memenuhi udara saat dua pemuda bangsawan berdiri saling berhadapan, dikelilingi aura persaingan yang intens. Para pelayan, prajurit, bahkan tamu dari keluarga Lionheart menahan napas, menanti siapa yang akan keluar sebagai pemenang.Duke Melwyn, yang duduk di podium kehormatan bersama Duke Davin, menghela napas panjang sambil menggelengkan kepala. “Haa, anak itu. Dia selalu seperti ini kemanapun dia pergi,” katanya, nada suaranya campur aduk antara lelah dan sedikit malu.Namun, Duke Davin hanya tertawa kecil, menyambut ucapan sahabat lamanya dengan ringan. “Anak muda zaman sekarang memang dipenuhi semangat yang membara, bukankah ini hal yang biasa, Tuan Melwyn?”“Tetap saja, aku khawatir ini akan merepotkan…” Duke Melwyn tampak cemas, meski sedikit lega mendengar tanggapan sahabatnya.Duke Davin menepuk bahu Melwyn dengan lembut. “Tenang saja. Ini hanya urusan kecil antara anak muda. Tidak mungkin hubun