Tuan Mandala membuka kaca matanya lalu menatap cucunya lekat-lekat. "Kau mengetahui penyakitku?"
"Ku rasa Tuan Mandala cukup populer di lingkungan perusahaan sehingga banyak karyawan yang bergosip tentang Anda. Aku mengetahuinya dari mereka."Tuan Mandala menghela napas. "Lalu untuk apa uang yang akan kau minta? Apa untuk membelikan ibumu rumah?" tebak Tuan Mandala.Radit memicingkan matanya. "Ini sama sekali tidak ada hubungannya dengan ibuku. Beliau bahkan tidak sudi menerima apapun dari Keluarga Cakranomoto. Lagi pula, ini bukan urusan Anda. Anda cukup membayar dari apa yang sudah aku berikan," ucap Radir dengan dingin."Aku tidak membutuhkan sumsum tulang belakang. Kau mendengar gosip yang salah. Sebenarnya di dalam kartu hitam yang kamu miliki, ada banyak uang dengan jumlah yang lebih dari itu. Kau bisa mempergunakannya karena itu sudah menjadi milikmu.""Kartu hitam? Ah, aku bahkan lupa jika memiliki itu," batin Radit.RadiBibi Clara langsung menghubungi Radit. Ia menemukan ibunya Radit jatuh pingsan. Di tangannya ada kertas berisikan tulisan ancaman dengan tinta merah menyala. Rupanya benar, bunyi yang ia dengar adalah suara jendela dapurnya yang dilempar batu oleh seseorang. Kemungkinan kertas yang di tangan Nyonya Yessi adalah pembungkusnya.Radit yang belum jauh dari lokasi rumah Bibi Clara langsung memutar balik. Ia sangat mengkhawatirkan ibunya.****"PERGI ATAU MATI"Kalimat singkat bernada ancaman membuat malam itu mencekam. Nyonya Yessi yang siuman, hanya diam tak berkata apapun. Ia melamun seperti memikirkan banyak hal. Sementara Bibi Clara menangis. Wanita paruh baya itu ketakutan. Radit langsung menghubungi polisi untuk segera memeriksa di sekitar lokasi. Sayangnya, polisi tidak menemukan petunjuk apapun di lokasi. Tidak ada polisi yang dikerahkan untuk berjaga karena mereka menduga itu hanya kerjaan orang iseng belaka.Radit pun akhirnya diam-diam menghubungi Tuan Brando untuk meminta ban
Usai puas mengerjai ibu mertuanya, Radit dengan senyam-senyum dan terkekeh masuk ke kamar. Baru saja menutup pintu mendadak Lucy sudah berada di hadapannya."Eeeh ...." Radit terkejut."Ada apa dengan dirimu, kok basah kuyup?"Radit menggaruk ujung pelipisnya dengan telunjuk. "Sepertinya ibumu pagi ini salah siram. Dia pikir aku tanaman di kebun belakang," jawab Radit sambil menyengir."Masih pagi, sudah ribut sama ibuku. Nggak bosan apa?!" komentar Lucy sembari membuka lemari dan mengambilkan Radit baju.Radit membuka lebar matanya. "Eh, tunggu dulu! Tanganmu ... tanganmu bisa bergerak dengan baik?" Radit buru-buru menghampiri istrinya, lalu berjongkok dan memegang tangan kanan istrinya yang sempat tidak berfungsi alias lumpuh."Ssssttt ... jangan berisik! Ini rahasia diantara kita!" Lucy menepis tangan Radit. Lalu menyodorkan baju untuk suaminya."Sejak kapan kamu merahasiakan soal kesembuhanmu ini?" Masih saja Radit dengan tatapan menyelidik mencoba bertanya dengan istrinya.Lucy m
Radit dan Tuan Kasim sudah tiba di bank. Tuan Kasim mengeluarkan ponselnya lalu menekan nomor panggilan darurat kepolisian."Apa yang Anda lakukan?" tanya Radit."Menurutmu apa? Aku tidak mau membuang waktuku, aku akan menghubungi polisi. Kamu salah menantangku, anak muda!""Hahaha! Jangan terburu-buru. Hei, Pak Tua apa kau tahu jika polisi di kota ini sangat sibuk. Mereka akan sangat marah jika kau mengganggu mereka. Bisa-bisa kau sendiri yang akan ditangkap," balas Radit sambil keluar dari dalam mobil.Tuan Kasim mencoba melampiaskan rasa kesalnya. Ia memukul setiran mobil. "Brengsek!" umpatnya.Keduanya pun masuk ke dalam bank central di kota A. Pembisnis sekelas Tuan Kasim cukup populer, semua orang menyapanya dengan ramah dan melempar senyuman."Selamat datang, Tuan Kasim Bratavia. Apa yang bisa kami bantu kali ini?" tanya seorang teller dengan ramah.Tuan Kasim melemparkan senyumnya, ia mencoba menyembunyikan kekesalannya dengan Radit. Ia tak sabar untuk mempermalukan pemuda itu
Radit menuju rumah Bibi Clara. Dia sudah berjanji kepada Lucy untuk menjemput ibunya dan membawanya ke kediaman Tuan Rudy."Kau yakin tidak akan menjadi masalah dengan mertuamu?" tanya Nyonya Yessi disela-sela ia merapikan pakaiannya ke koper."Istriku yang memintaku membawa ibu. Dia punya cara untuk membujuk kedua orang tuanya."Nyonya Yessi tersenyum tipis. "Tadinya aku pikir, wanita itu tidak mencintaimu. Ternyata dia peduli kepada ibumu.""Peduli belum tentu cinta, Bu. Ku akui, Lucy memang memiliki hati yang baik," tandas Radit.Setelah selesai berkemas, Radit dan ibunya berpamitan dengan Bibi Clara. Bibi Clara sendiri sedang menunggu jemputan dari anaknya."Kita berpisah di sini. Aku harap semua membaik dan kita bisa tinggal bersama kembali," ucap Bibi Clara sedih sembari memeluk Nyonya Yessi."Kau sudah ku anggap seperti saudara kandungku. Jika aku sudah memiliki tempat tinggal, kau boleh berkunjung. Sesekali aku butuh teman mengobrol seperti biasa yang kita lakukan," sahut Nyon
Radit mendorong kursi roda milik istrinya, perlahan mereka bertiga keluar dari pintu gerbang kediaman Tuan Rudy. "Maaf, karena ibu akhirnya kalian harus begini," sesal Nyonya Yessi."Tidak apa-apa, Bu. Kita akan mencari rumah sewaan sederhana untuk kita tinggali. Aku masih ada sedikit uang tabungan untuk kita," ucap Lucy mencoba menenangkan."Nak, kamu sungguh berhati baik. Radit beruntung menikahi wanita seperti kamu," puji Nyonya Yessi sembari mengusap air matanya yang sempat berlinang membasahi sudut-sudut matanya yang mulai berkeriput.Lucy tersenyum. Entah mengapa hatinya menjadi berbunga-bunga mendengar pujian dari ibu mertuanya."Kalian jangan khawatir. Aku akan bertanggung jawab. Ayo kita pergi ke kantor pemasaran properti," ucap Radit.Lucy menoleh ke suaminya. "Kamu punya uang?""Punya. Jangan khawatir," ucap Radit penuh percaya diri.Baginya, tidak jadi masalah lagi membeli rumah untuk mereka tempati selama ia memiliki kartu hitam pemberian sang kakek."Dit, jangan bilang
"Ti–tidak mungkin jika Anda yang membeli rumah ini," bantahnya."Kenapa tidak? Apa Anda terkejut, Nona?" Radit tertawa sinis. Tak lama Tuan Brando muncul."Anda pasti bawahan Tuan Brando. Orang seperti kalian mana bisa membeli rumah mewah." Masih saja gadis itu menghina Radit. Ia tak percaya jika Radit sungguhan orang kaya raya. "Tuan muda, apakah wanita ini yang mempersulit Anda di gedung pemasaran?" tanya Tuan Brando."Ya. Dia orangnya. Bahkan sampai sekarang pun dia terlalu angkuh untuk menghina orang lain. Berikan dia pelajaran!" jawab Radit dengan wajah dingin."Tu–tunggu du–dulu! Tuan Brando, apakah dia bos Anda?" Gadis muda itu tergagap. Wajahnya memerah. Ia mulai cemas."Nona, sepertinya Anda sudah membuat kesalahan besar yang menyinggung Tuan muda saya. Saya harap Anda bisa segera menyingkir dari hadapan kami dan berkemas-kemas. Saya akan meminta bos Anda untuk memecat karyawan seperti Anda!" jelas Tuan Brando.Gadis muda itu langsung berlutut tanpa diminta. "Tuan, tolong ja
"Tidak mungkin ayah menulis wasiat seperti itu!" tentang Tuan Rudy."Kak Rudy menuduh pengacara berbohong? Ayah menulis itu, artinya ayah memang sudah tidak respek dengan keluarga Kak Rudy," sela Bibi Bella. "Tapi, ayah mertua selama ini sangat peduli dengan Lucy. Tidak mungkin, dia tidak meninggalkan sesuatu untuk putriku," lirih Nyonya Winey."Kita semua tahu jika Lucy sudah mengecewakan ayah. Bahkan, suaminya penyebab kematian ayah!" seru Bibi Shopia tak mau kalah. Bukan hanya Bibi Shopia dan Bibi Bella yang bersuara lantang di sana. Anggota keluarga lainnya pun kompak memojokkan dan memusuhi keluarga Tuan Rudy."Kak Rudy juga harus segera mengosongkan rumah yang kalian tempati. Rumah itu akan dilelang untuk membayar hutang ayah yang belum terlunasi," ucap Bibi Shopia."Suamiku, bagaimana ini? Ayahmu yang menikahkan putri kita dengan pemuda miskin itu. Sekarang saat dia meninggal pun, dia tak memiliki hati untuk memberikan s
Radit menaikkan kaca mobilnya kembali. Ia menatap lurus ke depan."Bagaimana dengan ayah mertuaku? Apakah dia sudah di depak dari jabatan direkturnya?" tanya Radit kepada Tuan Brando."Menurut informasi, pekan depan akan ada pergantian. Tuan Leonard akan menggantikan posisi ayah mertua Anda. Tuan Rudy akan menduduki posisi jabatan barunya sebagai kepala SDM.""Leonard? Hm, ternyata putra Bibi Shopia yang mengincar posisi itu," desis Radit."Apakah Tuan muda tidak membantu Tuan Rudy juga? Perusahaan TJ Grup milik mereka masuk ke dalam bursa di perusahaan kita. Mereka salah satu penyalur bahan baku kain untuk perusahaan Pionir Grup.""Aku ingin bermain-main dulu dengan mereka semua. Biarkan saja mengalir apa adanya, tanpa kita ganggu. Biarkan senjata ini menjadi bom waktu untuk mereka yang selama ini menyepelekan keberadaanku," sahut Radit dingin.Mobilpun melaju meninggalkan lokasi rumah Tuan Rudy. Tanpa belas kasih, Radit tak berniat membantu mertuanya sama sekali.Hingga dirinya tiba
"Ya. Pria tua bangka ini sudah ada di hadapan kami. Sekarang apa tugas lanjutan untuk kami?""Jangan sentuh pria itu sebelum aku datang. Aku sudah tidak sabar bertemu teman lamaku itu. Hahaha!" tawa pria itu dengan renyah.Panggilan berakhir. Rudy bisa mendengar suara yang diloudspeaker oleh ketiga pria di hadapannya itu. Ia mencoba mengenali suara pria yang mengaku teman lamanya. Sayangnya, pikiran yang kacau dan rasa khawatir berlebihan membuatnya tidak bisa mengingat."Siapa dia? Kenapa harus menculikku segala!" batin Tuan Rudy.****Radit menyerah. Setengah harian ia berkeliling mencari ayah mertuanya tapi tak juga ia temukan. Nomor ponsel Tuan Rudy pun masih tidak aktif.Radit memutuskan menghubungi Tuan Brando untuk meminta bantuan. Ia mulai mencurigai ayah kandungnya yang mungkin saja bertindak untuk mengancam Radit."Ayah mertuaku menghilang. Kami berpisah saat di kantor polisi siang tadi. Hingga petang aku tidak menemukannya di manapun. Setiap sudut kota sudah aku cari namun
"Sudah! Sudah! Ini rumah sakit. Kenapa kalian berdua harus berisik," tegur Tuan Husen."Maafkan aku, Yah. Aku hanya bingung saja kenapa di tempat yang harusnya steril justru ada kotoran di sini," hina Harris.Radit menaikkan alisnya. Ia melangkah maju mendekati Harris. "Sebenarnya ucapanmu benar-benar menyinggungku. Hanya saja, aku menghargai Kakek Mandala yang terbaring lemah di sana. Aku tidak ingin membuat keributan. Lebih baik aku pergi."Baru Radit akan berlalu, dengan cepat tangan Harris meraih lengan Radit. Pria itu menatap Radit dengan tajam."Kakek Mandala? Sejak kapan kamu berani selancang itu memanggil presdir dengan sebutan kakek?" Radit tak menjawab. Ia membungkam mulutnya. Ia hanya tersenyum mengejek. Lalu mencoba melepaskan dirinya dari genggaman tangan Harris yang sangat erat memeganginya."Harris! Biarkan dia pergi," perintah Tuan Husen."Tapi, Yah ...."Harris merasa setengah hati ingin melawan perintah ayahnya. Ia terheran-heran dengan sikap ayahnya yang terlihat m
Radit menganggukkan kepalanya lalu meminta sang ayah mertua untuk duduk sebentar menunggunya."Ayah mertua, duduk dulu di sini. Kau perlu menenangkan dirimu juga. Aku mau bicara empat mata dengan pengacara kita."Nona Jessica menggiring Radit ke pojok ruangan di kantor polisi."Ada apa, Nona Jessica? Apa ada permasalahan?"Nona Jessica mendesah pelan. "Tuan muda, saya rasa ini kasus hanya jebakan. Secara spesifik antara Tuan Rudy dengan para pelaku tidak ada keterikatan atau saling kenal. Ini hanya fitnahan saja.""Syukurlah. Berarti ayah mertua saya bisa segera bebas kan?"Nona Jessica menggeleng pelan. "Sayangnya, meski menurut Tuan Rudy dia tidak mengenal semuanya. Pelaku lainnya justru mengakui jika sudah dua kali Tuan Rudy menerima uang dari mereka ke rekeningnya. Hal ini harus segera kita telusuri lebih lanjut. Jika pengakuan itu benar. Tuan Rudy akan sulit menyangkal lagi.""Tunggu dulu, sepengetahuanku ayah mertuaku memang telah meminjam dana di bank untuk membangun perusahaa
Mendapat pesan bernada ancaman Radit mencoba mengabaikannya. Ia sudah tahu itu resiko yang harus ia ambil."Dia tahu aku akan menemui kakek, itu artinya siapapun dia, aku sedang diintai," lirih Radit. Raditpun tetap bersiap-siap. Ia sangat tertarik dengan orang dibalik pesan ancaman itu. "Mari kita lihat, kira-kira apa ini ancaman saja untuk menggertakku? Dia pikir seorang Raditya Cakranomoto akan takut? Hmmm ...."Usai bersiap, Radit turun ke ruang meja makan. Di sana sudah nampak Tuan Rudy tengah asyik berteleponan."Ayah mertua, aku pergi duluan!" kode Radit berpamitan.Tuan Rudy yang tengah asyik menelepon hanya menganggukkan kepada sembari tangannya mengusir Radit untuk pergi.Radit pun melewati waktu sarapannya bersama sang ayah mertua. Ia terlihat buru-buru karena akan dijemput oleh Tuan Brando.Benar saja, saat keluar pintu pagar rumah, sebuah mobil rolls royce datang menghampirinya."Selamat pagi, Tuan muda." Kaca jendela terbuka, Tuan Brando menyapa Radit.Mobil berhenti,
"... aku masih berharap jika Anda ada di pihakku, bukan berada di dua penjuru," lanjut Radit."Tentu saya berada di pihak Anda, Tuan muda. Saya tahu selama ini Anda mendapatkan ketidakadilan atas masalah ini. Seseorang yang bersalah, harus mendapatkan ganjarannya sekalipun dia adalah Tuan Harris."Radit memandang jauh tatapannya. "Apakah itu benar?""Anda boleh meragukan saya karena saya menyembunyikan hal ini dari Anda. Saya hanya khwatir keselamatan Anda, Tuan muda. Biarkan saya yang bekerja untuk membalas. Lagipula, salah satu pembalasannya sudah saya jalankan," aku Tuan Brando lagi.Radit menyipitkan matanya. "Apa maksudmu?""Saya diam-diam membobol data akun bank milik Tuan muda Harris. Bukan perkara sulit mencari hacker yang mau membantu saya untuk mengambil uang sebesar dua ratus juta dari rekening Tuan Harris. Saya rasa, Tuan Harris perlu bertanggung jawab atas pengobatan korbanmya, Nyonya Lucy.""Apa katamu? Jadi uang itu ...."Tuan Brando mengangguk. Radit diam sesaat. Ia m
Usai puas berkeliling Radit membawa Lucy pulang. Rupanya Lucy kelelahan sampai tertidur di mobil. Radit pun menggendong istrinya dari mobil menuju kamar tidur mereka."Bagaimana sudah bertemu ibumu?" tanya Tuan Rudy saat melihat Radit masuk membawa putrinya.Radit menggeleng. "Belum.""Kemana kira-kira ibumu pergi. Apakah masih tidak bisa dihubungi?" Radit menggeleng sekali lagi. "Ponselnya masih belum diaktifkan.""Duh, ini semua pasti sudah kelewatan batas makanya Nyonya Yessi seperti ini. Aku minta maaf atas nama istriku," ucap Tuan Rudy bersungguh-sungguh seperti orang menyesal.Radit mengangguk. "Iya. Aku akan mencari ibuku lagi setelah menaruh Lucy di kamar. Dia kelelahan, kasihan."Tuan Rudy lalu membiarkan menantunya lewat. Radit diam-diam merasa sedikit tersanjung atas sikap ayah mertuanya yang masih memedulikan ibunya.****Radit segera menuju hotel di tempat Tuan Brando mengirim ibunya. Hotel megah itu harusnya memiliki banyak tamu di saat weekend begini, nyatanya hotel it
Keesokan harinya, Lucy menyampaikan keputusannya untuk berangkat ke luar negeri kepada Tuan Rudy dan Nyonya Winey usai mereka sarapan pagi. Kedua orang tua Lucy sangat bahagia mendengar keberuntungan putri mereka. Tak lama lagi, Lucy akan berjalan dan kembali seperti semula. Karir sang putri pun terlihat mulai bersinar."Jadi, kamu akan pergi sendiri? Aku akan menemanimu di sana, bagaimana?" tawar Nyonya Winey. Ya, kapan lagi wanita tua itu bisa jalan-jalan ke luar negeri. Ini adalah kesempatan emas untuknya."Ibu mertua jangan khawatir. Aku akan ikut serta bersama Lucy." Buru-buru Radit menjawab, ia memupuskan harapan ibu mertuanya."Kamu? Loh kamu kan bekerja magang di Pionir. Mana bisa seenaknya izin," sergah Nyonya Winey."Iya, Dit. Kamu kan bukan anak dari yang punya perusahaan. Kamu pikir, bisa seenaknya berlibur?" sindir Tuan Rudy, ikut-ikutan membully Radit.Lucy menjadi tak enak melihat suaminya dipojokkan. Ia memegang punggung tangan Radit. "Aku tahu kamu juga mengkhawatirk
Radit memperhatikan Lucy yang kelihatan bersemangat kembali usai perbincangan mereka. Radit bersyukur, akhirnya sang istri mau melakukan operasi dan pengobatan kakinya. Radit kemudian pergi ke kamar ibunya, Nyonya Yessi. Ia cukup terkejut melihat kamar ibunya sepi tak berpenghuni. Tak biasanya sang ibu pergi tanpa memberitahu apapun kepadanya. Firasat Radit tak enak. Buru-buru dia membuka lemari, dan benar saja, tak ada satu pakaianpun tersisa di sana. Semua kosong."Kemana perginya ibuku?" batin Radit. Dengan gusar, ia mencoba berulang kali menghubungi sang ibunda. Tapi hasilnya nihil. Nomor Nyonya Yessi tidak aktif. Radit langsung bergegas mencari jawaban atas pertanyaannya kepada Nyonya Winey. Wanita itu harusnya tau kemana ibunya sebab mereka tinggal berdua di rumah itu saat semua orang sibuk bekerja."Ada apa?" tanya Nyonya Winey dengan wajah malas saat membuka pintu kamarnya yang diketuk Radit."Ibu, maaf aku mengganggu waktu istirahatmu. Aku hanya ingin bertanya, apakah ibu t
"Maaf, aku di sini tidak memiliki jabatan apapun. Jadi percuma saja Anda bersujud di hadapanku," ucap Radit.Tuan Jacob menyadari kebodohannya. Ia berhenti bersujud."Sudahlah, Jacob. Berhenti berakting seolah kau menyesali perbuatanmu. Kali ini kamu akan ku loloskan. Aku tidak akan memecatmu," ucap Tuan Husen.Jacob merasa senang."Be-benarkah itu, kakak ipar?""Berhenti memanggilku begitu di kantor. Bersikaplah profesional. Panggil aku Pak Direktur!" tegur Tuan Husen kembali.Tuan Jacob menundukkan kepalanya sambil mengucap kata maaf untuk kesekian kalinya lagi."Aku dan tuan presdir bersepakat tidak akan memecatmu. Hanya kami akan memutasimu untuk pindah ke anak perusahaan.""Tapi ....""Ini surat keputasan pindah tugasnya. Kamu bisa tanda tangani dokumen ini," ucap Tuan Husen kembali.Tuan Jacob tidak bisa menentang. Dipindahkan lebih baik daripada dipecat. Ia tidak mau karirnya berhenti begitu saja. Dia menatap Radit penuh kebencian. Kemunculan anak tiri kakaknya itu membuat diri