“Hemmm, benar juga. Jika tidak begitu pasti bulan ini kita tak menerima apa-apa dari warga Desa Telaga yang baru saja terkena banjir,” pria berpakaian hijau yang tidak lain adalah Lenggo Lumut itu setuju dengan usulan Ratu Lentik.Padepokan Lumut sejak berdiri dan berhasil menguasai beberapa desa di kawasan itu termasuk Desa Telaga cukup berkembang, terlihat dengan bertambahnya anggota yang bergabung ke padepokan itu. Dengan upeti-upeti yang mereka peroleh dari warga desa-desa, mereka dapat membangun Padepokan Lumut lebih besar dan hidup senang.Karena itu pulalah Lenggo Lumut dan seluruh anggota Padepokan Lumut tidak akan pernah membiarkan satupun desa di kawasan itu lepaskan dari kekuasaan mereka, sementara seluruh warga desa-desa yang mereka kuasai sebenarnya merasa tertekan namun tak dapat berbuat banyak karena Lenggo Lumut dan seluruh anggota padepokan sangat kejam tak mengenal ampun bagi siapa saja dari mereka yang tak patuh.Sudah beberapa warga di desa-desa itu yang mendapatka
“Ah, Mas Arya ini ada-ada saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan ke Desa Tandur,” Arya hanya mengangguk lalu kembali melangkah.Menjelang sore mereka berdua telah tiba di Desa Tandur tepatnya di rumah mendiang kedua orang tua Mantili, melihat rumah itu di bagian luar sudah banyak terdapat jaringan laba-laba dan terlihat kumuh tak terurus serta halaman rumah itu penuh sampah dedaunan yang berserakan, Mantili memutuskan untuk membersihkannya terlebih dahulu.Setelah bagian luar bersih dia dan Arya masuk ke dalam rumah, di dalam juga banyak sekali jaringan laba-laba yang berseliuran serta debu-dubu menempel di meja, kursi, lemari dan barang-barang lainnya.Arya ikut membantu membersihkan bagian dalam rumah Mantili dengan terlebih dahulu membuka seluruh jendela dan pintu dari rumah itu, agar udara segar masuk dan debu-debu yang dibersihkan bisa bertebangan ke luar.“Melihat dari keadaan rumahnya ini, sepertinya sudah bertahun-tahun tidak pernah kamu kunjungi. Benarkah begitu Mantili?” tanya
Langit pagi itu tampak cerah, nyaris tak terlihat setitik awan pun yang menutupi kebiruan langit di sebuah kawasan pantai. Para nelayan tengah asyik-asyiknya menangkap ikan di tengah lautan, tiba-tiba saja terdengar suara bergemuruh disertai munculnya gumpalan angin puting beliung yang diiringi kilatan petir.Para nelayan yang tadi tengah asyik melaut menangkap ikan terlihat panik, begitu pula dengan para penduduk yang berada di sekitaran pantai itu mereka berhamburan ke luar rumah. Pusaran angin itu seperti menyedot air laut yang dilewatinya, Anehnya meskipun pusaran angin itu sempat melewati permukaan lautan, namun tak ada sedikitpun berdampak membuat lautan itu meluap seperti munculnya gelombang tinggi.Permukaan laut tetap tenang, hanya di bagian yang dilewati pusaran angin puting beliung itu saja yang menimbulkan riak dan gelombang-gelombang kecil. Di dalam pusaran angin puting beliung itu bukannya air laut yang tersedot dari bawah naik ke atas, melainkan sosok pemuda berpakaian
Pendekar Rajawali Dari Andalas itu membayangkan betapa menderitanya para warga desa di seluruh kawasan Pulau Dewata itu atas kekejaman Kerajaan Dharma yang dipimpin oleh Saka Galuh, dan memang perlakuan tidak manusiawi yang kerap diterima oleh para warga yang terlambat membayar upeti apalagi tidak dapat membayarnya sama sekali dalam bulan tertentu.Para prajurit utusan Kerajaan bukan hanya akan mengambil paksa persediaan makanan berupa padi dan beras di rumah warga yang tidak mampu membayar upeti pada bulan itu, mereka juga akan mendapat penyiksaan terlebih jika warga itu berusaha menghalang-halangi para prajurit dalam melakukan tindakan pemaksaan itu.Karena membayangkan betapa menderitanya para warga di bawah kepemimpinan Saka Galuh yang merupakan raja sebuah Kerajaan besar, sedangkan seorang Adipati yang pernah ia temui dulu di Tanah Minang saja yang hanya seorang Adipati dapat membuat warga desa semenderita begitu apalagi seorang raja yang kejam seperti Saka Galuh itu.“Keparat..!
“Hemmm, berarti otak semua itu adalah Ibunda Saka Galuh. Putranya itu hanya sebagai alat saja untuk menduduki tahta Kerajaan sementara semuanya dikendalikan olehnya,” ujar Arya memberi pandangan.“Benar Arya, aku juga sependapat denganmu. Dwinta memang kejam wanita berhati iblis!” Wayan Bima turut geram.“Oh, jadi nama Ibunda Saka Galuh itu Dwinta?” Wayan Bima hanya menjawab dengan anggukan kepalanya sementara rasa geramnya belum reda pada Ibu tiri dari Sekar itu.“Dia memang kejam Mas Arya, semasa remajaku di belakang Ayahanda aku kerap diperlakukan tidak baik bahkan pernah diperintah untuk melakukan apa yang dikerjakan oleh para pembantu di istana,” Sekar menceritakan keluh-kesahnya saat diperlakukan rendah oleh Ibu tirinya itu sewaktu di istana.“Kamu tak pernah menceritakan itu pada Ayahandamu?”“Aku takut Mas, karena selalu diancam akan disakiti.”“Paman Wayan dan Bi Lasmi tahu akan hal itu?” Arya alihkan pertanyaan pada Paman dan Bibi angkat Sekar.“Awalnya kami tidak tahu, Arya
“Ya, sebagai seorang putra mahkota sudah selayaknya pula kamu memiliki ilmu silat yang jauh lebih tinggi dari para prajurit dan bahkan Panglima Kerajaan. Berangkatlah besok pagi, kamu akan di antar oleh beberapa orang prajurit istana yang pernah Ayahanda bawa serta dulu ke sana,” pinta Sang Prabu memberi perintah.Saka Galuh sebenarnya sama sekali tidak berminat dengan usulan Ayahandanya itu, namun ia tak berani menolak perintah meskipun kesehariannya seorang Saka Galuh selalu membangkang perintah di belakang Sang Prabu.Pagi itu Saka Galuh memang terlihat bersiap seperti seorang yang akan berpergian jauh, tentu saja Sang Prabu senang karena putranya itu menjalani perintahnya dan akan menjadi seorang pemuda yang memiliki keahlian silat.Akan tetapi harapan Sang Prabu itu tidak sesuai dengan yang sebenarnya terjadi, saat Saka Galuh dan beberapa orang prajurit istana berlayar dengan perahu ke Pulau Madura. Putra mahkotanya itu memilih menuju Pulau Jawa, ia sengaja berada di Pulau Jawa i
“Benar, jika dibiarkan bukan tidak mungkin makin lama rakyat akan semakin menderita.”“Sepertinya malam telah kian larut Arya, sebaiknya kita sekarang istirahat. Mari kita tidur di dalam,” ajak Wayan Bima.“Kalian saja yang tidur di dalam, aku di sini saja.”“Jangan Arya, di luar udaranya terlalu dingin. Kita bisa tidur di ruangan depan,” ujar Wayan Bima.“Tidak apa-apa, Paman. Kalian masuk dan beristirahatlah di dalam, aku di sini saja sembari memantau situasi Desa Kuta ini.”“Baiklah jika begitu kami pamit untuk istirahat dulu,” Arya anggukan kepalanya sembari tersenyum, Wayan Bima, Lasmi dan Sekar masuk ke dalam rumah.Udara malam di pendopo terlebih letaknya tidak jauh dari pinggiran pantai tentu saja dingin apalagi jika angin bertiup dari lautan, namun bagi Arya hal itu merupakan hal biasa bahkan lebih nyaman berada di pendopo itu karena biasanya dia tidur di pinggir hutan yang terkadang diterpa hujan yang tentu lebih dingin lagi.Arya memang telah rebahkan tubuhnya berbaring di
“Justru berlebih makanya uang hasil penjualan ikan-ikan ini aku bagikan pada para warga desa yang kehidupannya sangat sulit, sebab penghasilan mereka tidak mencukupi karena harus menyisihkan untuk upeti buat istana Kerajaan.”“Paman Wayan memang luar biasa, sangat mulia hatimu Paman,” puji Arya dengan rasa kagumnya.“Hanya membantu sesama saja Arya, dan hal itu aku lakukan karena kepemimpinan Saka Galuh telah banyak membuat para warga desa menderita. Para sahabatku di desa-desa lain juga melakukan itu jika penghasilan mereka berlebih dari kebutuhan sehari-hari,” tutur Wayan Bima sambil mengendalikan gerobak kudanya.“Pada saat Prabu Swarna Dipa memimpin apa tidak ada upeti yang ditarik pihak istana, Paman?”“Tentu saja ada, Arya. Dan itu memang sudah ketentuannya di setiap kawasan yang dikuasai sebuah Kerajaan, hanya saja upeti yang beliau anjurkan pada rakyatnya semasa kepemimpinan Prabu Swarna Dipa terbilang kecil dan tidak memberatkan para warga desa,” jawab Wayan Bima menjelaskan
“Ah, Mas Arya ini ada-ada saja. Ayo kita lanjutkan perjalanan ke Desa Tandur,” Arya hanya mengangguk lalu kembali melangkah.Menjelang sore mereka berdua telah tiba di Desa Tandur tepatnya di rumah mendiang kedua orang tua Mantili, melihat rumah itu di bagian luar sudah banyak terdapat jaringan laba-laba dan terlihat kumuh tak terurus serta halaman rumah itu penuh sampah dedaunan yang berserakan, Mantili memutuskan untuk membersihkannya terlebih dahulu.Setelah bagian luar bersih dia dan Arya masuk ke dalam rumah, di dalam juga banyak sekali jaringan laba-laba yang berseliuran serta debu-dubu menempel di meja, kursi, lemari dan barang-barang lainnya.Arya ikut membantu membersihkan bagian dalam rumah Mantili dengan terlebih dahulu membuka seluruh jendela dan pintu dari rumah itu, agar udara segar masuk dan debu-debu yang dibersihkan bisa bertebangan ke luar.“Melihat dari keadaan rumahnya ini, sepertinya sudah bertahun-tahun tidak pernah kamu kunjungi. Benarkah begitu Mantili?” tanya
“Hemmm, benar juga. Jika tidak begitu pasti bulan ini kita tak menerima apa-apa dari warga Desa Telaga yang baru saja terkena banjir,” pria berpakaian hijau yang tidak lain adalah Lenggo Lumut itu setuju dengan usulan Ratu Lentik.Padepokan Lumut sejak berdiri dan berhasil menguasai beberapa desa di kawasan itu termasuk Desa Telaga cukup berkembang, terlihat dengan bertambahnya anggota yang bergabung ke padepokan itu. Dengan upeti-upeti yang mereka peroleh dari warga desa-desa, mereka dapat membangun Padepokan Lumut lebih besar dan hidup senang.Karena itu pulalah Lenggo Lumut dan seluruh anggota Padepokan Lumut tidak akan pernah membiarkan satupun desa di kawasan itu lepaskan dari kekuasaan mereka, sementara seluruh warga desa-desa yang mereka kuasai sebenarnya merasa tertekan namun tak dapat berbuat banyak karena Lenggo Lumut dan seluruh anggota padepokan sangat kejam tak mengenal ampun bagi siapa saja dari mereka yang tak patuh.Sudah beberapa warga di desa-desa itu yang mendapatka
“Aku sempat melihatmu melepaskan jurus yang sangat luar biasa pada saat menewaskan anak buah Ketua Padeokan Gagak Hitam, apakah itu jurus andalan yang di wariskan Kiai Bimo kepadamu?” tanya Arya sambil menambah ranting-ranting kering ke perapian.“Benar Mas, ajian itu bernama Bulan Sabit Menembus Awan. Dan pedang ini bernama Pedang Bulan,” jawab Mantili sembari membuka sarung pedang yang tersandang di punggungnya.“Hemmm, aku merasa penasaran ingin melihat kehebatan Pedang Bulan itu. Dapatkah kamu tunjukan, Mantili?”“Sebenarnya Eyang Guru melarang untuk mempergunakan Pedang Bulan ini sembarangan terkecuali dalam keadaan terdesak, tapi nggak ada salahnya juga aku tunjukan pada Mas Arya yang pasti Eyang Guru juga mengizinkannya,” tutur Mantili kemudian ia berdiri beberapa tombak di sebalik unggunan api di depan Arya.Pedang Bulan segera ia hunus dari sarungnya, kilauan cahaya putih terang memancar mulai dari pangkal hingga ujung pedang itu, Mantili menghujam pedang itu lurus ke depan.
“Kamu tadi mengatakan akan mengunjungi makam kedua orang tuamu di Desa Tandur, apakah desa itu berada dekat dengan ujung timur Pulau Jawa tempat kita berlabuh nanti?” tanya Arya.“Cukup jauh juga Mas, Desa Tandur tempat kelahiranku itu berdampingan dengan desa-desa lainnya hingga sampai ke Kali Mas.”“Kali Mas?”“Kali Mas itu salah satu cabang anak sungai dari Sungai Brantas yang membentang panjang dan bermuara di kawasan timur Pulau Jawa itu.”“Oh begitu, jadi banyak desa-desa lainnya setelah desa mu itu?”“Ya Mas, para warga di desa-desa itu sama halnya bermata pencaharian seperti desa di Pulau Madura. Seperti bertani, berkebun, berdagang dan nelayan,” jawab Mantili.“Apakah desamu dan desa-desa tetangga itu para warganya aman dan hidup tentram?”“Entahlah Mas, aku sudah lama pula tidak singgah di sana. Moga saja para warga desa di sana hidup tentram dan damai,” harapan Mantili yang memang saat ia mengembara tidak pernah mengunjungi desanya itu, Mantili mengembara ke bagian tengah h
“Entahlah Mas, moga saja mereka bisa memaklumi jika 3 bulan ke depan hingga kita dapat panen kembali tidak meminta upeti yang dulu wajib kita berikan setiap bulannya.”“Hujan sepertinya sudah reda, moga air yang menggenangi desa kita cepat surut hingga kita tak perlu berhari-hari berada di kawasan perbukitan ini,” harap Pamungkas memandang ke depan dan ke atas langit hujan tak lagi lebat melainkan menyisakan gerimis saja.“Iya Mas, moga saja cepat surut. Sekarang apa yang musti kita lakukan Mas menjelang kita dapat kembali ke pemukiman desa?” tanya Warso.“Nanti kita pikirkan, sekarang temani aku untuk menemui para warga yang mengungsi di kawasan perbukitan ini. Dini, kamu di sini dulu ya dengan anak-anak dan beberapa warga lainnya? Aku mau melihat para pengungsi di tempat lainnya,” tutur Pamungkas pada istrinya.“Baik Kang Mas, hati-hati.”Pamungkas di temani Warso melangkah dari bawah pohon besar itu menemui para warga desa yang menyebar mengungsi di seluruh kawasan perbukitan itu,
“Benar Kiai, dan mereka datang dari Pulau Jawa. Setelah berhasil mengusir warga Desa Sampang mereka mendirikan padepokan itu di sana, dan sekarang bangunan Padepokan Gagak Hitam itu telah rata dengan tanah di bakar warga seperti yang mereka lakukan dulu pada belasan rumah warga Desa Sampang,” tutur Arya.“Alhamdulilah, mereka telah mendapatkan azab dari Gusti Allah atas perbuatan keji yang mereka lakukan. Dan sekarang para warga Desa Sampang yang mengungsi sudah dapat kembali ke rumah mereka,” ucap Kiai Bimo.Hanya tinggal satu tugas lagi yang hendak dilakukan Arya berkaitan dengan penumpasan Padepokan Gagak Hitam yaitu menyampaikan pesan ke Kerajaan Dharma di Pulau Dewata bahwasanya Desa Sampang telah aman, hal itu tentu saja dapat ia wakilkan pada Kiai Bimo yang dapat menyuruh 3 sampai 5 orang santrinya menuju Kerajaan yang di pimpin Sekar itu.*****“Jegeeeeeeer...! Jegeeeeeeeeeer..!” kilat dan petir berkejar-kejaran di langit yang hitam pekat, hujan yang turun sejak kemarin siang
Beberapa santri pilihan Kiai Bimo diminta terlebih dahulu kembali ke pemondokan, mereka berangkat dengan kuda-kuda yang tadinya di pakai oleh anggota Padepokan Gagak Hitam dalam melakukan aksi mereka ke desa-desa di kawasan selatan dan utara Desa Sampang itu.Sementara Arya dan Mantili bergerak ke hutan tempat mereka menemukan pengungsi dari Desa Sampang pada saat mereka hendak menuju desa-desa di kawasan itu, kedatangan mereka di sana tentu di sambut gembira oleh para warga yang bermukim di tengah-tengah hutan itu.“Bagaimana Mas Arya, apakah sekarang rencana penyerangan gerombolan pengacau di desa kami itu akan dilaksanakan?” tanya Kamra salah seorang pengungsi Desa Sampang yang mendiami hutan itu.“Hemmm, kami datang ke sini bukan untuk mengajak kalian menyerang para anggota Padepokan Gagak Hitam itu. Melainkan memberitahu kalian jika mereka telah berhasil kami tumpas dengan para warga Desa Karapan, Desa Tengger dan Desa Kidung. Sekarang kalian telah aman untuk kembali ke kediaman
“Baiklah jika pilihanmu begitu, jangan salahkan aku jika nanti Gagak Hitam Dari Utara hanya tinggal nama..! He.. he.. he..!” seru Arya lalu cengengesan kembali.“Kau dalang dari semua ini hingga membuat padepokanku hancur dan seluruh anggotaku tewas..! Aku bersumpah akan membunuhmu saat ini juga..!” Sandaka tiba-tiba murka karena melihat para anak buahnya tewas bergelimpangan serta bangunan padepokannya ambruk di lalap api.Ia berdiri tegak lalu berkomat-kamit, kedua telapak tangannya ia rapatkan sejajar dengan kening. Asap berwana hitam bercampur dengan warna kuning muncul di sela-sela telapak tangan yang ia rapatkan itu, makin lama makin mengepul.“Ajian Gagak Meraga Sukma...! Hiyaaaaaaat...!” seketika tubuh Sandaka menjadi dua, dengan posisi yang sama. Keduanya kemudian bergerak dan sekarang berada di sisi kanan dan kiri tubuh Arya berdiri berjarak 5 tombak, salah satu telapak tangan dari kedua sosok tubuh kembar itu di rentangkan ke depan.“Wuuuuuuuus..! Wuuuuuuuuuus..! Blaaaaaaaa
“He.. he.. he..! Baru disentil sedikit saja kau sudah kasak kusuk, benar-benar gagak lumpuh..!” Arya cengengesan membuat Sandaka makin gusar.“Jangan sombong kau bocah edan..! Hiyaaaaat...! Wuuuuuus..!” kedua kaki Sandaka melesat seperti hendak menggunting bagian pergelangan kaki Arya, dengan cepat pula Arya lambungkan tubuhnya ke udara hingga sapuan itu hanya menerpa udara kosong.“Wuuuuuuuuuuuuus..! Deeeeeees..! Bruuuuuk..!” tiba-tiba saja sebuah sinar hitam melesat cepat membuat Arya terkejut dan hanya menangkis dengan tangan kosong bertenaga dalam rendah, akibatnya sang pendekar yang masih berada di udara terpental bergulung-gulung lalu jatuh tertelungkup di tanah.“Sial..! Curang kau gagak jelek..!” umpat Arya sambil berdiri dan mengeletik-letik pergelangan tangannya yang terasa panas dan keram.“Ha.. ha.. ha..! Bagaimana ajian Gagak Menepuk Semut ku ampuh kan?” Sandaka tertawa senang karena telah berhasil membuat Arya terjatuh tertelungkup di tanah dengan melepaskan ajian yang i