Clara berdiri dengan tatapan bingung, menatap Aryan yang terlihat tenang meskipun peristiwa baru saja berlalu. Jendral Widodo yang tiba-tiba menghormatinya begitu membuat rasa ingin tahunya meningkat. “Aryan,” ujar Clara, suaranya bergetar. “Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Kenapa Jendral Widodo tiba-tiba menghormatimu seperti itu?” Aryan, yang terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Clara, mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Wajahnya tampak memikirkan sesuatu yang lebih dalam. “Saya… saya tidak begitu yakin, Clara. Rasanya seperti ada kenangan yang lebih dalam yang terpendam, tapi tidak bisa saya ingat dengan jelas.” Clara mengerutkan kening, melihat keraguan di dalam mata Aryan. “Bagaimana bisa seorang Jendral menghormati seseorang yang dia anggap biasa’? Ini sangat aneh. Apakah kamu menyembunyikan sesuatu? Apakah ada yang tidak saya ketahui tentang dirimu?” “Ada banyak hal yang mungkin tidak kamu ketahui tentang saya, tetapi yang jelas, saya tidak me
"Persilahkan dia masuk," perintah Ibu Clara kepada seorang penjaga. "Baik Nyonya," Jawab sang penjaga. Lalu ia keluar dari ruangan. Tak berselang lama, pintu terbuka dengan lembut. Seorang pria berpakaian seragam militer memasuki ruangan. Dia memiliki postur tegap dan tatapan tajam. Di bahunya tersandang emblem negeri Arkhadea, yang menggambarkan seekor elang dengan sayap melambai. Di sampingnya, dua penjaga berjas hitam dengan senjata yang terselip di pinggangnya, berdiri tegak. "Maaf mengganggu, saya ke sini atas perintah dari Negeri Arkhadea untuk menjemput seseorang yang penting bagi negeri kami, yaitu Aryan," ucap Pria gagah tersebut di hadapan Ibu Clara. "Aryan? Kalian pasti salah orang? dia itu hanya kuli bangunan!" Ucap Ibu Clara, tegas. "Kami tidak mungkin salah orang. Biarkan kami berbicara kepada beliau," ucap Pria tegap tersebut lalu pandangannya beralih kepada Aryan. “Saudara Aryan?” pria tersebut bertanya, suaranya berwibawa dan terisi kekuatan. Clara merasa kete
Rasa kesedihan menyelimuti diri Aryan. Akan tetapi ada sesuatu hal yang terpenting. Yaitu rasa tanggung jawab untuk kembali ke Arkhadea dan melindungi negeri yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Setelah beberapa jam perjalanan, mobil yang membawa Aryan tiba di bandara. Aryan turun dari mobil dan menuju ke hanggar pesawat jet pribadi. Setelah beberapa jam, pesawat jet pribadi itu tiba di bandara Arkhadea. Aryan melihat ke luar jendela dan melihat suasana yang berbeda dari yang ia lihat sebelumnya. Setelah pesawat itu mendarat, Aryan memasuki bandara. Dan setidaknya 30 pasukan militer menjemputnya dengan pengawalan ketat. Siap untuk membawanya ke markas besar. Di luar bandara, 20 mobil lapis baja telah berjejer rapih. Mereka lantas berjalan beriringan menuju ke sebuah markas besar di Kota Arkhadea City, di mana ia akan dihadapkan dengan Menteri Pertahanan Negeri Arkhadea. Sesampainya di Markas Besar. Para pasukan menyambutnya. Bendera raksasa Arkhadea telah membentang
Angin dingin berembus tajam di sepanjang tebing saat helikopter itu bergetar hebat, suara mesin merintih seakan mengisyaratkan adanya bahaya. Jendral Aryan, pemimpin pasukan yang dikenal luas, berpegang pada kursi, menatap ke luar jendela. Di bawah sana, hutan lebat membentang, sementara berlayar angkasa cerah menjadi latar yang kontras dengan gelapnya presisi tugas yang dipikul di atas pundaknya. "Jendral! Kita harus segera kembali ke pangkalan!" teriak Sersan Rudi melalui interkom, suaranya fatal diselingi bunyi bergetar. "Kita tidak bisa mundur sekarang, Rudi! Misi ini adalah kunci untuk menghentikan serangan balik musuh!" jawab Aryan, suaranya tegas meski jantungnya mulai berdebar kencang. Tiba-tiba, mesin helikopter menggempur dalam getaran yang semakin ganas, dan Aryan merasakan kesedihan yang aneh saat melihat angka-angka layar instrumen berkelip kacau. Jarum penunjuk merujuk pada angka merah. "Jendral! Kita dalam masalah besar! Kita harus—" Rudi belum sempat menyel
Pagi itu di desa kecil yang terletak di pinggir hutan, udara dingin menyergap Aryan saat ia berangkat ke pembangunannya. Hari demi hari, dirinya berusaha menghapus ingatan tentang dirinya yang lalu, namun kenyataan di sekitarnya selalu mengingatkan akan ketidakberdayaannya saat ini. Di tempat kerja, Aryan mendapati para pekerja lain berkumpul, tertawa dan saling melempar sinis. Beberapa di antara mereka, termasuk pemuda yang menghinanya kemarin, memandangnya dengan tatapan merendahkan. “Hai, si Jendral! Masih menunggu perintah dari kita?” ejek Roni, pemuda berbadan kekar yang tampak sebagai penguasa di antara rekan-rekannya. Aryan berusaha mengabaikan. "Aku di sini untuk bekerja," ujarnya singkat, berusaha melanjutkan tugasnya dengan gesit. Roni tak mau menyerah. "Bekerja? Apa kau yakin dirimu mampu melakukannya? Cobalah angkat batu ini!" Ia mengangkat batu besar yang digunakan sebagai pondasi sementara, kemudian menjatuhkannya tepat di depan Aryan. “Atau lebih baik kau menjad
Aryan mulai merasakan perubahan dalam dirinya. Meskipun banyak orang sebelumnya mencemooh dan merendahkan, kini perlahan mereka mulai menaruh rasa hormat padanya. Namun, ada satu sosok yang mengamati dari jauh, petugas keamanan bernama Haris. Dengan mata tajam dan perhatian penuh, Haris menyaksikan setiap gerakan Aryan selama pertarungan singkat itu. Setelah pertarungan berlalu, saat Aryan kembali bekerja, Haris mendekati Aryan dengan sedikit hati-hati. “Kau sangat berbakat, sepertinya kau punya latar belakang yang kuat dalam pertarungan,” katanya, menyilangkan tangan di depan dada. Aryan menoleh, tampak agak bingung. “Siapa kamu? Apa kau salah satu dari mereka yang mengejekku?” Haris tersenyum, menggelengkan kepala. “Bukan, aku adalah petugas keamanan di proyek ini. Namaku Haris. Aku mengamati cara bertarungmu dan kecewa dengan semua orang yang memperlakukanmu dengan buruk.” Aryan merapatkan keningnya. “Mengapa? Apa maksudmu?” Haris melanjutkan dengan semangat. “Kau berpot
Ruangan megah itu bersinar dengan cahaya yang hangat, dikelilingi oleh lukisan-lukisan mahal dan perabotan mewah. Di tengah-tengah ruang tersebut, Aryan berhadapan muka dengan seorang pria bertubuh kekar bernama Jaka. Ia dikenal sebagai petarung terkuat yang sering diundang untuk menguji orang baru. “Dengar. Aku suka mengakhiri pekerjaan cepat,” Jaka mengarahkan tatapan menantang ke arah Aryan. “Dan kau akan jadi salah satu pengalihan kerjaku hari ini.” Aryan menegakkan badannya, tanpa sedikit pun menunjukkan ketakutan. “Kalau itu yang kau mau,” jawabnya tegas. “Aku tidak akan menarik diri dari tantangan ini.” Tiga penjaga yang berdiri di samping menoleh, mengikuti sesi ini dengan antisipasi. Jaka melangkah maju dengan kecepatan luar biasa, mengeluarkan serangan tinju pertama. Aryan merespons dalam sekejap, menghindari serangan itu dengan gesit, lalu balas menyerang dengan uppercut yang kuat. Pukulan itu benar-benar mengenai rahang Jaka, membuatnya tersentak mundur. “Hei, bukan ke
Hari-hari awal Aryan di rumah Mr. Horison terasa seperti sebuah petualangan yang tak terduga. Setiap pagi, ia terjaga di sebuah kamar yang luas, dikelilingi oleh barang-barang berharga yang tidak pernah ia bayangkan bisa ia miliki. Begitu banyak pilihan, begitu banyak kemungkinan. Sesi pelatihan mulai berlangsung. Mr. Horison telah membentuk tim elit yang terdiri dari para penjaga terlatih dan master pertarungan, dan Aryan menjadi bagian dari mereka. Ia dilatih bukan hanya dalam teknik bertarung, tetapi juga dalam strategi, pengecekan keamanan, dan manajemen risiko. Di sinilah Aryan merasa bakatnya benar-benar bersinar. Ia sering kali keluar sebagai juara, mengalahkan lawan-lawannya dengan kecerdikan dan kombinasi gerakan yang membuatnya tak terduga. Namun, saat hari-hari berlalu, dia merasa ada sesuatu yang mengganjal dalam dirinya. Setiap kali ia berada di dekat Mr. Horison, seolah ada jari-jari tak terlihat yang menarik kembali kenangannya—kenangan yang selalu terlintas di sudu
Rasa kesedihan menyelimuti diri Aryan. Akan tetapi ada sesuatu hal yang terpenting. Yaitu rasa tanggung jawab untuk kembali ke Arkhadea dan melindungi negeri yang pernah menjadi bagian dari hidupnya. Setelah beberapa jam perjalanan, mobil yang membawa Aryan tiba di bandara. Aryan turun dari mobil dan menuju ke hanggar pesawat jet pribadi. Setelah beberapa jam, pesawat jet pribadi itu tiba di bandara Arkhadea. Aryan melihat ke luar jendela dan melihat suasana yang berbeda dari yang ia lihat sebelumnya. Setelah pesawat itu mendarat, Aryan memasuki bandara. Dan setidaknya 30 pasukan militer menjemputnya dengan pengawalan ketat. Siap untuk membawanya ke markas besar. Di luar bandara, 20 mobil lapis baja telah berjejer rapih. Mereka lantas berjalan beriringan menuju ke sebuah markas besar di Kota Arkhadea City, di mana ia akan dihadapkan dengan Menteri Pertahanan Negeri Arkhadea. Sesampainya di Markas Besar. Para pasukan menyambutnya. Bendera raksasa Arkhadea telah membentang
"Persilahkan dia masuk," perintah Ibu Clara kepada seorang penjaga. "Baik Nyonya," Jawab sang penjaga. Lalu ia keluar dari ruangan. Tak berselang lama, pintu terbuka dengan lembut. Seorang pria berpakaian seragam militer memasuki ruangan. Dia memiliki postur tegap dan tatapan tajam. Di bahunya tersandang emblem negeri Arkhadea, yang menggambarkan seekor elang dengan sayap melambai. Di sampingnya, dua penjaga berjas hitam dengan senjata yang terselip di pinggangnya, berdiri tegak. "Maaf mengganggu, saya ke sini atas perintah dari Negeri Arkhadea untuk menjemput seseorang yang penting bagi negeri kami, yaitu Aryan," ucap Pria gagah tersebut di hadapan Ibu Clara. "Aryan? Kalian pasti salah orang? dia itu hanya kuli bangunan!" Ucap Ibu Clara, tegas. "Kami tidak mungkin salah orang. Biarkan kami berbicara kepada beliau," ucap Pria tegap tersebut lalu pandangannya beralih kepada Aryan. “Saudara Aryan?” pria tersebut bertanya, suaranya berwibawa dan terisi kekuatan. Clara merasa kete
Clara berdiri dengan tatapan bingung, menatap Aryan yang terlihat tenang meskipun peristiwa baru saja berlalu. Jendral Widodo yang tiba-tiba menghormatinya begitu membuat rasa ingin tahunya meningkat. “Aryan,” ujar Clara, suaranya bergetar. “Apa yang sebenarnya terjadi di antara kalian? Kenapa Jendral Widodo tiba-tiba menghormatimu seperti itu?” Aryan, yang terlihat sedikit terkejut dengan pertanyaan Clara, mengalihkan pandangannya ke arah jendela. Wajahnya tampak memikirkan sesuatu yang lebih dalam. “Saya… saya tidak begitu yakin, Clara. Rasanya seperti ada kenangan yang lebih dalam yang terpendam, tapi tidak bisa saya ingat dengan jelas.” Clara mengerutkan kening, melihat keraguan di dalam mata Aryan. “Bagaimana bisa seorang Jendral menghormati seseorang yang dia anggap biasa’? Ini sangat aneh. Apakah kamu menyembunyikan sesuatu? Apakah ada yang tidak saya ketahui tentang dirimu?” “Ada banyak hal yang mungkin tidak kamu ketahui tentang saya, tetapi yang jelas, saya tidak me
Di pagi yang cerah, percakapan di antara Ibu Clara dan Jendral Widodo berlangsung dengan semangat. Di tengah ketegangan itu, Ibu Clara menghubungi Widodo dengan harapan bisa menunjukkan betapa seriusnya niat lelaki pilihannya dan mengambil langkah di luar batas yang bisa menyelamatkan putrinya. “Widodo, apa kabar?” Ibu Clara membuka percakapan dengan nada ramah, meskipun di dalam hatinya, rasa ketidakpastian dan harapan berbaur. “Baik, Ibu Clara. Selalu senang mendengar suara Anda,” jawab Jendral Widodo dengan suara berat dan menggoda, seolah menggambarkan kepastian yang mengarah kepada keinginannya. “Dan bagaimana putri Anda? Masih cantik seperti yang saya ingat?” Ibu Clara merasakan dadanya berdegup kencang. “Clara paduan antara kecantikan dan kecerdasan, Widodo. Dia sangat berbakat dalam apa yang dilakukannya sebagai agen rahasia. Namun, saya merasa saat ini kita harus mendiskusikan langkah yang penting dalam hidupnya.” “Oh, saya paham. Saya percaya bahwa posisi saya bi
Suasana yang manis tersebut seketika berubah arah saat Ibu Clara masuk ke dalam pembicaraan dengan ekspresi serius. “Apa kalian tidak bisa berfikir sehat?” tanyanya, menatap tatapan bingung antara suami dan putrinya. “Bu, tapi Ayah setuju dengan ide Aryan untuk perusahaan ini!” Clara menjawab dengan penuh semangat, berusaha untuk menyebarkan kebahagiaan yang baru ditemukan. “Oh, jadi sekarang kuli bangunan ini dianggap sebagai penasihat bisnis?” Ibu Clara masih tidak bisa menyembunyikan nada skeptisnya. “Saya rasa kalian tidak melihat betapa bodohnya hal ini!” “Ada banyak potensi dalam diri Aryan, Bu,” Clara berusaha membela. “Mungkin bukan dari latar belakang yang ibu inginkan, namun pandangannya yang brilian bisa menyelamatkan perusahaan ini.” Ibu Clara menatap bercampur antara bingung dan sinis, tetapi saat itu juga, Ayah Clara mengambil langkah maju. “Terima saja, mengapa tidak. Mari kita coba menerima dia dengan idenya. Lihat ke mana arah perusahaan kita selanjutnya.”
Setelah berhasil meloloskan diri dari kejaran musuh dan melumpuhkan lawannya satu persatu. Aryan merasa bernafas lega. Kemudian Clara mengajak Aryan untuk berkunjung ke rumahnya. Sedang Alden telah pergi untuk merencanakan sesuatu. Mereka telah mendapatkan informasi penting dari para musuh yang mereka hadapi. Daftar lokasi operasi dan bahkan nama orang-orang yang terlibat. Ini adalah langkah signifikan menuju pembongkaran jaringan gelap tersebut. Setiba di rumah Clara, Aryan sedikit terkejut. Rumah megah itu berdiri angkuh di tengah pekarangan yang hijau, memperlihatkan kemewahan dan keanggunan. Clara membuka pintu dan mengundang Aryan masuk. “Selamat datang di rumahku,” katanya, senyumnya tampak tenang meskipun mereka masih merasakan ketegangan dari kejadian sebelumnya. Aryan melangkah masuk, merasa sedikit canggung. Dinding-dinding rumah itu didekorasi dengan lukisan indah, lampu-lampu kristal menjuntai menambah suasana glamor. Clara menuntun Aryan menuju ruang tamu di man
Aryan mengernyitkan dahi. “Apa itu?!” tanyanya, mengerem kendaraan secara mendadak, matanya mencermati bayang-bayang yang berlarian. “Sepertinya... kendaraan trail?” sahut Alden, melotot ke arah cahaya yang semakin mendekat. “Mereka pasti sudah mengetahui kehadiran kita!” Sebelum Aryan bisa menjawab, suara detakan mesin memekakkan telinga. Motor trail berwarna hitam menyapu keluar dari sisi hutan, siluet pengendara yang mengenakan helm dan pelindung mesin mengarah langsung ke arah mereka. Dalam sekejap, Aryan merasakan adrenaline-nya memuncak. “Ayo pergi!” serunya, menarik gas kendaraan dan membuat mobil meluncur. Kejar-mengejar dimulai ketika para pasukan musuh dengan motor trail itu mengejar mereka dengan kecepatan tinggi. suara mesin melengking bergema saat motor melesat di belakang mereka, mencoba mengejar mobil yang melintas cepat. “Sial!” Clara berteriak, terpaksa berpegangan pada kursi. “Mereka tidak akan membiarkan kita pergi begitu saja!” “Berhati-hatilah!” teria
Di dalam kendaraan yang melaju cepat menjauhi pabrik, Aryan merenungkan semua informasi yang mereka peroleh. Matahari hampir terbit, menyoroti jalan di depan mereka dengan cahaya kuning keemasan, tetapi bayangan gelap yang mereka bawa bersama masih menghantui pikirannya. Sesampainya di tempat aman di tengah hutan, mereka segera membuka berkas yang berhasil mereka bawa. “Lihat ini!” Clara menyuarakan sambil menggelar berkas yang dipenuhi informasi mengejutkan. “Berdasarkan dokumen ini, jaringan ‘Kegelapan Abadi’ telah membantai lebih dari 1000 orang selama enam bulan terakhir. Ini adalah skala yang sangat besar!” “Apa?!” Alden terkejut, wajahnya memucat saat membaca data di bawah lampu senter. “Ini menjadi lebih buruk dari yang kita sangka!” “Bukan hanya itu,” Clara menambahkan, suaranya bergetar dengan kemarahan. “Ternyata mereka juga terlibat dalam perdagangan manusia—menjual perempuan ke luar negeri untuk dijadikan pekerja paksa dan budak seksual!” Aryan merasakan kemarahan meny
Kendaraan melaju kencang, mengangkut Aryan, Clara, dan Alden jauh dari Elysium yang kelam. Udara malam terasa segar, seolah menghapus jejak kegelapan yang baru mereka tinggalkan. Namun, dalam benak Aryan, suasana tenang itu kontras dengan kegelisahan yang menggelora. Ia merasakan gemuruh kekuatan di dalam dirinya, kekuatan yang tampaknya baru terbangun dari tidur panjang. “Mari kita berhenti sejenak di lokasi yang aman,” Alden mengusulkan, memutar kemudi menuju jalur yang mengarah ke hutan lebat. “Kita perlu segera meneliti informasi yang kita bawa.” Setelah memasuki hutan, mereka parkir di area terpencil, terhalang oleh pepohonan tinggi yang memberikan perlindungan dari pandangan luar. Mereka bertiga keluar dari kendaraan, Alden segera mengambil dokumen dan menyimpan ponselnya di saku. “Kita perlu memetakan langkah selanjutnya dan mencari tahu informasi lebih lanjut mengenai jaringan mereka.” Dalam sekejap, Clara menyebar dokumen di atas dudukan kayu. “Berdasarkan apa yang kita am