Suara telepon berdering memecahkan suasana di dalam mobil yang hening, nama Thomas terpampang jelas di sana. Waktu menunjukkan bahwa Thea sudah sangat terlambat untuk datang ke tempat kerja. Wanita yang berumur hampir seperempat abad itu menghela nafas panjang sebelum akhirnya menggeser naik tombol hijau yang tertera pada layar ponselnya.
[Olá Thomas, Bom Dia ...][Halo Thomas, selamat pagi …] sapa Thea, keringat dingin mengalir di pelipisnya saat tidak mendengar sahutan apapun dari seberang. Hanya suara nafas yang terdengar, telapak tangan Thea mulai mengeluarkan keringat.[Thomas?][Thomas?] panggil Thea sekali lagi, baru setelah itu terdengarlah suara sahutan dari seberang yang membuat Thea akhirnya bernafas lega.[Sim. Bom dia também Thea, você está com problemas?][Ya. Selamat pagi juga Thea, apa kau sedang berada dalam masalah?] sahut Thomas pada akhirnya. Dalam keadaan seperti ini sebisa mungkin Thea harus berkata jujur,Ekspresi itu hanya muncul saat Thomas berada pada puncak amarahnya, berbeda dengan saat berada di dalam mobil kemarin … Thomas saat itu masih bisa mengendalikan dirinya. Thea menunduk, pasrah akan hidupnya. Bagaimanapun Thomas adalah orang yang lebih mengerikan dari pada ayah atau seluruh mantan keluarga besarnya."M-maaf," Hanya itulah kata-kata yang mampu terucap pada lisan Thea. Ruangan hening, Thea masih menunduk sementara Thomas tak memberikan jawaban apapun. Hanya suara detik jam yang menjadi tanda bahwa waktu terus berjalan, sama sekali tidak berhenti."Duduklah!" perintah Thomas menunjuk kursi di depan sofa tempatnya duduk. Thea menggigit bibir cemas, dengan langkah yang sangat pelan dia berjalan ke arah sofa. Ruangan ini memiliki desain yang sangat berbeda jika dibandingkan dengan beberapa minggu lalu, karena Thomas telah merombak keseluruhan isi dari ruangan ini. Saat Thea bertanya mengapa, hanya senyumanlah yang Thomas berikan sebagai jawaban untuk Thea.
"Hoek ... " Isi perut Thea keluar dari mulutnya, mengenai makanan dan minuman pesanan pelanggan. Seluruh isi cafe langsung menengok ke arahnya, pelanggan wanita yang memesan jus jambu berteriak, "APA-APAAN INI, APA INI JENIS PELAYANAN BARU?" sinisnya. Seketika ruangan bertambah riuh dengan bisik-bisik antar pengunjung, Thea langsung berlari ke arah toilet yang terletak di sebelah dapur namun hal itu malah lebih memicu kemarahan pelanggan, "Dia muntah dan dia bekerja di dapur? Sekarang aku mulai meragukan kebersihan yang ada pada makananku!" bentak wanita tadi.Riuh keributan bertambah dengan pesat, beberapa orang tak jadi memesan kemudian langsung keluar dari cafe, orang yang terlanjur memesanpun tidak melanjutkan acara makannya. Thomas yang mendengarkan laporan dari resepsionis langsung berjalan keluar ruangan untuk menenangkan pelanggan."Maaf untuk para Tuan dan Nona atas kekacauan yang tengah terjadi, saya memohon maaf atas nama pemilik cafe. Sebuah k
Pintu terbuka, menampilkan sesosok wanita tua yang Thea kenal, dia adalah bibi Mai. Tak ada banyak hal yang dikatakan oleh bibi Mai, wanita itu hanya mengatakan beberapa komplain dari pelanggan yang meminta untuk mengganti makanan. Thomas pun hanya mengangguk menyanggupi permintaan dari pelanggan, sekali lagi hembusan nafas kesal keluar dari bibirnya.Thomas kembali berbalik setelah menutup pintu, mata ungu pria itu menatap Thea tajam. Perlahan kakinya melangkah untuk kembali ke tempat duduknya. Hanya detik jam di dinding dan suara nafas yang terdengar di ruangan yang sepi ini, malam semakin larut dan hampir tidak ada kendaraan yang berlalu lalang."Thea, kau masih ingat dengan peringatan yang aku berikan tadi siang, kan?" ucap Thomas mengawali pembicaraan. Mata pria itu kini beralih dari wajah Thea ke akuarium di tengah sofa, banyak jenis ikan hias yang ditempatkan di satu ekosistem yang sama. Thea mengangguk, namun saat dia menyadari bahwa Thomas sedang tidak memperhatikan dirinya
Tak ada tanda cap atau nama di atas amplop cokelat yang dipegang oleh Thea. Dia teringat akan hari itu, hari dimana Richard Peterpeon memutuskan hubungan dengannya, Thea menggeleng pelan kemudian meletakan amplop itu kembali ke meja, mungkin itu hanyalah salinan surat pemutusan hubungan kekerabatan.Masih dengan keadaan telanjang, Thea melirik ke arah jam dinding ... Malam semakin larut, jam menunjukan pukul setengah satu dini hari. Thea mengacak rambut panjangnya, wanita itu menguap cukup lebar tanpa menutupi mulutnya. Kepalanya sangat pusing akibat terlalu banyak menangis, sebuah ingatan mulai berputar di dalam otaknya ... Itu adalah waktu dimana dia pertama kali mengetahui bahwa ada kehidupan lain di dalam tubuhnya. Hari di mana Thomas menjadi sangat marah.Thea ingat dengan jelas perkataan Thomas saat itu, perkataan Thomas bahwa membesarkan seorang anak tidaklah semudah yang Thea bayangkan. Mungkin saat itu Thomas memang berniat untuk melindungi Thea dan bayinya, namun saat setelah
Thea segera berlari ke arah tanah lapang, dibanding dengan taman tempat ini sangat terpencil dan tidak ada hal yang nampak istimewa sedikitpun yang mampu menarik perhatian orang-orang bahkan untuk segera melirik tempat ini.Tak ada bangku sama sekali, ini hanyalah sebuah tanah yang biasa digunakan anak-anak untuk bermain bola. Karena terletak tepat di samping irigasi besar, lapangan bola ini tampak seperti tanah galian yang menjorok ke bawah. Thea melepaskan alas kakinya dan segera berlari menuju tangga untuk ke bawah, tanah yang di tutupi rerumputan hijau langsung menyentuh kakinya, sensasi dingin terasa menggelitik pada telapak kakinya.Penerangan di sini tidak terlalu bagus, hanya ada sebuah lampu di masing masing sudut lapangan ini yang terlihat. Thea segera berlari tepat di tengah lapangan, tangannya segera menaruh barang belanjaannya tepat di bawah kakinya. Matanya memandang langit, bintang-bintang bersinar sangat cerah pada dini hari ini. Bulan juga mulai mu
Dia adalah Dira, sepupunya. Thea menggumamkan kata-kata yang tidak jelas, cenderung ke arah kata-kata umpatan. Pandangan Thea memang kabur karena alkohol, tapi jelas Thea tak mungkin salah mengenali bahwa suara itu adalah milik Dira."Menyedihkan? Apa maksudmu!" tantang Thea masih tanpa berdiri. Dira memandang ke bawah, arah di mana Thea terjatuh, "Kau, lihat kondisimu sekarang, padahal kau adalah pewaris yang ada diurutan kedua keluarga Peterpeon setelah ayahmu. Namun, lihat dirimu saat ini!" Dira menarik turunkan pupil matanya, pandangannya merendahkan Thea.Karena keadaan mabuk, kendali diri Thea hampir sepenuhnya hilang, "Apa maksudmu, kau gila! Sejak awal aku tidak pernah masuk ke dalam urutan pewaris. Meskipun aku memanglah cucu pertama keluargamu tapi ada satu hal yang aku dan kau juga tahu alasan mengapa aku tidak bisa menjadi pewaris ... Aku bukan laki-laki dasar bodoh!" umpat Thea di tengah kekesalannya. Dira berjingkat kaget karena terkejut, ia sama seka
"Lalu, memang apa gunanya garis keturunanmu itu jika kau terlantar sekarang, apa gunanya darah istimewa yang mengalir di seluruh tubuhmu jika kau bahkan dibuang oleh orang tua yang sangat kau banggakan itu?" Sekarang Thea yakin, itu adalah suara Thomas, nada bicaranya sama seperti saat Thomas biasa marah, tapi Thea sekarang bingung ... Kenapa Thomas marah padanya, apa sebenernya kesalahan yang telah dia perbuat hingga Thomas marah padanya."Thomas?" cicitan itu keluar dari bibir Thea, namun tidak ada jawaban sama sekali dari seberang. Sambungan dimatikan, Thea sudah tidak merasa mabuk sekarang. Saat mendengar ucapan Thomas pikiran Thea langsung terasa segar."Kau mengenalnya?" tanya Thea, matanya memandang Dira tajam. Dira menaikan satu alisnya ke atas, "Tentu saja, bagaimana mungkin aku tidak mengenal orang yang telah menjadi sahabat kecilmu. Kau sangat aneh!" seru Dira, baginya ini bukanlah hal yang aneh, Thea yang menanyakan hal tersebutlah yang nampak aneh.
"Kau sudah bangun, kak," seru Raka yang baru saja masuk. Penampilan anak remaja itu tidak teratur dan terkesan urakan dia langsung duduk di samping ranjang tempat Thea berbaring. Thea menaikkan satu alis bingung, mengapa dia ada disini."Kau ... Mengapa kau ada disini?" tanya Thea, suaranya yang terdengar serak membuat Raka menoleh ke arahnya, "Pertanyaanmu terdengar aneh, tentu saja aku di sini ... kau pikir siapa yang membawamu kesini?" Raka menghela nafas malas.Pertanyaan Raka justru menimbulkan tanda tanya pada Thea, jika Raka yang membawanya kemari lantas mengapa bibi Mai bisa sampai ada di sini. Lagi pula mengapa Raka mau repot-repot mengantarnya ke rumah sakit, bahkan jika Raka menutup mata atas kecelakaannya ... Raka tidak akan mendapatkan kerugian apapun."Jika kau yang membawaku kemari kenapa bibi Mai bisa ada di sini?" tanya Thea, wanita itu berusaha bangun dari tidurnya ... Namun hal ini ditahan oleh Raka, remaja itu tidak membiarkannya bangun dari tempat tidurnya."Berba
Jam menuju bahwa malam semakin larut, Thea telah berpindah dari balkon menuju sebuah kamar yang ditujukan oleh Yolanda. Sedangkan Yohan kini telah pergi entah kemana. Thea bersiap merebahkan tubuhnya setelah membersihkan tubuhnya tadi.Dalam gelap gadis itu masih terbangun, ia mengedipkan matanya beberapa kali ... berharap agar kantuk datang menghampiri. Tangan Thea terjulur ke atas perutnya, sekarang perutnya mulai membuncit. Gadis itu bersenandung dalam gelap, berharap hal itu dapat membuatnya mengantuk. Namun, nihil ... ia malah menginginkan Yohan berada di sisinya saat ini."Berhenti memikirkan papamu, mama mengantuk!" serunya, ia berbicara dengan bayinya sendiri. Thea terdiam, ia merasa bahwa apa yang baru saja ia lakukan adalah suatu hal yang aneh."Ayo tidur," ajaknya pada bayinya. Thea mulai menata bantal untuk membuat bagian kepalanya lebih tinggi. Gadis itu mulai memejamkan mata.Saat matanya benar-benar telah mengantuk ia merasa melihat
Canggung. Sebuah kata yang mampu menjelaskan kondisi Thea saat ini. Gadis itu kini tengah duduk di samping Yohan, mereka berhadapan dengan Yolanda yang menatap kedua sejoli itu dengan tatapan menelisik.Di ruangan ini hanya ada mereka bertiga, para pekerja yang biasanya selalu berada di sekitar Yolanda sudah pergi sedari tadi atas perintah dari Nyonya rumah tersebut."Sekarang bisa kamu jelaskan?" Rupanya Yolanda sudah tak sabar untuk menunggu penjelasan dari Yohan. Yohan mengangkat dagunya, ia menarik napas panjang agar memudahkannya menyelesaikan penjelasannya dalam sekali hentakan napas."Perkenalkan Mom, ini Thea. Aku akan menikah dengannya. Ada beberapa kejadian yang menimpa kami, dan aku memutuskan untuk memilih untuk menikahinya. Aku mohon Mom, tolong jangan menentang pilihanku yang ini," ujarnya dengan wajah datar seakan ini bukanlah hal yang terlalu sulit baginya. Wajah Yolanda tampak syok berat."Menikah?" tanyanya seakan memastikan. Yoh
Yohan, nama seorang pria aneh dengan segala misterinya. Thea bahkan sampai sekarang masih tak mengerti apa yang sebenarnya ada di dalam kepala pria itu, dia selalu melakukan segala hal dengan spontanitas ... Thea benar-benar tak bisa menebak langkah apa yang akan dipilih selanjutnya oleh pria itu, seperti saat ini."Kau ... Tinggal di sini, urus seluruh hal yang berkaitan dengan pernikahanku. Tak perlu mewah, cukup dengan pernikahan sederhana dengan mengucap janji di altar," ucap Yohan setelah memerintahkan pada Devan dan notarisnya untuk keluar dari mobil.Saat ini mereka sedang berada di parkiran, tepatnya mereka berdiri tepat di depan mobil milik Yohan."Anda meninggalkan saya, di sini?" tanya Devan memastikan. Yohan mengangguk mantap, lain dengan Devan yang berwajah senang ... notarisnya tak bisa mengendalikan raut wajahnya, mulutnya terbuka kaget tak terima."Apa? Kau tak terima?" tanya Yohan, sungguh mulutnya tak bisa dikontrol. Notarisnya menggeleng, deng
Yohan menghubungi Devan, pria itu meminta flat shoes/sandal wanita untuk dibawakan ke ruangannya. Pria itu berbicara cukup lama, entah apa lagi yang dia minta pada asistennya itu. Setelah beberapa saat ia bicara Yohan baru mematikan ponselnya, pria itu kembali memijat tumit kaki Thea.Pintu diketuk beberapa kali sebelum terbuka, wanita tadi kembali dengan membawa beberapa katalog di tangannya. Awalnya wanita itu terdiam kaget karena melihat atasannya memegang kaki seorang gadis yang tak di kenalnya, tapi ia berusaha untuk profesional dengan tidak memperdulikan hal itu."Permisi, Tuan. Ini beberapa koleksi pakaian pengantin yang toko ini miliki!" ujarnya, ia memberikan buku yang berisikan koleksi foto-foto baju pengantin kepada Thea dan Yohan. Yohan mengangguk, kemudian ia memberikan isyarat untuk wanita itu keluar."Ada yang kau sukai?" tanya Yohan setelah wanita itu benar-benar hilang dari pintu. Thea menengok ke arah Yohan."Sebenarnya apa hal i
Suasana di dalam mobil kembali hening setelah notaris tadi membacakan ulang beberapa poin yang mereka janjikan kemarin, Yohan memberikan beberapa poin tambahan pada perjanjian itu, diantaranya adalah:1. Pihak A (Yohan Radcliffe) bertanggung jawab penuh untuk menafkahi pihak B (Thea) selama masa perjanjian berlangsung.2. Pihak B wajib menerima seluruh hal yang diberikan oleh pihak A selama masa perjanjian berlangsung.3. Setelah masa kontrak berakhir ke dua belah pihak akan tetap berhubungan dengan baik.Thea membaca pembaharuan perjanjian itu dengan tenang, dahinya mengernyit kala mendapati poin ke dua. Gadis itu menatap lekat wajah pria yang tengah mengemudi di sampingnya.Yohan yang sadar bahwa dirinya tengah diperhatikan itu menengok, "Apa?" tanyanya santai. Tangan pria itu bergerak menyetel musik dalam mobilnya, ia memilih menyetel lagu milik mendiang Avicii—the nights."Apa maksudmu aku harus menerima seluruh barang yang kau berikan
Thea telah siap dengan pakaiannya beberapa saat lalu, gadis itu mengenakan gaun putih yang memiliki panjang hingga lutut. Rambutnya diikat mengenakan pita agar terkesan rapi."Kenapa, jelek ya?" tanya Thea saat melihat Yohan menelisik penampilannya."Jangan, gini aja. Cantik!" seruan Yohan membuat kecanggungan yang luar biasa di antara mereka berdua. Thea memilih untuk berpura-pura tak mendengarkan apa yang dikatakan oleh Yohan, gadis itu terus membereskan pakaiannya yang berada di dalam koper."Um, ayo pergi!" ajak Yohan. Thea mengerutkan dahinya bingung."Kemana?" tanya gadis itu tanpa beralih dari pekerjanya. Yohan berjalan masuk ke dalam kamar, ia mendudukkan tubuhnya pada ranjang sembari memperhatikan kegiatan yang tengah Thea lakukan."Rumah keluargaku," jawab Yohan mantap. Thea lantas menghentikan kegiatannya, ia menatap Yohan dengan wajah penuh tanda tanya."Kenapa?" Pertanyaan itu akhirnya terlontar juga dari bibir manis
"Mau?" tawarnya pada Devan dengan mengacungkan toples selai di tangannya. Devan menggeleng pria itu lalu membuang muka ke arah lain.Yohan berjalan santai ke arah Devan sembari membawa toples selai di tangan kanannya dan sebuah piring berisi dua lapis roti di tangan kirinya. Pria itu mengambil pisau selai di dalam lemari piring yang berada di dekat Devan kemudian mendudukan pantatnya tepat di depan laki-laki itu.Yohan mengoleskan selainya dengan gerakan santai, ia mengabaikan Devan yang tengah menatapnya dengan tajam. Pria itu melirik ke arah Devan sebentar kemudian menaikan satu alisnya ke atas. "Apa?" tanyanya tak sadar diri.Devan tersenyum kaku, "Bukankah tadi ada yang ingin kau katakan, Yohan?" tanyanya kemudian mendatarkan wajahnya, senyuman manisnya hilang begitu saja. Yohan menganggukkan kepalanya menyetujui ucapan Devan."Lalu? Katakan sekarang!" Devan menekankan kata terakhirnya. Dengan wajah tanpa dosanya Yohan malah melahap roti yang
Seorang dengan pakaian kurir tengah berdiri di depan rumahnya, di belakangnya terdapat banyak koper besar. Yohan mengingat benda-benda itu sekilas, itu adalah barang-barang milik Thea. Di samping kurir tersebut berdiri orang yang ia kenal dengan akrab, asistennya."Atas nama Yohan Radcliffe?" tanya kurir tersebut ketika pintu telah terbuka. Yohan mengangguk, kurir itu tersenyum kemudian memberikan sebuah berkas yang harus ia tanda tangani sebagai tanda terima."Bawa masuk!" perintah Yohan pada asistennya, pria itu menarik napas dalam dari hidung dan mulutnya sekaligus, ini masih pagi. "Baik Tuan!" serunya dengan senyum yang sangat ramah. Pria itu kemudian melepaskan jasnya, menggulung kemeja miliknya hingga siku kemudian mengangkat koper itu satu persatu untuk masuk ke dalam rumah milik bosnya."Taruh di mana?" tanya Devan sebelum Yohan sepenuhnya menghilang dari balik pintu."Taruh kamar!" jawab Yohan sedikit berteriak. Lagi-lagi Devan
Yohan keluar tanpa mengenakan atasan, terpampang jelas perut berototnya yang seperti tumpukan bata. Pria itu hanya melirik sekilas ke arah Thea yang sedang tertidur pulas, ia berjalan ke arah lemari untuk mengambil pakaiannya.Pria itu berjalan mengambil kaos putih dan celana panjang untuk ia kenakan, seluruh tubuhnya sungguh terasa lelah tapi ada banyak pekerjaan yang harus dia selesaikan. Pria itu memilih untuk mengambil laptop di ruang kerjanya, tempatnya berada di sebelah kamar tidur. Yohan berencana untuk menyelesaikan pekerjaannya di kamar.Pria itu duduk di sofa yang terletak di balkon, hujan masih belum reda. Pria itu berdiam diri di hadapan laptopnya sembari menatap buliran air yang turun membasahi pekarangan rumahnya. Pikirannya mulai berkelana, banyak hal yang harus ia urus. Tak hanya Thea dan anaknya, Yohan harus mengurusi perusahaan dan keluarganya juga.Sejujurnya, Yohan tak yakin keluarganya mau menerima Thea. Benar bahwa gadis itu pernah me