Pertanyaan itu terlontar dari seorang Glara yang sebenarnya memiliki kekayaan hampir setara dengan Bhuvi hanya saja, Louis sengaja menyebarkan asetnya dengan membangun perusahaan dan hal lainnya. Sedangkan Bhuvi ia membangun aset property dan perusahaan.
Bhuvi mengerutkan kening bingung mendengar pertanyaan Glara. “tak sebanyak aset Tuan Louis.”
Glara hanya diam dan tak menjawab ucapan Bhuvi lagi. Pikirannya kembali teringat akan nasib anak dari Martha yang sekarang tak memiliki siapa pun. “Bhuvi bagaimana anak Martha?”
Bhuvi menoleh ke arah Glara sejenak sebelum kembali fokus pada jalanan di depannya. “Kamu mau mengadopsinya?”
Kini giliran Glara yang berpikir tentang pertanyaan Bhuvi. sebenarnya ia senang sekali bisa merawat anak Martha walaupun itu buah hati dari mantan suami yang mengkhianatinya namun tetap saja, Glara tak bisa menyembunyikan rasa kemanusiaannya
“Maaf pak, tadi saya tidak sengaja melihat di televisi tentang pemakaman Mrs. Martha dan saya melihat ada orang ini,” ujar Tasha seraya menunjukan ponselnya.Bhuvi menatap layar ponsel Tasha, yang memotret sosok wanita berhoodie hitam sedang bersembunyi di balik pohon yang hanya berjarak beberapa meter dari tempat pemakaman. “motif hoodienya sama persis dengan yang digunakan mengikuti saya, Mr.”“Jadi maksudnya mereka satu kelompok?” tanya Bhuvi menyimpulkan ucapan Tasha.Tasha hanya diam saja, ia lantas mengeluarkan sebuah liontin dari dalam saku celananya. “saat memeriksa tas Erina, saya menemukan ini, Mr.”Bhuvi menyimpan semua penemuan Tasha. “ya sudah, terima kasih atas laporan dan infonya. Kamu bisa beristirahat biar anak-anak saya yang jaga.”“Terima kasih, Mr.” Tasha pun berpamitan dengan Gama d
Glara mengangguk, “setidaknya itu cara terbaik daripada kita harus mencari orang baru yang belum tentu bersih, ‘kan? Aku yakin dia tidak akan berkhianat walaupun kakek sudah tidak ada.”Bhuvi kembali memikirkan ucapan Glara, cukup lama pria itu memikirkannya hingga akhirnya ia mengangguk dan menyetujui ide yang Glara berikan. “Setelah ini kita ke sana.” Glara mengangguk dan mengucapkan terima kasih tanpa suara.Bhuvi dan Glara kembali menunggu persiapan bayi Martha, tepat pukul 11 siang perawat memanggil Glara dan Bhuvi mengajaknya masuk ke dalam ruangan dokter khusus anak dan gizi. Di dalam sana, Glara dan Bhuvi mendapatkan penjelasan tentang tata cara merawat bayi itu juga tentang jadwal pemeriksaan rutin yang harus Glara dan Bhuvi jalani.Setelah itu, Glara dan Bhuvi dipersilakan untuk membawa bayi Martha pulang ke rumah. sesuai ucapan Bhuvi tadi, mereka tak langsung pulang ke rumah, Bhuv
“Ishara Larisha Madhava,” sahut Bhuvi menatap lurus ke arah ponselnya.Semua orang menatap Bhuvi dengan tatapan yang takjub. “Kenapa?” tanya Bhuvi mendongakkan kepalanya.Mereka menggeleng dan mengulas senyum di wajahnya. “Namanya bagus dan cantik.”Mereka pun kembali mengobrol dan melanjutkan aktivitasnya. Berbeda dengan Bhuvi yang tampak menikmati kesibukkannya, Glara justru terlihat lebih gelisah dari biasanya. Sebenarnya Bhuvi tahu penyebab kegelisahan wanita itu tapi ia memilih untuk diam dan tak banyak berbicara.Hari pun semakin sore, Gama dan Erina sudah kembali ke kamarnya begitu juga dengan Shara yang sudah tidur pulas di kamar Glara ditemani oleh Willi. “aku pulang dulu ya. besuk aku ada flight pagi.”“Flight pagi? Ke mana?” tanya Glara menatap Bhuvi bingung.“Perjalanan bisnis.&rdqu
Glara mencoba membuang kecurigaannya dan mengirimkan kabar pada Bhuvi jika gaun yang pria itu kirimkan sudah berada di tangannya. Setelah mendapatkan balasan singkat dari Bhuvi, Glara pun memutuskan untuk kembali ke kamarnya dan melanjutkan pencarian vendor besuk pagi.Waktu terus berjalan, pagi ini Glara mengadakan rapat dadakan dengan semua petinggi perusahaannya untuk membicarakan masalah peluncuran produk barunya yang kemungkinan besar akan diundur hingga waktu yang tidak ditentukan. Keputusan Glara tentu mendapatkan penolakan dari banyak orang karena bagaimana pun juga mereka sudah mempersiapkan moment yang tepat untuk peluncurannya dan sekarang Glara mengundurnya begitu saja.“Saya juga menyesali keputusan ini, tetapi saya tidak bisa berbuat banyak. tidak ada vendor yang bisa mengerjakannya dalam waktu semalam.”“Tetap saja, kita tidak bisa mengundur lagi. Kalau kita mengundur peluncurannya bisa-b
Sepanjang hari Glara terus teringat akan perbincangannya dengan Rose tadi. Ia mencoba mencari tahu produk yang batal diluncurkan beberapa tahun silam dan produk yang sama di perusahaan lain. Sudah lebih dari 3 jam Glara mengurung diri di ruang kerjanya dengan setumpuk berkas yang hampir menutupi wajahnya. Sayangnya, Glara tak juga mendapatkan petunjuk apapun tentang perusahaan yang Rose maksud.“Saya kurang tahu, Bu Glara. Yang saya ingat perusahaan itu memang selalu menjadi pesaing perusahaan kita.”Ucapan Rose terus terputar dibenaknya, hingga Glara semakin semangat mencari tahu siapa orang yang sengaja ingin menghancurkan perusahaannya. Glara berharap dari kejadian ini ia bisa membuka lebih banyak teka-teki yang selama ini selalu menghantuinya dan Bhuvi.Saat sedang fokus pada pencariannya, tiba-tiba ponsel Glara berdering panjang. Glara pun menatap layar ponselnya dan mendapati nama Bhuv
“Jadi ini tujuan kamu menceraikan aku, Damian?” pekik Glara berdiri di ambang pintu rumahnya ia tertegun melihat pemandangan yang tersaji di hadapannya.Awalnya Glara datang untuk mengambil barang-barangnya yang masih tertinggal di rumah itu namun, ia justru mendapatkan kenyataan pahit yang membuat hatinya semakin tersayat-sayat. “Berhari-hari aku mengurung diri dan menyalahkan diriku karena tak becus menjadi istri hingga kamu memilih berpisah ternyata ini yang sebenarnya kamu mau?” ujar Glara mengatakan isi hatinya.“Kalau iya kenapa?” balas Damian santai dan melemparkan tatapan mengejek.“Sudah berapa lama kalian memadu kasih tanpa sepengetahuanku?”Damian berdecak malas. “Itu bukan urusanmu!” Pria itu mengabaikan kedatangan Glara, ia justru sibuk dengan pegawai vendor yang mengatur kursi dan juga pelaminan.“Damian ada siapa?” tanya ibu dari Damian dari dalam rumahnya. “Oh wanita miskin ini, mau ngapain lagi dia ke sini?” ujarnya setelah menatap Glara dari ujung rambut hingga ke uj
Glara berdiri di depan bangunan yang menjulang tinggi di depannya, rasanya sudah begitu lama ia tak menginjakkan kakinya di bangunan itu. Rasa canggung dan malu menyelinap di benak Glara. Namun, Glara tak memiliki pilihan lain demi keselamatan buah hatinya.Sebelum masuk ke dalam bangunan itu, Glara menarik napas dalam-dalam dan menghembuskannya perlahan. Kedatangan Glara disambut manis oleh jajaran wanita yang berbaris di balik meja resepsionis. “Selamat datang nona Glara, tuan besar sudah menunggu kedatangan Nona. Mari saya antar.”Glara hanya tersenyum dan mengangguk, ia mengikuti langkah kaki wanita ramping di depannya. Hingga langkah kakinya berhenti tepat di depan pintu lift yang masih tertutup. Tak lama, pintu lift terbuka, wanita ramping itu mempersilakan Glara masuk ke dalamnya. Setelahnya, ia menekan angka paling tinggi di bangunan itu.Degup jantung Glara semakin berpacu tak karuan, rasa gugup dan gelisah berkecamuk di dalam hatinya. Ia sangat takut jika saja orang yang ia
Tak lama datanglah beberapa pria tegap dengan pakaian serba hitam dan salah seorang pria berpakaian jas rapi yang menghammpiri Glara di depan ruang rawat Gama. “Permisi nona, kami sudah mengurus surat perpindahan Tuan Muda Gama dan mempersiapkan perawatan di rumah sakit baru. Sebentar lagi Tuan Muda Gama akan kami pindahkan,” lapornya seraya memberikan map berisi data-data Gama.“Terima kasih atas bantuannya,” sahut Glara bernapas lega.“Tuan besar berpesan agar Nona segera menjalankan bagian nona.” Glara mengangguk mendengar ucapan salah seorang kepercayaan sang kakek.Saat Glara akan menanyakan lebih rinci tentang tugasnya, beberapa perawat masuk ke dalam ruangan Gama. Glara tak begitu panik, karena ia sudah tahu jika Gama akan dipersiapkan untuk dipindahkan rumah sakit yang lebih besar dari ini.“Pasien sudah siap dipindahkan,” ujar salah seorang perawat yang memimpin barisan perawat lainnya yang sedang mendorong brankar Gama.Glara mengangguk dan mempersilakan tangan kanan kakekny