Di kota lain, Moza tengah menatap hamparan luas laut yang biru berlapis kaca mata hitam tebal miliknya. Ia terlihat seksi dengan bikini berwarna maroon.Di sampingnya berdiri lelaki tampan memakai celana pendek putih disertai kemeja motif pantai berwarna biru. pria itu menggunakan teropong untuk melihat ke kejauhan.Moza menyeringai puas, menikmati desiran angin pantai yang menerpa wajahnya. Matahari memantul pada permukaan air laut yang tenang, dan ia merasakan dirinya benar-benar bebas dari bayang-bayang masa lalu.Pria di sebelahnya, dengan wajah maskulin yang dihiasi senyum tipis, menurunkan teropongnya dan berbalik menghadap Moza. "Jadi, apa rencanamu sekarang?" tanyanya santai, memeriksa Moza dengan tatapan penuh minat.Moza tersenyum sinis, menyelipkan rambutnya ke belakang telinga. "Hanya menikmati hidupku... tanpanya," jawabnya sambil melirik pria itu, seolah mencari konfirmasi dari keputusan yang telah ia buat.Pria itu tertawa kecil. "Kau benar-benar berani, Moza. Melepaska
Beberapa minggu kemudian, Samy memutuskan untuk melakukan pendekatan yang berbeda. Sadar bahwa terlalu memaksa hanya membuat Veny semakin menjauh, ia mencoba mencari cara untuk perlahan membuka kembali hati Veny tanpa membuatnya merasa terpaksa.Suatu malam, ketika Nick sudah tertidur, Samy melihat Veny duduk di ruang keluarga, menatap keluar jendela. Ia tampak termenung, pikirannya melayang jauh.“Bolehkah aku duduk di sini?” Samy bertanya hati-hati.Veny terdiam sesaat, lalu mengangguk pelan tanpa menoleh.Samy duduk di sebelahnya, menjaga jarak yang cukup. Ia merasa canggung, namun tahu bahwa saat ini ia tidak boleh mundur."Aku tahu ini tidak mudah," ucap Samy setelah keheningan yang cukup lama. "Dan aku sadar aku sudah banyak melakukan kesalahan yang membuatmu terluka."Veny tetap menatap ke luar jendela, wajahnya datar. Tetapi, ada sorot mata yang berbeda; seakan ada bagian dari dirinya yang ingin mendengar lebih banyak.“Aku tidak meminta agar semuanya dilupakan begitu saja,” l
Sebulan telah berlalu, Samy tidak lagi sama seperti waktu itu. Kini pria itu lebih banyak diam seolah merasa bersalah pada Veny.Sungguh dia tidak bisa memaafkan dirinya sendiri."Samy, apa kau sibuk hari ini?" Veny baru saja mengetuk pintu kamarnya."Mmm, aku...""Apa aku boleh masuk?" Veny ingin masuk ke dalam."Mmm, i-iya, masuklah."Samy sepertinya tidak leluasa membuat Veny ingin sekali bertanya.Veny membuka pintu dan melangkah masuk ke kamar Samy. Ia mendapati pria itu duduk di tepi ranjang, dengan wajah yang tampak letih dan penuh beban. Tidak seperti biasanya, Samy terlihat lebih lesu dan sulit untuk menatap langsung ke arah Veny.“Kau baik-baik saja?” tanya Veny dengan nada lembut namun tetap penuh kekhawatiran.Samy hanya mengangguk pelan, tetapi sorot matanya mengatakan sebaliknya. Ia menghindari kontak mata, membuat suasana di kamar terasa semakin canggung.“Kau tidak seperti biasanya, Samy. Ada yang mengganggumu?” desak Veny, memberanikan diri untuk mendekat.Samy menghe
"Buka saja aku tidak akan marah," kata Veny. Dia melihat keraguan di mata Samy saat menatap kotak pemberian Moza."Aku rasa ini tidak penting," ucap Samy."Kau yakin? Bagaimana jika itu benda berbahaya?" sahut Veny, dia lebih penasaran dari pada Samy."Segala sesuatu tentang dia sudah berakhir. Aku hanya fokus padamu dan Nick juga calon bayi kita." Samy mengenyampingkan kotak itu. Ia menyentuh tangan Veny seolah meyakinkan wanita itu."Kenapa aku ingin melihatnya?" Veny bertanya lebih ke dirinya sendiri. Bukan karena apa, tapi Veny tau berapa liciknya Moza. Bisa saja kotak itu berisi benda berbahaya.Samy menarik napas panjang, mengerti keraguan yang terlihat di wajah Veny. Ia meraih kotak kecil itu kembali dan menatapnya lekat-lekat, seolah memastikan bahwa benda tersebut tidak memiliki niat buruk."Baiklah," kata Samy akhirnya. "Jika itu membuatmu tenang, aku akan membukanya."Samy mengambil gunting dari meja terdekat dan dengan hati-hati membuka pita yang melilit kotak kecil terse
Semua kembali seperti dulu, Veny merasa dejavu. Walau bagaimanapun Samy menginginkannya, tapi dia tidak pernah bisa tegas terhadap Moza.Jujur, Veny kecewa, ia mengusap perutnya yang sedikit menonjol. Nasibnya sama dengan Nick, tanpa didampingi oleh Samy."Nyonya, Tuan sepertinya sangat terpukul dengan kepergian kita." Isla menghampiri Veny.Dia baru saja menidurkan Nick. Mereka kembali ke apartemen.Segelas teh hangat di atas meja belum disentuh sama sekali, bohong jika Veny baik-baik saja."Faktanya dia tidak bisa bertindak tegas. Lagi pula Moza hamil, lebih baik aku pergi dari sana.""Apa Nyonya yakin itu anak Tuan Samy? Mendengar kelicikan Nona Moza selama ini, aku rasa itu tidak mungkin." Isla sedikit membela Samy. Sebagai orang asing ia melihat ketulusan Samy pada Veny dan Nick.Mendengar itu Veny menerawang ke depan. Tak dipungkiri apa yang dikatakan oleh Isla cukup masuk akal. Sebagaimana dulu Moza tega memfitnahnya."Kasihan Tuan Samy, dia tidak berdaya karena Moza adalah ora
Adolfo mengangguk. "Baik, saya akan segera menyiapkan dokumen resmi dan melaporkannya ke pihak berwenang. Tapi saya perlu bertanya, apakah Anda sudah siap menghadapi kemungkinan tekanan balik dari pihak Moza?"Samy menatap Adolfo tajam. "Tekanan apa pun yang dia coba berikan tidak akan mengubah keputusanku. Lakukan apa yang harus kau lakukan, Adolfo."---Di sisi lain, MozaMoza sedang menikmati teh paginya ketika sebuah panggilan masuk ke ponselnya. Itu dari Alma, ibunya."Moza, ada kabar buruk," kata Alma panik."Apa maksud Ibu?" Moza mengerutkan kening, tidak suka mendengar nada suara ibunya."Samy mengajukan laporan hukum terhadapmu. Aku baru mendengar ini dari seorang kenalan di pengadilan."Cangkir teh di tangan Moza hampir jatuh. Wajahnya memucat. "Apa? Samy berani melakukannya?""Iya, dia sepertinya punya bukti kuat. Moza, kau harus segera bertindak! Ini bisa menghancurkanmu."Moza menghela napas panjang, berusaha mengendalikan emosinya. "Tidak mungkin aku kalah semudah itu, B
"Kenapa begitu sulit untuk kita?" tanya Veny.Mereka berdua sedang jalan pagi, Samy sengaja datang ingin membicarakan tentang masalah mereka."Ini kesalahanku, aku terlalu percaya pada Moza hingga mengorbankan perasaanmu." Samy mengakui kebodohannya dulu."Pada akhirnya kau membiarkan dia lolos?""Kesalahannya kali ini tak cukup fatal, polisi tidak menahannya, sedangkan kasusmu dulu, sudah terlalu lama dan tidak ada bukti.""Jika aku mengatakan sesuatu apa kau mau mempercayaiku?""Tentu, katakan apa itu?""Moza yang menculik Nick waktu itu.""A-apa?""Buktiku tidak akurat, jika kau sungguh-sungguh ingin membuatnya di penjara, cari buktinya dan aku akan memikirkan untuk kembali denganmu."Samy terdiam mendengar ucapan Veny. Wajahnya tampak tegang, matanya menunjukkan rasa bersalah yang mendalam. Ia tahu, apa yang dikatakan Veny bukanlah tuduhan tanpa dasar. Moza memang selalu memiliki cara untuk menimbulkan kekacauan dalam hidup mereka."Moza menculik Nick?" Samy mengulang, seolah mema
Prok prok prokSamy muncul tanpa diduga."Kau ingin mengkambinghitamkan Tuan Hong demi ambisimu?"Moza terdiam, seluruh tubuhnya mendadak kaku, ia menelan salivanya kasar. Bagaimana mungkin Samy muncul?"Tuan Brown, tolong, aku tidak bersalah, aku hanya mengerjakan perintah." Tuan Hong mengatupkan tangannya ketakutan.Samy menahannya dengan mengangkat kelima jarinya, Ran yang ada di sana meminta agar Tuan Hong diam.Samy maju semakin dekat pada Moza."Kenapa kau lakukan ini Moza? Apa yang salah pada dirimu? Dulu kau begitu baik padaku dan penuh perhatian sampai aku selalu memaafkan setiap kesalahanmu."Moza menatap Samy dengan mata yang memancarkan campuran ketakutan dan kebencian. Dia mundur selangkah, namun Samy tetap mendekat, suaranya rendah dan tajam seperti pisau yang menusuk ke dalam hati."Jawab aku, Moza," tuntut Samy. "Kenapa kau begitu terobsesi menghancurkan hidupku? Hidup Veny? Apa kau tidak pernah merasa puas dengan apa yang kau miliki?"Moza menghela napas panjang, beru
Malam itu, setelah acara makan malam selesai, Alex menawarkan untuk mengantar Diandra ke kamar hotelnya.“Nick bilang dia harus menghadiri rapat video dengan rekan bisnisnya,” ucap Alex sambil tersenyum kecil. “Jadi, aku akan memastikan kau sampai dengan aman.”Diandra mengangguk pelan. “Terima kasih, Alex.”Mereka berjalan berdua melewati lobi hotel yang mewah. Suasana malam begitu hening, dan hanya suara langkah mereka yang terdengar.“Bagaimana pendapatmu tentang New York sejauh ini?” Alex memulai percakapan untuk mencairkan suasana.“Indah, tapi juga terasa begitu sibuk. Aku tidak terbiasa dengan keramaian seperti ini,” jawab Diandra jujur.Alex tersenyum. “Aku juga butuh waktu untuk menyesuaikan diri saat pertama kali tinggal di sini. Tapi aku yakin, kau akan menyukai kota ini jika diberi kesempatan lebih lama.”Diandra hanya tersenyum tipis.Ketika mereka sampai di depan pintu kamar hotel Diandra, Alex memberanikan diri untuk berbicara lebih serius.“Diandra, ada sesuatu yang in
Nick dan Diandra memutuskan untuk mengundang Alex makan malam di rumah mereka di San Diego. Awalnya, Diandra sempat ragu, merasa undangan itu terlalu mendadak. Namun, Nick meyakinkannya.“Kak, aku tahu ini jauh, tapi aku merasa ada banyak hal yang harus kita bicarakan langsung dengan Alex. Ini penting,” ujar Nick.“Memangnya, apa yang mau dibahas?” tanya Diandra.Nick tersenyum samar. “Tentang masa depan. Aku yakin Alex akan menghargai undangan ini.”Di sisi lain, Alex menerima pesan Nick saat sedang rapat di New York. Membaca undangan itu, Alex terdiam sesaat, memikirkan jarak dan waktu yang dibutuhkan. Namun, rasa penasaran dan keinginan bertemu Diandra membuatnya segera membalas pesan tersebut.“Aku akan datang. Kirimkan alamatnya.”Alex langsung mengatur penerbangan menggunakan jet pribadinya. Dengan bantuan asistennya, perjalanan ke San Diego pun terencana dengan rapi.Selama di dalam pesawat, Alex memikirkan ulang keputusannya. Jarak ribuan mil ini terasa sepele dibandingkan den
"Jika kau terus bersama Alex, kau akan menyesal. Jauhkan dirimu darinya, atau keluargamu yang akan menderita."Pesan itu membuat Diandra gemetar. Celia mungkin sudah kalah secara resmi, tetapi ancamannya tampaknya belum selesai.Diandra membaca pesan itu berulang kali, seakan memastikan ia tidak salah lihat. Napasnya tersengal, pikirannya penuh kekhawatiran. Siapa pun yang mengirim pesan itu pasti tahu tentang hubungannya dengan Alex, meskipun hubungan itu belum sepenuhnya jelas.Dia mencoba menenangkan diri. “Tidak. Aku tidak bisa membiarkan ancaman seperti ini mengontrol hidupku,” gumamnya. Namun, bayangan keluarganya muncul di benaknya—Nick, Felix, Tania—semua orang yang ia cintai. Jika mereka menjadi sasaran, ia tidak akan bisa memaafkan dirinya sendiri.Sementara itu, Alex tiba di rumah setelah perjalanan panjang dari New York. Meski lelah, kemenangannya atas Celia tidak memberikan rasa lega yang utuh. Ia terus memikirkan Diandra, berharap bisa mendengar kabar darinya.Namun, saa
"Alex," ucapnya lembut.Alex menoleh, matanya bertemu dengan tatapan Diandra. "Ada apa?""Terima kasih," kata Diandra, senyumnya tulus. "Untuk segalanya."Alex tersenyum tipis, lalu menjawab, "Aku akan selalu melindungimu, Diandra. Apa pun yang terjadi."Diandra merasakan sesuatu yang hangat di hatinya. Kini ia tahu, Alex bukan hanya sekadar teman, tetapi seseorang yang tulus ingin memperjuangkannya. Diandra mulai menyadari bahwa mungkin, ia juga memiliki perasaan yang sama.Setelah konferensi pers itu, Alex memutuskan untuk tinggal di San Diego lebih lama. Ia merasa ada banyak hal yang belum selesai, terutama terkait Celia dan Rod yang masih menjadi ancaman. Namun, di sisi lain, Alex juga sadar bahwa alasan sebenarnya ia ingin tetap di kota itu adalah Diandra.Diandra mulai merasa kebersamaan mereka semakin intens. Setiap kali Alex berada di sekitar, ia merasa nyaman, meskipun ia mencoba menyangkal perasaan itu.Suatu sore, Alex mengundang Diandra untuk berjalan-jalan di taman dekat
Beberapa minggu setelah makan malam itu, Alex semakin sering datang ke San Diego. Tidak hanya untuk bertemu Diandra, tetapi juga menjalin hubungan baik dengan Nick, Veny, dan bahkan Samy. Diandra yang awalnya ragu mulai menyadari bahwa Alex tidak main-main.Suatu sore, Diandra sedang duduk di taman belakang rumah sambil membaca buku. Alex tiba-tiba muncul dengan membawa sekotak besar kue."Hei, aku tidak tahu kau suka membaca buku filsafat," kata Alex sambil duduk di samping Diandra.Diandra menutup bukunya dan menatap Alex. "Aku hanya mencoba memahami hidup ini lebih baik."Alex tertawa kecil. "Kalau begitu, bagaimana kalau kita memulai dengan memahami rasa kue ini?"Diandra tertawa, lalu membuka kotak itu. Di dalamnya terdapat berbagai jenis kue yang tampak lezat."Kenapa kau selalu membawa sesuatu setiap kali datang?" tanya Diandra sambil mengambil sepotong kue."Karena aku ingin kau tahu bahwa aku serius. Dan, aku ingin kau bahagia," jawab Alex, menatap Diandra dengan mata penuh k
Diandra menunduk, merasa jantungnya berdebar kencang. Selama ini, ia juga merasakan sesuatu yang berbeda terhadap Alex, tapi ia tidak berani mengakui bahkan pada dirinya sendiri."Alex," akhirnya ia berbicara. "Aku tidak tahu harus berkata apa. Aku menghargai kejujuranmu, tapi aku butuh waktu untuk memikirkan ini."Alex mengangguk dengan senyum pahit. "Tentu. Aku tidak ingin memaksamu. Ambillah waktu sebanyak yang kau butuhkan."Diandra mengangguk kecil, dan suasana di antara mereka menjadi sunyi. Namun, meski tanpa kata, ada sesuatu yang terasa lebih dalam di udara, seperti awal dari sesuatu yang baru.Saat Alex pergi meninggalkan rumah, ia merasa lega telah mengungkapkan perasaannya, meskipun tidak tahu bagaimana tanggapan Diandra selanjutnya. Sementara itu, Diandra berdiri di depan pintu, memikirkan kata-kata Alex dan mencoba memahami perasaannya sendiri.Hari-hari berlalu sejak pengakuan Alex, dan hubungan antara Alex dan Diandra menjadi lebih canggung namun penuh arti. Diandra se
Alex menatap Samy dengan tenang, kemudian mengarahkan pandangannya kembali ke Diandra. "Seseorang yang pernah membantuku melewati masa sulit. Aku rasa tidak ada salahnya menunjukkan rasa terima kasih."Nick berdiri dari tempat duduknya, berusaha mengalihkan perhatian. "Kenapa tidak kita bicara di luar, Alex? Ada beberapa tempat bagus yang ingin kutunjukkan padamu."Alex tersenyum mengangguk, tetapi sebelum berdiri, ia berkata, "Tentu. Tapi sebelum itu, aku ingin mengatakan sesuatu pada Diandra."Semua mata langsung tertuju pada gadis itu. Diandra yang merasa pusat perhatian, semakin salah tingkah. "Ya... ada apa, Alex?"Alex mengambil napas sejenak, lalu berkata, "Aku tahu kau pernah mengalami banyak hal yang sulit, tapi aku ingin kau tahu bahwa aku sangat mengagumi keteguhanmu. Kau adalah seseorang yang spesial, Diandra. Itu sebabnya aku ingin memastikan bahwa kau bahagia."Ruangan itu hening. Diandra menatap Alex dengan campuran keterkejutan dan kebingungan. Nick tampak tidak senang
Beberapa minggu kemudian, pengadilan memutuskan bahwa Celia dan Rod bersalah atas pencemaran nama baik serta penyalahgunaan wewenang selama menjabat di perusahaan. Mereka dijatuhi hukuman yang membuat mereka kehilangan hak untuk terlibat dalam dunia bisnis.Di kantor EC, Alex berdiri di depan seluruh karyawan, memberikan pidato kemenangannya.“Hari ini bukan hanya kemenangan bagi saya, tapi juga bagi kita semua. Perusahaan ini adalah warisan ayah saya, dan saya berjanji akan menjaga kepercayaannya dengan bekerja bersama kalian untuk membuat EC semakin besar.”Tepuk tangan riuh memenuhi ruangan. Diandra dan Nick tersenyum bangga di belakang ruangan, menyadari bahwa perjalanan mereka bersama Alex baru saja dimulai.Kini, Alex tidak hanya membuktikan dirinya sebagai pewaris sah, tetapi juga pemimpin yang layak untuk memimpin EC ke masa depan yang lebih cerah.Setelah semua kekacauan selesai, Nick dan Diandra memutuskan untuk kembali ke San Diego. Mereka merasa tugas mereka di New York su
Salah satu anggota dewan, Tuan Harry, angkat bicara. "Bukti ini sangat jelas. Saya setuju bahwa tindakan hukum harus diambil. Kita tidak bisa membiarkan perusahaan ini jatuh ke tangan yang salah."Celia mencoba membela diri. "Ini semua tidak benar! Ini hanya rekayasa Alex untuk menjatuhkan kami!"Namun, Alex tetap tenang. "Jika Anda merasa ini rekayasa, Nyonya Celia, Anda bisa membuktikannya di pengadilan."Dewan direksi akhirnya memutuskan untuk memecat Celia dan Rod dari semua posisi mereka di perusahaan dan menyerahkan kasus tersebut kepada pihak berwenang.Setelah pertemuan itu, Alex berdiri di balkon kantornya, memandang langit malam. Nick dan Diandra mendekatinya."Kau melakukannya, Lex," kata Nick sambil tersenyum bangga.Alex mengangguk pelan. "Ini semua bukan hanya untukku, tapi juga untuk ayah dan semua orang yang telah bekerja keras membangun perusahaan ini."Diandra tersenyum. "Sekarang apa rencanamu, Alex?"Alex menoleh ke mereka berdua. "Mulai sekarang, aku akan membawa