Peter kembali ke kamarnya untuk mengambil perlengkapan yang dibutuhkan untuk melakukan hipnoterapi.“Orang ini bisa dipercaya? Dia bisa mengembalikan ingatanku?” tanya Terry.“Aku juga nggak tahu berhasil atau nggak. Yang jelas harus kita coba dulu,” jawab Rachel.Kalau benar-benar sudah tidak ada cara lain lagi, Rachel terpaksa harus meminta bantuan kepada Catherine. Bicara soal Catherine, entah apa kabarnya sekarang …. Peter mengambil sebuah kotak dari kamarnya dan mengeluarkan beberapa peralatan yang ada di dalamnya. Dia lalu menyeret sebuah kursi dan duduk di samping Terry.“Sekarang kamu harus merilekskan badanmu, sama seperti kamu lagi berbaring di dalam pelukan orang tua. Penuh dengan rasa aman dan segala hal yang ada di sekitar kamu membuat kamu merasa nyaman ….”Wajah Terry pun seketika melemas seperti hendak tidur.“Bagus, sekarang tolong kasih tahu aku, apa ingatan paling pertama yang ada di kepalamu?” lanjut Peter.“Aku terbangun di sebuah tempat yang gelap dan berbau amis
“Kenapa?”“Sesi hipnoterapi tadi membawa aku masuk ke tempat yang banyak bunga bermekaran. Semuanya baik-baik saja, tapi tiba-tiba kamu muncul dan ngelihat kamu dibawa pergi sama orang lain. Ingatan itu terasa nyata banget, seakan-akan ada orang yang dengan paksa membawa kamu pergi dari hidupku. Rasa marah dan sedih yang tadi aku rasain begitu kuat … tapi begitu aku terbangun, aku nggak ingat apa-apa lagi.”Seiring Terry berbicara, dia mengalami rasa sakit di belakang kepalanya. Setiap kali dia berusaha menggali ingatannya di masa lalu, rasa sakit itu selalu datang lagi dan lagi ….“Ya sudah, nggak usah dipikirin lagi,” ucap Rachel tersenyum. “Anak-anak minta aku kasih sesuatu buat kamu.”Rachel lantas berjalan ke tepi ranjang dan mengeluarkan sebuah berkas dari bawah bantal untuk dia serahkan kepada Terry.“Ini dari Eddy dan Michael.”“Eddy, Michael … mereka yang nama panggilannya ‘Darren yang Suka Susu’ dan ‘Mike’ di dark web itu, ya?”“Iya. Mereka pernah bilang dulu sempat sering b
Rachel tertidur pulas sampai matahari bersinar terang di siang bolong. Dia langsung mengganti pakaian dan turun sesudah mandi. Keempat anaknya sedang sarapan di ruang makan, sementara Karl dan Peter sedang berbincang menggunakan bahasa Inggris.“Rachel, hari ini kamu kelihatannya cantik banget. Ada janji ketemuan sama seseorang, ya?” tanya Peter.“Aku mau ke konser, anak-anak mau ikut?”“Aku mau,” jawab Michelle, “Mama, aku sudah lama nggak main piano.”Rachel terburu-buru membawa keempat anaknya pergi meninggalkan Suwanda, jadi banyak hal yang terabaikan. Anak-anak tidak bisa mengenyam pendidikan seperti anak kecil pada umumnya, dan Michelle juga tidak bisa mengikuti les piano lagi. Eddy dan Michael juga tidak bisa mengerjakan pekerjaan mereka di kantor seperti dulu. Namun, Rachel terpaksa melakukan semua itu demi keamanan mereka sendiri.“Kalau begitu hari ini ayo kita pergi ke konser, nanti coba kita lihat apa kemampuan kamu sudah berkurang atau belum.”Michelle tentu sangat bahagi
Rachel menuntun keempat anaknya duduk di barisan depan. Namun ketika mereka baru saja masuk, tidak sedikit orang yang menatap mereka sinis. Hampir setengah dari penonton yang ada menganggap keempat anaknya Rachel hanyalah anak nakal yang akan membuat keributan saat acaranya dimulai nanti.“Cepat lihat, Bu Mavis sudah datang.”Sontak, semua orang melirik ke sesosok wanita anggun yang baru saja masuk ke dalam gedung opera tersebut. Penampilan orang itu di TV dan di kenyataan tidak terlalu berbeda jauh. Dia tampak begitu muda dan elegan.Wanita yang bernama Mavis itu sudah berusia 40-an tahun, tapi perawatan tubuhnya begitu luar biasa sehingga dia masih terlihat seperti 30-an. Mavis duduk di kursi kehormatan yang lokasinya persis di depan Rachel.Tak lama, konser pun dimulai. Acara utama konser hari ini adalah permainan yang dibawakan oleh duo pianis termuda di Singapura, yang terdiri dari satu pria dan satu wanita. Alunan musik yang mereka bawakan mengalir dengan sangat merdu, membuat pa
Kebanyakan dari penonton yang datang hari ini tertarik karena mengetahui Piano Concerto No. 2 in G Minor akan dimainkan. Ketika mereka mendengar bahwa karya tersebut tidak lain dimainkan hari itu, tentu banyak yang merasa kecewa. Mavis pun bangkit dari tempat duduknya dan bersiap untuk pergi.“Maaf, Bu Mavis. Kalau Ibu nggak buru-buru, apa bisa minta waktunya sebentar untuk mendengar Piano Concerto No. 2 in G Minor yang anakku mainkan?”“Anak kamu?” tanya Mavis.“Aku bisa main Piano Concerto No. 2 in G Minor,” kata Michelle dengan penuh keyakinan. “Aku belajar dari Pak Albert. Pak Albert bilang pemahamanku tentang lagu itu cukup kuat, jadi aku harap Bu Mavis bisa kasih aku kesempatan sebentar saja.”“Albert? Albert yang itu maksudnya?”“Dulu aku pernah dengar katanya Albert menerima satu murid lagi, mungkinkah murid itu maksudnya anak ini?”“Gurunya memang sudah terkenal di seluruh dunia, tapi anak kecil begitu apa benar-benar bisa memainkan Piano Concerto No. 2 in G Minor?”“Lagu itu
Hal itu membuat Michael teringat dengan sikap Michelle yang hanya diam saja selama satu bulan terakhir. Michelle tidak banyak bicara, dan itu membuat Michael berpikir kalau adiknya tidak tahu apa-apa. Padahal, justru Michelle lebih peka dari siapa pun. Sejak awal Michelle sudah tahu bahwa terjadi sesuatu pada ayahnya. Namun, pikirannya yang masih belum matang itu tidak bisa mencerna apa yang sedang terjadi sebenarnya.Setiap hari Michelle lalui dengan rasa takut dan gelisah, hingga akhirnya dia bertemu dengan sang ayah, dan rasa takut itu pun menghilang. Oleh karena itulah, Michelle bisa memainkan lagu ini dengan mudah.Setelah bagian yang membangkitkan rasa takut itu terlewati, perlahan-lahan irama lagu menjadi lebih halus. Kedua pianis berbakat yang seharusnya membawakan lagu ini tidak bisa menghayati emosi yang dibawakan oleh lagu ini secara sempurna, tapi seorang anak kecil yang baru berusia empat tahun ternyata mampu membuat mereka merasakan sensasi yang dialami oleh sang komposer
Setibanya mereka di sebuah kafe, Rachel dan Mavis duduk berseberangan sementara anak-anak asyik bermain di meja sebelah selayaknya anak-anak biasa.“Aku iri banget sama kamu,” kata Mavis. “Punya empat anak, permasalahan hidup yang paling penting otomatis selesai sudah ….”Mavis hanya memiliki seorang anak perempuan, tapi anaknya itu tidak terdidik dengan baik dan akhirnya kehilangan kesempatan untuk meneruskan takhtanya. Andaikan Mavis punya satu anak lagi, dia tidak perlu khawatir soal itu.“Anak Ibu sekarang baru 17 tahun, masih muda, hidupnya masih panjang dan apa pun bisa terjadi,” ujar Rachel berusaha menghibur. “Selama Bu Mavis bersedia memberi kesempatan untuk dia, aku yakin anak Ibu pasti bisa tumbuh menjadi penerus yang baik.”“Apa gunanya aku kasih dia kesempatan? Kabinetku sudah memberi proposal. Kalau anakku nggak bisa membuktikan bahwa dia layak sebelum masuk 18 tahun, dia akan langsung dieliminasi.”“Bicara soal perebutan kekuasaan internal, sebenarnya media di Indonesia
“Karena dia jugacuma orang biasa, yang mau menjalani hidup normal. Cuma dengan hilangnya Kelompok Hitam sampai tuntas, barulah dia bisa mendapatkan kembali kebebasannya.”“Oke. Kalau begitu, untuk sementara aku percaya sama kamu. Jadi, kapan kita bergerak?”“Untuk itu, kita masih perlu bicara tatap muka. Dalam beberapa hari ke depan, Terry North akan diam-diam menemui Bu Mavis.”Mavis merobek kertasnya, kemudian menuangkan minuman agar tulisannya tidak bisa terbaca lagi dan membuang serpihan kertas itu ke tong sampah. Setelah negosiasi selesai, Mavis bangkit dan pergi meninggalkan Rachel.“Mama, gimana? Berhasil?” tanya Darren.“Seharusnya berhasil. Penampilan kalian semua di panggung hari ini bagus banget, apalagi Michelle. Karena permainan Michelle yang bagus itu, Mama jadi bisa mendapat kesempatan untuk mengobrol sama Mavis. Malam ini kalian mau makan apa?”“Aku mau makan rendang sapi,” kata Michelle.“Rendang sapi di sini nggak otentik. Gimana kalau Mama ajak kalian belanja di supe