Ratna menyambut kepulangan Rain dengan senyum dan pelukan hangat. Wanita paruh baya itu memindai seluruh tubuh anaknya.
"Apa kamu baik-baik saja?" tanya Ratna, sembari memegang tangan anaknya.Rain menggeleng, "Aku tidak baik-baik saja, Mi."Bruuukk!!!Tubuh tinggi Rain terjatuh lemah ke lantai bersama dengan Ratna yang tak kuat menopang berat tubuhnya."Rain!" Ratna tanpa sadar berseru cukup keras. Suaranya terdengar hingga luar. Ratna coba memindahkan bobot tubuhnya yang tertindih oleh anaknya."Mami, ada a-pa…?" suara Karen terjeda, "astaga, Rain!"Karen memeriksa suhu tubuh saudara kembarnya, panas."Demam!" gumam Karen."Pantas dia seperti ular hibernasi," ucap Diaz. Dalam keadaan seperti itu dia masih bisa bercanda.Diaz membantu Karen untuk memindahkan tubuh Rain, beruntung Jun dan dua orang lainnya segera datang, hingga mereka bisa membantu Diaz membawa Rain ke kamarnya.Karen segera menyiapkan air untuk mengompres tubuh Rain, sed"Lepaskan! Keluarkan aku dari sini! Kalian pikir aku gila, hah?" Julian terus berteriak dari kamar khusus dengan teralis besi di pintu dan jendelanya.Berdasarkan hasil serangkaian tes Dan pemeriksaan, Julian telah dinyatakan mengalami gangguan mental."Kalian brengsek! Aku hanya ingin bertemu dengan Karen Esme, kenapa kalian mengurungku?" racau Julian.Hampir setiap hari Julian menyebut namanya Karen.Julian sering kali ingin mencoba bunuh diri. Terkadang dia juga memiliki kekuatan berlebih, dia bisa mematahkan teralis besi pada jendela. Kondisinya belum kondusif untuk dibawa kembali ke Surabaya.Melihat anaknya yang terus meracau tentang Karen, Tuan Anggara mencoba menemui Rain. Tuan Anggara seperti menutup mata tentang keadaan anaknya dan berusaha memberikan yang terbaik untuknya."Boleh kami meminta tolong sekali lagi, tuan Rain?" ucap tuan Anggara tanpa basa-basi."Katakan saja, aku akan mempertimbangkannya. Kalau aku bisa akan ku lakukan."
Tokyo, Jepang.Keluarga Wijaya baru saja mendarat di Tokyo, Jepang. Mereka akan menghadiri pernikahan Arashi dan Yuki yang akan dilaksanakan tiga hari lagi.Kejadian yang menimpa Karen dan kondisi kesehatan Rain yang sedikit lambat pemulihannya membuat mereka nyaris membatalkan kedatangannya ke Jepang.Karen langsung berlari dan memeluk Arashi setelah melihat pria itu melambaikan tangan ketika menjemput mereka di bandara.Disusul Ken yang juga sangat merindukanmu ayah yang telah menemaninya selama dia berada di Jepang."Aku merindukanmu, Kak!" seru Karen yang memeluk erat Arashi.Arashi membalas pelukan itu Karen tak kalah erat.
Diaz dan Yamato saling menatap, meski nampak biasa tatapan keduanya sarat akan perselisihan.Karen beranjak dari duduknya lalu mendekati suaminya, duduk disampingnya dan memegang lengannya dengan mesra, Diaz menatap sang istri lalu tersenyum dan menepuk punggung tangannya, menenangkan kegelisahannya."Bagaimana, Kek? Apa Kakek sudah memikirkan hadiah apa yang Kakek inginkan dari kami?" Diaz mengulang pertanyaannya.Yamato tertawa sinis, lalu berkata, "Kamu cukup punya nyali anak muda.""Bagaimana kalau aku meminta perusahaanmu yang tak ada seujung jari dibandingkan dengan Takahashi Company?" tantang Yamato.Diaz cukup terperangah mendengar ucapan Yamato, begitu juga dengan Karen, Rain, dan Arashi.Karen bahkan tak habis pikir, untuk apa kakeknya hal seperti itu, sangat di luar nalarnya."Kakek…""Diam, Karen Esme, ini urusan laki-laki," Yamato memotong kalimat Karen.Diaz kembali menepuk punggung tangan istrinya, seraya berpikir apa yang harus dia
Glen tiba-tiba terbatuk saat mendengar permintaan Ellen pada sang kakak. Sontak semua mata memandang ke arahnya, tak terkecuali sopir dengan menggunakan spion tengah.Glen menjadi salah tingkah melihat reaksi yang tak terduga itu, lalu nyengir kuda."Kamu kenapa, Bang?" tanya Noah yang heran, tak ada angin dan tak ada hujan pria yang duduk di sampingnya terbatuk."Ah tidak apa-apa, Noe." Noah melirik sembari menunjukkan ekspresi menggoda pada Glen dengan menaik turunkan alisnya."Tancap gas, Bang. Sudah dikasih kode," bisik Noah di telinga Glen.Glen menggaruk tengkuknya yang tidak gatal, dia bukan tak tahu maksud Noah, tapi hanya menepis agar tidak terlalu terbawa perasaan.Kediaman TakahashiSuara ketukan pintu kamar Karen terdengar ke seluruh penjuru kamar, namun penghuninya seakan tak mendengar. Ketiganya masih larut dalam buaian mimpi indah di sore hari."Karen!" Suara Ratna terdengar dari balik pintu."Karen! Diaz! Ken! Bangun!" Ratna m
Sebuah pesta pernikahan super mewah diadakan di sebuah gedung khusus yang sangat luas milik Takahashi Company. Prosesi pernikahannya telah dilaksanakan kemarin, penuh haru dan menguras emosi.Di sebelah gedung tersebut berdiri tegak sebuah hotel bintang lima, yang juga milik Takahashi Company.Suara alunan musik di dalam ruangan yang sudah didekor dengan super mewah itu perlahan berganti, lampu satu per satu mulai meredup, pertanda acara utama akan segera dimulai.Perlahan pintu utama mulai terbuka, sorot lampu dari belakang membuat siluet yang indah dipandang dari dalam ruangan. Lampu sorot, menyoroti sepasang anak manusia dengan pakaian khas pernikahan dengan dominasi warna peach. Senyum keduanya tak berhenti berkembang.Si pria menggunakan tuxedo mewah karya desainer terkenal di Jepang, sedangkan si wanita menggunakan gaun model ball gown dengan V neck belahan dada rendah, berlengan panjang dilengkapi brokat tipis, tak lupa mahkota berlian nan berkilau bert
Diaz mendengar namanya disebut, suara itu sangat tidak asing untuknya, dia menoleh ke sumber suara. Anna!Diaz hanya menampakkan wajah datarnya, sedangkan Anna tersenyum semringah menyambut pria itu."Apa kabar?" sapa Anna. Diaz bergeming, Anna menghela nafas panjang."Ah, aku sungguh kecewa kamu bersikap sedingin ini padaku. Padahal aku sudah menantikan pertemuan ini, aku sangat merindukanmu, Diaz," ujar Anna.Diaz hanya diam tak menanggapi. Keduanya saling menatap."Bisa kita bicara sebentar, Yaz?" pinta Anna."Ikuti aku!" perintah Diaz.Diaz mengajak Anna ke bagian samping lobi, agar tak langsung terlihat dari arah gedung pernikahan maupun dari arah pintu utama hotel.Bukan bermaksud apa-apa, Diaz hanya tak ingin menjadi pusat perhatian, kondisi saat ini sangat riskan. Dia khawatir ada orang menyalahkanku artikan mereka berdua.Setelah beberapa bulan tak bertemu, ingin rasanya Anna menghambur ke dalam pelukan Diaz dan mencurahkan sega
Karen dan Diaz berencana akan tinggal di Jepang seminggu lagi untuk sekedar melepas rindu, terutama Karen. Setidaknya dia ingin menyapa teman-temannya di Centra IT.Ken sendiri berkeinginan untuk menyapa teman-teman sekolahnya.Ellen? Dia akan berlibur, menggunakan waktu satu minggu untuk bersenang-senang menikmati Jepang.Ellen berencana akan pergi ke air terjun Nachi, Kyoto, dan menikmati kota Tokyo. Tentu saja dia tidak sendirian, Ellen mengeluarkan semua jurus untuk memaksa Rain menemaninya sekaligus menjadi tour guide untuknya.Rain sempat menolak karena dia ingin beristirahat, tapi setelah dipikir-pikir ada baiknya juga dia berwisata, apalagi destinasi yang diinginkan Ellen adalah wisata alam. Berguna untuk merefresh otaknya dan menenangkan diri.Ellen memandang takjub pemandangan pegunungan yang asri, terlebih suara gemericik air yang menenangkan.Ellen menarik nafas panjang untuk mengambil sebanyak-banyaknya oksigen guna mengisi rongga dadanya. Udara
"Bagaimana Karen-sama?" tanya Karyawan yang lain, karena tak kunjung mendapat jawaban dari Karen.Mendengar pertanyaan itu Karen terkekeh, sebelum akhirnya menjawab."Sepertinya aku tidak perlu menggantikan Arashi, sebab kalian punya manajer yang hebat." Karen justru memuji dan menunjuk pria yang tadi bertanya padanya, pria itu menjadi sedikit salah tingkah."Anda berlebihan, Karen-sama, saya hanya menjalankan tugas semampu saya," balas Manajer tersebut."Kami memang tidak salah memilihmu," ujar Karen.Karen memberi semangat kepada karyawannya, sebelum dirinya benar-benar meninggalkan kantor tersebut."Karen-sama memang luar biasa pesona, apalagi dia sepertinya sedang hamil," ucapan salah satu karyawan setelah Karen meninggalkan kantor tersebut."Sekarang dia justru semakin cantik," balas yang lain."Maafkan aku, Mas. Kalian pasti lama menunggu. Di mana Ken?"Karen tak melihat buah hatinya bersama dengan suaminya.Diaz menunjuk ke arah ya
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,