Karen dan Diaz berencana akan tinggal di Jepang seminggu lagi untuk sekedar melepas rindu, terutama Karen. Setidaknya dia ingin menyapa teman-temannya di Centra IT.
Ken sendiri berkeinginan untuk menyapa teman-teman sekolahnya.Ellen? Dia akan berlibur, menggunakan waktu satu minggu untuk bersenang-senang menikmati Jepang.Ellen berencana akan pergi ke air terjun Nachi, Kyoto, dan menikmati kota Tokyo. Tentu saja dia tidak sendirian, Ellen mengeluarkan semua jurus untuk memaksa Rain menemaninya sekaligus menjadi tour guide untuknya.Rain sempat menolak karena dia ingin beristirahat, tapi setelah dipikir-pikir ada baiknya juga dia berwisata, apalagi destinasi yang diinginkan Ellen adalah wisata alam. Berguna untuk merefresh otaknya dan menenangkan diri.Ellen memandang takjub pemandangan pegunungan yang asri, terlebih suara gemericik air yang menenangkan.Ellen menarik nafas panjang untuk mengambil sebanyak-banyaknya oksigen guna mengisi rongga dadanya. Udara"Bagaimana Karen-sama?" tanya Karyawan yang lain, karena tak kunjung mendapat jawaban dari Karen.Mendengar pertanyaan itu Karen terkekeh, sebelum akhirnya menjawab."Sepertinya aku tidak perlu menggantikan Arashi, sebab kalian punya manajer yang hebat." Karen justru memuji dan menunjuk pria yang tadi bertanya padanya, pria itu menjadi sedikit salah tingkah."Anda berlebihan, Karen-sama, saya hanya menjalankan tugas semampu saya," balas Manajer tersebut."Kami memang tidak salah memilihmu," ujar Karen.Karen memberi semangat kepada karyawannya, sebelum dirinya benar-benar meninggalkan kantor tersebut."Karen-sama memang luar biasa pesona, apalagi dia sepertinya sedang hamil," ucapan salah satu karyawan setelah Karen meninggalkan kantor tersebut."Sekarang dia justru semakin cantik," balas yang lain."Maafkan aku, Mas. Kalian pasti lama menunggu. Di mana Ken?"Karen tak melihat buah hatinya bersama dengan suaminya.Diaz menunjuk ke arah ya
Karen, Diaz, Rain, bahkan Ellen serentak mengucapkan kata yang sama, sudah seperti dikomando dengan kompaknya. Sampai-sampai Ken harus menutup telinganya karena suara mereka berempat seperti geledek."Tidak sopan berteriak pada orang tua," protes Yamato."Maaf, Kek," ucap keempatnya dengan kompak."Kakek, kenapa melarang kami untuk kembali ke Jakarta?" protes Karen.Yamato menatap aneh pada cucunya."Siapa yang melarang kalian kembali ke Jakarta? Aku tidak melarang!""Lalu kenapa menyuruh kami membatalkan tiket pesawat?""Dasar anak nakal, kalian ini cucu keluarga Takahashi, kenapa harus repot-repot menggunakan pesawat komersil. Kalian bisa dengan mudah menggunakan jet pribadi Takahashi."Keempatnya melongo tidak percaya dengan apa yang dikatakan oleh kakek tua itu."Kita akan ke Jakarta bersama," suara Arashi memecah suasana."Aku dan Yuki akan bulan madu ke Bali, setidaknya aku bisa mengantar kalian dulu sampai di Jakarta," imbuh pria itu.
Ellen yang tak memperhatikan jalan karena fokus pada ponsel pintarnya, tanpa sengaja menabrak seseorang. Dirinya nyaris terjatuh jika orang yang ditabraknya tidak memegangi tubuhnya.Sayang, dia harus merelakan handphonenya terjatuh di lantai.Sejenak keduanya saling menatap."Kamu tidak apa-apa, nona Ellen?" tanya pria tersebut.Sontak Ellen langsung menegakkan dan menyeimbangkan tubuhnya."Maafkan, aku," ucap Ellen gugup."Ini," pria itu menyerahkan handphone milik Ellen."Terima kasih, Pak Rendra. Sekali lagi maafkan aku."Pria yang bertabrakan dengan Ellen adalah orang yang sama saat mereka bertabrakan di depan restoran.Rendra Caesar. Seorang pengusaha di bidang fashion yang sedang naik daun dan memiliki brand produk khusus pria yang telah merambah dunia internasional.Rendra Caesar juga merupakan dosen di kampus Ellen. Pria single dengan umur tak jauh beda dengan Diaz."Berhati-hatilah saat berjalan, nona Ellen. Kau sudah menabrakku
Di pagi yang cerah, seorang pemuda tengah membantu ibunya menyiapkan hidangan untuk menyambut tamu yang katanya spesial."Memangnya siapa tamu kita, Bu? Tidak biasanya ibu memasak sebanyak ini."Wanita paruh baya itu hanya tersenyum, sedangkan si pemuda semakin memburu jawaban."Kakak dan kakak iparmu." Setelah mendengar jawaban itu si pemuda hanya ber-oh saja.Sudah lama juga kakak dan keluar kecilnya tidak datang ke rumah."Sudah, kamu mandi sana. Dandan yang rapi.""Malas, Bu. Kalau hanya mbak Rose yang datang. Nanti badanku juga berkeringat lagi karena bermain dengan kedua anaknya."Si ibu terkekeh dan memaksa anaknya untuk segera mandi."Kakakmu akan datang dengan seseorang, jadi jangan membuat malu.""Memangnya siapa?""Nanti kamu juga akan tahu."Mau tidak mau pemuda itu menuruti keinginan sang ibu."Glen!" Panggil sang ibu seraya mengetuk kamar anak laki-lakinya.Laki-laki itu bahkan baru keluar dari kamar mandi.
Rose menarik nafas berat, lalu berkata, "Selesaikan dulu urusan kalian." Lantas menepuk bahu adiknya.Glen langsung berlari mengejar Ellen. Beruntung mobil itu masih terparkir di depan rumahnya.Glen mengetuk kaca jendela mobil itu."Len, ada bang Glen," ucap Karen."Jun, jalankan saja mobilnya," perintah Ellen.Jun melirik pada Diaz, pria itu mengangguk. Jun mulai melajukan kendaraan tersebut."Ellen!""Dengarkan aku dulu," teriak Glen sembari menggedor kaca mobil.Tapi Glen harus menelan kekecewaan karena mobil itu terus melaju."Kamu yakin tak ingin mendengar penjelasan bang Glen?""Aku belum siap, Ren."Karen tak bertanya lagi, dia memberikan waktu pada adik iparnya itu untuk meluapkan rasa di hatinya."Cepat hapus air mata dan bersihkan wajahmu, sebentar lagi kita akan sampai di rumah, kamu tak ingin mama khawatir kan," perintah Diaz pada Ellen.Gadis itu segera membersihkan wajahnya meski sesekali masih sesenggukan.Sampa
Besok pagi adalah acara tujuh bulanan yang sudah di tunggu-tunggu.Semua persiapan sudah rampung, dari dekor, pakaian, acara, catering, dan pernak-pernik lainnya.Acara tujuh bulanan akan dilaksanakan di gedung serbaguna di dekat rumah keluarga Wijaya. Acara itu diadakan secara tertutup, tidak boleh ada wartawan maupun media yang masuk.Tamu undangan juga terbatas, hanya orang-orang tertentu dan kerabat dekat. Mengingat kejadian beberapa waktu lalu baik keluarga Wijaya maupun keluarga Pradana harus lebih berhati-hati, hati orang siapa yang tahu.Malam ini keluarga besar sudah berkumpul di kediaman Wijaya termasuk keluarga Pradana.Saudara Karen dari Jogja dan Solo juga sudah datang, menambah keramaian rumah tersebut.Mereka juga sangat antusias menggoda pengantin baru yang baru saja pulang berbulan madu.Terlebih, Yuki yang tak banyak tahu bahasa Indonesia terlihat menggemaskan, mereka terus menggoda Arashi dan Yuki tanpa henti.Rumah itu mendada
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
Bandara International Soekarno-Hatta"Kamu benar-benar tak akan menunggu keponakanmu lahir, Len?" tanya Karen pada saudari iparnya.Ellen telah memutuskan untuk menenangkan diri keluar Negeri. Dengan bantuan Rain dia pergi ke Jepang dan menutup semua gerai butik miliknya.Dia akan menata hidup baru di sana, sendirian. Meninggalkan masa lalunya dan juga Glen. Berharap menemukan cinta sejatinya di sana.Ellen akan tinggal di mansion milik Karen. Sejak Arashi menikah, mansion itu benar-benar tak ada yang menggunakan.Ellen tersenyum, "Maafkan aku, Ren. Kamu bisa memberiku fotonya kelak jika dia sudah lahir, aku akan sangat menantikannya.""Hai, Sayang. Sepertinya Tante tidak bisa langsung menemuimu saat kamu lahir nanti, sampai jumps," ucap Ellen seraya membelai perut Karen.Sedangkan Yunita sudah berurai air mata, anak perempuan semata wayangnya akan pergi meninggalkannya, hal yang tak pernah terpikirkan sama sekali di benaknya."Mama jangan menangis, a
Hari telah berganti, Glen datang ke kediaman Pradana bersama keluarganya, Lestari, Rose, dan kakak iparnya.Glen harus melakukan itu karena dia sudah terikat janji pada Ellen. Hanya Henry dan Noah yang datang menyambut mereka."Jadi apa yang ingin kalian bicarakan hingga datang beramai-ramai?" tanya Henry dengan menahan amarah.Glen dengan berani mengucapkan permintaan maaf pada keluarga besar Pradana, dia juga meminta kesempatan untuk dipertemukan dengan Ellen.Tapi dengan tegas Henry menolak."Tidak ada yang perlu kamu jelaskan pada anakku, semuanya sudah jelas. Jika kalian sudah tak ada lagi yang ingin dibicarakan silakan tinggalkan rumah ini.""Tuan, Henry. Saya mohon, tolong berikan saya kesempatan untuk menemui Ellen," Glen memohon."Untuk apa? Untuk lebih menyakiti hatinya lebih dalam lagi?" bentak Henry.Glen terus berusaha menjelaskan semua yang terjadi, dia juga berjanji akan segera mengusut kasus ini.Dari dalam, Ellen menangis dal
[Di, kamu sakit? Kenapa tidak bicara sama Mbak?]Pesan tersebut dikirim oleh Rose kakak Glen.[Iya, Mbak. Cuma meriang saja, tak perlu khawatir.]Diana memang sengaja mengatakan dia sedang sakit pada Glen, karena tahu Rose sedang berkunjung kerumahnya, kemungkinan pria itu akan mengatakannya pada sang kakak. Dan benar dugaannya. Rose tak akan tega membiarkan Diana dalam keadaan sakit, maka dia akan memanfaatkan keadaan ini.[Glen sedang menuju kesana, tapi Mbak lupa mau bawakan sop kesukaanmu. Mbak susul saja.][Aassiikkk! Diana tunggu ya, Mbak.] Diana tak perlu repot-repot memancing Rose untuk datang.Diana menyeringai, dia melihat benda yang beberapa waktu lalu dia beli dengan susah payah.Tak berselang lama Glen sampai di Kos Diana. Wanita itu mempersilakan Glen untuk masuk dan menawari pria itu teh manis yang telah dia beri obat penenang yang juga berfungsi sebagai obat tidur.Diana jelas tahu apa yang akan Glen katakan, dia tak mau itu
Ellen mengerjapkan mata, bingung, tentu saja wanita itu bingung, ini terlalu mendadak untuknya. Diaz, Ellen, dan Noah menatap Tak percaya ke arah Rain.Sedangkan Glen, hatinya sudah tak karuan mendengar pernyataan Rain. 'Sejak kapan mereka berdua sedekat itu?' batin Glen.Isi kepalanya penuh dengan banyak pertanyaan."Kenapa diam saja? Kamu tak ingin menjawabnya sekarang?" desak Rain. Mata pria itu menatap intens pada Ellen.Duukk! Rain menendang kaki Ellen dengan pelan. Ellen sedikit meringis.Ellen mulai membuka mulut hendak menjawab pertanyaan Rain."Jangan dijawab, ayo kita pergi," ucap Glen, lantas berjalan ke arah Ellen."Bayaranku sangat Mahal, Nona," bisik Rain. Sesaat sebelum Glen meraih tangan Ellen dan mengajak wanita itu pergi.Sontak Ellen melongo dengan kejadian barusan.Duukkk!!Karen menendang tulang kering Rain dengan kencang."Karen!" pekik Rain."Jangan mempermainkan perasaan orang, dasar bocah na
Karen terbangun di subuh hari, wanita itu merasakan pergerakan yang luar biasa pada anak di dalam perutnya. Karen mendesis merasakan sakit dan tidak nyaman di bagian perut, pinggul, bahkan dadanya terasa sesak.Perlahan-lahan dia mulai membangunkanmu tubuhnya.Seiring bertambahnya usia kandungan, Karen mulai kesulitan tidur dan belum lagi terganggu dengan frekuensi buang air kecil yang semakin sering.Merasakan ada pergerakan di sebelahnya Diaz pun ikut terbangun. Dia benar-benar menjadi suami siaga untuk Karen."Ada apa, Sayang? Apa yang kamu rasakan?" tanya Diaz pada istrinya."Tidak apa-apa, Mas. Orang hamil memang seperti ini, kamu tak perlu khawatir," ucap Karen menenangkan suaminya.Diaz ikut meringis saat melihat istrinya seperti kesakitan."Apa sudah mau melahiran?" Karen menggeleng."Pinggangku sakit, perutku mulai kencang-kencang."Diaz menyentuh perut istrinya, benar saja perut Karen terasa keras."Nak, apa kamu merasa sesak di
Ellen termenung di pinggir jendela, pikirannya jauh menerawang entah kenapa. Jatuh cinta pada Glen ternyata sesakit itu, jika tahu akan seperti itu Ellen lebih memilih orang lain untuk melabuhkan cintanya.Beberapa kali Ellen menarik nafas panjang, tapi tak juga menghilangkan sesak di dadanya.Mungkinkah dia akan bertahan dalam kisah ini? Atau menyerah begitu saja?Makanan yang tadi dibawa oleh Glen pun masih teronggok di tempatnya, tanpa tersentuh sedikitpun. Kacau, hatinya benar-benar kacau.Ellen kembali duduk di sofa, memandang bunga lili yang tak lagi spesial untuknya. Terdengar denting suara notifikasi pesan di handphonenya.Ellen mengintip siapa gerangan yang mengirim pesan. Glen, pria itu mengabarkan jika dia tak kembali ke butik, Hal yang sudah Ellen perkirakan sebelumnya.Ellen meletakkan kembali handphonenya tanpa sedikitpun ingin membuka pesan tersebut. Dia butuh waktu untuk menata hati.Ditengah keseriusannya mengerjakan beberapa desain untuk
Diana yang berada di dekat kantor Glen sengaja ingin menemui pria itu, walau Glen sudah mengatakan jika siang ini ada acara. Siapa tahu Diana beruntung bisa bertemu dengan pria itu. Setidaknya hanya melihat wajah dan sekedar menyapanya saja Diana sudah senang.Pucuk dicinta ulam pun tiba, pria idamannya terlihat keluar dari lobi. Pria itu tampak semringah, ekspresi yang tak pernah diperlihatkan semenjak pertemuan pertama mereka. Diana mengurungkan niat untuk sekedar memanggil Glen.Melihat Glen yang berjalan menuju mobilnya, entah mengapa Diana ingin sekali mengikuti kemana perginya pria itu. Dia pun segera mencari tukang ojek pangkalan untuk mengikuti Glen.Beruntung Glen masih bisa dikejar. Pertama Glen berhenti di sebuah restoran cepat saji dan keluar dengan kantong plastik besar di tangan kirinya, lagi-lagi pria itu tak berhenti tersenyum, membuat hati Diana semakin resah.Tak hanya itu, pria itu kemudian mampir ke sebuah toko kue, yang terakhir berhenti di toko
Glen terkejut sekaligus senang menerima pesan chat di handphonenya, pria itu reflek berdiri dari duduknya, tanpa sadar pria itu bersorak dan berjingkrak-jingkrak layaknya anak kecil yang mendapatkan hadiah yang sangat dia inginkan.[Besok siang datanglah ke butik, Bang!] Isi pesan tersebut. Pesan dari Ellen Pradana.[Baik, tuan putri. Dengan senang hati hamba akan datang ke sana. Apakah tuan putri ingin makan sesuatu, dengan senang hati akan hamba bawakan.] Balas Glen dengan semringah.Begitu pula dengan wanita di seberang tak kalah senangnya mendapat balasan dan juga panggilan yang menurutnya spesial.Sampai rasanya Ellen ingin koprol dan berguling-guling taking senangnya, dia perlu menormalkan detak jantung lebih dulu sebelum membalas pesan tersebut.Resah menunggu balasan pesan dari Ellen, Glen pun mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen kesayangannya–gelisah.Glen merasa lega akhirnya Ellen mau menemuinya, walau tak tahu apa yang akan dibicarakan oleh gadis
"Ellen Pradana!" seru Yunita dengan menatap tajam pada anaknya, lalu berpindah menatap Glen.Sontak Glen langsung melepaskan pegangan tangannya pada Ellen."Apa-apaan kalian ini?" Yunita mengintrogasi keduanya.Glen nampak salah tingkah, dia tak bisa mencari alasan yang tepat."Memangnya ada apa dengan kami, Ma?"Ellen bertanya seolah-olah tidak terjadi apa-apa dengannya dan Glen. Ellen memanfaatkan kedatangan ibunya until menghindariku dari pria itu, dia lantas menggandeng Yunita dan mengajaknya berkeliling sekedar mengambil makan dan menyapa tamu.Pukul 2.00 siang semua sudah selesai. Karen pun sudah kembali ke kediaman Wijaya.Mungkin karena perutnya semakin membesar, Karen merasa lebih cepat lelah."Apa kamu lelah, Sayang?"Diaz memijat bahu istrinya, pria itu semakin perhatian semenjak perut Karen semakin membuncit."Mas, berhentilah, aku tahu kamu juga lelah."Diaz tak mendengarkan kata-kata istrinya. Setelah selesai memberi pijatan,