Tanpa terasa, waktu berlalu dengan sangat cepat. Mario sudah bisa berjalan kembali dengan normal tanpa bantuan tongkat.Beberapa bulan berikutnya, Mario dan David sudah lulus dari bangku SMA. Kini Mario bersiap untuk memulai aktivitas sebagai mahasiswa di perguruan tinggi. Mario dan David akan kuliah di sebuah kampus yang berlokasi di luar kota. Mario akan kuliah di Jakarta, sedangkan David memilih menempuh pendidikan di Surabaya, karena ada saudara yang tinggal di sana. Dengan berat hati Riana melepas kepergian kakaknya. Perpisahan ini merupakan saat yang berat bagi Riana, yang sejak kecil selalu dekat dengan kakaknya. Malam itu, Riana menemani Mario membereskan barang-barangnya, karena ia akan pergi besok pagi. Wajah Riana muram sejak beberapa hari sebelumnya. Setelah memasukkan pakaian dan barang-barang ke dalam koper, Mario menatap adiknya yang masih tertunduk dan membisu. "Hei, kenapa sedih?" tanya Mario. Setetes air mata bening yang mati-matian ditahan oleh Riana mulai mem
"Ja-jadi selama ini kamu membohongi aku dan semua orang?" tanya Hadi terduduk di tempat tidurnya. Sandra duduk dengan santai di depan Hadi sambil tersenyum sinis. Sandra berucap keras, "Gak semuanya kebohongan, Mas. Aku memang mengalami kecelakaan itu dua puluh tahun yang lalu. Aku juga mengalami hilang ingatan dan gak bisa berjalan selama beberapa tahun. Kamu tahu bagaimana keadaanku? Bagaimana aku harus menghadapi itu semua? Bertahun-tahun aku menderita dan sendirian, Mas. Sendirian!" "Itu karena aku dan semua orang menyangka kalau kamu sudah meninggal, San," jawab Hadi. "Yang paling membuatku membenci kamu adalah karena dengan mudahny kamu menerima wanita lain sebagai penggantiku dan menikah dengannya, Mas! Mengapa semudah itu kamu jatuh cinta? Padahal kita sudah akan menikah?" tanya Sandra. Hadi mengatur nafasnya karena tiba-tiba ia merasa sesak. Ia berusaha menjawab Sandra, "Kamu salah, San. Sangat sulit bagiku untuk melewati semua proses itu. Aku juga sangat menderita dan t
Riana dan Hana berpacu dengan waktu, sesakit apapun hati mereka di masa lalu, Hadi tetap menjadi bagian istimewa dalam hidup mereka. "Itu rumahnya, Bu," tunjuk Riana. "Kamu sudah tahu?" tanya Hana sambil melirik anaknya."Mm.. Aku dan Mas Rio pernah kemari, Bu. Setelah Ayah pergi dari rumah. Saat itu kami penasaran, dan masih berharap ayah akan memilih kembali pada kita," jawab Riana. Hana menghela nafas panjang, kedua anaknya memang keras kepala, namun berhati baik. Mereka berdua segera turun dari mobil. Hana berulang kali menelepon Hadi, tetapi tidak ada jawaban darinya. "Koq sepi?" tanya Hana pada Riana. Riana mengangkat bahunya dan menggelengkan kepala. "Jangan-jangan tadi memang jebakan dari Tante Sandra, Bu?" kata Riana. "Tapi tadi Ibu benar-benar mendengar suara ayahmu meminta tolong," jawab Hana. "Ya sudah, kita coba ketuk dulu," Riana mengetuk pintu beberapa kali, sampai akhirnya seorang wanita paruh baya membukakan pintu. Sudah beberapa kali Riana dan Hana bertemu d
"Menyebalkan! Aku benci wanita itu!" teriak Riana di dalam mobil saat dalam perjalanan pulang ke rumah. Hana hanya menghela nafas dan tetap melihat lurus ke jalan di depannya. "Seharusnya kita gak perlu datang, Bu. Aku gak suka bertemu dengan Tante Sandra lagi. Dia sangat menyebalkan dan munafik. Sepertinya selama ini dia berbohong pada semua orang mengenai kondisi tubuhnya. Lihat! Dia sangat sehat dan lidahnya sangat tajam menghina kita," cerutu Riana. "Sudahlah, Ria! Kita datang untuk menolong ayah. Abaikan saja wanita itu!" ujar Hana, walaupun ia juga merasa geram dengan tingkah dan ucapan wanita yang telah menghancurkan rumah tangganya itu. "Kalau Mas Rio tahu bahwa kita masih mau datang menolong ayah, entah apa yang akan dia ucapkan. Pasti Mas Rio akan sangat kesal pada kita, Bu," ucap Riana. "Sayang, kendalikan amarahmu! Sabar, Nak!" kata Hana. "Mengapa ayah sampai meminta pertolongan pada kita? Apa ayah sengaja membuat kita bertemu dengan wanita licik itu?" geram Riana.
Kondisi kesehatan Hadi semakin memburuk karena sikap Sandra, rasa sesal dan bersalah yang menghantui dirinya. Hadi kembali terkena serangan stroke yang membuat kondisi bagian tubuh sebelah kirinya melemah. Ia harus duduk di kursi roda, kesulitan bicara, dan melakukan aktivitas harian. Sementara Sandra menikmati hari-hari nya untuk mengelola perusahaan, berfoya-foya, dan banyak berkegiatan di luar rumah bersama teman-teman sosialitanya. Sandra mencari seorang perawat untuk merawat suaminya. Sepanjang hari, Hadi dibiarkan merasa kesepian dan tak berdaya bersama asisten rumah tangga dan perawatnya. Itu membuat Hadi semakin tertekan dan larut dalam keterpurukan. Setiap hari Sandra pergi di pagi hari dan pulang saat malam telah larut. Ia tidak mempedulikan Hadi lagi dan dengan sengaja meminta perawat untuk memindahkan Hadi ke kamar tamu. Malam itu Sandra kembali pulang larut ke rumahnya. Tak seperti biasanya, Hadi masih menunggunya di ruang tamu. Hadi duduk di kursi roda dan menghadap
"Apa?! Ayah mengusir kita dari rumah? Mengapa Ayah sejahat itu? Semua harta dan kekayaan sudah dibawa oleh Ayah. Hanya rumah itu yang kita punya sekarang. Ini keterlaluan!" teriak Mario di ujung telepon. Riana mendesah pasrah, ia menjawab, "Orang suruhan Tante Sandra yang datang kemari, Mas," "Kalau ini kemauan Tante Sandra, gak mungkin Ayah gak tahu kan? Aku harus menemui ayah secara langsung. Aku mau bertanya apa maksud ayah melakukan ini pada kita," ucap Mario. Mario memutuskan untuk pulang ke rumah secara mendadak. Ia tidak bisa tenang memikirkan kondisi ibu dan adiknya yang hampir terusir dari rumahnya sendiri. Sore berikutnya, Mario sudah tiba di rumah. Ia hanya membawa tas ransel dan langsung memeluk ibu. "Mas, kita harus bagaimana? Dua hari lagi kita harus meninggalkan rumah ini," kata Riana. "Bu, kita harus menemui ayah dan wanita itu sekarang juga," ucap Mario. Mereka segera menuju rumah Sandra dan Hadi. Kondisi rumah itu sepi dan pintu rumah tertutup rapat. Mario me
Hari hampir gelap ketika Hana, Riana, dan Mario berjalan menyusuri sebuah gang kecil. Mario yang masih tertatih kesakitan berjalan di belakang. Riana melihat sebuah pos ronda dan menuntun Mario untuk beristirahat sejenak."Mas Rio dan Ibu duduk dulu di sini, ya. Aku akan berkeliling dan bertanya, mungkin ada rumah yang disewakan di sekitar sini," kata Riana. Riana berlari kecil ke ujung jalan, beberapa rumah memang sepi dan tertutup. Ia melihat ke sekitarnya dan menghampiri sebuah warung. "Permisi, Bu. Apa ada rumah yang disewakan di daerah sini?" tanya Riana. Pemilik warung itu adalah seorang wanita paruh baya bertubuh gemuk, ia berdiri dari kursinya dan berpikir sejenak. "Rumah yang diujung dan bercat biru itu pemiliknya di luar kota. Dulu pemiliknya sempat mencari orang yang mau menyewa rumah itu. Coba saya telepon dulu, ya Dek," katanya. "Terimakasih, Bu," jawab Riana. Ibu itu mengambil ponselnya dan berbicara selama beberapa menit di telepon. Setelah itu ia meletakkan kemb
"Ini tidak adil! Sandra, kamu sangat keterlaluan! Jangan mencampur masalah pribadi dengan urusan pekerjaan! Apa kamu belum puas juga menghancurkan hidupku dan keluargaku?"Kali ini Hana yang biasany tenang tidak mampu lagi menguasai dirinya. Sandra tersenyum sinis. Ia menantang Hana dengan tatapan matanya. "Aku suka melihatmu frustasi dan tidak berdaya, Hana. Aku merasa puas melihat hidup kalian hancur," kata Sandra. Hana spontan maju dan menyerang Sandra. Ia mendorong dan menambaknya. Sandra terkejut dan berusaha menahan Hana, tapi ia terlambat mengantisipasi gerakan Hana yang cepat. Sandra terduduk ke sofa, dan Hana menindihnya tanpa ampun. Donna panik dan berusaha menolong Sandra. Ia berteriak meminta semua karyawan menolong dan menarik Hana. Dua orang memegang Hana di sebelah kanan dan kirinya. Sandra duduk terengah-engah dan tersenyum menatap Hana. Rambutnya dan wajahnya kini berantakan. "Apa-apaan kamu, Hana?" tegur Donna. Hana tidak peduli, karena dia juga bukan karyawan
Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma
Hari yang dinantikan oleh Cindy akhirnya tiba. Pagi itu ia sudah ada di bandara dan menunggu Raka. Mereka akan pergi menemui Mario untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Cindy memakai kaus kasual dan celana panjang berwarna hitam. Ia memakai kacamata hitam dan membawa sebuah tas koper. Ia juga akan pulang ke rumah orang tuanya dan tinggal beberapa hari di sana. Cindy duduk di bangku yang tersedia di luar bandara. Di tangannya ia menggenggam ponsel dan terus memantau keberadaan Raka. Cindy cukup tenang ketika Raka memberi tahu bahwa ia sudah ada cukup dekat dengan lokasi bandara. Beberapa menit kemudian, Raka datang menghampiri Cindy. Ia membawa tas ransel di punggungnya dan tersenyum ramah. "Maaf lama menunggu, tadi jalanan macet," kata Raka. "Gak apa-apa, Mas. Aku juga belum lama sampai di sini. Ayo kita masuk!" ajak Cindy. Bagi Raka, perjalanan ini juga sangat penting. Ia cukup puas akan menghabiskan waktu bersama dengan Cindy. Hal yang membuatnya semakin senang adalah
Seorang pria berjaket tebal dan berkacamata hitam berhenti sejenak di depan ruang perawatan Raka. Setelah mengintip sejenak dari celah tirai jendela yang terbuka, ia melangkah pergi ke sudut rumah sakit yang sepi. Setelah merasa cukup aman dan tidak ada yang akan mendengar ucapannya, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Halo, Nyonya. Saya sudah berhasil melaksanakan tugas dari Nyonya," katanya. "Oh ya? Bagaimana hasilnya?" tanya Sandra dari ujung telepon. "Lukanya cukup serius, dia dirawat di rumah sakit. Tolong kirim uang yang Nyonya janjikan sekarang, karena saya harus segera kabur dari kota ini sebelum ada yang curiga," bisik pria itu. Matanya tetap lincah mengawasi keadaan di sekitarnya. "Saya harus mengetahui kondisi Raka yang sebenarnya. Kenapa dia gak m4ti saja?" tanya Sandra. "Nyonya hanya memberi perintah untuk membuat dia mengalami kecelakaan. Saya sudah melakukan tepat seperti yang Nyonya perintahkan," jawab pria itu. "Kirimkan dahulu foto-foto Raka sebagai bukti! S
"Terimakasih banyak, Nak Cindy. Kami janji akan membayarnya segera," ucap Bapak Raka sambil menangis haru. Cindy tersenyum tipis, ia tidak dapat menahan diri untuk menolong Raka, walaupun itu berarti harus mengorbankan uang tabungannya. Cindy juga sadar, mungkin rencananya untuk menemui Mario akan tertunda sampai kondisi Raka pulih. Jika Cindy memaksa menemui Mario saat ini, mungkin Mario akan menolak dan meragukan keterangannya. Bagaimanapun juga, ia membutuhkan keterangan dan pengakuan dari Raka tentang kejadian yang sebenarnya. Kedua orang tua Raka segera masuk ke ruangan IGD, sementara Cindy menuju bagian administrasi. Ia mengisi formulir rawat inap pasien dan memberikan sejumlah uang deposit. Pihak rumah sakit akan segera memindahkan Raka ke ruang perawatan. Setelah menyelesaikan semua proses yang diperlukan, Cindy segera menyusul ke ruang perawatan Raka. Ia berjalan perlahan dan menunggu di depan pintu, karena Raka sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. "Nak, syukurlah