"Tunggu!" Lirih Cindy. Akan tetapi Mario tetap berjalan menuju pintu, enggan mendengarkan perkataan Cindy. Hati Mario dirundung kecewa yang mendalam. Ia berusaha keras menutupi rasa cemburu dan harga diri yang terinjak-injak saat melihat sang kekasih bersama yang lain. Cindy beringsut dan turun dari tempat tidurnya untuk mengejar Mario. Ia tidak menghiraukan usaha Raka untuk mencegahnya turun. "Rio, tunggu aku!" kata Cindy lagi. Cindy mencoba berjalan, ia tidak menghiraukan selang infusnya yang terlepas. Namun, baru beberapa langkah berjalan, Cindy merasa kepalanya sangat sakit dan pandangan matanya berkunang-kunang. Cindy memegang kepalanya, langkahnya terasa tidak stabil. Tubuhnya seakan bertentangan dengan keinginan hatinya. Ia ingin berlari dan mengejar Mario, tetapi tubuhnya justru terasa ringan dan tidak berjejak pada bumi. Bruk... Tiba-tiba Cindy terjatuh dengan suara yang cukup keras. Mario berbalik dan melihat kekasihnya tergeletak di lantai. Raka juga berinisiatif untu
Setelah menyelesaikan persoalannya dengan Cindy, Mario pun kembali ke rumahnya. Kali ini Mario dan Cindy berjanji untuk menjalani hubungan dengan dewasa dan saling pengertian. Mario sangat bersemangat, karena Cindy telah menyetujui ajakannya untuk bertunangan. Mario harus bekerja dengan sungguh-sungguh dan mulai memikirkan rencana masa depan mereka. Pagi itu ia sarapan bersama ibunya dan membicarakan banyak hal. "Jadi kalian sudah berdamai?" tanya Hana. "Iya, Bu," jawab Mario pagi itu. "Ibu sudah menduganya, Nak. Ibu melihat wajahmu yang kemarin murung sudah kembali ceria. Ibu ikut senang mendengarnya. Ternyata anak ibu memang sudah dewasa dan sedang jatuh cinta." Hana karena menyodorkan satu gelas teh manis untuk Mario. "Iya, semua berkat doa Ibu untuk kami. Aku dan Cindy akan berusaha menjaga komunikasi dengan baik agar masalah seperti ini gak terulang lagi. Sebenarnya masalah itu hanya salah paham, ternyata Cindy gak punya hubungan istimewa dengan pria itu. Mario sudah bertem
"Apa masalahnya, Hana? Aku juga ingin mengenal suamimu," kata Jason. "Aku gak mau suamiku salah paham tentang hubungan kita, Mas. Silakan pergi dari sini!" Hana menatap Jason dengan serius. Bukannya lekas meninggalkan tempat itu, Jason justru mendekati Hana dan menatapnya penuh cinta. "Jangan dekati aku, Mas!" Hana berusaha mundur dan menggenggam gagang pintu. Ia berpikir untuk masuk ke dalam dan mengunci pintu itu. "Bersikaplah seperti biasa, Sayang! Suamimu bisa curiga dengan sikapmu yang seperti ini!" bisik Jason. Jason mengulurkan tangannya, ingin membelai rambut Hana yang terurai. Helai demi helai rambut itu tidak sepenuhnya berwarna hitam seperti dahulu. Namun, di mata seorang Jason, kecantikan Hana tetap tiada taranya. Prang... Tiba-tiba terdengar suara pecahan kaca yang membuat Hana tersentak. Ia langsung teringat pada Hadi yang berada di dalam rumah. Hana bergegas masuk dan mencari keberadaan suaminya itu. Hana menemukan sang suami berada di dapur, mencoba mengisi sebu
Hadi terlihat geram, dengan sekuat tenaga ia memutar roda kursi rodanya dan menabrak Hana yang berlutut di depannya. Hadi tidak menghiraukan Hana yang jatuh terduduk. Jason segera mendekati Hana dan membantunya untuk berdiri. "Hadi jadi salah paham karena kamu, Mas. Apa kamu sengaja melakukan ini padaku?" tanya Hana. "Suamimu masih sangat kasar dan egois, Hana. Dia bahkan sengaja menabrak dan gak berbuat apa-apa saat kamu terjatuh. Pikirkan lagi kata-kataku, Hana! Suamimu sudah gak berdaya dan pernah menyakiti kamu. Untuk apa kamu mempertahankan dia lagi? Kamu juga berhak bahagia dan punya masa depan. Aku jamin kehidupanmu akan lebih nyaman dan bahagia saat bersama denganku," bujuk Jason. Hana memejamkan matanya dan menggelengkan kepalanya. "Tolong pergi dari sini sebelum Mario tiba di rumah!""Tapi....""Tolong tinggalkan aku, Mas! Atau aku harus berteriak dan meminta pertolongan warga untuk mengusirmu?" Nada suara Hana kini meninggi. Jason mengalah, ia mundur dan bersedia menin
"Cukup, Rio! Jangan bicara sembarangan lagi! Bawa ayahmu masuk ke kamarnya!" kata Hana dengan suara cukup keras. Mario terdiam, ia sadar bahwa dirinya tidak boleh turut memperkeruh suasana. Ia berusaha meredam rasa penasaran yang ada di dalam hatinya. Ia memegang tangan ayahnya dan menatap matanya yang sendu. "Ayah, ayo kita masuk! Ayah gak boleh pergi sendirian!" kata Mario. Hadi menggenggam tangan Mario, seolah ingin mengungkapkan banyak cerita dan perasaan kepada sang putra. Sebagai seorang pria, ia bisa melihat bahwa Jason memang menyukai istrinya dan itu memantik rasa cemburu di hatinya. Rasa tidak berdaya membuat Hadi semakin sensitif. Seorang pria tampan dan mapan menaruh hati pada istrinya yang juga masih terlihat sempurna. Ia sadar, tidak akan bisa bersaing dengan pria mana pun saat ini. Hadi pasrah saat Mario mendorong kursi rodanya ke kamar. Ia masih belum mau menatap wajah Hana, wanita yang kini benar-benar telah mengisi hatinya sepenuhnya. Saat Hadi menyadari bahwa d
Hana berlari masuk ke dalam rumahnya dengan tergesa-gesa. Ia melihat orang yang bertugas menjaga Hadi hanya bisa terduduk diam dan gelisah. Ada rasa bersalah yang terlihat jelas dalam raut wajahnya. "Apa yang terjadi? Kenapa Mas Hadi bisa tiba-tiba hilang?" tanya Hana panik. "Maaf, Mbak Hana, tadi Mas Hadi memintaku membeli makanan. Sepanjang hari ini dia gak mau makan sama sekali. Tadinya aku mau memesan saja melalui tukang ojek, tetapi Mas Hadi memaksa aku membelinya sendiri. Aku gak berpikir sama sekali kalau Mas Hadi mengambil kesempatan untuk pergi dari rumah ini. Sesampainya aku di sini, Mas Hadi sudah gak ada," jawabnya. "Tapi Mas Hadi itu gak bisa berjalan. Mana mungkin dia bisa pergi sendiri? Atau jangan-jangan ada yang menculik dia?" Mata Hana melotot serius. "Aku juga gak tahu, Mbak. Sekali lagi maafkan aku karena lalai menjaga Mas Hadi," sesal pria itu. Hana terduduk di sofa dan menutup wajahnya. Ia menyesal karena tetap meninggalkan rumah saat suaminya sedang marah d
"Bukan begitu, Nak. Ibu sama sekali gak pernah berpikir untuk membalas perbuatan ayah. Apa yang terjadi sekarang benar-benar tak terduga dan ada di luar kendali ibu," jawab Hana dengan sungguh-sungguh. "Rio kecewa sama Ibu. Kenapa selama ini Ibu gak pernah menceritakan tentang semua ini? Mungkin aku akan mengundurkan diri dari perusahaan itu, kalau aku tahu siapa Pak Jason yang sebenarnya. Kasihan ayah, kalau ayah sampai pergi seperti itu, berarti memang ada sesuatu di antara Ibu dan Pak Jason. Apa sebenarnya yang terjadi di antara kalian tadi malam? Apa lagi yang Ibu sembunyikan dari aku, Bu?" desak Mario. Air mata Hana kembali mengalir deras saat mendengar ucapan Mario. Ia sama sekali tidak pernah berpikir, bahwa Jason akan bertindak nekat seperti itu. Hana juga penasaran, untuk apa Jason datang kembali tadi pagi dan apa saja yang ia katakan pada Hadi. "Aku harus menemui Pak Jason sekarang," kata Mario. "Untuk apa, Nak? Ibu gak mau kamu bertengkar dengan dia," cegah Hana. "Rio
"Lepaskan saya, Rio! Saya pikir kamu adalah anak yang baik dan santun, tapi ternyata kamu sama saja dengan preman yang gak berpendidikan. Beraninya kamu menyerang orang yang lebih tua seperti ini! Apa kamu lupa siapa saya? Saya ini pemilik perusahaan tempat kamu bekerja. Saya bisa memerintahkan petugas keamanan untuk mengusir kamu dari sini," kata Jason. "Saya gak peduli, Pak. Kalau ini menyangkut kebahagiaan keluarga saya, saya akan melakukan apa saja. Saya punya alasan yang kuat untuk menghajar Bapak sekarang ini. Saya gak peduli kalau Bapak mau memecat saya," teriak Mario. "Tunggu! Lepaskan saya dulu! Saya akan menjelaskan semuanya," teriak Jason. Mario melepaskan cengkeraman tangannya dari kerah kemeja atasannya itu. Nafasnya masih menderu saat ia kembali ke tempat duduknya.Bagaimanapun juga ia masih menghargai Jason yang usianya lebih tua darinya. Mario tahu, jika dirinya membuat keributan di kantor ini, itu adalah hal yang bodoh. Mario juga harus menjaga nama baik kedua oran
Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma
Hari yang dinantikan oleh Cindy akhirnya tiba. Pagi itu ia sudah ada di bandara dan menunggu Raka. Mereka akan pergi menemui Mario untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Cindy memakai kaus kasual dan celana panjang berwarna hitam. Ia memakai kacamata hitam dan membawa sebuah tas koper. Ia juga akan pulang ke rumah orang tuanya dan tinggal beberapa hari di sana. Cindy duduk di bangku yang tersedia di luar bandara. Di tangannya ia menggenggam ponsel dan terus memantau keberadaan Raka. Cindy cukup tenang ketika Raka memberi tahu bahwa ia sudah ada cukup dekat dengan lokasi bandara. Beberapa menit kemudian, Raka datang menghampiri Cindy. Ia membawa tas ransel di punggungnya dan tersenyum ramah. "Maaf lama menunggu, tadi jalanan macet," kata Raka. "Gak apa-apa, Mas. Aku juga belum lama sampai di sini. Ayo kita masuk!" ajak Cindy. Bagi Raka, perjalanan ini juga sangat penting. Ia cukup puas akan menghabiskan waktu bersama dengan Cindy. Hal yang membuatnya semakin senang adalah
Seorang pria berjaket tebal dan berkacamata hitam berhenti sejenak di depan ruang perawatan Raka. Setelah mengintip sejenak dari celah tirai jendela yang terbuka, ia melangkah pergi ke sudut rumah sakit yang sepi. Setelah merasa cukup aman dan tidak ada yang akan mendengar ucapannya, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Halo, Nyonya. Saya sudah berhasil melaksanakan tugas dari Nyonya," katanya. "Oh ya? Bagaimana hasilnya?" tanya Sandra dari ujung telepon. "Lukanya cukup serius, dia dirawat di rumah sakit. Tolong kirim uang yang Nyonya janjikan sekarang, karena saya harus segera kabur dari kota ini sebelum ada yang curiga," bisik pria itu. Matanya tetap lincah mengawasi keadaan di sekitarnya. "Saya harus mengetahui kondisi Raka yang sebenarnya. Kenapa dia gak m4ti saja?" tanya Sandra. "Nyonya hanya memberi perintah untuk membuat dia mengalami kecelakaan. Saya sudah melakukan tepat seperti yang Nyonya perintahkan," jawab pria itu. "Kirimkan dahulu foto-foto Raka sebagai bukti! S
"Terimakasih banyak, Nak Cindy. Kami janji akan membayarnya segera," ucap Bapak Raka sambil menangis haru. Cindy tersenyum tipis, ia tidak dapat menahan diri untuk menolong Raka, walaupun itu berarti harus mengorbankan uang tabungannya. Cindy juga sadar, mungkin rencananya untuk menemui Mario akan tertunda sampai kondisi Raka pulih. Jika Cindy memaksa menemui Mario saat ini, mungkin Mario akan menolak dan meragukan keterangannya. Bagaimanapun juga, ia membutuhkan keterangan dan pengakuan dari Raka tentang kejadian yang sebenarnya. Kedua orang tua Raka segera masuk ke ruangan IGD, sementara Cindy menuju bagian administrasi. Ia mengisi formulir rawat inap pasien dan memberikan sejumlah uang deposit. Pihak rumah sakit akan segera memindahkan Raka ke ruang perawatan. Setelah menyelesaikan semua proses yang diperlukan, Cindy segera menyusul ke ruang perawatan Raka. Ia berjalan perlahan dan menunggu di depan pintu, karena Raka sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. "Nak, syukurlah