Mario yang semula bersikap dingin pada ayahnya kini mulai kembali melunak. Ia melihat senyum ibunya telah kembali terukir di wajahnya. Ia berharap senyuman itu tidak akan hilang lagi untuk selamanya. Mario mulai bisa memaafkan kesalahan ayahnya dan berusaha menerimanya kembali. Mario melihat ibu melayani ayahnya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Oleh karena itu, Mario dan Riana juga memilih menjaga perasaan kedua orang tuanya. Mereka sangat bersyukur dan menikmati kebahagiaan yang ada dalam keluarga mereka. Kebahagiaan yang nyaris hilang karena ego dan dendam seseorang pada keluarga mereka. Beberapa waktu berlalu, meskipun kisah kelam itu takkan bisa dihapuskan, tetapi mereka tidak ingin mengungkit atau membicarakannya lagi. Semua telah dikubur dalam palung terdalam kisah keluarga mereka. Hidup harus terus berjalan, manusia tidak akan bisa terus berkutat dalam kenangan pahit di masa yang lalu. Hana mulai kembali sibuk di butiknya yang semakin berkembang. Sementara itu, Riana
Mario mengerutkan keningnya saat melihat pria yang duduk di hadapannya. Ia berusaha mengingat, apakah dirinya pernah mengenal pria itu. "Sepertinya kita belum pernah bertemu sebelumnya, Pak," kata Mario. Pria itu masih menatap Mario dengan lekat, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting dalam benaknya. "Saya cukup yakin, kita memang pernah bertemu sebelumnya. Rasanya wajahmu tidak asing bagiku." Mario tersenyum, ia melirik papan nama direktur perusahaan itu. Jason Arga Putra, nama yang terasa sangat asing bagi Mario, namun entah mengapa pria itu justru meyakini hal yang sebaliknya. "Mungkin Bapak salah mengenali orang. Mungkin saja orang yang Bapak kenali itu mirip denganku," kata Mario. "Mungkin juga," jawab pria itu. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dan menghela nafas panjang sebelum kembali menatap Mario dan tersenyum. Wawancara pun berlanjut seperti wawancara pekerjaan yang biasanya terjadi. Hal itu juga bukan yang pertama kali untuk Mario. Sudah dua perusah
Jason Arga Putra kembali menatap foto Mario yang ada di berkas lamaran pekerjaan di mejanya. Hatinya bergetar, karena wajah Mario mengingatkan dirinya pada seseorang. "Aku pasti benar. Aku yakin, anak ini adalah putra Hana," gumam Jason. Jason berdiri dan melemparkan pandangannya ke luar jendela besar di belakangnya. Ingatannya melayang menembus waktu yang telah silam beberapa puluh tahun yang lalu. Hana adalah wanita yang istimewa bagi Jason. Keduanya sempat menjalin hubungan, namun kandas karena terhalang restu kedua orang tua Jason. Saat itu Jason terpaksa mengikuti keinginan kedua orang tuanya untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Komunikasinya dengan Hana pun terputus. Waktu terus berlalu, hingga Hana menikah dengan Hadi dan perlahan melupakan Jason. Hana mulai bisa mencintai Hadi dan merasakan kebahagiaan dengan hadirnya Mario dan Riana dalam keluarga kecil mereka. Akan tetapi sayangnya, Jason tidak dapat melupakan Hana begitu saja. Sebenarnya banyak wanita yang berusah
Mario sudah menjalani hari-harinya sebagai seorang karyawan. Ia berangkat bekerja di pagi hari dan pulang sore hari atau menjelang malam. Walaupun lelah, ia sangat menikmati pekerjaan dan rutinitas barunya itu. Dengan cepat Mario beradaptasi dan mempelajari semua hal mengenai pekerjaannya. Mario memang mempunyai otak yang cerdas dan cepat mempelajari hal baru. Ia mengenal beberapa teman baru di kantor dan mendapatkan banyak pengalaman baru. Jason juga selalu memperhatikan Mario. Ia sering memanggil Mario ke ruangannya untuk berbincang dan tanpa Mario sadari, ia mulai bercerita tentang orang tua dan keluarganya. Mendengar cerita tentang Hana, membuat hati Jason terasa hangat. Ia bisa membayangkan wajah Hana yang lembut dan selalu membuat dirinya rindu. "Jadi ibumu mempunyai usaha sendiri?" tanya Jason siang itu. "Iya, Pak. Ibu saya pintar mendesain dan menjahit pakaian. Sampai saat ini ibu mempunyai butik dan beberapa orang karyawan," jawab Mario. "Wah, suatu saat saya akan menjah
Jason berhasil menyelidiki dan menemukan alamat butik milik Hana. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan wanita pujaan hatinya, cinta sejati di dalam hidupnya itu. Pagi itu Jason sengaja tidak langsung menuju ke kantornya. Setelah mandi, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Saat menghadapi bayangan dirinya itulah ia menyadari, betapa lamanya waktu telah bergulir. Walaupun rasanya baru sekejap mata, Jason bisa melihat wajah dan tubuhnya kini berubah, mulai dari rambut yang berubah warna menjadi putih, juga kerutan di wajahnya yang terlihat jelas. Andai masa muda bisa kembali, banyak peristiwa yang ingin ia ulang dan rasakan kembali. Getaran rasa saat melihat dan berjumpa dengan Hana, tidak akan dapat ia lupakan hingga saat ini. Sesal selalu timbul dalam hati Jason, andai ia bisa sedikit berjuang dan memaksakan diri, mungkin kini dirinya sudah sudah bahagia bersama sang wanita pujaan hati. "Hana, apakah kamu sudah benar-benar melupakan aku? Aku tahu Hadi sempat mengkhianati dan
Hana tersentak, matanya terbelalak dan ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat mendengar jawaban Jason. Sebagai wanita yang pernah sangat mengenal Jason, Hana mengerti bahwa ucapan pria itu bukan ucapan kosong. Jason selalu serius jika membicarakan tentang komitmen dan perasaan. Hana merasa canggung, ia tersenyum dan berusaha berpikir dengan cepat untuk mencairkan suasana yang aneh itu. "Ah, ternyata kamu masih suka bergurau," ucap Hana. Ekspresi wajah Jason masih sangat serius, ia menatap Hana tanpa berkedip. "Kamu pasti mengerti bahwa aku saat ini sedang tidak bercanda, Hana."Hana menundukkan kepalanya, ia menghela nafas panjang dan memejamkan mata sejenak. "Bukankah kamu datang untuk menjahit pakaian? Ayo kita masuk ke dalam untuk membuat desain dan mengukur tubuhmu!" ajak Hana. Hana berusaha bersikap profesional, meskipun pria yang berdiri di hadapannya bukanlah orang asing baginya. Jason mengikuti langkah Hana dan masuk ke sebuah ruangan yang lebih besar. Ada dua ora
"Kemana saja kamu seharian, Cin? Kenapa kamu gak menjawab pesan dan teleponku?" oceh Mario. Cindy baru saja menjawab telepon dari Mario setelah seharian sibuk bekerja. Belum sempat Cindy menjelaskan, kekasihnya itu kembali menggerutu, kali ini dengan suara yang lebih keras. "Apa gunanya kamu mempunyai ponsel kalau gak mau menjawab telepon dariku? Apa susahnya sebentar saja memberi kabar padaku? Kamu membuatku hampir gila." "Maaf, Rio, tadi pagi mendadak aku ada pekerjaan di luar kota. Daerah itu cukup jauh, tiga jam perjalanan jauhnya. Di sana juga susah sinyal, aku gak bisa menggunakan ponsel untuk menghubungi siapapun. Lagi pula sepanjang hari ini aku juga sangat sibuk karena harus merias pengantin dan keluarganya," jawab Cindy. "Seharusnya sebelum berangkat kamu memberi kabar padaku. Tiga jam perjalanan seharusnya juga cukup untuk sekadar mengirim pesan singkat padaku, bukan?" ujar Mario. Cindy menghela nafas panjang, ia menyadari ini memang kesalahannya. Sebenarnya mereka mem
"Apa?! Batal? Kenapa bisa begitu, Rio?" Hana tidak dapat menutupi rasa terkejutnya ketika mendengar jawaban Mario. "Yah, seperti yang Ibu katakan kemarin, Rio memang harus membuka mata lebar-lebar sebelum mengambil keputusan untuk bertunangan dengan Cindy. Setelah Rio pikirkan dengan matang, ternyata kami gak cocok, jadi Rio membatalkan rencana itu.""Bagaimana mungkin kamu bisa berubah secepat itu?" tanya Hana lagi. "Cindy menjalin hubungan dengan pria lain, Bu. Sejak usahanya berkembang, sifatnya juga berubah. Dia mulai cuek dan menjauhi Rio. Dia juga egois dan keras kepala," jawab Mario. "Nak, setiap hubungan pasti mengalami masalah dan ujian. Apa kamu sudah membicarakan ini baik-baik dengan Cindy? Masalah gak akan terselesaikan kalau kalian lebih mengedepankan ego dan dalam keadaan emosi. Ibu gak percaya kalau dia bisa mengkhianati kamu. Sepertinya dia anak yang baik," kata Hana. "Sudah ada buktinya, Bu. Ada foto yang menunjukkan kalau mereka sedang bersama." Mario mengambil p
Cindy menatap Riana dengan bingung. Riana menganggukkan kepalanya dan tersenyum. Ia berharap Mario akan kembali membuka hatinya untuk sang mantan kekasih. Cindy mengikuti langkah Mario menuju halaman belakang rumah itu. Di situ sepi dan hanya ada mereka berdua. Cindy dan Mario kini berdiri berhadapan dan saling memandang. Ada rasa yang berbeda saat mereka bertemu kembali setelah sekian lama berpisah. Sekarang semua rahasia dan kesalahpahaman di antara mereka juga sudah terungkap dengan jelas. "Ada apa, Rio?" Mata Cindy bergerak indah, dengan bibir merah alami yang mampu menggetarkan kembali hati Mario. "Mm... Akhirnya semua sudah jelas sekarang. Aku minta maaf karena sudah salah menilai kamu, Cin. Aku langsung pergi tanpa mendengar penjelasanmu," kata Mario. Cindy menghela nafas lega. Sebenarnya sudah lama ia menantikan saat seperti ini. Perpisahan dengan Mario membuatnya rapuh dan hancur, apalagi mereka berpisah saat rencana pernikahan sudah di depan mata. "Semuanya sudah berla
Wajah Sandra mulai berubah pucat. Rahasia yang ia simpan selama ini ternyata sudah terbongkar. Hadi dan keluarganya mempunyai lebih dari cukup bukti dan saksi yang akan membuat Sandra mendapatkan hukuman berat. Sebelum Mario dan David menaikkan Sandra ke dalam mobil, Sandra melihat pintu pagar rumahnya terbuka lebar. Semua karyawan dan penjaga tak berdaya untuk menolong Sandra, karena David juga menghubungi anak buahnya untuk datang dan berjaga di depan pintu gerbang. Tepat pada saat itu, Sandra yang tidak mau dibawa ke kantor polisi melihat satu kesempatan untuk melarikan diri. Ia berencana untuk melarikan diri dan memaksa salah satu anak buahnya yang ada di pintu gerbang untuk membawanya kabur. dengan sekuat tenaga Sandra memutar roda kursi rodanya. David dan Mario terkejut dan segera mengejar Sandra. "Hentikan dia!" David berteriak pada penjaga dan anak buahnya. Melihat beberapa pria bersiaga untuk menghalanginya, Sandra bergegas berbelok ke arah lain. Sandra hanya berpikir un
Mario dan keluarganya sampai di depan kediaman Sandra. Tentu saja mereka juga membawa serta Raka dan Mira. Raka dan Mira akan bersaksi bahwa mereka memang menerima perintah dari Sandra dan anak buahnya untuk menjalankan skenario yang ia buat. Pagar pintu rumah itu tertutup rapat. Tak ada yang menduga kalau seorang wanita yang cacat di dalam rumah itu bisa mengendalikan segala sesuatu sesuai dengan keinginannya. David dan Mario pun yakin, bahwa Raka dan Mira akan terkejut nantinya saat melihat kondisi Sandra yang sebenarnya. David turun lebih dulu dari mobil dan berbincang sejenak dengan penjaga rumah. David memang beberapa kali pernah datang ke rumah itu untuk mengantar mamanya, sehingga semua penjaga dan asisten rumah tangga sudah mengenalnya. "Apa Tante Sandra ada di rumah?" tanya David pada seorang pria bertubuh besar dan berkacamata. "Apa Mas David sudah punya janji?" tanya pria itu. "Saya keponakan Tante Sandra. Apa saya harus membuat janji untuk bertemu dengan tante saya se
"Masuk!" Seorang anak buah David mendorong Miranda alias Mira masuk ke rumah Mario. Wanita itu ingin menolak, tapi tentu tenaganya kalah besar jika dibandingkan dengan tiga orang pria bertubuh besar yang berada di dekatnya. Mario dan semua orang yang ada di dalam rumah pun keluar menemui Mira. "Miranda...." Mario menatap wanita itu, kini dengan rasa yang berbeda. Mira menundukkan kepalanya dan tidak mau menatap wajah Mario. Penampilan dan riasan wajah Mira kini jauh berbeda. Ia berdandan lebih menor dan menjadi dirinya sendiri. Sikap dan gayanya juga terkesan lebih angkuh daripada Miranda yang biasa dikenal oleh Mario. Setelah beberapa saat menghindar dari pandangan mata mantan kekasih palsunya, Mira akhirnya memberanikan diri menatap mata Mario. Semua bisa melihat rasa kesal dan kemarahan Mario saat itu. "Jadi selama ini kamu hanya berpura-pura menjadi kekasihku?" tanya Mario. "Rio, sebaiknya kita bicara di dalam. Gak enak dilihat dan didengar orang lain." Hana mengingatkan Mar
"Aku sama sekali gak tahu identitasnya, Rio. Aku hanya mengenalnya sebagai Tante Jelita. Saat aku mendengar suaranya, sepertinya dia wanita yang tegas. Dia juga punya anak buah dan bisa mengatur segala sesuatu sesuai dengan keinginan hatinya," kata Raka. "Kenapa semuanya serba kebetulan seperti ini? Apa wanita itu ada hubungannya dengan Miranda? Kenapa sepertinya orang itu punya rencana untuk menghancurkan hidupku dan hubunganku dengan Cindy?" tanya Mario. "Benar, Mas. Sepertinya rencana ini sudah diatur dengan rapi oleh seseorang," kata Riana. "Siapa orang yang bisa berbuat setega itu?" tanya Cindy. "Hanya satu orang yang bisa berbuat seperti itu." Mario menatap ibu dan ayahnya. "Apa mungkin ini rencana Tante Sandra? Tapi itu gak mungkin, kan?" kata Riana. "Aku juga punya kecurigaan yang sama, Ria. Seumur hidupku, aku hanya menemukan satu orang yang begitu berambisi menghancurkan kehidupan orang lain," ujar Mario. "Tapi Sandra sekarang sakit, Nak. Dia bukan lagi Sandra yang da
"Tolong tunggu sebentar, Tante! Saya datang untuk menjelaskan semuanya." Cindy memegang tangan Hana dengan erat. "Menjelaskan tentang apa? Bukankah semuanya sudah jelas? Kalian sudah resmi menikah, kan? Tolong jangan usik Mario lagi! Saat ini dia sedang dalam kondisi yang gak baik," kata Hana. Mendengar keributan di depan, Riana keluar dari kamarnya. Ia segera mendekat ketika melihat kedatangan Cindy."Bu, jangan marah dulu! Mbak Cindy juga batal menikah, Bu," kata Riana. "Apa?! Kenapa?" Suara Hana mulai melunak saat mendengar cerita Riana. Riana memang belum sempat menceritakan apa yang ia ketahui dari Cindy, karena ia ingin Cindy yang menceritakan sendiri pada Mario dan orang tuanya. "Bu, biarkan mereka masuk dulu! Mereka pasti baru saja sampai. Aku akan membuat minuman dan memanggil Mas Rio. Mbak Cindy akan menceritakan semuanya pada kita," kata Riana. Hana akhirnya mengijinkan Cindy dan Raka masuk ke dalam rumah. Cindy dan Raka duduk di sofa, sementara Riana membuatkan minuma
Hari yang dinantikan oleh Cindy akhirnya tiba. Pagi itu ia sudah ada di bandara dan menunggu Raka. Mereka akan pergi menemui Mario untuk menjelaskan kesalahpahaman yang terjadi. Cindy memakai kaus kasual dan celana panjang berwarna hitam. Ia memakai kacamata hitam dan membawa sebuah tas koper. Ia juga akan pulang ke rumah orang tuanya dan tinggal beberapa hari di sana. Cindy duduk di bangku yang tersedia di luar bandara. Di tangannya ia menggenggam ponsel dan terus memantau keberadaan Raka. Cindy cukup tenang ketika Raka memberi tahu bahwa ia sudah ada cukup dekat dengan lokasi bandara. Beberapa menit kemudian, Raka datang menghampiri Cindy. Ia membawa tas ransel di punggungnya dan tersenyum ramah. "Maaf lama menunggu, tadi jalanan macet," kata Raka. "Gak apa-apa, Mas. Aku juga belum lama sampai di sini. Ayo kita masuk!" ajak Cindy. Bagi Raka, perjalanan ini juga sangat penting. Ia cukup puas akan menghabiskan waktu bersama dengan Cindy. Hal yang membuatnya semakin senang adalah
Seorang pria berjaket tebal dan berkacamata hitam berhenti sejenak di depan ruang perawatan Raka. Setelah mengintip sejenak dari celah tirai jendela yang terbuka, ia melangkah pergi ke sudut rumah sakit yang sepi. Setelah merasa cukup aman dan tidak ada yang akan mendengar ucapannya, ia mengeluarkan ponsel dari sakunya. "Halo, Nyonya. Saya sudah berhasil melaksanakan tugas dari Nyonya," katanya. "Oh ya? Bagaimana hasilnya?" tanya Sandra dari ujung telepon. "Lukanya cukup serius, dia dirawat di rumah sakit. Tolong kirim uang yang Nyonya janjikan sekarang, karena saya harus segera kabur dari kota ini sebelum ada yang curiga," bisik pria itu. Matanya tetap lincah mengawasi keadaan di sekitarnya. "Saya harus mengetahui kondisi Raka yang sebenarnya. Kenapa dia gak m4ti saja?" tanya Sandra. "Nyonya hanya memberi perintah untuk membuat dia mengalami kecelakaan. Saya sudah melakukan tepat seperti yang Nyonya perintahkan," jawab pria itu. "Kirimkan dahulu foto-foto Raka sebagai bukti! S
"Terimakasih banyak, Nak Cindy. Kami janji akan membayarnya segera," ucap Bapak Raka sambil menangis haru. Cindy tersenyum tipis, ia tidak dapat menahan diri untuk menolong Raka, walaupun itu berarti harus mengorbankan uang tabungannya. Cindy juga sadar, mungkin rencananya untuk menemui Mario akan tertunda sampai kondisi Raka pulih. Jika Cindy memaksa menemui Mario saat ini, mungkin Mario akan menolak dan meragukan keterangannya. Bagaimanapun juga, ia membutuhkan keterangan dan pengakuan dari Raka tentang kejadian yang sebenarnya. Kedua orang tua Raka segera masuk ke ruangan IGD, sementara Cindy menuju bagian administrasi. Ia mengisi formulir rawat inap pasien dan memberikan sejumlah uang deposit. Pihak rumah sakit akan segera memindahkan Raka ke ruang perawatan. Setelah menyelesaikan semua proses yang diperlukan, Cindy segera menyusul ke ruang perawatan Raka. Ia berjalan perlahan dan menunggu di depan pintu, karena Raka sedang berbicara dengan kedua orang tuanya. "Nak, syukurlah