Mario berusaha keras menutupi kegirangan di hatinya. Iya tidak menduga bahwa momen indah itu akan terjadi dalam hidupnya. Dalam hatinya Mario selalu berharap untuk dapat bertemu dengan Cindy sekali lagi. Seiring usia yang makin bertambah dan kedewasaan Mario, ia sempat menyesal karena tidak mengantar kepergian Cindy dan selalu bersikap acuh untuk menutupi perasaannya.Secara fisik, Mario adalah pria yang berwajah tampan, tubuhnya tegap dan tinggi, tentu banyak wanita yang tergoda padanya. Namun selama ini dia tetap menutup hatinya dengan rapat. Mario hanya fokus pada kuliah dan persoalan keluarganya."Cindy, ka-kamu semakin cantik." Mario memberanikan diri memulai pembicaraan kembali setelah keduanya dilanda suasana yang canggung.Cindy tersenyum tipis, ia menghargai usaha pria di hadapannya itu untuk bersikap lebih terbuka."Kamu juga bertambah dewasa dan tampan, Rio."Mario merasa wajahnya memerah mendengar pujian dari Cindy. Ia berusaha mengalihkan pandangannya."Kita ke kafe, yuk!
Mario yang semula bersikap dingin pada ayahnya kini mulai kembali melunak. Ia melihat senyum ibunya telah kembali terukir di wajahnya. Ia berharap senyuman itu tidak akan hilang lagi untuk selamanya. Mario mulai bisa memaafkan kesalahan ayahnya dan berusaha menerimanya kembali. Mario melihat ibu melayani ayahnya dengan penuh kasih sayang dan kesabaran. Oleh karena itu, Mario dan Riana juga memilih menjaga perasaan kedua orang tuanya. Mereka sangat bersyukur dan menikmati kebahagiaan yang ada dalam keluarga mereka. Kebahagiaan yang nyaris hilang karena ego dan dendam seseorang pada keluarga mereka. Beberapa waktu berlalu, meskipun kisah kelam itu takkan bisa dihapuskan, tetapi mereka tidak ingin mengungkit atau membicarakannya lagi. Semua telah dikubur dalam palung terdalam kisah keluarga mereka. Hidup harus terus berjalan, manusia tidak akan bisa terus berkutat dalam kenangan pahit di masa yang lalu. Hana mulai kembali sibuk di butiknya yang semakin berkembang. Sementara itu, Riana
Mario mengerutkan keningnya saat melihat pria yang duduk di hadapannya. Ia berusaha mengingat, apakah dirinya pernah mengenal pria itu. "Sepertinya kita belum pernah bertemu sebelumnya, Pak," kata Mario. Pria itu masih menatap Mario dengan lekat, seperti sedang memikirkan sesuatu yang sangat penting dalam benaknya. "Saya cukup yakin, kita memang pernah bertemu sebelumnya. Rasanya wajahmu tidak asing bagiku." Mario tersenyum, ia melirik papan nama direktur perusahaan itu. Jason Arga Putra, nama yang terasa sangat asing bagi Mario, namun entah mengapa pria itu justru meyakini hal yang sebaliknya. "Mungkin Bapak salah mengenali orang. Mungkin saja orang yang Bapak kenali itu mirip denganku," kata Mario. "Mungkin juga," jawab pria itu. Ia mengalihkan pandangannya sejenak dan menghela nafas panjang sebelum kembali menatap Mario dan tersenyum. Wawancara pun berlanjut seperti wawancara pekerjaan yang biasanya terjadi. Hal itu juga bukan yang pertama kali untuk Mario. Sudah dua perusah
Jason Arga Putra kembali menatap foto Mario yang ada di berkas lamaran pekerjaan di mejanya. Hatinya bergetar, karena wajah Mario mengingatkan dirinya pada seseorang. "Aku pasti benar. Aku yakin, anak ini adalah putra Hana," gumam Jason. Jason berdiri dan melemparkan pandangannya ke luar jendela besar di belakangnya. Ingatannya melayang menembus waktu yang telah silam beberapa puluh tahun yang lalu. Hana adalah wanita yang istimewa bagi Jason. Keduanya sempat menjalin hubungan, namun kandas karena terhalang restu kedua orang tua Jason. Saat itu Jason terpaksa mengikuti keinginan kedua orang tuanya untuk menempuh pendidikan di luar negeri. Komunikasinya dengan Hana pun terputus. Waktu terus berlalu, hingga Hana menikah dengan Hadi dan perlahan melupakan Jason. Hana mulai bisa mencintai Hadi dan merasakan kebahagiaan dengan hadirnya Mario dan Riana dalam keluarga kecil mereka. Akan tetapi sayangnya, Jason tidak dapat melupakan Hana begitu saja. Sebenarnya banyak wanita yang berusah
Mario sudah menjalani hari-harinya sebagai seorang karyawan. Ia berangkat bekerja di pagi hari dan pulang sore hari atau menjelang malam. Walaupun lelah, ia sangat menikmati pekerjaan dan rutinitas barunya itu. Dengan cepat Mario beradaptasi dan mempelajari semua hal mengenai pekerjaannya. Mario memang mempunyai otak yang cerdas dan cepat mempelajari hal baru. Ia mengenal beberapa teman baru di kantor dan mendapatkan banyak pengalaman baru. Jason juga selalu memperhatikan Mario. Ia sering memanggil Mario ke ruangannya untuk berbincang dan tanpa Mario sadari, ia mulai bercerita tentang orang tua dan keluarganya. Mendengar cerita tentang Hana, membuat hati Jason terasa hangat. Ia bisa membayangkan wajah Hana yang lembut dan selalu membuat dirinya rindu. "Jadi ibumu mempunyai usaha sendiri?" tanya Jason siang itu. "Iya, Pak. Ibu saya pintar mendesain dan menjahit pakaian. Sampai saat ini ibu mempunyai butik dan beberapa orang karyawan," jawab Mario. "Wah, suatu saat saya akan menjah
Jason berhasil menyelidiki dan menemukan alamat butik milik Hana. Ia sudah tidak sabar untuk bertemu dengan wanita pujaan hatinya, cinta sejati di dalam hidupnya itu. Pagi itu Jason sengaja tidak langsung menuju ke kantornya. Setelah mandi, ia menatap pantulan dirinya di cermin. Saat menghadapi bayangan dirinya itulah ia menyadari, betapa lamanya waktu telah bergulir. Walaupun rasanya baru sekejap mata, Jason bisa melihat wajah dan tubuhnya kini berubah, mulai dari rambut yang berubah warna menjadi putih, juga kerutan di wajahnya yang terlihat jelas. Andai masa muda bisa kembali, banyak peristiwa yang ingin ia ulang dan rasakan kembali. Getaran rasa saat melihat dan berjumpa dengan Hana, tidak akan dapat ia lupakan hingga saat ini. Sesal selalu timbul dalam hati Jason, andai ia bisa sedikit berjuang dan memaksakan diri, mungkin kini dirinya sudah sudah bahagia bersama sang wanita pujaan hati. "Hana, apakah kamu sudah benar-benar melupakan aku? Aku tahu Hadi sempat mengkhianati dan
Hana tersentak, matanya terbelalak dan ia tidak tahu harus bereaksi seperti apa saat mendengar jawaban Jason. Sebagai wanita yang pernah sangat mengenal Jason, Hana mengerti bahwa ucapan pria itu bukan ucapan kosong. Jason selalu serius jika membicarakan tentang komitmen dan perasaan. Hana merasa canggung, ia tersenyum dan berusaha berpikir dengan cepat untuk mencairkan suasana yang aneh itu. "Ah, ternyata kamu masih suka bergurau," ucap Hana. Ekspresi wajah Jason masih sangat serius, ia menatap Hana tanpa berkedip. "Kamu pasti mengerti bahwa aku saat ini sedang tidak bercanda, Hana."Hana menundukkan kepalanya, ia menghela nafas panjang dan memejamkan mata sejenak. "Bukankah kamu datang untuk menjahit pakaian? Ayo kita masuk ke dalam untuk membuat desain dan mengukur tubuhmu!" ajak Hana. Hana berusaha bersikap profesional, meskipun pria yang berdiri di hadapannya bukanlah orang asing baginya. Jason mengikuti langkah Hana dan masuk ke sebuah ruangan yang lebih besar. Ada dua ora
"Kemana saja kamu seharian, Cin? Kenapa kamu gak menjawab pesan dan teleponku?" oceh Mario. Cindy baru saja menjawab telepon dari Mario setelah seharian sibuk bekerja. Belum sempat Cindy menjelaskan, kekasihnya itu kembali menggerutu, kali ini dengan suara yang lebih keras. "Apa gunanya kamu mempunyai ponsel kalau gak mau menjawab telepon dariku? Apa susahnya sebentar saja memberi kabar padaku? Kamu membuatku hampir gila." "Maaf, Rio, tadi pagi mendadak aku ada pekerjaan di luar kota. Daerah itu cukup jauh, tiga jam perjalanan jauhnya. Di sana juga susah sinyal, aku gak bisa menggunakan ponsel untuk menghubungi siapapun. Lagi pula sepanjang hari ini aku juga sangat sibuk karena harus merias pengantin dan keluarganya," jawab Cindy. "Seharusnya sebelum berangkat kamu memberi kabar padaku. Tiga jam perjalanan seharusnya juga cukup untuk sekadar mengirim pesan singkat padaku, bukan?" ujar Mario. Cindy menghela nafas panjang, ia menyadari ini memang kesalahannya. Sebenarnya mereka mem