LauraKetika Bibi Julia terbangun, dengan wajah yang kusut, telinga yang bengkak, rambut yang berantakan, dan penampilan yang tidak terawat, dia duduk dengan berat di meja dapur dan menuntut, “Cepat bawakan aku sesuatu untuk dimakan! Apakah kamu berniat membuatku mati kelaparan supaya kamu bisa memiliki apartemen ini, bocah?Aku mengembuskan napas tanpa suara dan beranjak menyajikan makanan yang panas dan enak untuknya. Dia makan dengan cepat seakan-akan dia belum makan selama berhari-hari. Mungkin saja itu benar karena dia bahkan tidak memiliki waktu untuk menyiapkan sesuatu untuk dirinya sendiri untuk dimakan. Aku juga duduk untuk menikmati makanan sederhana yang dibuat dengan cinta itu.Dia memandangku dengan tatapan menghina seperti biasa, menyadari rumah yang rapi, dan tertawa mengejek. “Kapan kamu akan menemukan seorang suami dan meninggalkan rumahku, bocah?”“Kalau aku pergi, kamu akan tinggal dengan siapa, Bibi Julia?” jawabku dengan pertanyaan lainnya sambil memotong roti
LauraKILAS BALIKAku belum bertemu dengan Jason lagi dalam waktu yang lama setelah aku menghabiskan malam bersamanya. Dia bahkan meneleponku sesekali dan meninggalkan pesan suara untukku, tapi aku tidak pernah membalasnya. Akan lebih baik jika aku mendengarkan teman-temanku dan tidak bersikeras pada orang sepertinya meskipun hatiku hanya menginginkan dia.Aku mencoba menghindarinya, tapi terkadang aku tidak sadar memikirkan tentangnya, benakku tenggelam dalam luasnya mata cokelatnya, cara lengannya yang berbentuk memelukku di malam yang panas itu dan membuatku merasa dikagumi, dicintai, dan disayang olehnya.Aku mendapati diriku memikirkan tentangnya di momen-momen yang tidak terduga. Misalnya sekarang, di ruang kelas, selagi dosen ekonomi dan bisnis sedang menjelaskan tentang permintaan, sesuatu yang seharusnya kuperhatikan dengan baik, tapi pikiran-pikiranku tentang laki-laki itu membuat segalanya menjadi sulit.Setelah itu, aku menghela napas, menyelipkan rambutku di belakang
LauraKILAS BALIKJason menurunkan kaca jendela mobilnya, menatapku dari dalam. Dia menggerakkan tangannya untuk menyuruhku bergabung dengannya. “Masuklah, ayo jalan-jalan,” undangnya, masih serius.Aku menelan ludah. Melihat bahwa aku tidak bisa kabur, sebaiknya aku mengakhiri ini sekali untuk selamanya dan berpaling tanpa penyesalan apa-apa. Jadi, aku memutari mobilnya supaya aku bisa duduk di kursi penumpang di sampingnya. Begitu aku menutup pintu, dia mulai melaju.“Aku sangat sibuk akhir-akhir ini, aku jadi tidak menyadari bahwa kamu sedang menghindariku,” komentarnya, masih memandang jalan.Aku tidak dapat menjawab apa-apa. Aku hanya membiarkan dia membawaku ke mana pun yang dia mau.Beberapa saat kemudian, dia menghentikan mobil elegannya di jembatan yang jarang digunakan dan kemudian turun dari mobil dan beranjak ke pagar jembatan, memandang matahari terbenam yang indah. Tidak lama, malam akan tiba di Jakarta.Aku bergabung dengannya, merasa terlalu kecil dan sedikit jan
Laura“Aku tidak menyalahkanmu akan apa pun, kamu berhak menarik kesimpulan apa pun yang kamu inginkan. Itu tidak penting bagiku. Lagi pula, aku selalu sendirian dalam hal ini sejak lama,” gumamnya dengan melankolis, masih memandang kaki langit.“Kesimpulan? Aku tidak bisa menyelesaikan apa-apa dengan perut kosong. Kukira kamu akan membawaku ke restoran atau semacamnya,” ujarku padanya, membuat dia menatapku terkejut. “Aku yakin kamu belum makan seharian. Selama apa kamu menungguku di tempat parkir kampus? Astaga, kenapa kamu keras kepala sekali, sih?”“Aku hanya menghabiskan tujuh jam menunggu di sana ….”“Semua ini hanya untukku? Hm, kalau begitu aku harus mulai merasa spesial,” komentarku sambil tertawa seraya aku berjalan kembali ke tempat mobilnya berada.Dia menggenggam sikuku, membuatku menoleh ke arahnya. “Kita baik-baik saja?” tanyanya, ingin memahaminya.“Aku akan terus berada di sisimu jika itu adalah apa yang ingin kamu ketahui,” jawabku padanya.Dia tersenyum padaku
LauraDi hari pertama di pulau itu, Jason dan aku menghabiskan seharian menempel dengan satu sama lain, tidak dapat memisahkan diri kami bahkan satu menit pun. Perasaan yang kami miliki adalah seolah-olah dia dan aku telah memasuki semacam realitas lain, sebuah mimpi atau gelembung ekstasi tempat aku dan dia bisa bersama tanpa diganggu dari semua permasalahan yang memisahkan kami. Karena itu, dia dan aku sangat takut sesuatu atau seseorang akan datang untuk memecahkan gelembung ini atau membangunkan kami ke kenyataan bahwa kami akan berpisah lagi.Dia dan aku seperti dua orang yang nekat dan gila, bertingkah seakan-akan kami melakukan hal yang sangat kami inginkan tapi sangat dilarang. Kami tidak dapat berbicara atau melakukan apa pun selain membiarkan tubuh kami menari dalam kenikmatan dan kegilaan ekstrem yang berbahaya. Ranjangnya menjadi terlalu kecil bagi kami untuk mematikan api yang membakar tubuh kami dari dalam.Bagiku, tidak ada pria lain di seluruh dunia yang bisa menutup
LauraMalah, Jason telah menyaingi dirinya sendiri. Meja sarapan itu sangat indah dan tertata dengan rapi dengan hidangan pertama yang luar biasa. Ada roti panggang, telur dan daging asap, jus stroberi, jus jeruk, buah-buahan seperti jeruk, kiwi, dan anggur, diimbangi oleh kopi enak yang telah dia buat dengan baik. Dia menyajikannya padaku dengan berhati-hati. Ketika aku mencicipi masakannya, rasanya sempurna.“Sejauh ini luar biasa. Kamu hebat,” kataku padanya sambil memotong sepotong daging asap dan telur dan memasukkannya ke dalam mulutku untuk mencoba lebih banyak.Dia terkekeh mendengar pujianku dan menjawab sambil menuangkan lebih banyak jus jeruk ke gelasku. “Untunglah usahaku membuahkan hasil.” Otot lengannya menegang seraya dia memegang teko untuk mengisi gelasku dengan jus jeruk. Aku tidak bisa berhenti mengagumi Jason. Dia adalah pria yang luar biasa seksi. Cara dia menatapku dan memberiku tatapan menggoda memperjelas bahwa dia tahu betul efek yang dia berikan padaku.“H
LauraNamun, kemarin, setelah ciuman itu, semuanya muncul ke permukaan seperti pelepasan energi yang besar. Tahu-tahu, aku sudah terbungkus oleh dirinya, menggerakkan diriku sendiri dengan lebih gila dan naluriah, menaikinya seolah-olah aku adalah seorang penunggang dan dia adalah kudaku. Dia melahapku seolah-olah dia ingin membunuhku dengan kenikmatannya. Sangat gila dan liar.Namun, hari ini, semua itu sudah berlalu. Akan tetapi, hasrat di dalam diri kami belum hilang—hasrat itu masih ada, tapi lebih hangat, seperti api yang lemah dan terus menyala yang akan menjadi api unggun besar begitu kami menuangkan bahan bakar di atasnya.Namun, apa jadinya kalau begitu? Apakah kami akan berhubungan badan lagi seharian? Apakah kami akan bercinta semalaman hingga kami tidak dapat melakukannya lagi dan ketika kami terbangun besoknya, kami akan terus melanjutkan dosis itu hingga kami terjatuh di ranjang dan mati? Apakah itu tujuan akhirnya? Apakah itu alasan kami ada di sini? Kendati tempat ya
LauraSetelah sarapan, dia dan aku menghabiskan waktu yang lama berpelukan di sofa ruang tengah. Dengan dia duduk di sofa dan aku duduk di pangkuannya, tanganku melingkari pundaknya dan memeluknya, sementara lengannya juga melingkari pinggangku, tangannya mengelus punggungku. Kami membicarakan topik yang ringan dan lucu dan tertawa dengan lebih tulus, mengingat masa-masa indah dan hari-hari ketika kami bahagia.Di suatu titik, dia mengundangku untuk berjalan-jalan di luar, hanya untuk menghirup udara segar dan berjalan-jalan di pantai bersama sebentar.“Bagaimana pergelangan kakimu? Apakah kamu bisa berjalan nanti?” tanyanya seraya mengusap kakiku.“Masih sedikit sakit, tapi tidak separah kemarin. Jadi, sepertinya aku bisa berjalan tanpa masalah besar,” jawabku dengan tanganku di otot lengannya, sementara tanganku yang lain memeluk pundaknya.“Baiklah, tapi jika kamu sudah tidak bisa menahannya lagi, aku akan menggendongmu di punggungku,” ujarnya, membuatku tertawa kecil.“Hm, un
Laura“Jadi, Lau, apakah kamu berhasil berbicara dengan putrimu?” tanya Fia ketika aku kembali setelah pergi sebentar untuk menelepon Anna di balkon tempat pijat mewah itu.“Oh, iya. Aku sudah berbicara dengannya,” jawabku sambil menghela napas lega seraya kembali duduk. “Dia hanya disibukkan oleh tugas aljabar. Pasti itulah mengapa dia tidak bisa membalas teleponmu, Abel,” kataku pada gadis yang sedang bersama kami. Dia dan Anna sangat dekat, jadi dapat dipahami kenapa dia sangat mengkhawatirkan putriku.“Lihat? Sudah kubilang kamu tidak perlu terlalu khawatir,” kata Fia, terkekeh pelan.Namun, Abel masih terlihat ragu. “Entahlah, Bibi Laura. Anna terasa sangat aneh hari ini,” ujar gadis itu dengan bimbang.“Aneh? Apa maksudmu dengan itu?” Aku mengernyit, kebingungan.“Aku tidak tahu.” Dia mengangkat bahunya. “Dia bersikap aneh, dia bahkan putus dengan Ciko,” katanya.“Oh, sungguh?” Aku terkejut mendengarnya, aku tidak dapat menyangkalnya.Aku mengingat percakapan yang Anna da
Laura“Jadi, Layla dan Gideon bercerai?” Fia terkejut ketika dia menanyakan itu. Dia dan aku sedang berada di ruang tunggu di tempat pijat, mengenakan mantel mandi ungu muda dan meminum anggur bersoda. Seperti yang disetujui, setelah aku selesai bekerja, Fia dan aku pergi ke spa. Jadi, dia dan aku bergosip seperti biasa.Aku mengangguk setelah menyesap minumanku. “Iya, mereka bercerai. Lalu, ternyata itu sudah cukup lama,” tambahku.Temanku terkesiap dengan mulut yang membulat. “Ya ampun, aku benar-benar tidak menyangkanya,” komentarnya. “Bukankah Layla-lah yang terus berkata bahwa dia menikah dengan bahagia dan bahwa pernikahan dia sempurna? Lihatlah apa yang terjadi pada orang-orang yang terus menyombong.” Dia tertawa kecil, membetulkan rambutnya yang sekarang lebih panjang, mengenai dadanya.“Kurasa masalahnya sebenarnya adalah orang yang Layla putuskan untuk nikahi,” kataku, mengerutkan hidungku.“Kamu membicarakan tentang pertanda-pertanda buruk itu, ‘kan?” tebak Fia.“Benar
LauraAku tidak percaya bahwa Layla Raharjo, yaitu Layla Nalendra, ada di hadapanku, memohon padaku untuk kembali bekerja di Hextec bersamaku. Maksudku, dialah yang meninggalkan itu semua untuk menikah dan pergi ke Surabaya dan memulai kehidupan baru di sana dengan suaminya. Bertahun-tahun kemudian, di sinilah dia, meminta untuk kembali dan bekerja di sini lagi.“Namun, kenapa kamu meminta ini, Layla? Apakah kamu sudah tidak tinggal di Surabaya lagi?” tanyaku, benar-benar terkejut.Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak juga,” jawabnya. “Sudah beberapa saat sejak aku meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta. Aku tinggal di rumah nenekku, tapi sekarang aku merasa siap untuk kembali bekerja.” Dia mengangguk seakan-akan dia memiliki keinginan baru untuk hidup sekarang.“Pernikahanmu berakhir, ya?” Kata-kata itu tidak keluar sebagai pertanyaan, karena aku sudah tahu betul raut wajah orang yang kesakitan di dalam—Layla memiliki raut wajah itu.Dia mengangguk, tersenyum dengan lemah. “
Laura“Layla! Lama tidak berjumpa,” kataku dengan gembira, beranjak menghampiri untuk memeluknya saat dia memasuki ruang kerjaku.“Oh, Laura, aku sangat merindukanmu,” katanya sambil tersenyum untukku seraya dia membalas pelukanku. Aku benar-benar tidak memiliki permasalahan dengannya karena aku selalu menyukai dia. Dia adalah orang yang baik sekali padaku kendati segala hal yang telah terjadi.“Aku juga merindukanmu,” kataku seraya aku memandangnya. “Kamu menghilang dan tidak datang kemari lagi. Aku bahkan mengira Surabaya sudah mencurimu dari kami.”Dia tertawa mendengarnya, menggelengkan kepalanya. “Tidak ada satu hal pun dan siapa pun yang bisa membuatku melupakan Jakarta,” katanya.“Yah, itu adalah hal yang menyenangkan untuk diketahui, kuakui.” Aku tersenyum dan kemudian menunjuk ke arah sofa di samping jendela ruang kerjaku yang seluruhnya berkaca dari lantai sampai langit-langit dengan gorden yang ditarik ke samping, sehingga membiarkan cahaya matahari dan udara segar mema
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku
AnnaSaat guruku pergi setelah kelasnya berakhir, anak-anak di ruang kelas mulai membuat suara gaduh seperti biasa ketika mereka berbincang dengan satu sama lain. Aku masih tidak bisa percaya bahwa anak yang duduk di belakangku benar-benar Panca Mardian, jadi aku berbalik ke arahnya karena aku sudah memiliki sesuatu untuk dibicarakan, yaitu tentang tugas yang telah diberikan oleh guru aljabar kami.“Kamu mau mengerjakan tugas ini bagaimana? Kita bisa bertemu di mana?” tanyaku padanya, tapi dia hanya mengangkat bahunya sambil mencorat-corat buku tulisnya.“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli,” jawabnya, tidak menatapku sama sekali. Dia benar-benar tidak mengenaliku dan aku tidak dapat memercayainya.Astaga, dia telah banyak berubah, dia telah bertumbuh begitu besar. Apa yang telah terjadi padanya selama bertahun-tahun kami jauh dari satu sama lain? Apakah dia telah membuat teman-teman baru? Apakah dia bahkan sudah punya pacar sekarang?Namun, aku terkesiap pelan ketika aku melihat
AnnaAku memutuskan untuk mengabaikan segala hal yang sedang kupikirkan dan fokus saja pada jadwalku. Aku sejauh ini adalah siswa terbaik di kelasku. Aku selalu berdedikasi dan bekerja keras. Aku tidak pernah diomeli. Guru-guru menyukaiku karena aku adalah siswa teladan untuk pada siswa lainnya. Itulah sebabnya mereka telah memilihku sebagai perwakilan kelas. Selain itu, akulah yang paling tahu bagaimana caranya memimpin dan bagaimana caranya mewakili kelas, karena itulah mereka sangat memercayaiku.Jadi, hari ini pun tidak ada bedanya. Ketika guru-guru masuk dan mengajar kami, aku selalu melihat diriku sebagai orang pertama untuk mengajukan diri untuk segala hal, selalu menyelesaikan pertanyaan paling sulit dalam matematika dan pelajaran lainnya yang ditakuti dan tidak disukai semua orang. Aku menantang diriku sendiri untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat semua orang bangga karena aku akan menggunakan potensiku untuk menjadi lebih baik daripada orang tuaku dan membuat