Laura“Hmm, aku berujung tidak mengikuti kelas hari ini. Kamu lebih membutuhkan aku daripada kuliah sekarang,” jawabku sambil tertawa kecil.“Wah, aku merasa makin spesial sekarang. Lain kali aku merasa buruk, aku akan meneleponmu supaya bisa dimanja olehmu,” katanya sambil terkekeh.Aku pun tertawa juga. “Dasar bodoh, kamu tidak perlu menelepon aku hanya ketika kamu merasa buruk. Aku akan selalu ada untukmu.” Aku mencium keningnya.“Baguslah. Aku menghargainya.” Dia tersenyum padaku. “Namun, aku harus pergi hari ini. Ayahku menjadwalkan pertemuan denganku di Bekasi. Urusan perusahaan dan hal-hal semacamnya. Karena umurku sudah cukup sekarang dan sudah memiliki gelar dalam administrasi, dia harus memberiku posisi sebagai CEO di Perusahaan Santoso,” katanya. Dia lalu terdiam selama beberapa saat.“Sejujurnya, aku tidak sabar mengambil warisan Santoso dari tangan b*jingan itu. Dia selama ini memimpinnya karena aku masih belum cukup umur, tapi itu semua dimiliki oleh keluarga ibuku,
LauraKILAS BALIK“Aku tidak percaya dia menawarkanmu uang setelah kamu tidur dengan dia. Maksudku, itu adalah pengalaman pertamamu dan dia memperlakukanmu seperti wanita j*lang?” komentar Fia, keheranan.Aku harus melihat ke sekitarku untuk memeriksa apakah ada orang lain yang mendengar kata-kata vulgar yang Fia katakan. Dia dan aku sedang berada di lorong kampus. Pada saat itu, aku berterima kasih pada Langit karena sebagian besar mahasiswa lain sedang berada di ruang kelas dan bukan di koridor.Namun, aku menghela napas, memandang ke bawah. “Cukup membingungkan ….” Aku tidak dapat menyangkal bahwa aku kecewa dia melakukan itu.“Aku sudah memperingatimu, ya. Pria itu adalah binatang. Di satu waktu atau waktu yang lain, dia akan berujung menunjukkan cakar-cakarnya. Aku tidak terkejut oleh itu,” katanya sambil mengusap sikuku. Aku tersenyum masam. Memang benar bahwa Jason selalu melakukan hal-hal yang Fia katakan. “Aku yakin kamu bukanlah yang pertama baginya dan tidak akan menjad
LauraKetika Bibi Julia terbangun, dengan wajah yang kusut, telinga yang bengkak, rambut yang berantakan, dan penampilan yang tidak terawat, dia duduk dengan berat di meja dapur dan menuntut, “Cepat bawakan aku sesuatu untuk dimakan! Apakah kamu berniat membuatku mati kelaparan supaya kamu bisa memiliki apartemen ini, bocah?Aku mengembuskan napas tanpa suara dan beranjak menyajikan makanan yang panas dan enak untuknya. Dia makan dengan cepat seakan-akan dia belum makan selama berhari-hari. Mungkin saja itu benar karena dia bahkan tidak memiliki waktu untuk menyiapkan sesuatu untuk dirinya sendiri untuk dimakan. Aku juga duduk untuk menikmati makanan sederhana yang dibuat dengan cinta itu.Dia memandangku dengan tatapan menghina seperti biasa, menyadari rumah yang rapi, dan tertawa mengejek. “Kapan kamu akan menemukan seorang suami dan meninggalkan rumahku, bocah?”“Kalau aku pergi, kamu akan tinggal dengan siapa, Bibi Julia?” jawabku dengan pertanyaan lainnya sambil memotong roti
LauraKILAS BALIKAku belum bertemu dengan Jason lagi dalam waktu yang lama setelah aku menghabiskan malam bersamanya. Dia bahkan meneleponku sesekali dan meninggalkan pesan suara untukku, tapi aku tidak pernah membalasnya. Akan lebih baik jika aku mendengarkan teman-temanku dan tidak bersikeras pada orang sepertinya meskipun hatiku hanya menginginkan dia.Aku mencoba menghindarinya, tapi terkadang aku tidak sadar memikirkan tentangnya, benakku tenggelam dalam luasnya mata cokelatnya, cara lengannya yang berbentuk memelukku di malam yang panas itu dan membuatku merasa dikagumi, dicintai, dan disayang olehnya.Aku mendapati diriku memikirkan tentangnya di momen-momen yang tidak terduga. Misalnya sekarang, di ruang kelas, selagi dosen ekonomi dan bisnis sedang menjelaskan tentang permintaan, sesuatu yang seharusnya kuperhatikan dengan baik, tapi pikiran-pikiranku tentang laki-laki itu membuat segalanya menjadi sulit.Setelah itu, aku menghela napas, menyelipkan rambutku di belakang
LauraKILAS BALIKJason menurunkan kaca jendela mobilnya, menatapku dari dalam. Dia menggerakkan tangannya untuk menyuruhku bergabung dengannya. “Masuklah, ayo jalan-jalan,” undangnya, masih serius.Aku menelan ludah. Melihat bahwa aku tidak bisa kabur, sebaiknya aku mengakhiri ini sekali untuk selamanya dan berpaling tanpa penyesalan apa-apa. Jadi, aku memutari mobilnya supaya aku bisa duduk di kursi penumpang di sampingnya. Begitu aku menutup pintu, dia mulai melaju.“Aku sangat sibuk akhir-akhir ini, aku jadi tidak menyadari bahwa kamu sedang menghindariku,” komentarnya, masih memandang jalan.Aku tidak dapat menjawab apa-apa. Aku hanya membiarkan dia membawaku ke mana pun yang dia mau.Beberapa saat kemudian, dia menghentikan mobil elegannya di jembatan yang jarang digunakan dan kemudian turun dari mobil dan beranjak ke pagar jembatan, memandang matahari terbenam yang indah. Tidak lama, malam akan tiba di Jakarta.Aku bergabung dengannya, merasa terlalu kecil dan sedikit jan
Laura“Aku tidak menyalahkanmu akan apa pun, kamu berhak menarik kesimpulan apa pun yang kamu inginkan. Itu tidak penting bagiku. Lagi pula, aku selalu sendirian dalam hal ini sejak lama,” gumamnya dengan melankolis, masih memandang kaki langit.“Kesimpulan? Aku tidak bisa menyelesaikan apa-apa dengan perut kosong. Kukira kamu akan membawaku ke restoran atau semacamnya,” ujarku padanya, membuat dia menatapku terkejut. “Aku yakin kamu belum makan seharian. Selama apa kamu menungguku di tempat parkir kampus? Astaga, kenapa kamu keras kepala sekali, sih?”“Aku hanya menghabiskan tujuh jam menunggu di sana ….”“Semua ini hanya untukku? Hm, kalau begitu aku harus mulai merasa spesial,” komentarku sambil tertawa seraya aku berjalan kembali ke tempat mobilnya berada.Dia menggenggam sikuku, membuatku menoleh ke arahnya. “Kita baik-baik saja?” tanyanya, ingin memahaminya.“Aku akan terus berada di sisimu jika itu adalah apa yang ingin kamu ketahui,” jawabku padanya.Dia tersenyum padaku
LauraDi hari pertama di pulau itu, Jason dan aku menghabiskan seharian menempel dengan satu sama lain, tidak dapat memisahkan diri kami bahkan satu menit pun. Perasaan yang kami miliki adalah seolah-olah dia dan aku telah memasuki semacam realitas lain, sebuah mimpi atau gelembung ekstasi tempat aku dan dia bisa bersama tanpa diganggu dari semua permasalahan yang memisahkan kami. Karena itu, dia dan aku sangat takut sesuatu atau seseorang akan datang untuk memecahkan gelembung ini atau membangunkan kami ke kenyataan bahwa kami akan berpisah lagi.Dia dan aku seperti dua orang yang nekat dan gila, bertingkah seakan-akan kami melakukan hal yang sangat kami inginkan tapi sangat dilarang. Kami tidak dapat berbicara atau melakukan apa pun selain membiarkan tubuh kami menari dalam kenikmatan dan kegilaan ekstrem yang berbahaya. Ranjangnya menjadi terlalu kecil bagi kami untuk mematikan api yang membakar tubuh kami dari dalam.Bagiku, tidak ada pria lain di seluruh dunia yang bisa menutup
Hari ini, aku memutuskan untuk memasak makanan kesukaan suamiku. Aku selalu suka membuatnya senang dan menjaga pernikahan kami. Aku ingin dia tahu betapa aku mencintainya dan betapa bahagianya aku karena dia menikahiku.Kami langsung menikah setelah lulus kuliah dan kami sudah menikah selama lima tahun. Suamiku yang merupakan seorang miliarder, Jason Santoso, agak dingin dan tidak peduli padaku, tapi setiap hari aku terus mencoba untuk memenangkan hatinya. Kukira aku sudah membuat kemajuan hingga hari penentuan itu yang membuat semuanya berantakan.Malam itu, Jason masuk ke rumah kami dan langsung pergi ke dapur untuk mencariku. Kehadirannya begitu mencolok. Dia tinggi, tampan, dan berpakaian bagus dengan pakaian CEO-nya. Dia terlihat menarik, terutama ketika dia mengenakan dasi cokelat tua yang senada dengan mata cokelatnya dan rambutnya yang hitam legam. Aku jatuh cinta padanya saat pertama kali bertemu dengannya.Aku tersenyum dengan hangat ketika aku melihatnya di pintu masuk da
LauraDi hari pertama di pulau itu, Jason dan aku menghabiskan seharian menempel dengan satu sama lain, tidak dapat memisahkan diri kami bahkan satu menit pun. Perasaan yang kami miliki adalah seolah-olah dia dan aku telah memasuki semacam realitas lain, sebuah mimpi atau gelembung ekstasi tempat aku dan dia bisa bersama tanpa diganggu dari semua permasalahan yang memisahkan kami. Karena itu, dia dan aku sangat takut sesuatu atau seseorang akan datang untuk memecahkan gelembung ini atau membangunkan kami ke kenyataan bahwa kami akan berpisah lagi.Dia dan aku seperti dua orang yang nekat dan gila, bertingkah seakan-akan kami melakukan hal yang sangat kami inginkan tapi sangat dilarang. Kami tidak dapat berbicara atau melakukan apa pun selain membiarkan tubuh kami menari dalam kenikmatan dan kegilaan ekstrem yang berbahaya. Ranjangnya menjadi terlalu kecil bagi kami untuk mematikan api yang membakar tubuh kami dari dalam.Bagiku, tidak ada pria lain di seluruh dunia yang bisa menutup
Laura“Aku tidak menyalahkanmu akan apa pun, kamu berhak menarik kesimpulan apa pun yang kamu inginkan. Itu tidak penting bagiku. Lagi pula, aku selalu sendirian dalam hal ini sejak lama,” gumamnya dengan melankolis, masih memandang kaki langit.“Kesimpulan? Aku tidak bisa menyelesaikan apa-apa dengan perut kosong. Kukira kamu akan membawaku ke restoran atau semacamnya,” ujarku padanya, membuat dia menatapku terkejut. “Aku yakin kamu belum makan seharian. Selama apa kamu menungguku di tempat parkir kampus? Astaga, kenapa kamu keras kepala sekali, sih?”“Aku hanya menghabiskan tujuh jam menunggu di sana ….”“Semua ini hanya untukku? Hm, kalau begitu aku harus mulai merasa spesial,” komentarku sambil tertawa seraya aku berjalan kembali ke tempat mobilnya berada.Dia menggenggam sikuku, membuatku menoleh ke arahnya. “Kita baik-baik saja?” tanyanya, ingin memahaminya.“Aku akan terus berada di sisimu jika itu adalah apa yang ingin kamu ketahui,” jawabku padanya.Dia tersenyum padaku
LauraKILAS BALIKJason menurunkan kaca jendela mobilnya, menatapku dari dalam. Dia menggerakkan tangannya untuk menyuruhku bergabung dengannya. “Masuklah, ayo jalan-jalan,” undangnya, masih serius.Aku menelan ludah. Melihat bahwa aku tidak bisa kabur, sebaiknya aku mengakhiri ini sekali untuk selamanya dan berpaling tanpa penyesalan apa-apa. Jadi, aku memutari mobilnya supaya aku bisa duduk di kursi penumpang di sampingnya. Begitu aku menutup pintu, dia mulai melaju.“Aku sangat sibuk akhir-akhir ini, aku jadi tidak menyadari bahwa kamu sedang menghindariku,” komentarnya, masih memandang jalan.Aku tidak dapat menjawab apa-apa. Aku hanya membiarkan dia membawaku ke mana pun yang dia mau.Beberapa saat kemudian, dia menghentikan mobil elegannya di jembatan yang jarang digunakan dan kemudian turun dari mobil dan beranjak ke pagar jembatan, memandang matahari terbenam yang indah. Tidak lama, malam akan tiba di Jakarta.Aku bergabung dengannya, merasa terlalu kecil dan sedikit jan
LauraKILAS BALIKAku belum bertemu dengan Jason lagi dalam waktu yang lama setelah aku menghabiskan malam bersamanya. Dia bahkan meneleponku sesekali dan meninggalkan pesan suara untukku, tapi aku tidak pernah membalasnya. Akan lebih baik jika aku mendengarkan teman-temanku dan tidak bersikeras pada orang sepertinya meskipun hatiku hanya menginginkan dia.Aku mencoba menghindarinya, tapi terkadang aku tidak sadar memikirkan tentangnya, benakku tenggelam dalam luasnya mata cokelatnya, cara lengannya yang berbentuk memelukku di malam yang panas itu dan membuatku merasa dikagumi, dicintai, dan disayang olehnya.Aku mendapati diriku memikirkan tentangnya di momen-momen yang tidak terduga. Misalnya sekarang, di ruang kelas, selagi dosen ekonomi dan bisnis sedang menjelaskan tentang permintaan, sesuatu yang seharusnya kuperhatikan dengan baik, tapi pikiran-pikiranku tentang laki-laki itu membuat segalanya menjadi sulit.Setelah itu, aku menghela napas, menyelipkan rambutku di belakang
LauraKetika Bibi Julia terbangun, dengan wajah yang kusut, telinga yang bengkak, rambut yang berantakan, dan penampilan yang tidak terawat, dia duduk dengan berat di meja dapur dan menuntut, “Cepat bawakan aku sesuatu untuk dimakan! Apakah kamu berniat membuatku mati kelaparan supaya kamu bisa memiliki apartemen ini, bocah?Aku mengembuskan napas tanpa suara dan beranjak menyajikan makanan yang panas dan enak untuknya. Dia makan dengan cepat seakan-akan dia belum makan selama berhari-hari. Mungkin saja itu benar karena dia bahkan tidak memiliki waktu untuk menyiapkan sesuatu untuk dirinya sendiri untuk dimakan. Aku juga duduk untuk menikmati makanan sederhana yang dibuat dengan cinta itu.Dia memandangku dengan tatapan menghina seperti biasa, menyadari rumah yang rapi, dan tertawa mengejek. “Kapan kamu akan menemukan seorang suami dan meninggalkan rumahku, bocah?”“Kalau aku pergi, kamu akan tinggal dengan siapa, Bibi Julia?” jawabku dengan pertanyaan lainnya sambil memotong roti
LauraKILAS BALIK“Aku tidak percaya dia menawarkanmu uang setelah kamu tidur dengan dia. Maksudku, itu adalah pengalaman pertamamu dan dia memperlakukanmu seperti wanita j*lang?” komentar Fia, keheranan.Aku harus melihat ke sekitarku untuk memeriksa apakah ada orang lain yang mendengar kata-kata vulgar yang Fia katakan. Dia dan aku sedang berada di lorong kampus. Pada saat itu, aku berterima kasih pada Langit karena sebagian besar mahasiswa lain sedang berada di ruang kelas dan bukan di koridor.Namun, aku menghela napas, memandang ke bawah. “Cukup membingungkan ….” Aku tidak dapat menyangkal bahwa aku kecewa dia melakukan itu.“Aku sudah memperingatimu, ya. Pria itu adalah binatang. Di satu waktu atau waktu yang lain, dia akan berujung menunjukkan cakar-cakarnya. Aku tidak terkejut oleh itu,” katanya sambil mengusap sikuku. Aku tersenyum masam. Memang benar bahwa Jason selalu melakukan hal-hal yang Fia katakan. “Aku yakin kamu bukanlah yang pertama baginya dan tidak akan menjad
Laura“Hmm, aku berujung tidak mengikuti kelas hari ini. Kamu lebih membutuhkan aku daripada kuliah sekarang,” jawabku sambil tertawa kecil.“Wah, aku merasa makin spesial sekarang. Lain kali aku merasa buruk, aku akan meneleponmu supaya bisa dimanja olehmu,” katanya sambil terkekeh.Aku pun tertawa juga. “Dasar bodoh, kamu tidak perlu menelepon aku hanya ketika kamu merasa buruk. Aku akan selalu ada untukmu.” Aku mencium keningnya.“Baguslah. Aku menghargainya.” Dia tersenyum padaku. “Namun, aku harus pergi hari ini. Ayahku menjadwalkan pertemuan denganku di Bekasi. Urusan perusahaan dan hal-hal semacamnya. Karena umurku sudah cukup sekarang dan sudah memiliki gelar dalam administrasi, dia harus memberiku posisi sebagai CEO di Perusahaan Santoso,” katanya. Dia lalu terdiam selama beberapa saat.“Sejujurnya, aku tidak sabar mengambil warisan Santoso dari tangan b*jingan itu. Dia selama ini memimpinnya karena aku masih belum cukup umur, tapi itu semua dimiliki oleh keluarga ibuku,
LauraKILAS BALIKJason sedang tertidur dengan pulas di sampingku di kasurnya. Dia menggemaskan, sedang memegangi bantal dan memunggungiku. Aku tidak berbusana dan aku ingat betul apa yang telah terjadi di antara aku dan dia semalam. Aku telah memberikan keperawananku padanya dan meskipun aku tahu hatinya mungkin tidak menanggapiku, aku tidak menyesali apa pun.Setelah itu, aku bangkit berdiri, beranjak ke kamar mandi untuk mandi dan mengenakan pakaian yang nyaman. Aku memutuskan untuk membuatkan sarapan untuknya karena kemarin sulit sekali menyuruhnya makan. Dia sangat kacau dan murung sehingga dia menghabiskan semalaman minum-minum. Jika aku tidak menemaninya, aku hampir yakin dia akan mencoba melukai dirinya sendiri.Tentu saja, melihatnya hancur seperti itu karena gadis dangkal seperti Kinan Gunawan membuatku sedih. Fia bilang aku harus menjauh dari Jason dan bahwa, meskipun aku sangat mencintainya, dia tidak pantas untukku. Akan tetapi, aku terus bertahan karena aku merasa dia
LauraApa yang terjadi beberapa saat yang lalu di antara Jason dan aku tidak boleh dilihat oleh siapa pun.“Wajahmu memerah karena malu sekarang,” komentar Jason sambil tertawa kecil, terhibur oleh kenekatanku.“Aku tidak malu. Aku hanya tidak mau privasiku diusik, itu saja. Sudah cukup mereka membawa kita kemari tanpa seizin kita,” jawabku, menghela napas dan menarik selimut ke atas supaya dadaku tertutup.“Tenang saja. Mustahil mereka memasang kamera di sini untuk mengamati kita. Jangan terlalu paranoid.” Dia dengan lembut menurunkan selimut yang menutupiku dan memandang tubuhku.“Jangan halangi pemandanganku.” Dia terus mencium bahuku dan mencium kulitku, membuatku terkesiap, tersenyum dan mengubur jari-jariku di rambutnya yang selembut awan.“Aduh …. Sepertinya aku sedikit terluka,” kataku sambil mengerang kesakitan saat dia mengusapkan tangannya di pahaku.“Sudah selesai? Astaga, sepertinya kamu sudah mulai menua.” Dia terkekeh, mengelus pipiku dengan ujung hidungnya. “Dulu