LauraAku sedang berbaring di ranjangku, merasa luar biasa bosan. Aku baru saja kembali dari bekerja dan hari ini cukup melelahkan.“Kamu tahu kalau kamu tidak perlu berada di sini, ‘kan? Gid? Kita hanya akan memeriksa.” Aku ingat Max mengatakan itu pada kakaknya ketika dia, kakaknya, beberapa desainer lainnya, dan aku sedang mengunjungi departemen kreatif di W.J. Itu adalah kewajiban timku dan aku untuk melihat bagaimana mereka bekerja supaya kami bisa beradaptasi, tapi anehnya, Gideon Nalendra menemani kami di kegelapan melalui bermacam-macam ruangan desain di pabrik W.J., yang tidak diperlukan karena dia adalah bagian dari eksekutif dan tugasnya hanyalah berinvestasi.“Aku akan mempertaruhkan triliunan dolar untuk ini, jadi aku tidak masalah ikut memeriksa,” jawabnya dengan tegas.Sebenarnya, berada di sekitar Gideon membuat kupu-kupu di perutku terbang dengan cemas. Rasanya seperti melayang. Pipiku akan merona ketika dia berbicara denganku, tapi dia tidak pernah mencoba meningg
“Sepatu itu pasti palsu,” kata Suzy, mencoba meyakinkan dirinya sendiri.“Suzy, itu hanya sepatu,” ucapku, mengingatkannya.“Oh, berhenti menjadi membosankan, dasar wanita tua! Biarkan aku sendiri. Aku ingin marah padanya, sial, dasar menyebalkan! Kehidupan dia sempurna sekali,” gumamnya.“Apakah kamu tahu kalau dulu aku pernah miskin?” tanyaku padanya.“Apa? Kamu miskin?” tanyanya, menunjuk padaku sambil menyeringai.“Iya, aku! Apa yang kamu pikirkan ketika kamu melihatku? Apakah menurutmu aku lahir di keluarga kaya juga?” tanyaku, dan dia mengangkat bahunya.“Tentu saja, jika kamu bisa menikah dengan pria seperti Jason Santoso dan memiliki teman-teman kaya seperti si palsu ini,” katanya, menunjuk pada profil Fia di ponselnya, “dan memiliki sebuah perusahaan, kamu pasti berasal dari keluarga kaya, atau kamu mendapatkan uang yang banyak ketika kamu bercerai dengan Jason.”Aku mengambil ponselnya dan mematikannya. “Oh, kamu keliru di bagian itu, sayang. Aku lahir di keluarga misk
LauraAku sedang mengenakan gaun merah ketat yang mencapai pertengahan pahaku. Gaun ini membentuk lekukanku dengan indah dan menyorot pesona dari tubuhku. Suzy membuatku mengenakan sepatu hak, memakaikan riasan wajah yang tebal, dan bahkan meluruskan rambutku yang bergelombang.Aku hampir tidak mengenali diriku sendiri di cermin. Aku terlihat seperti orang lain. “Wah, benar-benar menawan,” komentarku pada diri sendiri dan Suzy terkekeh-kekeh.“Bukankah sudah kubilang aku akan menemukan cara?” katanya.Aku membetulkan belahanku yang benar-benar terpampang dan menarik kain gaunku turun. “Namun, entahlah… Aku tidak pernah berpakaian seperti ini. Tidakkah menurutmu aku sedikit vulgar?” tanyaku takut-takut.“Tentu saja tidak. Kamu terlihat menawan! Wanita tercantik yang pernah ada,” kata Suzy, menepuk pundakku.“Em, tapi menurutku lebih baik jika aku tidak keluar. Anna mungkin akan merindukan aku,” kataku, sudah menyerah.“Itu tidak akan terjadi, sayang. Kamu tahu bahwa Anna diasuh d
Aku sedikit menarik gaunku ke atas untuk menyembunyikan belahanku yang terlalu terpampang, tapi itu jelas-jelas tidak berhasil karena gaun itu dibuat untuk digunakan seperti itu, untuk menunjukkan belahan tubuh, dan sekarang semua pria menatapku dengan vulgar. Lihat masalah apa yang kamu buat, Suzy… Beberapa pasangan berpegangan dengan satu sama lain lewat di depanku. Bahkan ada sebuah pasangan di belakang konter yang berciuman dan saling mengelus. Seluruh tempat itu terlihat agak mencurigakan, lalu aku mengingat siapa yang merekomendasikan klub itu padaku. Dia adalah Suzy, seseorang yang dulu melakukan beberapa pertunjukkan dalam waktu luangnya. Aku seharusnya tidak mengharapkan dia akan membawaku ke klub buku.Aku memutuskan untuk tidak mengindahkan semua tatapan itu dan fokus ke minumanku, yang tidak kusangka cukup enak. “Hm, tidak buruk,” ucapku pada diri sendiri.“Kamu suka minuman itu, ya? Mau aku membelikanmu satu gelas lagi?” Aku mendengar suara pria di telingaku dan aku hamp
Laura“Tempat itu terlihat berbahaya, seharusnya kamu ditemani seseorang,” kata Gideon Nalendra, hampir dengan nada menegur. Kami sudah jauh dari Klub Malam Queen dan aku tidak berniat untuk kembali ke sana lagi.“Sebenarnya, aku ditemani,” kataku, menunjuk pada Rafael, yang berada beberapa meter dariku, di samping mobil di tempat parkir. “Itu adalah Rafael, pengawalku. Aku memutuskan untuk meninggalkannya di luar karena kukira tidak akan seberbahaya itu di dalam,” jelasku.“Kukira kamu datang dengan suamimu,” katanya padaku.“Oh, suami? Aku sebenarnya tidak menikah,” kataku sambil tersenyum malu. Dia menoleh padaku sekarang.“Sekarang aku paham,” katanya.Aku mengingat hari ketika kita bertemu dan aku memberitahunya bahwa aku menikah untuk membuatnya menjauh karena aku merasa sedang dilecehkan. Aku menatap ke tanah, merona karena mengingat hari itu.“Apakah kamu ingin jalan-jalan? Ini malam yang indah,” ajaknya.“Berjalan-jalan di jalanan yang ramai tapi indah kedengarannya me
“Oh, apakah aku suka pergi ke tempat seperti itu? Tidak juga,” jawabku, lalu tertawa. “Hanya saja temanku Suzy hampir bertengkar denganku, memanggilku wanita tua dan menyuruhku meninggalkan rumah untuk bermalam di luar,” kataku.“Oh, sepertinya Max dan Suzy akan berteman dengan baik. Cara pikir mereka cukup mirip,” komentarnya, membuatku tertawa.“Iya,” jawabku, lalu terdiam, menganalisis pertanyaan selanjutnya yang akan kulontarkan. “Siapa yang kamu tinggalkan di Surabaya?” Aku sedikit takut. Aku tidak bodoh, aku sudah melihat jari manisnya dan melihat bahwa dia tidak memakai apa-apa, tapi itu tidak berarti apa pun. Dia bisa saja salah satu dari pria yang menyimpan cincinnya di saku ketika dia ingin bersenang-senang dengan orang lain.“Sudah lama sekali sejak aku tidak berhubungan dengan orang tuaku. Mereka sekarang tinggal di Malang. Jadi, satu-satunya keluarga yang kumiliki adalah Max. Di Surabaya, aku hanya memiliki materi,” ungkapnya.“Oh, jadi kamu belum menikah?” tanyaku sek
JasonSejak saat itu, Laura dan aku berkompromi. Dia sudah memperbolehkanku untuk membawa Anna setiap hari Sabtu untuk menghabiskan harinya denganku karena walaupun dia tidak menginginkan aku kembali, Anna tetaplah putriku dan dia berhak untuk tumbuh besar dengan sosok ayahnya. Jadi, hari ini, gadis itu bersama denganku seharian. Aku telah menyewa sebuah mobil, jadi aku bisa jalan-jalan dengannya tanpa harus membuatnya melalui proses menaiki transportasi umum atau sebuah taksi.Aku telah membawanya ke taman hiburan, tempat kami bermain dan bersenang-senang, dan sekarang kami sedang dalam perjalanan menuju tujuan selanjutnya. Keuntungan menjadi miskin adalah setidaknya aku memiliki banyak waktu untuk bersantai dan menghabiskan waktu dengan orang-orang yang kucintai, seperti yang sedang kulakukan dengan putriku.Namun, karena aku tidak bodoh atau semacamnya, aku terus menanyakan pertanyaan pada gadis itu mengenai apa yang terjadi di rumah mereka, apa yang ibunya lakukan, dia pergi den
KinanKalau ada satu hal yang paling kusukai, itu adalah merasa kaya dan berkuasa, paling cantik dari semua orang, paling diinginkan, dan memiliki kendali atas segala hal dan semua orang di tanganku, seperti yang kurasakan hari ini.Aku berada di atas panggung, menari erotis pada irama yang menarik, dan senyum penuh kemenangan menari-nari di bibirku. Bukankah aku pantas mendapatkan ini? Butuh bertahun-tahun bagiku untuk mencapai kemenanganku dan sekarang adalah waktunya untuk merayakannya dengan cara yang terbaik.Aku berada di salah satu gedung paling mahal di suatu kota dan aku telah memesannya hanya untuk pesta mewahku. Para tamuku adalah orang-orang yang memiliki bayaran tertinggi di daerah ini, juga beberapa temanku yang terus mengikutiku sejak masih sekolah, para kaki tanganku—orang-orang yang selalu melakukan hal-hal kotor yang tidak ingin kulakukan sendiri.Mereka semua bertepuk tangan untukku dan menyerukan namaku. Iya, itu benar. Kinan adalah yang terbaik! Aku harus menah
Laura“Jadi, Lau, apakah kamu berhasil berbicara dengan putrimu?” tanya Fia ketika aku kembali setelah pergi sebentar untuk menelepon Anna di balkon tempat pijat mewah itu.“Oh, iya. Aku sudah berbicara dengannya,” jawabku sambil menghela napas lega seraya kembali duduk. “Dia hanya disibukkan oleh tugas aljabar. Pasti itulah mengapa dia tidak bisa membalas teleponmu, Abel,” kataku pada gadis yang sedang bersama kami. Dia dan Anna sangat dekat, jadi dapat dipahami kenapa dia sangat mengkhawatirkan putriku.“Lihat? Sudah kubilang kamu tidak perlu terlalu khawatir,” kata Fia, terkekeh pelan.Namun, Abel masih terlihat ragu. “Entahlah, Bibi Laura. Anna terasa sangat aneh hari ini,” ujar gadis itu dengan bimbang.“Aneh? Apa maksudmu dengan itu?” Aku mengernyit, kebingungan.“Aku tidak tahu.” Dia mengangkat bahunya. “Dia bersikap aneh, dia bahkan putus dengan Ciko,” katanya.“Oh, sungguh?” Aku terkejut mendengarnya, aku tidak dapat menyangkalnya.Aku mengingat percakapan yang Anna da
Laura“Jadi, Layla dan Gideon bercerai?” Fia terkejut ketika dia menanyakan itu. Dia dan aku sedang berada di ruang tunggu di tempat pijat, mengenakan mantel mandi ungu muda dan meminum anggur bersoda. Seperti yang disetujui, setelah aku selesai bekerja, Fia dan aku pergi ke spa. Jadi, dia dan aku bergosip seperti biasa.Aku mengangguk setelah menyesap minumanku. “Iya, mereka bercerai. Lalu, ternyata itu sudah cukup lama,” tambahku.Temanku terkesiap dengan mulut yang membulat. “Ya ampun, aku benar-benar tidak menyangkanya,” komentarnya. “Bukankah Layla-lah yang terus berkata bahwa dia menikah dengan bahagia dan bahwa pernikahan dia sempurna? Lihatlah apa yang terjadi pada orang-orang yang terus menyombong.” Dia tertawa kecil, membetulkan rambutnya yang sekarang lebih panjang, mengenai dadanya.“Kurasa masalahnya sebenarnya adalah orang yang Layla putuskan untuk nikahi,” kataku, mengerutkan hidungku.“Kamu membicarakan tentang pertanda-pertanda buruk itu, ‘kan?” tebak Fia.“Benar
LauraAku tidak percaya bahwa Layla Raharjo, yaitu Layla Nalendra, ada di hadapanku, memohon padaku untuk kembali bekerja di Hextec bersamaku. Maksudku, dialah yang meninggalkan itu semua untuk menikah dan pergi ke Surabaya dan memulai kehidupan baru di sana dengan suaminya. Bertahun-tahun kemudian, di sinilah dia, meminta untuk kembali dan bekerja di sini lagi.“Namun, kenapa kamu meminta ini, Layla? Apakah kamu sudah tidak tinggal di Surabaya lagi?” tanyaku, benar-benar terkejut.Dia menggelengkan kepalanya. “Tidak juga,” jawabnya. “Sudah beberapa saat sejak aku meninggalkan Surabaya dan kembali ke Jakarta. Aku tinggal di rumah nenekku, tapi sekarang aku merasa siap untuk kembali bekerja.” Dia mengangguk seakan-akan dia memiliki keinginan baru untuk hidup sekarang.“Pernikahanmu berakhir, ya?” Kata-kata itu tidak keluar sebagai pertanyaan, karena aku sudah tahu betul raut wajah orang yang kesakitan di dalam—Layla memiliki raut wajah itu.Dia mengangguk, tersenyum dengan lemah. “
Laura“Layla! Lama tidak berjumpa,” kataku dengan gembira, beranjak menghampiri untuk memeluknya saat dia memasuki ruang kerjaku.“Oh, Laura, aku sangat merindukanmu,” katanya sambil tersenyum untukku seraya dia membalas pelukanku. Aku benar-benar tidak memiliki permasalahan dengannya karena aku selalu menyukai dia. Dia adalah orang yang baik sekali padaku kendati segala hal yang telah terjadi.“Aku juga merindukanmu,” kataku seraya aku memandangnya. “Kamu menghilang dan tidak datang kemari lagi. Aku bahkan mengira Surabaya sudah mencurimu dari kami.”Dia tertawa mendengarnya, menggelengkan kepalanya. “Tidak ada satu hal pun dan siapa pun yang bisa membuatku melupakan Jakarta,” katanya.“Yah, itu adalah hal yang menyenangkan untuk diketahui, kuakui.” Aku tersenyum dan kemudian menunjuk ke arah sofa di samping jendela ruang kerjaku yang seluruhnya berkaca dari lantai sampai langit-langit dengan gorden yang ditarik ke samping, sehingga membiarkan cahaya matahari dan udara segar mema
Laura“Kamu mau makan apa untuk makan malam hari ini? Fetucini dengan jamur atau tenderloin dengan kentang?” tanya Jason padaku di ujung telepon lainnya. Dia terdengar bersemangat untuk mempersiapkan makan malam untukku dan itu membuatku senang.“Em, aku suka tenderloin, tapi aku juga ingin fetucini. Aduh, ya ampun, aku harus bagaimana sekarang?” Aku menghela napas sambil berbicara padanya di telepon. Aku sedang berada di tempat kerjaku sambil fokus pada pekerjaanku dan, pada saat yang sama, berbicara dengan suamiku di telepon.“Aku bisa buatkan dua-duanya kalau kamu mau,” usul Jason setelah terkekeh.“Aduh, seharusnya aku pilih satu saja,” gumamku. Jason terkekeh lagi.“Ini bukan salahmu, kamu hanya tidak dapat menahan masakanku, jadi sulit untuk memutuskan. Kamu tahu aku mahir dalam segala hal yang kulakukan,” sombongnya, seperti biasa.“Hm, karena kamu bersikeras, aku ingin dua-duanya,” kataku padanya, tersinggung.“Astaga, aku tahu kamu senang menghukumku, ‘kan, wanita? Namu
AnnaMalam itu, Panca dan aku bersenang-senang bersama. Kami menjahili Paman Juan dan tunangannya, hal-hal yang tidak benar-benar menyakiti mereka, tapi itu merenggut kedamaian mereka. Misalnya, menuangkan minyak zaitun ke dalam anggur Paman Juan, menambahkan garam pada potongan kue pernikahannya, meletakkan bantal kentut di tempat duduknya, dan ketika dia duduk, dia membuat suara kentut yang konyol yang membuat semua orang menertawainya, dan hal-hal semacamnya.Itu sangat menyenangkan bagiku. Meskipun itu belum cukup bagi Panca, melihat Paman Juan mengalami semua hal-hal menyebalkan itu sudah membuatnya lebih gembira. Namun, kami tertangkap di penghujung pesta. Karena kami hanyalah dua anak-anak, tidak ada yang menganggapnya serius. Ayahku dan Paman Juan meneriaki kami dan bilang mereka akan menghukum kami, jadi Panca dan aku berlari untuk bersembunyi ketika para orang dewasa sedang mengomel tentang kami.“Itu luar biasa! Gila,” seru Panca sambil tertawa ketika kami berhasil melari
AnnaIni semua dimulai ketika aku berusia 11 tahun dan Panca Mardian ingin membunuh ayah tirinya.“Apakah ayahmu punya pistol?” tanyanya ketika dia dan aku sedang bersembunyi di langit-langit ruang dansa, tempat pernikahan Paman Juan dan ibunya diadakan.“Apa?” Sesaat, kukira aku salah dengar, jadi aku bertanya.Dia menatapku, mata cokelat tuanya mencolok. Dia masih praremaja, tapi dia sudah sangat misterius dan membuatku penasaran. “Aku butuh pistol untuk membunuh ayah baruku,” ungkapnya padaku.“Paman Juan? Kenapa kamu ingin melakukan itu? Dia adalah orang yang baik,” jawabku dengan marah.Dia menggerutu jijik dan kembali melihat ke lantai bawah. Para orang dewasa sedang berbincang dengan satu sama lain, menikmati pesta pernikahannya. “Pria itu mengirimkan ayahku ke penjara,” kata Panca, kata-katanya penuh oleh amarah.“Namun, itu adalah pekerjaan dia. Paman Juan adalah seorang polisi. Dia memasukkan orang-orang jahat ke dalam penjara,” kataku padanya, sedikit takut ketika aku
AnnaSaat guruku pergi setelah kelasnya berakhir, anak-anak di ruang kelas mulai membuat suara gaduh seperti biasa ketika mereka berbincang dengan satu sama lain. Aku masih tidak bisa percaya bahwa anak yang duduk di belakangku benar-benar Panca Mardian, jadi aku berbalik ke arahnya karena aku sudah memiliki sesuatu untuk dibicarakan, yaitu tentang tugas yang telah diberikan oleh guru aljabar kami.“Kamu mau mengerjakan tugas ini bagaimana? Kita bisa bertemu di mana?” tanyaku padanya, tapi dia hanya mengangkat bahunya sambil mencorat-corat buku tulisnya.“Terserah kamu saja. Aku tidak peduli,” jawabnya, tidak menatapku sama sekali. Dia benar-benar tidak mengenaliku dan aku tidak dapat memercayainya.Astaga, dia telah banyak berubah, dia telah bertumbuh begitu besar. Apa yang telah terjadi padanya selama bertahun-tahun kami jauh dari satu sama lain? Apakah dia telah membuat teman-teman baru? Apakah dia bahkan sudah punya pacar sekarang?Namun, aku terkesiap pelan ketika aku melihat
AnnaAku memutuskan untuk mengabaikan segala hal yang sedang kupikirkan dan fokus saja pada jadwalku. Aku sejauh ini adalah siswa terbaik di kelasku. Aku selalu berdedikasi dan bekerja keras. Aku tidak pernah diomeli. Guru-guru menyukaiku karena aku adalah siswa teladan untuk pada siswa lainnya. Itulah sebabnya mereka telah memilihku sebagai perwakilan kelas. Selain itu, akulah yang paling tahu bagaimana caranya memimpin dan bagaimana caranya mewakili kelas, karena itulah mereka sangat memercayaiku.Jadi, hari ini pun tidak ada bedanya. Ketika guru-guru masuk dan mengajar kami, aku selalu melihat diriku sebagai orang pertama untuk mengajukan diri untuk segala hal, selalu menyelesaikan pertanyaan paling sulit dalam matematika dan pelajaran lainnya yang ditakuti dan tidak disukai semua orang. Aku menantang diriku sendiri untuk selalu menjadi yang terbaik. Aku ingin membuat semua orang bangga karena aku akan menggunakan potensiku untuk menjadi lebih baik daripada orang tuaku dan membuat