Setelah beberapa hari menginap untuk memenuhi keinginan putri sulungnya, kini tiba waktunya bagi Waluya dan Inayah kembali. Ada kelegaan di hati mereka, saat Lila bisa memaafkan kesalahan mereka di masa lalu.Lila bukan hanya memaafkan, tetapi menganggap apa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah tantangan menjadi orang tua. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi pada Lila dan Sean di kemudian hari. Bagaiman mereka dituntut bersikap adil kepada anak-anak mereka.Tidak ada dendam atau pun kebencian. Jika suatu saat kesalahan ini diungkit kembali, hanya sebagai lembar catatan yang dijadikan sebagai pengingat semata.Lila berdiri di depan pintu utama, menatap mobil yang membawa kedua orang tuanya bergerak semakin menjauh. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri agar tidak menangis.Sean berdiri di sampingnya, tangannya melingkar di pinggang Lila, memberikan kehangatan dan dukungan."Bapak dan ibu tidak pergi selamanya, Sayang," bisik Sean dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Ki
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?” Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki ke
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Lila merasakan napas panas Sean yang mengalir di telinganya, membuat tubuhnya semakin tegang. Posisinya yang terjepit di antara dinding dan tubuh Sean membuatnya merasa tidak berdaya. Segala ketakutan dan kekhawatiran yang selama ini ia coba pendam kini muncul ke permukaan.Di tengah segala kepedihan dan rasa terhina, ada dorongan kuat dalam hatinya untuk melawan. Ini bukan hanya tentang keinginan untuk bebas, tapi tentang menjaga sisa-sisa harga dirinya yang hampir terkikis habis oleh pernikahan yang hambar dan tidak memiliki masa depan.“Aku tidak mencari pria lain, Sean,” jawab Lila dengan suara yang hampir tidak terdengar, tetapi ada ketegasan di balik kata-katanya. “Aku hanya ingin keluar dari hubungan yang sudah tidak sehat ini. Kita berdua tahu bahwa ini tidak bisa dilanjutkan. Kau tidak mencintaiku, dan aku membebaskanmu mencari cinta dan kebahagiaan dengan wanita lain.”Sean menyipitkan matanya, tatapan mata yang merendahkan Lila, mencoba mencari celah untuk menyerang. “Kau t
Puncak kenikmatan itu tidak berlangsung lama, suara desah yang sempat terdengar di telinga Sean kini berubah menjadi isak tangis yang memilukan hati. Sean baru menyadari jika dirinya baru saja melakukan sebuah kesalahan besar. Amarah dan gairah yang menjadi satu membuatnya lupa dengan kebiasaannya selama ini.Sean duduk di sudut sofa dengan penampilan yang berantakan sambil mengatur napasnya. Dia yang belum sempat merapikan diri hanya menutupi tubuh bagian bawahnya dengan kemeja. Sekejab matanya menangkap gerakan Lila yang melangkah tertatih menuju kamar. Suara pintu tertutup yang diikuti tangis menyayat hati membuat Sean semakin bingung dan tidak tahu harus berbuat apa.Setelah berhasil menenangkan diri, Sean berdiri hendak menuju ke kamar Lila dan meminta maaf. Tetapi langkahnya terhenti saat melihat surat keterangan medis milik Lila di atas meja. Sean memunggut surat itu dan bergegas membukanya.“Sialan!” gumam Sean, melampiaskan rasa kesalnya.Dengan penuh amarah Sean langsung mer
Setelah beberapa hari menginap untuk memenuhi keinginan putri sulungnya, kini tiba waktunya bagi Waluya dan Inayah kembali. Ada kelegaan di hati mereka, saat Lila bisa memaafkan kesalahan mereka di masa lalu.Lila bukan hanya memaafkan, tetapi menganggap apa yang dilakukan oleh orang tuanya adalah tantangan menjadi orang tua. Hal seperti ini sangat mungkin terjadi pada Lila dan Sean di kemudian hari. Bagaiman mereka dituntut bersikap adil kepada anak-anak mereka.Tidak ada dendam atau pun kebencian. Jika suatu saat kesalahan ini diungkit kembali, hanya sebagai lembar catatan yang dijadikan sebagai pengingat semata.Lila berdiri di depan pintu utama, menatap mobil yang membawa kedua orang tuanya bergerak semakin menjauh. Matanya berkaca-kaca, tapi ia menahan diri agar tidak menangis.Sean berdiri di sampingnya, tangannya melingkar di pinggang Lila, memberikan kehangatan dan dukungan."Bapak dan ibu tidak pergi selamanya, Sayang," bisik Sean dengan suara yang lembut dan menenangkan. "Ki
Impian Lila untuk bisa melepas rindu dengan penuh kebahagiaan justru dipenuhi drama yang menyesakkan dada. Bukan karena dia benci atau menyimpan dendam kepada Delisa, tetapi tidak bisa dipungkiri jika ucapan Brilian sangat menyakitkan.Suasana yang semula hangat seketika berubah saat nama Delisa disebut. Brilian yang sebelumnya mulai menerima kenyataan bahwa adik-adiknya laki-laki, kini kembali teringat akan sesuatu, sesuatu yang pernah dijanjikan oleh Delisa kepadanya.Sean dan Lila saling bertatapan, menyadari perubahan ekspresi putra mereka."Brilian?" panggil Sean dengan penuh kehati-hatian.Brilian tidak langsung menjawab. Tangannya mengepal di pangkuan, matanya terlihat berkabut. Akhirnya, dengan suara pelan tapi penuh keyakinan, ia berkata, "Dulu Tante Delisa bilang… cuma dia yang bisa kasih aku adik perempuan."Hening.Lila merasakan dadanya mencengkeram. Sementara Sean mengejang, rahangnya mengeras seketika."Apa maksudmu, Nak?" tanya Waluya dengan dahi berkerut.Brilian mena
"Bapak, Ibu." suara Lila bergetar antara terkejut dan bahagia. Ia tidak tahu kapan mereka datang, tapi melihat mereka ada di sini membuat hatinya begitu hangat.Tanpa pikir panjang, Lila menoleh ke arah Sean, matanya berbinar penuh rasa syukur. Dia yakin semua ini pasti karena suaminya.Saking bahagianya, tanpa sadar Lila memeluk dan mencium sang suami dengan penuh kehangatan, sebagai ucapan terima kasih karena sudah memenuhi permintaannya.Baru setelahnya, Lila menyadari bahwa semua orang di ruang makan menyaksikan kemesraan mereka. Orang tuanya tersenyum penuh arti, sementara Brilian yang duduk di kursinya malah menutupi wajah dengan kedua tangan."Aduh, Papa Mama! Aku lagi makan!" protesnya dengan wajah memerah.Lila terkekeh malu, sementara Sean justru tertawa bangga. "Biarin, Brilian. Papa cuma dapat sedikit jatah perhatian dari Mama kamu sekarang, jadi harus dimanfaatkan," ucap Sean dengan santai, menggoda putranya.“Ayo!” Sean menggandeng tangan Lila, mengantarnya menuju ke ked
Sean tersenyum tipis, lalu menggenggam tangan istrinya. “Apa pun hasilnya, aku hanya ingin kamu dan bayi-bayi kita sehat. Itu yang paling penting.”Mereka pun melanjutkan perjalanan pulang, membiarkan harapan itu tetap ada, namun tanpa terlalu terikat padanya.Lila menatap Sean penuh haru. Di dalam hatinya, ia merasa menjadi wanita paling beruntung di dunia. Seorang gadis sederhana yang tumbuh dalam keluarga biasa, kini berada di sisi pria sebaik Sean. Ia tidak hanya menikahi laki-laki yang mencintainya dengan tulus, tetapi juga seseorang yang selalu menjadikannya prioritas dalam hidupnya.Namun, kenyataan yang lucu adalah bahwa di dalam keluarga Wismoyojati, Sean justru menjadi yang paling ‘miskin’. Bukan dalam arti sebenarnya, tetapi dalam kepemilikan aset. Sekar, dengan ketegasan dan kecermatannya, sudah membagi saham perusahaan tanpa memanjakan putranya sendiri.Sekar masih memegang kendali dengan lima puluh persen saham, memastikan bahwa perusahaan tetap berada di jalur yang bena
Sean yang sejak tadi mendengar dengan saksama langsung menggenggam tangan Lila, merasakan kecemasan yang mulai mengalir dari istrinya.“Tapi kondisi Lila dan bayi sehat, kan, Dok?” tanya Sean memastikan bahwa tidak ada yang perlu mereka khawatirkan lebih jauh.Dokter Amira mengangguk. “Benar. Semua hasil pemeriksaan sejauh ini sangat baik. Berat bayi dalam rentang normal, tekanan darah Lila juga stabil, tidak ada indikasi komplikasi. Yang perlu kita perhatikan adalah menjaga agar semuanya tetap seperti ini sampai waktu persalinan tiba.”Lila menunduk sejenak, mencerna semua yang dikatakan oleh dokter. Ia mengerti, tetapi di dalam hatinya, ada sedikit kekecewaan.Bukan tentang adu nyali merasakan proses persalinan normal seperti kebanyakan ibu lainnya, tetapi Lila memiliki sejarah buuk dengan persalinan secara caesar.“Jadi, yang paling penting sekarang adalah memastikan Lila tidak terlalu lelah, tetap menjaga pola makan, dan menghindari stres.” Dokter Amira melanjutkan kalimatnya deng
Sekar berdiri di tengah ruangan, tatap matanya menyapu seluruh karyawan Mahendra Securitas yang telah berkumpul. Suaranya tegas namun tetap bersahabat saat dia melontarkan pertanyaan."Apakah kalian mengenal Marina Adriana?"Sejenak suasana hening, lalu beberapa karyawan lama saling berpandangan sebelum akhirnya mengangguk dengan mantap. Nama itu bukanlah nama asing bagi mereka. Rina, begitu mereka biasa memanggilnya, adalah sosok yang pernah menjadi bagian dari keluarga besar Mahendra Securitas.Sekar tersenyum kecil, lalu melanjutkan dengan nada lebih santai, "Nah, kalau begitu, izinkan aku memperkenalkan suaminya."Sekar menoleh ke arah Ryan yang berdiri di sampingnya. "Yang berdiri di sampingku ini adalah Ryan Aditya Mahendra, suami dari Marina Adriana. Dan mulai hari ini, dia yang akan menggantikan posisi Lila sebagai pemimpin di Mahendra Securitas."Tawa meriah langsung memenuhi ruangan. Tidak hanya karena cara Sekar memperkenalkan Ryan, tetapi juga karena Ryan sendiri bukanlah
Lila menghela napas panjang sambil merapikan meja kerjanya. Semua dokumen penting sudah disortir, file-file tersusun rapi, dan barang pribadinya mulai dikemasi. Esok hari, Ryan sudah akan menggantikan posisinya.Saat itu, pintu ruangannya diketuk. Lila menoleh dan melihat Ryan berdiri di ambang pintu. Mereka saling menatap sejenak sebelum Lila melempar senyum dan memberi isyarat agar adik iparnya itu masuk.Di hadapan banyak orang, mereka bisa bersikap biasa saja. Profesional, seperti dua rekan kerja yang hanya berbagi tanggung jawab. Namun, saat hanya berdua, kecanggungan itu muncul begitu saja.Ryan berjalan mendekat, melihat meja yang hampir kosong. “Jadi, ini hari terakhirmu di sini,” ucap Ryan yang mencoba bersikap santai kala berhadapan dengan Lila.Lila mengangguk. “Ya. Besok semua yang ada di sini sudah menjadi tanggung jawabmu.”Ryan menatap sekeliling. Ia berusaha mengendalikan perasaannya. Bukan tentang masa lalu dirinya yang sudah pernah berada di posisi Lila, tetapi tenta
Anggap saja nekat, Sekar kembali melakukan pertemuan dengan Tetapi pertemuan mereka tidak seprivate pertemuan-pertemuan terdahulu. Mereja hanya melakukan pertemuan sambil makan siang di sebuah restoran yang tidak jauh dari kantor Ryan.Wajah Sekar tetap tampak serius seperti biasanya, mencerminkan kegelisahan yang sudah ia tahan sejak pagi. Senyum sumir terukir di bibir Sekar saat Ryan duduk tepat di hadapannya.“Kau sudah urus pengunduran dirimu?” tanya Sekar tanpa basa-basi.Ryan mengangkat kepala, melihat Sekar yang tampak terburu-buru. Ia menghela napas sejenak sebelum menjawab, “Tinggal menunggu serah terima saja. Masih ada beberapa tanggung jawab yang harus kuselesaikan.”Sekar menatapnya lekat, seakan memastikan bahwa Ryan benar-benar serius dengan keputusannya.“Tapi aku pastikan awal bulan nanti aku sudah bisa ke Mahendra Securitas,” lanjut Ryan dengan nada meyakinkan.Seketika ketegangan di wajah Sekar mereda. Ada kelegaan di matanya, meskipun ia berusaha untuk tidak terlalu
Sean menyendiri di ruang kerja, bukan karena banyaknya pekerjaan yang belum dia selesaikan, tetapi ada beban pikiran lain yang sulit dia singkirkan. Dan dia tidak ingin Lila mengetahuinya.Sekar yang sedang mengambil air minum di dapur melihat lampu ruang kerja putranya belum juga padam. Hal itu membuatnya penasaran hingga ingin melihat dan mengetahui apa yang sedang dilakukan putranya saat tengah malam begini.Sekar berjalan pelan menuju ruang kerja Sean. Ia melihat putranya duduk di belakang meja, bahunya sedikit membungkuk, tatapan matanya kosong menatap layar laptop yang bahkan belum menyala.“Sean?” panggil Sekar lembut.Sean mengangkat wajahnya, sedikit terkejut melihat ibunya berdiri di ambang pintu. “Ma?”Sekar melangkah masuk, menaruh gelas air yang dibawanya di meja. “Kamu belum tidur?”Sean menghela napas, lalu menyandarkan punggungnya ke kursi. “Belum ngantuk.”Sekar mengamati wajah putranya yang terlihat lelah, bukan karena pekerjaan, tetapi karena sesuatu yang mengganggu