Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara isakan Miranda yang mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ceritanya. Lila, Chiara, dan Ari Nugraha menunggu dengan sabar, membiarkan Miranda mengambil waktu untuk membuka luka yang selama ini dia pendam sendiri."Semuanya berubah sejak Papa meninggal." Suara Miranda bergetar kala berbicara dibarengi tangis. "Aku pikir Mas Satrio akan menjadi suami yang melindungiku. Tapi aku salah. Dia mengambil alih perusahaan Papa dan menyingkirkan adik-adikku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menyalahkanku. Mereka menganggap aku berpihak pada Mas Satrio."Lila menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Keluarga adalah harta yang tidak ternilai, setelah kehilangan sang papa, Miranda dipisahkan dengan keluarganya.Lelehan air mata Miranda jatuh semakin deras, seolah menunjukkan luka mendalam di hatinya."Mereka membenciku. Adik-adik yang selama ini aku perjuangkan ... mereka bahkan tidak mau melihat wajahku lagi. Aku mencoba menjelaskan, tapi m
Sean menatap foto itu dengan rahang mengeras. Sosok Satrio Wibisono terlihat jelas, duduk santai dengan seorang perempuan cantik bersandar di bahunya. Mereka berada di sebuah vila mewah, tampak begitu mesra."Beberapa waktu lalu," gumam Sean sambil melempar foto ke meja, "pihak marketing sempat menyodorkan nama perempuan ini sebagai kandidat brand ambassador untuk perusahaan kita."Theo mengangguk, ekspresinya tetap dingin. "Dan sekarang, artis itu sedang hamil."Sean mengangkat alisnya. "Hamil?""Ya. Dan ini yang membuat semuanya semakin rumit. Miranda tidak mau dipoligami, tapi dia juga tidak mau diceraikan begitu saja. Satrio sudah menguasai seluruh harta keluarganya. Jika dia pergi, dia tidak punya apa-apa."Sean menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit dengan frustrasi. Dia tidak menduga mantan kekasihnya yang dahulu terlihat mandiri dan memiliki karir cemerlang akan memiliki kehidupan rumah tangga yang mengenaskan.Sean berusaha menekan rasa kasihan yang mulai ti
“Ya, Sayang,” ucap Sean saat menyapa Lila menghubunginya melalui ponsel.“Aku sedang menuju ke rumah sakit.”“Ada masalah dengan baby-baby, atau kau ….”“Tidak,” sergah Lila agar tidak membuat suaminya semakin khawatir. “Aku dan Chiara akan menemani Miranda untuk visum.Sean menggenggam ponselnya erat, rahangnya mengatup rapat. Dia menarik napas dalam, mencoba meredam kekhawatiran yang mulai merayapi pikirannya. Lila sedang hamil, dan sekarang dia ada di tengah masalah yang bisa meledak kapan saja.“Hati-hati, ya! Kabari setiap perkembangannya! Kamu jangan terlalu capek!”Sean menghujani istrinya dengan berbagai pesan. Bukan hanya menunjukkan perhatiannya kepada sang istri, tetapi lebih pada rasa khawatir yang tidak bisa dia kendalikan.Setelah pembicaraan selesai, Sean kembali meletakkan ponselnya.Theo yang duduk di depannya langsung menangkap perubahan ekspresi Sean. "Apa yang terjadi?" tanyanya cepat."Miranda sedang menjalani visum," jawab Sean singkat.Theo menghela napas. "Kala
Miranda menatap dokter muda di hadapannya dengan mata membelalak, bibirnya bergetar tanpa suara. Lila yang berdiri di sampingnya refleks menggenggam tangan Miranda, berusaha menyalurkan ketenangan."Apa maksud dokter?" suara Miranda terdengar lirih, hampir tak terdengar.Dokter menarik napas dalam, lalu menjelaskan dengan nada tenang namun tegas."Dari hasil USG, tampak bahwa kehamilan Anda tidak berkembang. Ini berarti Anda mengalami keguguran. Saya menyarankan untuk segera melakukan kuretase agar tidak terjadi komplikasi yang lebih serius."Miranda menunduk, bahunya bergetar. Sejak kapan dia hamil? Sejak kapan dia membawa nyawa kecil dalam tubuhnya tanpa ia sadari? Dan sekarang, semuanya sudah hilang.Rasanya ujian hidup masih enggan pergi dari hidup Miranda. Model cantik itu sudah dijauhkan dari kedua anaknya, dan kini dia harus kehilangan janin tidak berdosa dalam rahimnya.Lila menatap dokter dengan wajah penuh tanya. Dia mengusap perutnya yang membesar dan sejak tadi terasa kenc
Sean keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah. Lila duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan tatapan lembut tapi penuh kekhawatiran.Tanpa berkata apa-apa, Sean berjalan mendekat dan merengkuh Lila ke dalam pelukannya. Erat. Seolah-olah jika dia melepaskannya, sesuatu yang buruk akan terjadi."Aku takut kehilangan kalian." Suara Sean terdengar serak.Lila membalas pelukannya, mengusap punggung suaminya dengan lembut."Kami baik-baik saja, Sean." Meski sebenarnya dia juga merasakan kekhawatiran yang sama.Sean memejamkan mata, menghirup aroma tubuh istrinya, mencari ketenangan yang sepertinya sulit ia dapatkan. Kabar Miranda keguguran menghantamnya lebih keras dari yang dia kira. Itu bukan sekadar tragedi bagi Miranda, tapi juga pengingat betapa rapuhnya kehidupan. Betapa mudahnya kehilangan.Setelah beberapa saat, Lila berkata dengan lembut, "Sekarang Miranda sudah tidak di apartemen. Chiara membawanya ke tempat penampungan di kantor LSM-nya. Dia akan lebih aman di sana.
Setelah memasuki mbilnya, Ryan mengirim pesan kepada Rina jika dia pulang terlambat hari ini. Tanpa menunggu balasan, dia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Ryan mematikan mesin mobilnya begitu tiba di halaman rumah Sean. Petugas keamanan sudah membuka gerbang tanpa banyak tanya, mengenali mobilnya sebagai salah satu yang sering keluar-masuk rumah ini.Begitu Ryan keluar dari mobil, suara langkah kecil terdengar berlari mendekat. Brilian, dengan wajah penuh antusias, langsung menghampirinya.“Om Ryan!” seru Brilian penuh antusias dan keceriaan. Namun, begitu ia melihat ke dalam mobil dan tidak menemukan sosok yang diharapkannya, ekspresinya berubah kecewa. “Om Ryan nggak ajak Renasya?”Ryan tersenyum tipis, berlutut di hadapan Brilian. “Maaf, Brili. Renasya lagi di rumah sama Bunda.”Brilian mendengus kecil, menundukkan kepala, lalu tanpa berkata-kata lagi berbalik masuk ke dalam rumah. Ryan hanya bisa menghela napas, memahami kekecewaan bocah itu.Saat ia melangkah ke
Dengan susah payah, Lila membantu Sean duduk di sofa. Napasnya sedikit memburu, bukan hanya karena perutnya yang semakin besar, tetapi juga karena ketegangan di ruangan ini.Sekar dan Ryan masih berdiri di depan mereka, wajah mereka penuh kemarahan dan kekecewaan. Lila yang dia bela terlihat takhluk pada rasa cinta.Lila menatap mereka dengan penuh keteguhan.“Aku tahu apa yang telah terjadi sebenarnya, Ma,” ucap Lila lirih, terdengar lelah dan nelangsa. “Dan ini tidak seperti yang kalian pikirkan.” Hati Lila hancur melihat keadaan Sean, dia yakin jika suaminya mampu melawan Ryan, tetapi dia lebih memilih mengalah agar masalah tidak melebar.Sekar mendengus sinis. “Jangan bodoh, Lila! Jangan biarkan dirimu terpedaya oleh cinta! Kau pikir dia tidak pernah berbohong padamu?”Lila menggeleng, menahan perasaan. “Ini bukan soal percaya atau tidak percaya. Aku tahu apa yang terjadi. Dan aku tidak akan membiarkan kalian menyudutkan Sean tanpa mendengar kebenarannya.”Ryan yang sejak tadi dia
Lila duduk di tepi tempat tidur, menatap Sean yang berbaring dengan wajah pucat. Dia melihat beberapa memar di perut Sean. Dengan tangan bergetar Lila menyentuhnya dengan lembut."Pasti sakit?" Suara Lila bergetar, lirih hampir berbisik.Untung Ryan hanya memukul perut Sean, sehingga tidak ada bekas luka yang terlihat. Sehingga saat makan malam bersama, Brilian tidak tahu jika sang papa baru saja mendapat pukulan. Dan bocah itu masih mengucapkan hal-hal yang baik tentang om-nya, yang segera pulang setelah semua pembicaraan selesai.Sean tersenyum tipis, mencoba menenangkan istrinya. "Tidak seberapa, aku lebih khawatir padamu."Air mata Lila jatuh begitu saja. "Jangan bohong." Suaranya pecah menahan tangis. "Aku melihat sendiri bagaimana kau terjatuh tadi dan sulit bangun. Kau pasti kesakitan."Sean menghela napas, lalu dengan susah payah ia menarik Lila ke dalam pelukannya. "Jangan menangis, Sayang." Sean tidak tahan saat air mata Lila mulai berjatuhan.Lila membenamkan wajahnya di da
Setelah memastikan Brilian tidur, Sean melangkah menuju ke kamarnya. Dia harus segera membantu Lila untuk menidurkan Bintang dan Berlian. Semakin hari, bocah kembar itu semakin aktif, bahkan hanya untuk tidur saja akan banyak drama.Lila menatap suaminya yang baru saja masuk ke kamar. Senyum hangatnya masih sama seperti dulu, tetapi ada sesuatu yang membuatnya sedikit gelisah.Sean bertambah usia, tetapi justru semakin menawan di matanya.Lila menelan ludah pelan. Sebagai istri, tentu saja ia bangga memiliki suami seperti Sean, tetapi di sisi lain… ia juga merasa was-was. Sampai sekarang masih banyak perempuan di luar sana yang mengincar suaminya, meskipun mereka tahu jika Sean sudah menikah dan memiliki tiga anak.Sementara itu, Sean berjalan mendekat. Tatapan matanya lembut saat melihat si kembar yang sudah terlelap di dalam boks.“Mereka tidur lebih cepat dari biasanya,” ucap Sean pelan terdengar nyaris seperti bisikan, takut membangunkan bayi-bayi mereka.Lila mengangguk. “Hari ini
Suasana kafe yang semula tenang mendadak ricuh ketika pintu terbuka dengan keras. Seorang perempuan paruh baya melangkah masuk dengan ekspresi penuh amarah, diikuti oleh seorang perempuan muda yang cantik, sama garangnya."Mana Cinta?! Keluar kau sekarang juga!" seru perempuan paruh baya itu, suaranya menggema di seluruh ruangan, menarik perhatian para pengunjung dan pegawai kafe.Beberapa pelanggan yang sedang menikmati kopi mereka langsung menoleh, ada yang membeku di tempat, ada yang berbisik penasaran. Sementara itu, seorang barista yang berdiri di belakang meja kasir tampak panik, ragu-ragu apakah harus menenangkan situasi atau membiarkan saja.Perempuan cantik yang berdiri di sampingnya menyusuri ruangan dengan tatapan tajam, matanya berkilat penuh amarah. Sepertinya dia tahu betul siapa yang sedang mereka cari.Salah satu pegawai kafe memberanikan diri mendekat. "Maaf, Bu. Ada yang bisa kami bantu?" tanyanya dengan suara hati-hati.Perempuan paruh baya itu menoleh tajam. "Panggi
Waktu berlalu dengan tenang, membawa kebahagiaan yang seolah tak pernah habis bagi keluarga Wismoyojati. Kehidupan penuh berbagi dalam keluarga diisi oleh tawa renyah dan kehangatan. Perdebatan tentu tetap ada sebagai bumbu dalam kehidupan, tetapi mereka bisa menyelesaikan dengan bijaksana.Lila menjalani perannya sebagai ibu dengan penuh cinta, merawat Brilian, Bintang, dan Berlian dengan kesabaran dan kasih sayang yang tak terbatas. Ia tetap aktif dalam berbagai kegiatan sosial, menemukan kebahagiaan dalam membantu sesama, sambil tetap menyeimbangkan perannya sebagai istri dan ibu.Setelah Sekar dan Prabu memutuskan untuk pindah ke rumah mereka sendiri, suasana di kediaman Sean dan Lila sedikit berubah. Tidak ada lagi suara teguran tegas Sekar atau candaan ringan Prabu di meja makan, tapi bukan berarti rumah itu kehilangan kehangatan.Sean yang memahami betapa besarnya tanggung jawab Lila dalam mengurus tiga anak mereka, mengambil keputusan besar. Ia mencari pengasuh anak profession
Malika berdiri tak jauh dari ayunan, matanya membulat melihat kejadian yang baru saja terjadi. Ia datang ingin bermain bersama Brilian, tapi malah menyaksikan sesuatu yang menghancurkan dunianya.Brilian, sahabat kecilnya, kakak yang dia banggakan baru saja dicium oleh Almahira.Gadis kecil yang masih duduk di TK itu merasakan sesuatu yang aneh di dadanya. Seperti ada beban besar menekan hatinya. Wajahnya menegang, bibirnya sedikit bergetar.Brilian masih berdiri di tempatnya, memegangi pipinya dengan ekspresi terkejut, sementara Almahira sudah berlari pergi dengan riang.Malika mengepalkan tangannya kecil-kecil. Brilian sudah ternoda.Entah dari mana gadis mungil itu mendapatkan pemikiran seperti itu, tapi itulah yang muncul di kepalanya. Sejak kecil, ia selalu menganggap Brilian adalah miliknya, teman bermain yang paling seru, kakak yang selalu membelanya dan menjaganya. Tapi sekarang?Brilian sudah dicium gadis lain.Matanya mulai berkaca-kaca. Ia ingin berteriak, ingin menangis, t
466Lila membuka matanya perlahan saat mendengar suara rengekan bayi. Seketika, nalurinya sebagai ibu membuatnya ingin segera bangkit. Namun, saat menoleh ke samping, tempat tidur Sean kosong.Dia menoleh ke arah boks bayi dan menemukan suaminya sudah lebih dulu terjaga. Sean duduk di kursi di samping boks, memangku salah satu bayi mereka sambil memberikan dot. Dengan satu tangan lainnya, dia berusaha menenangkan si kecil yang masih berada di boks, menyentuhnya dengan lembut agar tidak terus menangis.Lila menggeleng pelan. Kenapa dalam keadaan repot seperti itu Sean tidak membangunkannya?Dia mengamati suaminya yang tampak begitu telaten. Mata Sean terlihat sedikit sayu karena mengantuk, tetapi senyumnya tetap ada saat membisikkan sesuatu pada anak mereka. Lila merasa hangat melihat pemandangan itu.Dia bangkit perlahan, mendekati Sean, lalu bertanya pelan, "Kenapa tidak membangunkanku?"Sean menoleh dan tersenyum kecil. "Kau masih butuh istirahat, sayang. Aku bisa mengurus mereka."
Ryan menghela napas panjang, berdiri di samping tempat tidur rumah sakit tempat Rina berbaring. Sejak sadar, istrinya berubah total. Biasanya Rina adalah perempuan yang mandiri, kalem, dan penurut. Tapi sekarang? Manja, gampang marah, dan yang paling membuat Ryan frustasi, diam seribu bahasa setiap kali mereka hanya berdua."Rina, kau mau sesuatu?" tanya Ryan pelan, berharap mendapat jawaban.Rina hanya membuang muka, menatap ke arah jendela.Ryan mengusap wajahnya, mencoba bersabar. Sejak dokter memberi kabar tentang kehamilan Rina, perubahan sikap istrinya semakin menjadi-jadi. Setiap kali ia mencoba membicarakannya, Rina malah menutup diri.Namun, saat Sekar dan Prabu datang bersama Brilian dan Renasya, suasana langsung berubah. Seakan-akan Rina adalah orang yang berbeda."Bunda!" Renasya berlari kecil mendekati ranjang, matanya berbinar.Rina tersenyum hangat, membuka tangannya untuk menyambut putrinya. "Sayang, ke sini, Bunda kangen."Ryan memandangi pemandangan itu dengan kening
Sean melepas dasinya dengan satu tarikan kasar. Rumah besar itu terasa begitu sepi.Tidak ada suara Sekar yang biasanya sibuk memberi perintah. Tidak ada tawa Prabu yang sering menggoda Brilian. Bahkan Brilian sendiri tak terdengar, padahal biasanya selalu berlari-lari dengan ocehan tak ada habisnya.Setelah mencuci tangan, Sean melangkah menuju kamar bayi, membuka pintu perlahan.Di dalam, Lila sedang menggendong Berlian yang masih mengenakan baju tidur, sementara Bintang terbaring di boks bayi, menggeliat pelan. Wajah Lila tampak lelah, rambutnya berantakan, tetapi senyumnya tetap ada saat menenangkan putri kecil mereka.Sean bersandar di ambang pintu, matanya melembut. "Kenapa sendirian?"Lila menoleh, sedikit terkejut, lalu tersenyum tipis. "Mama dan Papa mengantar Renasya ke rumah sakit. Brilian ikut, nanti pulangnya langsung ke rumah Om Prabu. Mereka akan menginap kurang lebih satu minggu di sana sampai Paksi berangkat ke London."Sean mengangguk pelan, beberapa hari yang lalu P
Di perjalanan pulang, Sekar sesekali melirik ke arah Renasya yang tertidur di pangkuannya. Wajah mungil itu tampak lelah, sesekali bergumam dalam tidurnya, mungkin memanggil ibunya. Prabu yang menyetir pun sesekali melirik ke kaca spion, memastikan keadaan mereka baik-baik saja."Kasihan anak ini, tidak ada yang asuh karena mamanya harus di" gumam Sekar pelan, mengusap rambut Renasya dengan lembut."Kita jaga dia baik-baik sampai ibunya pulang," sahut Prabu, suaranya tenang tetapi tegas.Sesampainya di rumah, Sekar langsung memanggil Bi Siti. "Bi, tolong mandikan Renasya dulu, ya. Pakaiannya ada di kamar tamu yang dulu dia pakai waktu menginap di sini."Bi Siti mengangguk. Dengan penuh kesabaran, ia membimbing Renasya yang masih setengah sadar karena mengantuk. Anak itu berjalan dengan langkah gontai, menggenggam tangan Bi Siti erat-erat.Sekar dan Prabu menghembuskan napas lega. "Semoga besok Rina sudah bisa dibawa pulang," kata Sekar pelan, lebih kepada dirinya sendiri.“Ya, tapi Re
Ryan duduk di kursi tunggu ruang UGD, masih mengenakan kaus rumahan dan celana training. Melihat keadaan istrinya yang tidak sadarkan diri, ayah satu anak itu mengambil pakaian sedapatnya dari lemari.Napas Ryan tersengal, dadanya naik turun cepat. Di pelukannya, Renasya meringkuk, masih mengenakan piyama tidurnya, kepalanya bersandar di bahu Ryan dengan wajah bingung dan takut."Ayah, Bunda kenapa?" Suara kecil putrinya bergetar.Ryan mengeratkan pelukannya, berusaha menenangkan anaknya meski dirinya sendiri diliputi ketakutan yang luar biasa."Bunda sakit, Nak. Kita doain Bunda, ya?" Suara Ryan terdengar serak, matanya terus terpaku pada pintu ruang gawat darurat yang tertutup rapat.Tadi pagi, setelah menemukan Rina tidak sadarkan diri, Ryan nyaris kehilangan akal. Ia menggendong istrinya keluar kamar, berlari ke garasi, dan tanpa berpikir panjang, memasukkan Rina ke mobil.Renasya, yang terbangun karena suara ayahnya berteriak, ikut dibawa serta dalam keadaan setengah mengantuk.P