Selama perjalanan, Sekar memandangi jalanan yang berlalu di jendela mobil. Amarah berkecamuk dalam dadanya, menggelegak setiap kali bayangan Andika melintas di benaknya. Dia ingin menuntut jawaban, ingin menyelesaikan perhitungan yang sudah terlalu lama tertunda.Namun, di balik kemarahan itu, hatinya bergetar pelan. Ada perasaan asing yang muncul saat menyadari bahwa dia akan bertemu pria yang pernah dia cintai sepenuh hati. Sekar menggigit bibirnya, mencoba mengusir perasaan itu. Tapi kenangan lama tetap menghantui.Dengan berbekal informasi yang didapat dari Lila, Sekar menuju ke ruangan tempat Andika dirawat. Dalam benaknya, Sekar ingin segera menyelesaikan masalah dengan Andika.Setibanya di ruang yang dituju, Sekar berdiri membatu di ambang pintu. Dia menatap tubuh lemah Andika yang terbaring diam dengan berbagai selang dan alat medis yang mengelilinginya.Dada Sekar terasa sesak melihat wajah yang dulu begitu berwibawa kini tampak pucat dan tak berdaya. Sekar mengalihkan pandan
Sekar berdiri di samping ranjang, menatap wajah Andika yang tirus dan pucat. Nafasnya teratur, tetapi kosong, seolah hanya bergantung pada mesin yang berdengung pelan di sudut ruangan. Dadanya terasa berat, seperti ada beban yang menekan kuat, menolak untuk melepaskan.Dia menyentuh tangan Andika sekali lagi, terasa dingin dan tak berdaya. Kilasan kenangan masa lalu berputar di benaknya, tawa hangat, janji-janji manis, dan cinta yang pernah begitu dalam. Meski pengkhianatan telah melukai hatinya, tidak bisa dipungkiri bahwa cinta itu masih ada, tersisa di relung hatinya yang terdalam.Sekar mengusap air matanya yang mengalir perlahan. “Kenapa harus berakhir seperti ini, Mas?” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara mesin yang terus berdetak. “Jika waktu bisa diputar ulang... mungkin semuanya akan berbeda.”Dia menggigit bibir, menahan perasaan yang begitu mengoyak. Dengan langkah berat, Sekar mulai berbalik, memaksakan dirinya untuk pergi. Namun, sebelum membuka pintu, dia berhent
Sean dengan hati-hati memapah Lila keluar dari kamar mandi, tubuh Lila tampak lemas setelah memuntahkan isi perutnya. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Lila, membantunya berjalan dengan langkah pelan.Wajah Sean penuh kekhawatiran. Sampai kapan keadaan seperti ini harus terjadi pada istrinya"Sayang, sampai kapan kamu seperti ini?" tanya Sean dengan nada cemas. "Aku takut anak kita nggak dapat nutrisi yang cukup kalau kamu terus-menerus muntah."Lila menghela napas, matanya sedikit sayu namun tetap berusaha tersenyum. "Ini hanya di pagi hari saja, Sean. Setelah makan siang, aku biasanya baik-baik saja. Nggak masalah." Dia menoleh, memberi Sean senyum kecil. "Aku tidak bisa meninggalkan Mahendra Securitas begitu saja. Ini tanggung jawab besar."Sean menggenggam tangan Lila, memandangnya dengan mata penuh kasih. "Aku paham, tapi kamu juga perlu jaga diri. Jangan sampai terus-terusan mengorbankan kesehatanmu, ya?"Lila mengangguk pelan, berusaha menenangkan suaminya. "Aku janji, Sea
“Kau tahu, kecerdasan itu diturunkan dari ibunya?” Lila mengangguk mengiyakan ucapan Sekar, ibu mertuanya. “Itu sebabnya mama memilihmu untuk menjadi istri Sean, untuk melahirkan keturunan-keturunan yang cerdas bagi keluarga Wismoyojati.” Dahulu Lila adalah salah satu mahasiswa pintar yang mendapatkan beasiswa dari perusahaan Wismoyojati. Saat magang di perusahaan itu, Lila menunjukkan kinerja yang sangat baik, hingga membuat Sekar begitu tertarik kepada dirinya. Bahkan untuk bisa mendapatkan dirinya saat itu, Sekar membanjiri keluarga Lila dengan begitu banyak hadiah, agar Lila bersedia menikah dengan Sean, putra tunggalnya. “Tapi setelah mama pikir-pikir, setelah dua tahun pernikahan kalian, apa gunanya memiliki menantu yang cerdas kalau ternyata mandul?” Lila menunduk menyembunyikan kegetiran hatinya. Setelah dilambungkan setinggi langit, lalu dijatuhkan hingga hancur berantakan. “Sean adalah pewaris tunggal di keluarga Wismoyojati, apa jadinya jika dia tidak memiliki ke
Seburuk inilah komunikasi antara Lila dan dan Sean. Sampai Sean lupa memberi tahu tentang pengumuman brand ambassador produk baru perusahaan mereka. Hati Lila merasa tercubit, keberadaanya sama sekali tidak dianggap, bahkan untuk acara sebesar ini dirinya tidak dilibatkan sama sekali. Jangankan dilibatkan, diberi tahu pun secara mendadak.Lila membuka lemari pakaiannya, tampak kebingungan karena tidak ada satu pun pakaian yang sesuai dengan dress code dalam undangan yang baru saja Sean kirim memalui aplikasi perpesanan. Satu jam lagi acara dimulai, sudah tidak ada waktu untuk ke butik atau memesan secara online. Lila harus bisa memaksimalkan pakaian yang ada.Seperti apa yang sudah Lila duga, penampilannya akan menjadi pusat perhatian. Bukan karena penampilannya yang penuh pesona, tetapi karena dia mengenakan pakaian yang sudah pernah dia gunakan di acara sebelumnya."Lihat, bukankah itu gaun yang sama dengan yang dia pakai di acara amal bulan lalu?" bisik seorang perempuan kepada tem
Lila membiarkan dingin menyelimuti tubuhnya. Malam yang semakin larut membuatnya kesulitan mendapatkan taksi. Ingin rasanya memesan satu kamar di hotel ini untuk sekedar mengistirahatkan tubuhnya, tetapi mengingat ada Sean dan Miranda di kamar yang lain membuat Lila ingin sesegera mungkin meninggalkan hotel bintang lima tersebut.“Sendiri?” Suara bariton yang tak dikenal itu membuyarkan lamunan Lila.Lila segera menyeka air matanya, berusaha menyembunyikan kesedihan dari orang yang tidak dia kenal. Ia berbalik dan melihat seorang pria tampan dengan sorot mata tajam namun ramah.“Butuh tumpangan ... Nyonya Wismoyojati?” tanyanya sambil tersenyum.“Tidak, terima kasih.” Degup jantungnya semakin kencang. Bukan karena terpesona dengan pria tampan di hadapannya, tetapi ada ketakutan tersendiri saat bertemu dengan orang asing pada saat malam merayap berganti hari.“Mau saya temani sampai mendapatkan taksi?” Pria itu menawarkan lagi, nada suaranya tulus dan tenang.“Tidak perlu,” tolak Lila
“Ini bukan tentang Ryan atau pun Miranda, ini tentang kita yang memang tidak bisa hidup bersama.” Lila berusaha tetap tenang menghadapi Sean. Entah apa yang membuat suaminya menunjukkan sikap berlebihan dengan sosok Ryan Aditya Mahendra.“Berapa yang kau minta?”Lila menunduk menyeka air mata. Apa pun tentang dirinya, Sean anggap bisa dinegosiasikan dengan uang. Segala urusan bisa diselesaikan dengan uang, termasuk urusan ranjang. Serendah itu Lila di mata Sean, anak sopir taksi yang menerima lamaran Sekar untuk dirinya. Jika bukan demi harta, lalu apa lagi?“Aku tidak menginginkan apapun.” Tenggorokan Lila terasa kering, hingga dia harus menelan ludah untuk bisa melanjutkan kalimatnya. “Tak masalah, tanpa ada gono-gini, asal kita berpisah.”“Jangan pernah membicarakan tentang perceraian lagi, atau aku akan menghentikan uang untuk pengobatan ayahmu.”Ancaman yang terasa begitu mengiris hati Lila. Bukan bermaksud tidak berbakti kepada orang tua, tetapi Lila merasa sudah di ambang batas
Lila menggelengkan kepala, yang dia inginkan saat ini hanya kebebasan, mencari kebahagiaannya sendiri, lepas dari sangkar emas keluarga Wismoyojati. Anggap saja Lila egois, tetapi dia hanya ingin menjaga kewarasannya, baik jiwa maupun raga. Sudah cukup hinaan dari Sekar dan pengabaian dari Sean, sudah cukup selama dua tahun, tubuhnya disentuh tanpa cinta.“Sudah banyak yang saya dapatkan dari keluarga ini, bukan hanya harta benda, tetapi juga ilmu dan kesehatan ayah saya. Saya tidak memiliki apa pun untuk memberi balasan yang sepadan, jadi saya tidak akan mempersulit keinginan mama dan Sean untuk segera memiliki penerus bagi keluarga ini.”Sekar tersenyum lega mendengar ucapan Lila. Permintaan Lila adalah harapannya selama ini. Jika Lila tidak ingin mempersulit, Sekar akan semakin mempermudah perceraian itu terjadi. Apa pun akan dia lakukan untuk bisa segera memiliki cucu, dan perceraian Lila dengan Sean adalah langkah awal.Saat ini di kepala Sekar sudah dipenuhi perempuan-perempuan
Sean dengan hati-hati memapah Lila keluar dari kamar mandi, tubuh Lila tampak lemas setelah memuntahkan isi perutnya. Dia melingkarkan tangannya di pinggang Lila, membantunya berjalan dengan langkah pelan.Wajah Sean penuh kekhawatiran. Sampai kapan keadaan seperti ini harus terjadi pada istrinya"Sayang, sampai kapan kamu seperti ini?" tanya Sean dengan nada cemas. "Aku takut anak kita nggak dapat nutrisi yang cukup kalau kamu terus-menerus muntah."Lila menghela napas, matanya sedikit sayu namun tetap berusaha tersenyum. "Ini hanya di pagi hari saja, Sean. Setelah makan siang, aku biasanya baik-baik saja. Nggak masalah." Dia menoleh, memberi Sean senyum kecil. "Aku tidak bisa meninggalkan Mahendra Securitas begitu saja. Ini tanggung jawab besar."Sean menggenggam tangan Lila, memandangnya dengan mata penuh kasih. "Aku paham, tapi kamu juga perlu jaga diri. Jangan sampai terus-terusan mengorbankan kesehatanmu, ya?"Lila mengangguk pelan, berusaha menenangkan suaminya. "Aku janji, Sea
Sekar berdiri di samping ranjang, menatap wajah Andika yang tirus dan pucat. Nafasnya teratur, tetapi kosong, seolah hanya bergantung pada mesin yang berdengung pelan di sudut ruangan. Dadanya terasa berat, seperti ada beban yang menekan kuat, menolak untuk melepaskan.Dia menyentuh tangan Andika sekali lagi, terasa dingin dan tak berdaya. Kilasan kenangan masa lalu berputar di benaknya, tawa hangat, janji-janji manis, dan cinta yang pernah begitu dalam. Meski pengkhianatan telah melukai hatinya, tidak bisa dipungkiri bahwa cinta itu masih ada, tersisa di relung hatinya yang terdalam.Sekar mengusap air matanya yang mengalir perlahan. “Kenapa harus berakhir seperti ini, Mas?” suaranya lirih, hampir tenggelam oleh suara mesin yang terus berdetak. “Jika waktu bisa diputar ulang... mungkin semuanya akan berbeda.”Dia menggigit bibir, menahan perasaan yang begitu mengoyak. Dengan langkah berat, Sekar mulai berbalik, memaksakan dirinya untuk pergi. Namun, sebelum membuka pintu, dia berhent
Selama perjalanan, Sekar memandangi jalanan yang berlalu di jendela mobil. Amarah berkecamuk dalam dadanya, menggelegak setiap kali bayangan Andika melintas di benaknya. Dia ingin menuntut jawaban, ingin menyelesaikan perhitungan yang sudah terlalu lama tertunda.Namun, di balik kemarahan itu, hatinya bergetar pelan. Ada perasaan asing yang muncul saat menyadari bahwa dia akan bertemu pria yang pernah dia cintai sepenuh hati. Sekar menggigit bibirnya, mencoba mengusir perasaan itu. Tapi kenangan lama tetap menghantui.Dengan berbekal informasi yang didapat dari Lila, Sekar menuju ke ruangan tempat Andika dirawat. Dalam benaknya, Sekar ingin segera menyelesaikan masalah dengan Andika.Setibanya di ruang yang dituju, Sekar berdiri membatu di ambang pintu. Dia menatap tubuh lemah Andika yang terbaring diam dengan berbagai selang dan alat medis yang mengelilinginya.Dada Sekar terasa sesak melihat wajah yang dulu begitu berwibawa kini tampak pucat dan tak berdaya. Sekar mengalihkan pandan
Ryan menggenggam tangan Rina lebih erat, mencoba meyakin hati sang istri dengan suara yang lebih tenang.“Rina, yang kulakukan dulu... semua itu demi mempertahankan Mahendra Securitas. Aku nggak mau melepaskan perusahaan itu karena aku berpikir perusahaan itu adalah milik papaku.”Rina menatap suaminya dalam-dalam, mencoba mencari kebenaran di balik kata-katanya. Tapi sorot mata Ryan goyah, tidak seteguh biasanya. Kebohongan itu terpancar, meski Ryan berusaha menyembunyikannya.Ingatan masa lalu kembali membanjiri benak Rina. Ia masih ingat jelas bagaimana Ryan menitipkan segala keperluan Lila saat mengandung Brilian.Bagaimana Ryan memastikan Lila mendapatkan nutrisi terbaik. Saat itu, Ryan menunjukkan kepedulian yang tidak biasa. Sebuah kepedulian yang nyata, bukan sekedar muslihat seperti yang baru saja dia ucapkan.Bukan hanya itu, Rina juga tahu penyebab Ryan gelap mata sampai-sampai nekat ingin melenyapkan anak yang dikandung Lila. Lelaki yang kini menjadi suaminya, waktu itu me
Ryan menatap foto keluarga yang tergantung di dinding kamar. Dalam bingkai kayu sederhana, wajah Risda tersenyum lembut duduk sambil memangku Rena yang masih bayi, sementara Ryan dan Rina mengapitnya di kedua sisi.Tampak berulang kali Ryan menghela napas dalam-dalam, berusaha menenangkan dirinya yang mesih sulit untuk mengikhlaskan kepergian sang mama. Jemari Ryan menyentuh kaca, mengusap wajah perempuan yang telah melahirkannya, seolah ingin merasakan kehangatannya lagi.Rina berdiri di ambang pintu, memperhatikan suaminya yang terlihat rapuh. Perlahan, dia melangkah mendekat dan duduk di samping Ryan tanpa berkata-kata. Dia tahu Ryan sedang berjuang keras menahan kesedihannya.Ryan menoleh, melihat Rina di sisinya. Matanya merah, penuh air mata yang tertahan. Bibirnya bergetar saat kata-kata itu akhirnya terucap, lirih dan berat. “Aku kangen Mama...”Rina tidak menjawab. Dia hanya membuka lengannya, dan tanpa ragu, Ryan bersandar di bahunya. Tubuhnya gemetar, bahunya terguncang saa
Sekar menggebrak meja dengan keras. Suara dentumannya menggema di ruang makan, membuat vas bunga di ujung meja bergetar.“Tidak! Mama tidak akan pernah setuju!” suaranya bergetar menahan amarah. Mata tajamnya menusuk ke arah Sean yang duduk tenang di depannya.Sean tetap diam, wajahnya tenang tanpa ekspresi. Dia sudah memperkirakan sang mama akan memberikan reaksi yang seperti ini.“Setelah semua yang terjadi pada keluarga kita ... setelah kehancuran yang merka buat! Kamu masih berani meminta anak haram itu kembali ke Mahendra Securitas?” Suara Sekar semakin tinggi, nadanya penuh kebencian.“Mama...” Sean mencoba meredakan kemarahan ibunya, tapi Sekar tidak memberi kesempatan.“Kamu gila, Sean! Apa kamu tidak ingat bagaimana kehadirannya membuatmu kehilangan sosok ayah? Bagaimana mereka hidup bahagia dengan harta mama?”Sean mengangkat wajahnya, matanya bertemu dengan tatapan tajam Sekar. “Keadaan sekarang sudah berubah, Ma. Sampai saat ini saya tidak bisa menerika perselingkuhan papa
Ryan menghela napas panjang. Tatapannya tertuju pada wajah kakaknya yang terlihat lelah dan cemas. Ia tahu kondisi Lila yang sedang hamil anak kembar. Sean sudah menjelaskan semuanya. Tetapi tawaran untuk memimpin Mahendra Securitas bukanlah hal yang bisa diterima begitu saja.“Aku... aku tidak bisa langsung jawab sekarang,” ucap Ryan pelan, suaranya terdengar ragu. “Ini bukan keputusan kecil. Apalagi, aku harus mempertimbangkan banyak hal, termasuk … Bu Sekar.”Wajah Sean mengeras sejenak. Ia mengerti maksud Ryan. Sekar, mamanya adalah sosok yang tidak mudah diyakinkan. Meninggalnya Risda, tidak juga menyembuhkan luka hati sang mama yang begitu dalam.“Aku mengerti,” ucap Sean sambil mengangguk pelan. “Aku tahu hubunganmu dengan mamaku tidak mudah. Tapi, aku benar-benar butuh bantuanmu, Ryan. Lila... kondisinya benar-benar lemah. Dan aku tidak ingin hal buruk terjadi kepadanya.”Ryan menggigit bibirnya, hatinya bergejolak. Dia melihat kesungguhan dan ketulusan di mata sang kakak. Nam
Pagi itu, Lila terbangun dengan rasa mual yang hebat. Perutnya terasa melilit, dan kepalanya berdenyut. Begitu mencoba bangun dari tempat tidur, tubuhnya limbung, nyaris terjatuh jika Sean tidak sigap memapahnya.“Kamu nggak usah ke kantor hari ini,” ujar Sean tegas sambil membantu Lila duduk kembali di tepi ranjang.“Tapi hari ini ada rapat penting...” Lila mencoba membantah, meski suaranya lemah dan wajahnya pucat.Dia menggenggam botol kecil obat anti mual yang tadi sempat diminumnya. Sayangnya, efeknya nyaris tidak terasa sama sekali. Mual itu terus menghantam tanpa ampun.Sean menggeleng. “Aku nggak peduli seberapa penting rapat itu. Kondisimu seperti ini, mana mungkin kamu bisa fokus.”“Tapi...”“Nggak ada tapi-tapian, La.” Suara Sean tegas, namun matanya memancarkan kekhawatiran. Dia menyentuh dahi Lila, memastikan suhu tubuh istrinya. “Kamu istirahat di rumah. Aku bakal ngabarin kantormu dan bilang kamu nggak bisa datang.”Lila hanya bisa menghela napas pasrah. Mual itu semaki
Sekar berdiri tegak dengan ekspresi tegas di wajahnya. “Aku tidak akan pergi melayat. Dan Lila juga tidak perlu datang.”Lila terdiam, menatap Sean dengan bingung. Ia ingin menunjukkan rasa hormat, tapi tidak berani melawan keputusan mertuanya.“Mama...” Sean mencoba berbicara dengan hati-hati. “Bagaimanapun, Risda sudah tiada. Rasanya tidak pantas jika kita tidak datang sama sekali.”Sekar menoleh, tatapannya tajam. “Perempuan itu sudah menghancurkan hidupku. Kau pikir kematiannya menghapus semua luka itu? Tidak, Sean. Dan aku tidak akan membiarkan istrimu pergi ke sana.”Lila meremas ujung bajunya, ingin bicara namun kata-kata tak mampu keluar dari mulutnya.Sean melihat ketakutan di mata Lila. Dia tahu Lila hanya ingin melakukan hal yang benar, tapi dia tidak ingin Lila harus bermasalah dengan mamanya.“Baiklah, Ma. Lila tidak akan pergi,” ucap Sean dengan suara tenang. “Biar aku saja yang datang.”Sekar mendengus, lalu berbalik meninggalkan mereka tanpa sepatah kata pun.Sean mena