Pesta ulang tahun telah usai, menyisakan kehangatan di rumah besar keluarga Wismoyojati. Para tamu sudah pulang, dan kini hanya keluarga inti yang tersisa, menikmati momen-momen kebersamaan setelah hari yang penuh keceriaan.Waluya dan Inayah, orang tua Lila dan Delisa, duduk di ruang keluarga bersama Sekar dan beberapa anggota keluarga lainnya. Mereka sengaja datang dari jauh demi merayakan ulang tahun cucu kesayangan mereka.Waluya bangga melihat cucunya yang masih sibuk bermain dengan beberapa hadiah ulang tahunnya. "Dulu waktu lihat dia baru lahir sangat kecil. Sekarang sudah sebesar ini."Waluya tidak bisa menyembunyikan kebahagiaannya bisa berkumpul dengan cucunya. Selama ini dia hanya bisa menghubungi Brilian melalui ponsel. Bukan karena tidak sayang, Waluya jarang mengunjungi cucunya. Selain kesibukannya, dia juga tidak ingin terlalu merepotkan Sean, yang akan memberi banyak bawaan saat pulang.Inayah tersenyum dan mengusap lembut kepala Brilian yang duduk di dekatnya. "Dia pa
Sean diam saat melihat bayangan Delisa di cermin. Dia tahu arah pembicaraan ini, dan dia tidak ingin mendengarnya.Tangannya masih di bawah air, air terus mengalir. Dia tidak menoleh, hanya berharap Delisa pergi sebelum ada yang melihat mereka di sini dan menyebabkan kesalahpahaman.Tapi Delisa tetap di tempatnya, seolah ada pesan yang belum dia sampaikan.“Aku tahu kalau Mas Sean sangat mendambakan anak perempuan,” lanjut Delisa pelan. “Dan aku juga tahu Mbak Lila tidak bisa lagi melahirkan anak untuk Mas Sean.”Sean mematikan keran. Hening. Hanya suara tetesan air yang jatuh ke wastafel.Dia menarik napas dalam, lalu berbalik. Wajahnya tenang, tetapi sorot matanya tajam.“Delisa ….” Suaranya dingin, nyaris berbisik. Kalimat itu tidak berlanjut karena Sean terlihat bingung untuk merangkai kata.Delisa menatapnya, senyum kecil di sudut bibirnya, seakan dia sudah tahu reaksi ini sejak awal.“Aku bisa mewujudkan keinginan Mas Sean ….”Sean mengangkat tanganya seolah memberi tanda kepada
Lila diam, merasakan kehangatan di pelukan Sean, tetapi ada sesuatu dalam kata-katanya yang membuatnya ragu.Dia menarik napas pelan, lalu menoleh sedikit, mencoba melihat wajah suaminya. “Sean … kau yakin ingin punya anak lagi?”Sean mengendurkan pelukannya, memberi ruang untuk Lila berbalik menghadapnya. Mata Lila mencari sesuatu di wajahnya, sesuatu yang bisa meyakinkannya bahwa ini bukan sekadar keinginan sesaat.“Aku yakin,” jawab Sean mantap penuh rasa yakin.Lila mengalungkan lengannya ke leher Sean. “Kita bisa mulai sekarang?”Sean tertawa renyah mendengar betapa bersemangat istrinya. Tetapi dia tidak ingin gegabah. Ada banyak hal harus dia pertimbangkan.Sean menggenggam tangan istrinya, ibu jarinya mengusap punggung tangan Lila dengan lembut.“Kita tidak harus buru-buru,” ucap Sean dengan lembut. “Aku ingin kita konsultasi dulu ke dokter. Aku ingin tahu bagaimana kondisimu, apakah kau siap untuk hamil lagi.”Lila mengangguk pelan. “Kau sekhawatir itu?”“Tentu saja,” kata Se
Pagi itu, meja makan keluarga Wismoyojati penuh dengan aroma hangat dari nasi goreng, omelet, dan teh hangat. Lila memastikan segala sesuatu tersaji dengan baik untuk kedua orang tuanya sebelum mereka pulang.“Kakek beneran mau pulang hari ini?” tanya Brilian seolah belum sembuh rasa rindunya kepada sang kakek.Waluya mengangguk sambil mengambil sepotong roti. “Iya, Nak. Ayam-ayam kakek nanti tidak ada yang memberi makan,” jawabnya sambil menatap Brilian yang sedang menikmati susu hangatnya.“Mengapa orang dewasa lebih sayang pekerjaannya daripada anaknya, Oma?”Semua yang berada di ruang makan tertawa mendengar pertanyaan polos dari Brilian. Bagi bocah itu hanya, sang oma yang menyayanginya sepenuhnya, karena selalu ada untuknya.“Bukan begitu Brili,” ucap Sekar dengan lembut. “Orang dewasa bekerja untuk menunjukkan kasih sayangnya kepada anak-anak mereka. Dengan bekerja mereka bisa memberi makan, menyekolahkan, liburan bersama. Kalau mereka tidak bekerja, anak-anaknya akan kelaparan
Lila berdiri di depan pintu, matanya sedikit berkaca-kaca saat memelik tubuh sang ayah."Jaga dirimu baik-baik, Nak," ucap Waluya membisikkan doa serta nasihat yang selalu ia berikan sejak Lila kecil. "Jangan lupa berdoa. Tetap rendah hati, jadilah ibu dan istri yang baik. Jangan lupa tetap hormati ibu mertuamu!”“Ya, Pak,” jawab Lila lirih sambil menahan air mata.Lila mengangguk, menggenggam tangan ayahnya untuk terakhir kali sebelum memasuki mobil. Waluya menurunkan kaca jendela, lalu melambaikan tangan sambil tersenyum hangat.Sementara itu, Inayah hanya diam. Wajahnya muram, pikirannya masih dipenuhi dengan ancaman Sekar di kafe tadi. Ia bahkan tak memberikan pesan apa pun untuk Lila, sesuatu yang membuat putrinya sedikit heran.Setelah mobil mereka tak terlihat lagi, Lila menghela napas dan berbalik menuju rumah. "Aku ke kamar dulu, bersiap ke kantor," ucap Lila kepada Sean dan Sekar sebelum melangkah menaiki tangga.Sean hanya mengangguk sambil melirik jam tangannya. "Aku juga
Di kantor, Lila tampak gelisah. Tatapannya kosong meski layar laptop di depannya penuh dengan angka dan laporan. Pikirannya melayang, tak bisa fokus pada pekerjaan.Tadi, sebelum pulang, Inayah menemuinya dengan wajah sedih. Kata demi kata yang diucapkan sang ibu seolah sulit untuk Lila abaikan begitu saja."Kau tahu apa yang dilakukan ibu mertuamu saat kami mengantar Brili tadi? Tadi dia melabrak Ibu."Lila mengerutkan kening. "Melabrak? Kenapa?" Tentu Lila sangat terkejut, karena keduanya berangkat terlihat rukun dan akrab."Ibu juga kaget. Dia menuduh Delisa merayu Sean." Inayah menatap Lila, suaranya mengandung kemarahan yang tertahan. "Tapi coba pikir, Li … apa masuk akal? Bisa saja justru Sean yang menggoda adikmu."Lila terdiam, dadanya sesak. Kata-kata Inayah menancap tajam di pikirannya, memunculkan keraguan yang berusaha dia tepis."Sean nggak mungkin begitu, Bu," bisiknya, tapi suaranya terdengar ragu.Inayah menepuk tangan Lila lembut. "Ibu cuma ingin kamu waspada. Jangan
Sore itu, sebuah mobil hitam mewah berhenti tepat di depan gedung Mahendra Securitas. Pintu mobil terbuka, dan Sean melangkah keluar dengan langkah mantap. Setelan jasnya rapi, kemeja putih tanpa cela berpadu dengan dasi berwarna gelap yang menambah aura kharismanya. Tatapan matanya tenang, penuh percaya diri, memancarkan pesona yang sulit diabaikan.Saat Sean memasuki lobi kantor, beberapa karyawan wanita tak bisa menyembunyikan kekaguman mereka. Bisikan pelan terdengar di sudut-sudut ruangan.“Itu suaminya Bu Lila, kan?” bisik salah satu staf.“Iya, ya ampun, ganteng banget. Mereka pasangan serasi banget,” sahut yang lain sambil tersenyum kagum.Sean melangkah melewati mereka tanpa banyak bicara, hanya memberikan anggukan singkat yang membuat beberapa orang semakin terpesona. Aura dingin dan tenangnya justru menambah daya tariknya.Delisa, yang kebetulan sedang berada di salah satu sudut ruangan, melihat semua pemandangan itu dengan tatapan sulit diartikan. Senyum tipis menghiasi wa
Di klinik yang bernuansa hangat dan tenang, Lila dan Sean duduk berdampingan di ruang tunggu. Tak butuh waktu lama, setelah seorang pasien keluar dari ruang praktik, nama Lila segera dipanggil.Sean berdiri lebih dulu, lalu meraih tangan Lila dengan lembut, seolah-olah menggandeng harta paling berharga dalam hidupnya.Saat mereka memasuki ruangan, Dokter Amira yang duduk di balik mejanya tersenyum lebar. Matanya berbinar begitu melihat Lila.“Wah, Lila! Aku hampir nggak mengenalimu. Semakin cantik saja,” seru Dokter Amira, berdiri untuk menyambut mereka.Lila tersipu, sementara Sean melemparkan pandangan penuh kebanggaan ke arah istrinya.“Tubuhmu tetap terjaga dengan baik. Pasti karena pengorbanan Sean, ya? Aku dengar dia yang memutuskan untuk KB, bukan kamu. Itu tandanya dia benar-benar sayang sama kamu.”Ucapan itu membuat Sean tertawa kecil, lalu meremas pelan tangan Lila. Bagi Sean apa yang dia lakukan bukanlah pengorbanan yang layak dibanggakan. Toh dia masih bisa menikmatinya,
Dengan susah payah, Lila membantu Sean duduk di sofa. Napasnya sedikit memburu, bukan hanya karena perutnya yang semakin besar, tetapi juga karena ketegangan di ruangan ini.Sekar dan Ryan masih berdiri di depan mereka, wajah mereka penuh kemarahan dan kekecewaan. Lila yang dia bela terlihat takhluk pada rasa cinta.Lila menatap mereka dengan penuh keteguhan.“Aku tahu apa yang telah terjadi sebenarnya, Ma,” ucap Lila lirih, terdengar lelah dan nelangsa. “Dan ini tidak seperti yang kalian pikirkan.” Hati Lila hancur melihat keadaan Sean, dia yakin jika suaminya mampu melawan Ryan, tetapi dia lebih memilih mengalah agar masalah tidak melebar.Sekar mendengus sinis. “Jangan bodoh, Lila! Jangan biarkan dirimu terpedaya oleh cinta! Kau pikir dia tidak pernah berbohong padamu?”Lila menggeleng, menahan perasaan. “Ini bukan soal percaya atau tidak percaya. Aku tahu apa yang terjadi. Dan aku tidak akan membiarkan kalian menyudutkan Sean tanpa mendengar kebenarannya.”Ryan yang sejak tadi dia
Setelah memasuki mbilnya, Ryan mengirim pesan kepada Rina jika dia pulang terlambat hari ini. Tanpa menunggu balasan, dia segera melajukan mobilnya dengan kecepatan tinggi.Ryan mematikan mesin mobilnya begitu tiba di halaman rumah Sean. Petugas keamanan sudah membuka gerbang tanpa banyak tanya, mengenali mobilnya sebagai salah satu yang sering keluar-masuk rumah ini.Begitu Ryan keluar dari mobil, suara langkah kecil terdengar berlari mendekat. Brilian, dengan wajah penuh antusias, langsung menghampirinya.“Om Ryan!” seru Brilian penuh antusias dan keceriaan. Namun, begitu ia melihat ke dalam mobil dan tidak menemukan sosok yang diharapkannya, ekspresinya berubah kecewa. “Om Ryan nggak ajak Renasya?”Ryan tersenyum tipis, berlutut di hadapan Brilian. “Maaf, Brili. Renasya lagi di rumah sama Bunda.”Brilian mendengus kecil, menundukkan kepala, lalu tanpa berkata-kata lagi berbalik masuk ke dalam rumah. Ryan hanya bisa menghela napas, memahami kekecewaan bocah itu.Saat ia melangkah ke
Sean keluar dari kamar mandi dengan rambut masih basah. Lila duduk di tepi tempat tidur, menatapnya dengan tatapan lembut tapi penuh kekhawatiran.Tanpa berkata apa-apa, Sean berjalan mendekat dan merengkuh Lila ke dalam pelukannya. Erat. Seolah-olah jika dia melepaskannya, sesuatu yang buruk akan terjadi."Aku takut kehilangan kalian." Suara Sean terdengar serak.Lila membalas pelukannya, mengusap punggung suaminya dengan lembut."Kami baik-baik saja, Sean." Meski sebenarnya dia juga merasakan kekhawatiran yang sama.Sean memejamkan mata, menghirup aroma tubuh istrinya, mencari ketenangan yang sepertinya sulit ia dapatkan. Kabar Miranda keguguran menghantamnya lebih keras dari yang dia kira. Itu bukan sekadar tragedi bagi Miranda, tapi juga pengingat betapa rapuhnya kehidupan. Betapa mudahnya kehilangan.Setelah beberapa saat, Lila berkata dengan lembut, "Sekarang Miranda sudah tidak di apartemen. Chiara membawanya ke tempat penampungan di kantor LSM-nya. Dia akan lebih aman di sana.
Miranda menatap dokter muda di hadapannya dengan mata membelalak, bibirnya bergetar tanpa suara. Lila yang berdiri di sampingnya refleks menggenggam tangan Miranda, berusaha menyalurkan ketenangan."Apa maksud dokter?" suara Miranda terdengar lirih, hampir tak terdengar.Dokter menarik napas dalam, lalu menjelaskan dengan nada tenang namun tegas."Dari hasil USG, tampak bahwa kehamilan Anda tidak berkembang. Ini berarti Anda mengalami keguguran. Saya menyarankan untuk segera melakukan kuretase agar tidak terjadi komplikasi yang lebih serius."Miranda menunduk, bahunya bergetar. Sejak kapan dia hamil? Sejak kapan dia membawa nyawa kecil dalam tubuhnya tanpa ia sadari? Dan sekarang, semuanya sudah hilang.Rasanya ujian hidup masih enggan pergi dari hidup Miranda. Model cantik itu sudah dijauhkan dari kedua anaknya, dan kini dia harus kehilangan janin tidak berdosa dalam rahimnya.Lila menatap dokter dengan wajah penuh tanya. Dia mengusap perutnya yang membesar dan sejak tadi terasa kenc
“Ya, Sayang,” ucap Sean saat menyapa Lila menghubunginya melalui ponsel.“Aku sedang menuju ke rumah sakit.”“Ada masalah dengan baby-baby, atau kau ….”“Tidak,” sergah Lila agar tidak membuat suaminya semakin khawatir. “Aku dan Chiara akan menemani Miranda untuk visum.Sean menggenggam ponselnya erat, rahangnya mengatup rapat. Dia menarik napas dalam, mencoba meredam kekhawatiran yang mulai merayapi pikirannya. Lila sedang hamil, dan sekarang dia ada di tengah masalah yang bisa meledak kapan saja.“Hati-hati, ya! Kabari setiap perkembangannya! Kamu jangan terlalu capek!”Sean menghujani istrinya dengan berbagai pesan. Bukan hanya menunjukkan perhatiannya kepada sang istri, tetapi lebih pada rasa khawatir yang tidak bisa dia kendalikan.Setelah pembicaraan selesai, Sean kembali meletakkan ponselnya.Theo yang duduk di depannya langsung menangkap perubahan ekspresi Sean. "Apa yang terjadi?" tanyanya cepat."Miranda sedang menjalani visum," jawab Sean singkat.Theo menghela napas. "Kala
Sean menatap foto itu dengan rahang mengeras. Sosok Satrio Wibisono terlihat jelas, duduk santai dengan seorang perempuan cantik bersandar di bahunya. Mereka berada di sebuah vila mewah, tampak begitu mesra."Beberapa waktu lalu," gumam Sean sambil melempar foto ke meja, "pihak marketing sempat menyodorkan nama perempuan ini sebagai kandidat brand ambassador untuk perusahaan kita."Theo mengangguk, ekspresinya tetap dingin. "Dan sekarang, artis itu sedang hamil."Sean mengangkat alisnya. "Hamil?""Ya. Dan ini yang membuat semuanya semakin rumit. Miranda tidak mau dipoligami, tapi dia juga tidak mau diceraikan begitu saja. Satrio sudah menguasai seluruh harta keluarganya. Jika dia pergi, dia tidak punya apa-apa."Sean menyandarkan punggungnya ke kursi, menatap langit-langit dengan frustrasi. Dia tidak menduga mantan kekasihnya yang dahulu terlihat mandiri dan memiliki karir cemerlang akan memiliki kehidupan rumah tangga yang mengenaskan.Sean berusaha menekan rasa kasihan yang mulai ti
Ruangan itu sunyi, hanya terdengar suara isakan Miranda yang mencoba mengumpulkan keberanian untuk melanjutkan ceritanya. Lila, Chiara, dan Ari Nugraha menunggu dengan sabar, membiarkan Miranda mengambil waktu untuk membuka luka yang selama ini dia pendam sendiri."Semuanya berubah sejak Papa meninggal." Suara Miranda bergetar kala berbicara dibarengi tangis. "Aku pikir Mas Satrio akan menjadi suami yang melindungiku. Tapi aku salah. Dia mengambil alih perusahaan Papa dan menyingkirkan adik-adikku. Aku tidak bisa berbuat apa-apa, dan mereka menyalahkanku. Mereka menganggap aku berpihak pada Mas Satrio."Lila menatapnya dengan mata berkaca-kaca. Keluarga adalah harta yang tidak ternilai, setelah kehilangan sang papa, Miranda dipisahkan dengan keluarganya.Lelehan air mata Miranda jatuh semakin deras, seolah menunjukkan luka mendalam di hatinya."Mereka membenciku. Adik-adik yang selama ini aku perjuangkan ... mereka bahkan tidak mau melihat wajahku lagi. Aku mencoba menjelaskan, tapi m
Miranda meronta di dalam dekapan Ari Nugraha, tetapi pria itu tidak melepaskannya begitu saja. Tangannya yang kokoh menahan bahu Miranda agar tidak bergerak liar. Napas Miranda memburu, tangisnya semakin keras."Lepaskan aku! Aku tidak bisa lagi! Aku sudah habis!" serunya dengan suara pecah.Chiara bergegas mengambil pisau yang telah terjatuh ke lantai, lalu menjauhkannya dari Miranda. Dengan hati-hati, dia meletakkannya di meja dapur, jauh dari jangkauan.Sementara itu, Lila perlahan melangkah mendekati Miranda. Dia melihat luka-luka samar di lengan perempuan itu, sisa lebam yang belum sepenuhnya memudar. Lila tidak tahu pasti apa yang telah dialami Miranda, tetapi dia tahu satu hal, perempuan di depannya sedang berada di ujung keputusasaan.Tanpa ragu, Lila merengkuh Miranda ke dalam pelukannya. Miranda menegang sejenak, tetapi begitu merasakan kehangatan Lila, tubuhnya melemas. Isaknya semakin memilukan, bahunya terguncang hebat."Kami di sini, Miranda. Kamu tidak sendiri," bisik L
Belum sempat salah satu dari mereka berbicara, pintu masuk apartemen terbuka secara otomatis, dan cahaya dari dalam memantulkan bayangan mereka ke lantai marmer.Pak Slamet melirik Lila dengan penuh tanya."Mbak, kita langsung masuk?" tanya Pak Slamet, tak menyadari kegelisahan yang kini memenuhi dada Lila.Lila tetap diam. Matanya masih terpaku pada dua sosok itu.Lila menarik napas dalam, mencoba memahami situasi yang semakin rumit. Masalah Miranda ternyata bukan sekadar pelarian dari seseorang, tetapi sudah menyentuh ranah hukum. Itu sebabnya Sean melibatkan Chiara dan Ari Nugraha.Dia menatap Chiara dengan penuh tanya. "Kenapa tidak bersama dengan Pak Cyrus?” Bukan bermaksud mengabaikan keberadaan Ari Nugraha yang juga berprofesi sebagai pengacara, tetapi Lila bertanya karena Chiara adalah istri dari Cyrus.Chiara tersenyum tipis. "Cyrus sedang menangani kasus lain di luar negeri. Lagipula, aku datang bukan sebagai istri Cyrus, tapi sebagai perwakilan LSM yang selama ini aku urus.