Di bawah rindangnya pohon delima, Leary masih duduk memperhatikan, tidak ada keberanian untuknya pulang, Leary takut orang jahat itu menyakitinya. Leary beranjak dari duduknya, pergi ke pinggiran sungai untuk menunggu Jach yang mungkin saja hari ini akan melewati rumahnya. Hari mulai siang, matahari mulai terik, ada beberapa kuda yang melewati jalan sepanjang sungai, namun Jach tidak terlihat sedikitpun. Sementara William yang mencari Olivia dengan Leary masih belum pulang, pria terlihat siap siaga, tidak sabar melancarkan aksinya dan membawa kepala Olivia dan anaknya ke hadapan Wony. *** Waktu telah berlalu, matahari sudah mulai menuju arah barat, Leary sampai ketiduran di atas bebatuan. Jach yang ditunggunya, hari ini dia tidak lewat, kemungkinan dia tidak memiliki sesuatu untuk dijual sehingga tidak pergi ke pasar. Leary sangat ingin pergi ke rumah Jach, namun karena harus melewati hutan dan jalan yang sangat jauh, Leary takut tersesat. Suara perut yang lapar dan mulut yang
“Apa kau masih merindukannya di setiap malam?” tanya Wony terdengar seperti peduli, pada kenyataannya itu hanya sebatas basa-basi. Suara hembusan napas yang kasar terdengar dari mulut Darrel, sejak kemarin malam dia mendadak merasakan ada yang sesuatu di dalam hatinya seakan Olivia telah kembali pulang. Darrel tidak tahu apakah ini karena sebuah kerinduan yang begitu dalam tersimpan di dalam hatinya atau mungkin sebuah isyarat jika memang Olivia akan segera kembali di sisinya lagi. “Kau tidak akan tahu, seberapa berharganya Olivia untukku,” jawab Darrel terdengar sedih. “Darrel,” Wony mendekat dan berdiri di sisi Darrel. “Bagaimana jika dia melupakanmu?” Rahang Darrel mengetat, “Aku tidak peduli, selama Olivia kembali ke sisiku, itu sudah cukup untukku.” Wony tersenyum memaksakan, wanita itu menuangkan anggur ke gelas dan menyesapnya perlahan. *** Suara musik dan tawa orang-orang terdengar di sebuah mansion seorang milliuner, malam ini ada sebuah pesta formal yang di selenggar
Keributan yang terjadi membuat suasana yang menyenangkan menjadi kacau, orang-orang berhamburan berusaha menyelamatkan diri. Beberapa menit setelahnya, beberapa mobil polisi datang bergerombol. Keramaian orang-orang yang gaduh dan berusaha menyelamatkan diri masing-masing membuat kepolisian yang datang tampak keos tidak bisa menghentikan kepergin orang-orang yang ingin pergi. termasuk Willis pergi yang berpura-pura terkena sasaran tembak sehingga mendapatkan prioritas untuk pergi mendapatkan pertolongan. Dengan sebuah mobil yang sama, Willis segera pergi, dia harus segera pergi ke motel dan bersiap melepaskan semua penyamarannya, lalu membuang semua barangnya ke tempat pembakaran sampah. Sebuah mobil kepolisian lain datang, kali ini Haston dan dua anak buahnya. Olivia yang sempat akan turun mengurungkan niatnya, wanita itu kembali mengangkat senjatanya dan mengincar Haston. Haston cukup berbahaya, ini kesempatan untuk Olivia harus menyingkirkannya juga sekalian tanpa sisa. Sekali
“Petri tunggu,” panggil Wony. Petri menghentikan langkahnya dan menghadap Wony, anak itu terlihat masih tidak terlalu nyaman dengan keberadaan Wony meski wanita itu sudah tinggal cukup lama di rumahnya. Sikap Wony yang seperti nyonya besar, sangat berbanding balik dengan ibunya yang selalu mengajarkan kesederhanaan. Keberadaan Wony di rumahpun tidak memiliki kontribusi apapun meski semua orang berpikir jika dia akan menjadi calon ibu yang sempurna untuk Petri. Sayangnya Petri tidak pernah sekalipun mendapatkan kasih sayang dari Wony karena wanita itu sepanjan waktu sibuk mempercantik diri lalu berbelanja. Satu-satunya hal yang membuat Petri tidak pernah protes atas kedatangan Wony karena Ellis, Petri menyayangi Ellis dan merasa sedikit tidak kesepian sejak Ellis ada di rumah. Ellis sudah seperti adiknya sendiri. “Ada apa?” tanya Petri. “Apa kau sudah mendengarkan apa yang sudah aku bicarakan dengan John?” tanya Wony berhati-hati dan penuh ketelitian memperhatian setiap ekspresi
Napas Leary tertahan di dada, anak itu mundur seketika penuh ketakutan sampai membuat kaki dan tangannya gemetar tidak bertenaga. “Jangan takut, aku utusan teman ibumu, maaf datang terlambat,” ucap pria asing itu menenangkan ketakutan Leary. Alih-alih tenang, Leary kian mundur hendak berlari, dia tidak percaya siapapun selain ibunya, semua orang jahat kepadanya, termasuk semua orang yang selama ini selalu datang bertamu ke rumah, mereka hanya ingin menyakiti Olivia. “Kau masih takut padaku?” tanya pria itu mencoba mendekat. Refleks Leary menghalangi wajahnya dan terjatuh ke belakang, suara napasnya terdengar kasar dan tersenggal. “Jangan sakiti saya.” “Tenanglah,” pria itu membungkuk berhadapan dengan Leary dan menangkap kedua tangannya agar berhenti menutupi wajahnya yang kini sudah basah oleh air mata. Dengan takut Leary melihat pria asing berekspresi dingin itu, tangan kekar pria itu terulur mengajak bersalaman. “Aku tidak akan menyakitimu, namaku Morgan Hemilton, nanti kau b
Tungku perapian menyala menciptakan kehangatan, Leary duduk di lantai beralaskan karpet kecil tempat biasa dia tidur di bawah meja. Leary memakan makanan yang sudah dia kumpulkan di lantai dan dimasukan kembali ke dalam toples. Leary terlihat menikmatinya ditemani dengan segelas susu hangat yang dibuat oleh Morgan. Leary memperhatikan Morgan yang kini terlentang setengah tertidur di atas sebuah kursi. Pria bertubuh tinggi besar dan memiliki tato di sisi lehernya itu ternyata orang baik, tidak semenyeramkan ekspresi dingin di wajahnya dan auranya yang gelap. Morgan tidak banyak bicara, namun dia tidak ragu menawarkan makanan hangat untuk Leary dan menyiapkan air hangat untuknya mandi agar tidak sakit, Morgan juga memenuhi semua bak agar Leary tidak kesulitan mengambil air. “Paman sudah tidur,” panggil Leary pelan. “Kau butuh bantua lain?” sahut Morgan. Leary menggeleng pelan dan tersenyum lebar. “Saya lupa belum berterima kasih kepada Paman. Terima kasih sudah menjaga saya, saya
“Siapa kalian, kenapa masuk rumah ini seenaknya?” tanya Morgan pada ketiga pria asing yang berdiri di hadapannya. “Bung, dimanapun kami berada, itu bukan urusanmu,” jawab Scott memperingatkan dengan senyuman sombongnya. “Dimana pemilik rumah ini?” tanya William tanpa basa-basi. “Ada urusan apa? Jika ada urusan, kalian bisa mengatakannya kepadaku,” jawab Morgan terlampau tenang. Myles berdecih kesal, pria itu saling melempar pandang dengan William untuk memutuskan apa yang harus mereka lakukan sekarang karena orang yang mereka cari tidak ada di tempat. William segera menarik keluar kapaknya untuk memperingatkan Morgan agar tidak banyak bicara, begitu pula dengan Scott yang mengeluarkan pisaunya. William mendekati Morgan, dengan berani dia menunjuk dada Morgan dengan ujung kapak di tangannya, kilatan tajam di matanya menyiratka sebuah tanda bahaya jika Morgan berani macam-macam. “Sekarang kau beritahu saja, di mana wanita pemilik rumah ini, bekerjasamalah dengan baik atau kau aka
Jam di dinding sudah menunjukan pukul tiga dinihari. Wony menjatuhkan tubuhnya ke ranjang, melepas lelahnya setelah menemui teman William dan kembali melakukan transaksi. Malam ini Wony bisa tidur dengan tenang karena dia sudah mengirim lebih banyak orang untuk menghabisi Olivia dan anaknya. Sudut bibir Wony terangkat, wanita itu menyeringai puas menantikan besok pagi yang mungkin akan membuat dirinya sibuk karena Petri meninggal. Terbayang dalam pikiran Wony setelah Petri tiada, mungkin Darrel akan terjebak dalam kesedihan, dan pada saat itu Wony akan memanfaatkan kesedihan Darrel agar bisa mendapatkan perhatiannya. “Aku akan menyiapkan pemakaman terbaik untuk anak jalang itu,” bisik Wony dengan tawa senangnya. “ Senyuman Wony kian lebar, mengingat jika selesai sudah masalahnya malam ini, Wony tinggal tertidur dengan pulas dengan penuh ketenangan. Perlahan Wony menarik selimut dan memejamkan matanya, wanita itu tertidur pulas. *** Hujan yang turun membuat langkah tertatih Oli