Acara ijab qobul akhirnya selesai, di lanjut resepsi yang terbilang lumayan mewah, digelar di rumah mas Danung. Keluarga mas danung memang terkenal cukup berada di kampung itu. Mungkin hal ini lah yang menjadi salah satu bahan pertimbangan orang tua Nur untuk menerima lamaran mas Danung.
Sepanjang acara resepsi Nur hanya terdiam dan sesekali tersenyum ketika ada tamu undangan yang menyalami mereka untuk memberikan ucapan selamat.Melihat Nur seperti itu mas Danung berpikir mungkin Nur masih tidak enak badan, karena istrinya sempat sakit 2 hari yang lalu."Kamu bener - bener sudah sehat Nur?" tanya mas Danung lembut pada Nur.
"Sudah kok" jawab Nur datar.
"Terus kenapa kamu diam aja Nur?" tanya mas Danung lagi.
"Nur gapapa mas,cuma capek" Nur meyakinkan mas Danung agar pria itu tidak mencoba bertanya - tanya lagi.
Mas danung pun terdiam lalu kembali menyambut tamu undangan yang masih ramai berdatangan.
"Duh...udah sore tamu kok nggak habis - habis sih ?" gumam Nur pelan.Dia merasa suasana hatinya agak buruk karena sudah lelah meyambut tamu yang nggak ada habis - habisnya seharian ini.
"Nurr!!" Sapa seorang gadis pendek dari kejauhan, membuat beberapa tamu undangan sampai menoleh ke arahnya.
Tanpa menghiraukan pandangan orang - orang kepadanya dia tetap melangkah maju mendekati Nur dengan rasa percaya diri.Nur yang melihat itu mendengus memutar bola matanya.
"Huh! Diana! Bisa nggak sih nggak usah teriak - teriak? Malu tuh dilihatin orang!" protes nur yang merasa sebal."Ya maaf Nur, habisnya aku tuh seneng banget akhirnya sahabat aku ini udah nikah" Diana beralasan sambil cengengesan.
"Heleh, katanya sahabat tapi datang ke nikahan kok belakangan?" ditariknya napas dalam - dalam lalu dihembuskan dengan kasar.
"Kamu tahu sendiri Nur, di tempat kerja kita kan peraturannya nggak boleh cuti barengan. Ini aja aku baru pulang kerja buru - buru dateng kesini" jawab diana.
"Oh iya ya ?ehehehe...." pengantin baru itu hanya tertawa tanpa rasa bersalah setelah memarahi sahabatnya.
"Eh, Nur! suami kamu yang ganteng itu kemana ?" bola mata gadis itu menyapu seluruh sudut dekorasi, mencari keberadaan suami sahabatnya.
"Tau ah, lagi nyambut teman - temannya tadi" jawab Nur memperlihatkan ekspresi tak peduli.
Nur dan Diana melanjutkan obrolan mereka yang semakin asik, sembari menikmati suguhan beraneka warna jajanan dan kue yang tertata di meja.
Sebelum akhirnya diana melongo melihat pria yang turun dari motor hitam yang baru saja dikendarai pria itu."Nur!" panggil Diana"Hemm?" sahut Nur yang sedang asik menikmati kue yang ia makan.
"Nur! tuh tuh lihat tuh!" wajahnya gugup sambil menunjuk ke arah pria, bersamaan dengan tangan satunya menepok - nepok lengan Nur sampai membuat kue yang dipegang Nur terjatuh.
"Apa sih Di?" jawab Nur kesal menatap kue yang tergeletak berceceran di lantai, sebelum tatapannya tertuntun pada obyek yang di tunjuk Diana.
Deg! Dia sangat kaget melihat sosok pria yang sedang mendekat ke arahnya."Gewa!" gumamnya sangat pelan.
Nur menoleh ke kanan dan kiri melihat sekelilingnya, untung saja tak ada yang tahu bahwa Gewa adalah mantan pacarnya, yaa.. kecuali keluarganya sih. Tapi disekitarnya tidak ada bapak atau ibu Nur, Jadi Nur merasa dalam kondisi aman.
Gewa yang sudah berdiri di depan Nur mengangkat satu tangan untuk memberinya salam. Gewa lantas memberikan selamat dan tersenyum kepada Nur.Nur memandangi pria yang masih bertahta di hatinya itu, tubuhnya tampak semakin kurus. Dan area sekitar matanya agak menghitam pertanda bahwa dia kurang tidur."Terimakasih ya sudah datang"
Nur merasakan canggung pada moment ini.Diana pun mendekatkan mulutnya ke telinga Nur,
"Emang kamu ngundang Gewa ya Nur?" bisik Diana pada sahabatnya itu.Nur tak menjawab, hanya menampik pahanya agak keras membuat Diana meringis kesakitan."Karena kamu nggak ngundang aku, jadi aku inisiatif datang sendiri ke pernikahan kamu. Aku ingin menyaksikan pernikahan wanita yang kucintai ini dengan pria lain. Agar aku sadar bahwa saat ini kamu sudah bukan milikku lagi Nur"
Kata - kata Gewa ini membuat Nur terdiam dengan mata yang berkaca - kaca."Oh ya, suami kamu kemana Nur?" tanya Gewa, matanya menyapu tiap -tiap sudut sekitar.
"Lagi nyambut tamu undangannya kata Nur" diana menjawab pertanyaan Gewa mewakili sahabatnya yang terdiam.
Mendapati jawaban dari Diana, Gewa pun hanya mengangguk - angguk.
Mas Danung yang sudah selesai menyambut tamu bergegas menghampiri istrinya yang terlihat mengobrol bersama seorang pria dan wanita. Kalo wanita itu sudah jelas dia tau bahwa dia Diana, karena mereka tetanggaan. Kalo pria yang sedang duduk bersama Nur dan Diana tentu saja dia tak tahu.
"Eh,mas Danung selamat ya mas.Hehe.." ucap Diana sambil menyalami mas Danung.
"Makasih ya Di" jawabnya sembari tersenyum.
Lalu pandangannya beralih menatap pria yang bersama mereka. Mas Danung tak merasa pernah mengundangnya.Sedangkan Nur hanya terdiam. Mereka bertiga tampak tegang, sedangkan mas Danung tampak penasaran.Duuhhh kira-kira mas Danung di beri tahu kalau Gewa itu mantan terindah Nur nggak ya? Langsung aja ke Next chapter yuk guys!
Ini pacar kamu kah Di?" jari ibunya menunjuk ke arah Gewa.(Note:Jari ibu dipakai untuk menunjuk agar lebih sopan)."Ehhhh...bukan mas. Ini tu..." (belum sempat Diana melanjutkan dialognya Gewa langsung memotongnya)"Aku temennya Nur, dan... temen Diana juga. Hehe.. Selamat ya atas pernikahan kalian"Gewa melirik ke arah Nur yang terlihat tegang sedari tadi, melihat pertemuan antara suami dan mantan pacarnya itu."Semoga kalian berbahagia" pungkas Gewa.Kemudian para tamu undangan sudah membuyarkan diri. Acara resepsi telah usai. Bumi kian menggelap pekat, detak jam dinding menggema di ruang yang sudah dihiasi bunga - bunga indah.Ini hari pertama Nur dan mas Danung sebagai suami istri, hari pertama Nur tinggal di rumah mertua, dan juga malam pertama mereka, malam yang dinanti sepasang anak manusia yang saling mencintai. Tapi, bagaimana dengan pasangan pengantin yang cintanya bertepuk sebelah tangan seperti
Mendengar kejujuran dari mulut Nur, mas Danung mencoba mendinginkan kepalanya.Memejamkan matanya, ditariknya napas dalam - dalam lalu dihembuskan, terdengar agak berat. Dia pun terdiam sejenak sambil menatap Nur dengan matanya yang sayu, yang malah membuat Nur merasa tidak enak setelah mengucapkan perkataan tadi."Nur apa alasan kamu menerima lamaran mas Danung waktu itu? Apakah bapak dan ibu memaksa kamu?" tanya mas Danung setelah dirinya sudah merasa lebih tenang."iya mas". Nur menundukkan kepalanya.Mas Danung meraih tangannya, membuat Nur mendongakkan kepalanya kembali, menatap suaminya."Tidak apa Nur, setidaknya kamu udah berkata jujur. Mas akan menunggu sampai Nur siap" ucap mas Danung membuat hati Nur yang sesak terasa lebih lega."Terima kasih mas" pungkas Nur sebelum akhirnya mereka sama - sama terlelap.***Nur bangun pagi - pagi sekali, lalu melangkah ke dapur untuk membantu Ummi yang sedang memasak."Eehh pe
Nur sedang rebahan dikamar tidurnya sembari memainkan ponsel untuk menghilangkan rasa jenuhnya. Orang - orang di rumah itu sedang sibuk dengan aktifitasnya sendiri - sendiri, sedangkan Aisyah sudah balik ke pondok.Adanya Aisyah beberapa hari yang lalu membuat rasa jenuhnya lumayan hilang, usia mereka sebaya. Jadi pembicaraan atau obrolan mereka terbilang nyambung.Nur dan Aisyah sekelas pada saat duduk di bangku sd. Waktu itu mereka sangat dekat. Tapi ketika kenaikan kelas ke jenjang smp Aisyah melanjutkan pendidikannya di pondok pesantren, sampai saat ini. Mereka sangat jarang bertemu, jadi setelah itu pertemanan mereka agak merenggang. Dan lucunya sekarang mereka malah jadi saudaraan."Nur!"Terdengar panggilan dari ummi. Sepertinya suaranya dari arah dapur.Nur segera bangkit dan mendekat ke sumber suara."Dalem mi? Ada apa nggih mi?" sahut Nur lembut dan santun."Ini ummi buat kolak banyak, kamu berikan ini ke ibu- bapak. Ini banyak
Langkah Nur tertuntun memasuki toko buku itu. Teman sepekerjaan kompak memberi selamat pada pengantin baru itu. Diana yang baru datang pun tiba - tiba berteriak memanggil nama Nur dan langsung memeluk sahabatnya itu."Diana! Kamu ini kebiasaan deh, teriak -teriak mulu" keluhnya pada sahabatnya itu.teman - temannya yang lain hanya cekikikan melihat tingkah 2 gadis itu, lalu buyar meninggalkan mereka berdua."Hehe... ya maaf, pengantin baru jangan marah - marah dong" ucap Diana sembari cengengesan."Gimana Nur?" pertanyaan yang penuh ketidak jelasan dari Diana. Memainkan satu alisnya naik turun, dengan ekspresi wajahnya yang absurt."Apanya? gak jelas banget sih Di?" Nur cemberut menanggapi pertanyaan sahabatnya yang tidak jelas itu."Iiisshhh! Malam pertama kamu lah!" terangnya tanpa malu - malu, sambil tertawa renyah."Astagfirullah Di! aku timpuk ya!" jawab Nur kesal."Kan aku pengen tau Nur" bujuknya, ia tersenyum menampakkan
Mas Danung meraih tangan Nur."Nur, ayok pulang!" ajak mas Danung datar, matanya melirik sinis ke pria yang ada di depan Nur.Nur hanya terdiam tak bersuara, sempat beradu pandang dengan Gewa beberapa detik lalu menaiki motor yang dikendarai mas Danung.Dari raut wajah mas Danung sepertinya dia agak kesal. Nur berpikir apakah mas Danung sedang marah padanya?Sempat terdiam cukup lama pada saat perjalanan, sampai akhirnya mas Danung tak tahan ingin segera mengeluarkan unek - unek pertanyaan yang terjebak di kepala."Itu teman kamu yang kemarin datang ke nikahan kita kan? tanya mas Danung,seolah menginterogasi."Iya mas, namanya Gewa. Tadi nggak sengaja dia lewat terus nawarin bantuan buat nganterin aku. Tapi, aku nggak mau kok mas." Nur menjelaskan pada suaminya panjang lebar.Mendengar jawaban dari Nur tak membuat mas Danung bersuara,tapi raut wajahnya seperti menyimpan kecurigaan yang bercampur dengan rasa cemburunya. Jelas saja di
"Mas, Nur kepingin tinggal dirumah ibu bapak "Perkataan Nur barusan membuat mas Danung menatapnya kebingungan."Maksudnya aku dan mas Danung tinggal disana, aku pengen tidur dikamarku lagi mas" terang Nur pada suaminya."Memangnya kalo tinggal disini kenapa? Lagian jarak rumah ini sama rumah bapak ibu kan nggak jauh. Kalo kamu kangen bisa pulang kesana sebentar." mas Danung menggeleng - gelengkan kepalanya."Ya bukannya gitu sih mas, Nur kepengen aja gitu tinggal bareng sama bapak ibuk lagi. Boleh ya mas?Kita tinggal disana aja ya!" tetap mencoba membujuk suaminya agar mendapat ijin."Iya, mas ngomong dulu sama ummi dan abi. Tapi mas punya 1 syarat.""Apa mas?" tanya Nur penasaran."Seminggu setelah kita tinggal dirumah ibu bapak kamu harus sudah siap menjalankan kewajiban kamu sebagai istri" jawab mas Danung membuat Nur menjadi ragu, dan langsung terdiam tak menjawab."Gimana Nur?" Imbuh mas Danung.Setelah beberap
"Siapa yang mengirimkan pesan malam - malam begini?" gerutunya dalam hati.Tak di sangka dia mendapat pesan dari mantan kekasihnya.Gewa: Hi Nur! Bagaimana kabar kamu?Raut wajah Nur berubah menjadi sedih. Dia sangat merindukan pria itu, tapi apa boleh buat? Cincin yang melingkar di jari manisnya itu menjadi benteng besar antara dia dan Gewa. Jarinya gemetar mengetik huruf demi huruf untuk membalas pesan dari Gewa.Nur :Baik. Ada perlu apa? ngechat. malam - malam begini?Gewa: Maaf Nur, pasti sekarang kamu lagi sama suami kamu ya? Aku jadi nggak enak ganggu moment &nb
Suasana alun - alun yang tadinya hangat seolah - olah membeku seketika setelah kedatangan Gewa."Hai mas! ketemu lagi kita." Gewa tersenyum, memberi sapaan pada mas Danung. Berusaha mencairkan suasana."Hai! Gewa kan? kesini sama siapa?" tanya mas Danung berbasa - basi. Dengan intonasi yang sedikit kaku."Aku sama temen - temenku, mereka sudah pada balik duluan. Sebenernya aku juga mau pulang tadi, eh nggak sengaja lihat kalian disini." terang Gewa.Mata Gewa tertuju pada mantan kekasihnya yang sedari tadi fokus menatap dirinya, sendu."Kapan balik ke perantauan?" tanya Nur dengan suara pelan."Aku udah nggak kerja di sana lagi Nur. Udah lumayan lama sejak hari itu. hehe.. Lagi cari kerjaan di deket - deket sini" sedikit tertawa untuk menyembunyikan kesedihannya.Mendengar jawaban Gewa membuat mas Danung bingung. 'Sejak hari itu?' apa yang dimaksud Gewa? Mas Danung tidak mengerti karena dia memang tidak tahu apa - apa.Mengetah
Jarum jam bertengger tepat di angka empat. Nur masih menunggu di depan gerbang toko buku, tempat Diana bekerja, dan merupakan bekas tempat kerja Nur dulu. Tak lama kemudian, nampak para karyawati yang melangkahkan kaki keluar dari toko yang besar itu. Tentu saja, itu toko buku terbesar di kota ini.Di sana juga terlihat Bela yang sedang terburu - buru keluar dari toko."Hey, Nur!" sapa Bela."Eh, Bela. Diana belum keluar ya?" tanya Nur."Tadi sih Diana masih ngambil tasnya di loker. Mungkin bentar lagi keluar kok." jawab Bela.Bela menengok ke belakang, ke pintu keluar toko. Dan benar saja, Diana baru saja melangkahkan kaki keluar dari toko itu."Tuh Diana. Ya udah, aku duluan ya Nur." Nur mengangguk sembari tersenyum.Pandangan Nur beralih ke arah Diana yang semakin mendekat ke arahnya. "Nur, kamu ngapain di sini?" tanya Diana."Aku nungguin kamu Di." jawab Nur."Kok nggak ngabarin dulu?" tanya Diana lagi.Wajah Nur berubah sendu."Hp ku hilang Di." "Hilang? Ya udah yuk pulang du
Retina Nur terpaku pada bias Indah dari wujud pria yang bernama Gewa itu. Lalu, tersadar oleh pertanyaan iseng yang Gewa lemparkan kepadanya."Ngomong - ngomong kita selalu bertemu secara tidak sengaja ya Nur? hehe..." tanya Gewa. Beberapa menit setelah pertemuan tadi, kini dia sudah duduk di kursi kosong tepat di depan Nur."Iya. Apa jangan - jangan kamu buntuti aku terus ya? haha... enggak deh bercanda." kata Nur sembari tertawa.Setelah semua masalah yang Nur hadapi, baru kali ini Nur tertawa lewas. Seakan ia lupa atas semua beban yang sedang di pikul pada pundaknya."Ah, mana berani aku buntuti istri orang." jawab Gewa. Gewa pun tertawa kecil, namun, tawa itu sangat terlihat ia paksakan.Nur sontak terdiam, lalu, termenung sejenak. Melihat ekspresi Nur, Gewa tahu bahwa Nur tak nyaman dengan jawaban darinya. Sehingga membuat Gewa jadi tak enak hati."Emm... Nur, aku salah ngomong ya? Ma.." Nur segera membuka mulutnya, dan memotong kalimat Gewa."Tidak Gew! Tidak usah minta maaf da
"Apa kamu sudah merasa senang dan merasa bebas sekarang? Apa kamu merasa bangga menjadi janda di usia semuda ini?" bunyi pertanyaan ibu Nur yang tiba - tiba saja ia lontarkan kepada putrinya yang malang.Nur masih hanyut dengan tangisnya, ia tak ingin mendengar ataupun menjawab pertanyaan - pertanyaan ibunya yang semakin melukai hati Nur.Sedangkan bapak terduduk kaku, menatap Nur yang tak berdaya. Ada rasa kecewa di hati bapak. Bapak marah, namun, di satu sisi bapak tak tega melihat keadaan dan situasi putrinya yang sulit dan telah menjadi berantakan."Memalukan! Karena ulahmu, semua anggota keluarga kami harus menanggung malu!" imbuh ibu Nur.Nur yang mendenger hal itu, sontak menatap tajam mata ibunya, lalu meninggalkan kedua orang tuanya yang masih duduk di ruang tamu. "Hei! orang tuamu belum selesai bicara!" bentak ibu Nur."Buk, sudah buk." kata bapak menenangkan ibu, lalu bapak pun berdiri dan meninggalkan ruangan itu.Nur mengambil kunci motornya yang ada di kamar lalu bergeg
Suasana pada pagi ini begitu cerah. Namun, tidak dengan suasana hati Nur. Hatinya berdebar, tubuhnya sedikit gemetar. Sebentar lagi Ummi, Abi, dan mas Danung akan kembali mendatangi rumahnya. Lebih tepatnya menemui Nur, untuk mencari penyelesaian dari bab permasalahan rumah tangga Nur dan mas Danung yang tak kunjung tamat. Selesai Nur mandi, dia ingin mengambil ponsel yang tadinya ia simpan di kasur, tapi sekarang ponselnya sudah tidak ada."Kemana ponsel ku?" gumam batin Nur.Nur mengingat - ingat kembali dimana ia meletakkan ponselnya sebelum ia pergi mandi. Padahal ia ingat betul bahwa ia meletakkan ponselnya di atas kasurnya.Ia cari - cari di laci make up dan di meja samping ranjangnya pun tak ada. Nur kebingungan. Nur mencurigai bapak, bahwa mungkin saja bapak mengambil ponselnya lagi.Belum tuntas kebingungan Nur, ada suara salam dari teras rumah.Suara yang tak asing di telinga Nur, yaitu suara Ummi.Nur menarik napas dalam - dalam, lalu men
Sepasang mata mas Danung mendelik, menatap Nur dengan penuh kemarahan. Lalu yang membuat Nur semakin tak enak hati adalah tatapan kecewa kedua mertuanya. Nur menundukkan kepalanya, sebab ia merasa malu.Abi memberi isyarat dengan arahan tangannya, menyuruh Nur untuk duduk di kursi kosong samping mas Danung. Karena sedari tadi ia memang berdiri saja."Jadi, bagaimana Nur?" tanya Abi mengawali pembicaraan.Nur masih terdiam sembari menundukkan kepala. Sama hal nya dengan mas Danung, ia tak berbicara sekecap pun."Waktu itu sebelum penentuan pernikahan kalian, bukankah Abi sudah bertanya 'apakah pernikahan itu atas kemauan nak Nur sendiri atau atas dasar keterpaksaan?'. Lantas nak Nur sendiri yang menjawab bahwa pernikahan itu atas kemauan nak Nur. Tapi kenapa sekarang nak Nur malah seperti ini?" lanjut Abi.Dengan amat sangat berat Nur memberanikan diri untuk berkata sejujurnya pada kedua mertua."Sebelumnya Nur minta maaf Abi, Ummi. Saat
Tubuh Nur gemetaran. Keringat dingin pun membasahi pipinya. Ia memberanikan diri mengarahkan pisau ke pergelangan tangan kirinya. Belum sempat ia menggoreskan benda tajam itu ke tubuhnya sendiri, tiba - tiba seseorang menampik tangan kanan Nur.Seketika Nur shock.Seorang wanita paruh baya yang sedang berdiri di samping Nur dan tampak membelalakkan mata itu adalah Ibu Nur.Ternyata sedari tadi Nur tak menyadari bahwa pintu kamarnya lupa tak ia tutup. Ibu yang tadinya berniat akan ke teras rumah pun harus berjalan melewati kamar Nur terlebih dahulu dan Ibu tak sengaja melihat anaknya akan melakukan hal bodoh itu.Syukurlah Ibu masih sempat mengetahuinya sebelum Nur benar - benar melakukannya.Ibu mengambil pisau yang terjatuh di atas lantai lalu melemparnya ke luar pintu kamar.Bunyi lemparan yang cukup keras pun membuat Nur kaget."Apa kamu sudah tidak waras?" tanya ibu dengan nada tinggi.Nur tak menjawab, hanya terdengar suara sese
"Kamu harus nurut dengan mas! Mas ini suami kamu!" kata mas Danung dengan nada suara tinggi.Nur tak bisa mengontrol emosinya."Nur benci sama mas Danung. Nur nggak cinta sama mas! Nur nikah dengan mas Danung cuma karena terpaksa!" Kemarahan Nur meledak.Suasana kamar menjadi semakin tegang.Wajah mas Danung menjadi pilu seketika, ia menatap Nur yang sedang melotot ke arahnya. Dapat mas Danung rasakan bahwa istrinya nemang benar - benar membencinya, terlebih lagi sorot mata tajam yang di lontarkan oleh gadis itu kepadanya. Mas Danung berbalik arah, kakinya melangkah meninggalkan Nur yang masih memelototi dirinya.Beberapa detik setelah mas Danung pergi, Nur tersadar dan menyesali atas apa yang ia katakan barusan. Kata - kata yang telah dia ucapkan sungguh berlebihan.Nur terduduk lemas di ranjangnya, sembari menangis.Tiada hari tanpa menangis.Mungkin saja hal buruk akan terjadi setelah ini. Nur sangat khawatir dan takut.
Setelah beberapa hari kesehatan Nur semakin membaik. Suhu badannya juga sudah normal. Walaupun kesehatannya membaik tapi suasana hatinya masih buruk. Ia masih sakit hati dengan suaminya, bahkan ia masih kecewa pada kedua orang tuanya yang lebih membela mas Danung.Hari sudah sore, Nur berniat untuk berkunjung ke rumah Diana. Mungkin menemui sahabatnya akan sedikit mengobati rasa sedih dan juga rasa bosannya.Nur mencari - cari kunci sepeda motornya, tapi ia tidak menemukan. Padahal Nur selalu menyimpan kunci sepeda motor di meja rias di dalam kamarnya. Nur kebingungan, ia juga tidak bisa meminta antar adik - adiknya, sebab keduanya sedang keluar rumah juga."Buk...!" teriak Nur memanggil ibunya.Tak mendapat sahutan dari Ibunya, Nur bergegas mencari Ibunya."Di mana sih Ibuk? padahal biasanya jam segini lagi nonton tv." gumam Nur seorang diri."Ibuukkk!" panggil gadis itu lagi."Ada apa Nur?" sahut ibu, suaranya terdengar berasal
Kokokan ayam jago lantang menggema memekik telinga. Membangunkan para manusia dari tidurnya, sekaligus pertanda bahwa pagi telah tiba. Nur sudah bangun sedari tadi. Dirinya memang tak bisa tidur nyenyak. Kerap terbangun karena tubuhnya terasa sakit, tulang - tulangnya pun terasa ngilu. Wajar saja, selama ini dia sering kali menahan rasa capek di tubuhnya. Sepulang kerja hanya ia gunakan untuk rebahan, Nur pun tak pernah pijat atau minum jamu saat sedang pegal.Nur hanya diam, tatapannya nampak nanar ke arah langit - langit atap rumah. Sampai tak sadar saat ranjangnya bergerak karena orang di sampingnya sedang menggeliat, baru saja tersadar dari tidurnya."Kamu sudah bangun Nur? Gimana kondisi badan kamu? Apa sudah terasa lebih baik?" tanya mas Danung, sembari menatap wajah isterinya.Tak ada jawaban dari Nur, matanya masih tertuju pada langit atap rumah.Bukannya Nur tidak dengar, tapi ia merasa malas berbicara pada pria itu.Mas Danung mengambil ponse